Batas Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
08/11/2010

Batas Agama

Oleh Saidiman Ahmad

...bagaimana kalau tidak ada doktrin agama yang membenarkan demo­krasi? Demokrasi kan sebuah konsep politik yang relatif baru. Paham ini datang jauh setelah Islam muncul di Timur Tengah. Wacana tentang ne­ga­ra modern di seluruh dunia ke­tika itu belum dikenal. Ba­gaimana mungkin ditemukan doktrin demokrasi pada ma­syarakat muslim awal yang belum bersentuhan dengan ide-ide ini?

Artikel ini sebelumnya dimuat di Harian Sore Sinar Harapan, 6 November 2010

Para penganut agama biasanya yakin betul bahwa yang mereka anut begitu sempurna. Agama dianggap bisa menjawab semua persoalan dan kebutuhan hidup. Inilah persoalan mendasar yang di­ha­dapi umat beragama.

Mari kita lihat fenomena demokratisasi. Dunia semakin demokratis. Negara-negara yang sebelumnya enggan melakukan demokratisasi, kini mulai melaksanakan pemilu. Asumsi Huntington dan Ernes Gellner bahwa masyarakat muslim tidak memiliki pe­rang­kat budaya demokratis mulai diragukan banyak kalangan. Perlahan namun pasti, dunia Islam mulai menjalankan politik demokratis. China dan Si­nga­pura, yang menurut Fareed Zakaria lebih baik tidak mendemokratisasi politiknya, ternyata juga mulai terbuka.

Di dunia Islam, tren demokratisasi ditanggapi de­ngan begitu meriah. Sejumlah kaum intelektual dan tokoh muslim memaparkan penafsiran agama yang sesuai dengan semangat demokrasi. Bagi mereka, demokrasi dan Islam adalah sejalan dan sebangun. Kelompok-kelompok konservatif juga mulai masuk dalam sistem demokrasi.

Di Indonesia, misalnya, gerakan Tarbiyah yang se­be­lumnya diprediksi sebagai gerakan anti-demokrasi, justru sejak awal era demokrasi sudah membentuk partai politik, Partai Keadilan (Partai Keadilan Sejahtera). Lagi-lagi, alasannya adalah bahwa demokrasi sejalan dengan prinsip Islam. Biasanya mereka merujuk pada kata syura yang berarti musyawarah.

Tentu saja masih ada ke­lom­pok muslim yang menya­ta­kan bahwa syura tidak sama dengan demokrasi. Syura, bagi mereka, berlandaskan pada kedaulatan Ilahi. Masing-ma­sing orang bisa mengusulkan sesuatu tetapi tidak boleh keluar dari koridor “ketetapan Ilahi.” Sementara itu, demo­krasi menganut prinsip ke­daulatan rakyat. Mereka memunculkan istilah baru untuk melawan dan mengganti prinsip kedaulatan rakyat, yakni kedaulatan Tuhan.

Tentu saja mereka tidak pernah mampu menjelaskan apa persisnya yang dimaksud kedaulatan Tuhan itu. Mereka hanya mampu mengaku atau mengakui sesuatu (misalnya, kitab suci) sebagai representasi kedaulatan Tuhan di bumi. Se­lebihnya, tidak ada penjelasan.

Antidemokrasi

Itulah sebabnya penerapan demokrasi pada sebagian ma­syarakat muslim masih menyi­sakan praktik antidemokrasi. Iran, misalnya, membatasi kebebasan politik dengan me­lembagakan Wilayat al-Faqih yang bisa menentukan garis perjalanan negara. Meski ma­syarakat Iran memiliki sebuah aspirasi, tetapi jika Wilayat al-Faqih tidak setuju, maka aspirasi itu batal. Wilayat al-Faqih dipercaya mewakili aspirasi Tuhan di bumi.
Tetapi baiklah. Iran me­mang tidak bisa disebut sebagai negara demokratis. Mes­kipun begitu, negara-negara muslim lain tampak mulai menjalankan prinsip demokrasi. Para kaum intelektual muslim sibuk menerakan sejumlah argumen Islam yang mendukung demokrasi.

Raksasa pembaru muslim, Muhammad Abduh, menyata­kan bahwa Islam adalah agama yang mula-mula mencoba mengombinasikan antara agama dan akal. Agama, bagi Abduh, tidak mungkin bertentangan dengan akal. Kalau tampak berbeda, maka persoalannya ada pada penafsiran. Jadi, sebenarnya, Islam membuka diri bagi semua capaian akal manusia, termasuk demokrasi. Untuk itu, dimulailah pencarian doktrin Islam yang mendukung gagasan demokrasi.

Memang, ada sejumlah pemikir muslim pembaru lain yang mencoba realistis. Ali Abd Raziq misalnya, meyakini bahwa Islam tidak mengatur persoalan politik, itu adalah wilayah kreativitas manusia. Mahmud Muhammad Taha bahkan menyatakan bahwa umat Islam perlu membuang sebagian doktrin Islam yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Meski begitu, arus besar pemikiran pembaruan Islam masih percaya tentang kompatibilitas Islam dengan demokrasi. 

Pertanyaannya, bagaimana kalau tidak ada doktrin agama yang membenarkan demo­krasi? Demokrasi kan sebuah konsep politik yang relatif baru. Paham ini datang jauh setelah Islam muncul di Timur Tengah. Wacana tentang ne­ga­ra modern di seluruh dunia ke­tika itu belum dikenal. Ba­gaimana mungkin ditemukan doktrin demokrasi pada ma­syarakat muslim awal yang belum bersentuhan dengan ide-ide ini?

Di Amerika Serikat dan Eropa, baru pada tahun 40-an dan 60-an warga kulit hitam dan perempuan memperoleh hak suara dalam Pemilu. Arti­nya, sebelumnya, warga kulit hitam dan perempuan tidak masuk dalam wilayah kebebasan politik. Jauh sebelumnya, ketika perbudakan masih terjadi, para budak sama sekali tidak memiliki hak-hak kemerdekaan politik.

Kebebasan warga negara untuk menentukan pilihan po­litiknya adalah gagasan yang sangat baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Apalagi jika kita masuk dalam mekanisme demokrasi yang lebih teknis. Dahulu, kelompok komunis yang menerapkan sistem partai tunggal juga menyebut diri­nya demokratis. Sampai kini, masih diperdebatkan apakah sistem multipartai lebih demokratis daripada sistem dua partai atau sebaliknya.
Di Indonesia, pemilihan langsung presiden dan wakil presiden baru saja kita praktikkan. Mekanisme ini muncul dari pemikiran bahwa membiarkan rakyat memilih langsung pemimpinnya jauh lebih demokratis daripada pe­mim­pin dipilih oleh perwakilan rakyat. Lalu yang paling mu­takhir adalah rakyat memilih wakilnya secara langsung dan tidak lagi mencoblos gambar partai.

Agama mana pun tidak per­nah membicarakan ini semua. Bukan hanya tidak membicarakan, acap kali doktrin agama bertentangan de­ngan prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karenanya, meski agama tidak membicarakan atau bahkan menolak, semua mekanisme hidup yang kita anggap baik sekarang ini mesti terus dijalankan. Ada saatnya kita berhenti memaksa agama untuk terus-menerus sesuai dengan perkembangan zaman.

08/11/2010 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (10)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

DEMOKRASI ibarat kue yang dinikmati dengan lahap oleh para maniak yang haus kekuasaan sambil mencaci maki koki yang memasak nya

Posted by Gofur  on  11/23  at  01:31 AM

Wah tolong penulis belajar sejarah Islam lagi, tolong perhatikan pd waktu setelah wafatnya Rasulullah pada waktu pemilihan khalifah Demokrasi dalam islam sudah ada sebelum negara barat punya pemikiran itu, namun suara rakyat dalam islam bukan berarti suara Tuhan / sesuatu yang pasti benar. tapi kebenaran hanya pada hukum Allah jadi demokrasi dalam Islam tidak sama dengan demokrasi Barat yang menjadikan dewa pada suara rakyat sehingga hukum bisa dibikin dengan suara terbanyak dak peduli benar / salah, ijtihad untuk mencari kebenaran boleh tapi harus merujuk pada Alquran dan Hadist karena akal kita ada batasnya.

Posted by bdrl  on  11/22  at  09:02 PM

Yg nendang,
Democratic itu artinya mari kita bicara,
Dan Autocratic itu artinya tutup mulutmu.

In the beginning was the Word
And the Word was with God
And the Word was God

Salam Damai!

Posted by Maren Kitatau  on  11/22  at  01:09 AM

Islam mengajarkan mengajarkan suatu ajarannya dengan penuh pemikiran yang amat mendalam,kalau demokrasi manusia menjunjung tinggi persamaan yang konsepnya memberikan hak yang sama kepada setiap individu sedangkan demokrasi islam menjunjung tinggi keadilan yang konsepnya memberikan hak yang sesuai dengan porsinya bagi setiap individu,kalau dilihat dari konsepnya memang konsep persamaan ini lebih toleran,lebih demokratis,lebih adil dibandingkan dengan konsep keadilan islam yang memberikan hak yang sesuai porsinya.akan tetapi kalau kita lihat lebih mendalam konsep keadilan ini jauh lebih toleran,lebih demokratis dan lebih adil dibanding konsep persamaan,sebagai contohnya hak waris dalam islam menetapkan bahwa laki-laki memperoleh satu bagian dan perempuan memperoleh setengah bagian dari laki-laki,kalau kita melihat konsep ini memang akan jauh dari kata toleran,demokratis,adil dan persamaan namun kalau kita lihat esensi dari peran antara laki-laki dan perempuan akan memberikan pandangan yang berbeda,seorang laki-laki diberikan peran didunia ini sebagai kepala keluarga dalam keluarganya kelak,ketika dia menikah dia harus memberikan mahar kepada calon istrinya dan ketika telah menikah seorang laki-laki itu harus menafkahi istri dan anaknya kemudian seorang perempuan ketika dia akan menikah dia akan diberikan mahar oleh calon suaminya dan setelah menikah dia tidak diwajibkan untuk menafkahi suaminya,sehingga peran seorang laki-laki akan lebih membutuhkan materi dari pada peran perempuan.
kemudian dalam hal kepemimpinan pun merupakan hal yang sama,sebuah kepemimpinan akan kurang tepat jika diberikan kepada seorang perempuan,setiap perempuan pasti tidak akan bisa menghidari kodrat keperempuanannya,ketika dia menikah seorang perempuan akan mengalami masa kehamilan selama 9 bulan kemudian setelah lahir anak tersebut dia harus mengasuh,mendidik anaknya,memberikan porsi waktunya yang lebih kepada keluarga dan dengan demikian masalah-masalah kepemimpinan yang memerlukan porsi tenaga dan pikiran yang tidak sedikit akan menjadi terhalang.dengan demikian islam memberikan pengajaran keadilan yang sesuai dengan porsi dan peran dari setiap individu tersebut,adil tidaklah harus sama melainkan adil itu memberikan porsi yang sesuai dengan perannya masing-masing sehingga akan menciptakan suasana yang lebih toleran,lebih demokratis dan lebih adil.Wallahu A’lam

Posted by rifki akbar  on  11/18  at  04:25 PM

demokrasi tdklah perlu dibenarkan agama apapun termasuk islam, yg penting demokrasi bs dibenarkan hanya dari “output” nya yaitu kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan

Posted by Pangesti Sejahtera  on  11/13  at  03:08 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq