Banyak Tindakan Kekerasan Atas Nama Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
20/10/2002

Dr. Moeslim Abdurrahman: Banyak Tindakan Kekerasan Atas Nama Agama

Oleh Redaksi

Yang dikatakan Pak Syafi’i tadi, saya kira, sangat menarik. Tugas utama pemimpin umat beragama adalah reeducation (mendidik ulang) umatnya masing-masing. Sebagai umat beragama, kita mesti toleran kalau berbeda pendapat. Tapi sekiranya muncul statemen “If you don’t follow my idea, I will kill you”, tentu tidak bisa lagi ditolerir.

Kita perlu bersikap jujur seraya mengakui bahwa di dalam setiap agama punya potensi radikalisme yang bisa diselewengkan pemeluknya untuk melakukan aksi-aksi terorisme. Sikap mengingkari fakta (self-denial) justru menguntungkan bagi kelompok-kelompok agama yang mengabsahkan kekerasan untuk mencapai tujuan. Inilah poin utama yang disampaikan Dr. Moeslim Abdurrahman, cendekiawan muslim, dalam perbincangannya dengan Ulil Abshar-Abdalla:

Apa yang hendak Anda katakan tentang tragedi Bali?

Menurut saya, kita tidak bisa lagi mengelak dari kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang terbuka di era globalisasi ini. Begitu juga negara lain. Jika dulu, bahkan sampai sekarang, kita selalu mengatakan bahwa tidak mungkin ada jaringan teroris ini dan mustahil ada jaringan teroris internasional itu, masuk ke Indonesia. Tapi ternyata sekarang kita tidak lagi bisa mengatakan itu. Kini, ada jaringan teroris besar --yang tidak hanya berpusat di Indonesia, tapi juga internasional-- dengan kemampuan demosili bom yang besar. Itu yang pertama.

Yang kedua, kalau saya berposisi sebagai Pak Hasyim Muzadi atau Pak Syafi’i Ma’arif, tentu akan berkomentar seperti itu. Begitu juga kalau saya pemuka Kristen atau Katolik. Tapi fakta yang ada tidak bisa dibantah bahwa di dalam tubuh kita sendiri, di dalam tubuh kaum Kristiani dan umat agama lainnya selalu saja ada kelompok-kelompok yang menggunakan agama. Dengan agama, mungkin dia melakukan kekerasan (violence).

Tadi anda menegaskan perlunya mengakui, bahwa dalam tubuh umat Islam --juga di tubuh umat lain-- ada penyakit teror. Anda bisa lebih mengelaborasi lagi?

Ya, bagaimanapun kita harus mengakui fakta bahwa ada gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama, dan mereka suka menggunakan jalan yang tidak biasa. Maksud saya, tindak kekerasan itu seharusnya atau idealnya tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang mengaku beragama. Tapi kenyataannya, ada banyak tindakan-tindakan semacam ini yang mengatasnamakan agama.

Saya setuju dengan Pak Hasyim yang mengatakan tragedi Bali sebagai tindakan crimes against humanity. Kita harus lawan (combat). Semua pihak harus combat terhadap tindak-tindak terorisme. Memang, terrorism is terrorism. Oleh karena itu, sikap yang paling benar, saya kira, kita harus berani mengakui kenyataan bahwa di tubuh masing-masing agama ada hal seperti ini. Dan ini adalah “PR” besar setiap agama untuk menghadapinya secara terbuka.

Kita juga tidak bisa memungkiri bahwa masalah kekerasan yang berkaitan dengan kelompok garis keras, terkait juga dengan kebijakan Amerika yang tidak tepat, khususnya pemerintah Bush. Sepertinya, di dunia internasional ada semacam siklus kebijakan dan respon atas kebijakan yang tidak pernah berujung. Bush membuat kebijakan negatif, dan reaksi atas Bush juga negatif. Nah, bagaimana menghadapi lingkaran setan ini?

Saya setuju pemimpin-pemimpin agama jangan kemudian cepat terpancing dengan kebijakan negatif George W. Bush. Semua orang kini mengeluh --tidak hanya orang Islam-- atas kebijakan luar negeri (foreign policy) Amerika Serikat (AS) atau gampangnya: pemerintahan Bush. Hanya saja, kalau AS seperti itu kita tidak mesti merespons dengan cara yang sama. Misalnya, AS sering dikecam perihal foreign policy-nya yang selalu double standard. Lantas kemudian kita pun menggunakan double standard (semacam sweeping warga asing, Red).

Yang dikatakan Pak Syafi’i tadi, saya kira, sangat menarik. Tugas utama pemimpin umat beragama adalah reeducation (mendidik ulang) umatnya masing-masing. Sebagai umat beragama, kita mesti toleran kalau berbeda pendapat. Tapi sekiranya muncul statemen “If you don’t follow my idea, I will kill you”, tentu tidak bisa lagi ditolerir.

Reedukasi itu bukan perkara mudah. Tapi sekarang kita melihat betapa berpengaruhnya retorika-retorika para dai atau demagog Islam di mimbar-mimbar. Ada ironi. Selain cukup berpengaruh, mereka berperan “membutakan” mata umat akan realitas dunia. Nah, bagaimana mengatasi hal ini?

Ya, dalam kondisi adanya perasaan-perasaan merasa tertindas atau mungkin perasaan-perasaan ketidaknyamanan sosial (social unrest), ditambah prestasi ekonomi yang kalah berkompetisi dengan orang lain dan faktor lainnya, maka yang paling gampang diterima adalah feeling yang seperti sekarang ini. Dai-dai akhirnya mengobarkan perlawanan dan lain-lain. Tapi pada akhirnya, akibatnya ‘kan memperpanjang penderitaan itu sendiri. Sebab, kita tidak mampu melihat kondisi yang objektif.

Oleh karena itu, apa langkah yang penting? Saya tetap punya harapan yang cukup optimis. Mengapa? Sebab gerakan Islam yang mainstream seperti NU dan Muhammadiyah, sebagaimana kita dengarkan dari pernyataan Pak Hasyim dan Pak Syafii tadi, masih berharap hal-hal positif ini bisa dilakukan di tengah umat kita masing-masing.

Pemerintahan Megawati seharusnya punya peran jelas soal isu krusial semacam terorisme. Idealnya, peran itu dimaksimalkan?

Saya menggarisbawahi omongan Anda sendiri: “kalau seandainya, seharusnya”. Ini ‘kan sudah menjadi rahasia umum…

Tapi kalau sekadar berharap ya, it’s time ya! Ini waktunya Megawati untuk mengonsolidasi bangsa ini. Kemudian memberi semacam national guidance tentang bagaimana langkah-langkah kita menghadapi bahaya terorisme dan menjelaskannya kepada dunia. Pemerintah juga tidak perlu ragu-ragu sebagai bagian masyarakat dunia, untuk mengakui bahwa terorisme adalah musuh kita semua. Saya kira harus ada kemampuan dan kemauan untuk berbuat semacam itu, juga kemampuan memulihkan keyakinan bangsa Indonesia di komunitas internasional.

Tapi saya kok ragu, ya! Ragu sekali! Sebab, cara-cara menangani dan teknik komunikasi pemerintahan Megawati, baik secara nasional maupun internasional, sangat lemah dan tidak profesional.

Secara spesifik, bagaimana seharusnya sikap pemerintah terhadap kelompok-kelompok seperti Abu Bakar Ba’asyir?

Saya kira harus tegas. Harus tegas. Kalau cukup bukti, harus ada tindakan yang tegas. Tapi kalau tidak cukup bukti, harus ada penjelasan sejelas-jelasnya ke publik bahwa kelompok ini sebenarnya tidak ada kemampuan dan tidak ada kaitan dengan jaringan-jaringan terorisme internasional.

Dalam menghadapi kelompok dengan retorika keras semacam ini, apakah pemerintahan Megawati punya alternatif kebijakan yang lebih tepat?

Sebetulnya kebijakan pemerintah, dalam satu segi sudah baik. Apapun tuntutan gerakan Islam garis keras itu seperti tuntutan syariat Islam, dibiarkan berkembang asal tidak berimplikasi pada violence, kekerasan. Tapi di sisi lain, kita tidak bisa mengantisipasi akan adanya kerjasama mereka dengan masyarakat internasional, karena teror seperti di Bali bisa terjadi di mana-mana. Jadi, Indonesia tidak mungkin lagi mengatakan kalau teror ini tidak mungkin dilakukan orang Indonesia, tidak mungkin dilakukan orang Islam. Sebab, soal terorisme adalah soal jaringan yang saling memanfaatkan.

Ba’asyir menampik kalau di Indonesia ada terorisme. Bagi dia, terorisme itu made in Amerika. Tanggapan Anda?

Kalau Ustadz Ba’asyir merasa dirinya bukan bagian dari teroris kita seharusnya membantu dia menyatakan bahwa dia memang bukan bagian dari itu. Tapi problem kita memperlihatkan bahwa penanganan masalah terorisme tidak profesional. Intelijen kita juga tidak punya sistem yang baik seperti sebelumnya. Siapa sih sebetulnya yang paling bertanggung jawab atas kejadian di Bali? ‘Kan tidak jelas! Hal yang lebih tidak memberikan harapan baik dari kepemimpinan Megawati.

Yang muncul di koran-koran justru pemberitaan sidang kabinet yang menampakkan perpecahan. Itu ‘kan aneh kalau kita bandingkan dengan tragedi WTC di AS. Begitu ada ancaman teroris, maka siapapun yang ada di AS berdiri, tegak bersama-sama, dan mengatakan bahwa teror ini mengancam keselamatan kita semua, dan kita harus bahu-membahu menghadapinya. Kira-kira begitu.

Tampaknya dunia internasional sekarang ini seakan kembali memojokkan umat Islam. Bagaimana seharusnya pemimpin umat Islam moderat menghadapi masalah ini?

Saya kira, seperti yang dikatakan Pak Syafi’i dan Pak Hasyim tadi. Pertama, kita harus jujur bahwa di tubuh kita masing-masing sebenarnya ada persoalan. Kalau kita tidak menyelesaikan persoalan di tubuh kita itu, kemudian persoalan itu membesar, lalu kita ingkari, hal itu justru tidak menyelesaikan masalah.

Jadi, kita punya “PR” untuk kelompok umat kita masing-masing. Menurut saya, sebagai bangsa, kita tetap harus punya komitmen untuk menempatkan kepentingan bangsa yang paling utama. Jadi national interest ditempatkan pada tingkat yang layak.

Pada level bawah, bagaimana mengomunikasikannya?

Kita harus memberikan keterangan yang jelas bahwa kita sedang mengalami krisis dan krisis itu adalah krisis bangsa. Oleh karena itu, masyarkat juga harus mengerti, jangan sampai masalah kepentingan nasional dikorbankan untuk kepentingan-kepentingan sempit oleh pihak-pihak tertentu. []

20/10/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq