Berharap Pada NU - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
17/07/2006

Berharap Pada NU

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Ketika sebagian umat Islam mempertanyakan eksistensi Pancasila, lewat Muktamar NU ke 27, 8-12 Desember 1984, di Situbondo, NU mengukuhkan keputusan Munas Alim Ulama NU 1983 yang menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas bernegara. Keputusan ini mendahului kehadiran UU Nomor 8 tahun 1985 yang mengatur organisasi kemasyarakatan di negeri ini.

17/07/2006 05:18 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (13)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Saya pribadi adalah seorang NU dan bangga menjadi bagian ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Keislaman dalam NU lebih romantis dan hangat karena tidak menafikan budaya lokal seperti tradisi tahlilan, khaul, talqin dan masih banyak lagi. NU tidak pernah menyuruh pengikutnya untuk mengenakan jubah putih, memelihara janggut, sering bersujud hingga hitam keningnya, atau turun ke jalan meneriakan kata2 kafir kepada ummat lain. NU melalui pemuda Anshor bahkan melindungi gereja2 saat sebagian ummat Islam lain akan merobohkannya karena berbagai kesalahpahaman atau tiadanya izin resmi. Inilah ormas yang mempunyai kekuatan yang sebenarnya dalam membentengi kebinekaan di Indonesia. Tanpa NU, wajah Islam di Indonesia mungkin akan berbeda dan kering.

Tapi sayang, wakil NU di MUI KH Ma’ruf Amin malah sekarang menjadi penggagas fatwa pengharaman pluralisme. NU di organisasi yang sering mengeluarkan fatwa kontroversial ini justru menjadi wajah kontradiktif akan sebuah ormas yang penuh toleran dang apresiasi terhadap agama lain karena dimotori oleh seorang Abdurrahman Wahid.

Saya berharap, NU tetap menjadi pilar penting dalam menjaga wajah Islam di Indonesia yang penuh kedamaian, Islam yang lebih mementingkan substansi daripada pengagungan simbol Arabisme.

#1. Dikirim oleh TONI WAHID  pada  17/07   11:08 PM

Demokrasi, saat ini diakui sebagai sistem terbaik bagi pemerintahan sebuah negera. Hubungan antara Islam dan demokrasi, dalam arti, potensi demokratis Islam sebagai sebuah agama, budaya dan peradaban masih tetap merupakan masalah yang kontroversial. Demokrasi sebagai sebuah fenomena sejarah dalam kehidupan manusia –entah siapa yang pertama kali menciptakan istilah itu, merupakan buah dari pergulatan yang amat panjang, di mana manusia berupaya untuk mencapai apa yang disebut dengan kebebasan, persamaan, dan hukum dalam sebuah sistem kehidupan bermasyarakat (baca: negara).

Siapa yang seharusnya menjadi pemimpin dalam suatu masyarakat bangsa atau negara; bagaimana pemimpin diangkat; apa saja hak pemimpin dan yang dipimpin; dan seterusnya, merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang medasar dalam wacana demokrasi. Pada satu sisi, umat Islam meyakini bahwa Islam menyediakan tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang khas yang mereka harap akan terbangun.  Namun di sisi lain, tidak pernah selesai diperdebatkan seperti apa tatanan yang dimaksud oleh Islam tersebut. Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, demokrasi telah melahirkan sistem dan teknik tertentu bagi sebuah kehidupan bangsa dan negara, yang dengan menerimanya telah dianggap memasukkan unsur-unsur lain (baca: Barat) ke dalam Islam. Kaum Sunni, mempunyai pandangan berbeda dengan kaum Syi’ah mengenai konsep kepemimpinan dan negara. Soal Imâmah (kepemimpinan) dan negara, menjadi bagian penting dalam sistem keyakinan (akidah) dalam kaum Syi’ah. Tidak demikian halnya dengan Sunni yang menempatkan persoalan ini dalam wacana fikih (syari’at). Meski demikian, masalah pokoknya adalah bahwa setiap masyarakat ‘wajib’ mendirikan ‘lembaga negara’ untuk mengatur kehidupan masyarakat. Di kalangan Sunni sendiri, (Munawir Syadzali, 1991) ada beberapa pandangan mengenai negara. Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Rasyid Ridha, dan Abul A’la Al-Mawdudi, kurang lebih memberi pandangan yang sama tentang hal ini. Mereka berpendapat bahwa penyelenggarakan negara harus didasarkan pada ajaran Islam (baca: khilâfah) dan tidak boleh meniru-niru model pemerintahan Barat. Sementara itu, Ali Abdur Raziq dan Thaha Husain berpendapat bahwa Nabi Muhammad bertugas untuk menyeru umat manusia agar menjalani hidup yang mulia dengan membangun karakter yang beradab, dan tidak dimaksudkan mendirikan atau menjadi kepala negara. Adapun Muhammad Husein Haikal, penulis Hayât Muhammad dan Fî Manzil al-Wahyi, menolak anggapan tentang adanya sistem pemerintahan dalam Islam. Namun, ia juga menolak anggapan bahwa Islam semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Sang Pencipta. Menurutnya, Islam tidak mengajarkan bagaimana sistem pemerintahan, tetapi ia memberi nilai-nilai etika (standar moral) tentang bagaimana hidup dalam sebuah negara. Sebagai kelompok umat Islam yang ikut membidani lahirnya kemerdekaan dan pembentukan Republik Indonesia, NU telah melewati dinamika tersendiri dalam melihat hubungan antara Islam dan negara. Tesis NU sebagai kelompok Sunni adalah bahwa Nabi SAW tidak memberikan wasiat kepemimpinan kepada siapapun (berdasarkan HR. Bukhari dari Aisyah). Ini artinya bahwa masalah pengaturan masyarakat, negara, dan kepemimpinan berada di tangan umat. Untuk itu perlu dilakukan musyawarah (syûrâ) dalam memutuskan masalah-masalah yang berkaitan dengan umat, termasuk negara. Ini mengandaikan adanya hak suara, hak pilih, hak mengeluarkan pendapat, dan lain sebagainya yang menjadi bagian penting dalam sistem demokrasi. Oleh sebab itu, konsep syûrâ seringkali diidentikkan dengan apa yang disebut demokrasi. Ali Abdur Raziq, pada tahun 1926 menulis kitab Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm yang inti bahasannya adalah bahwa sebuah negara dapat diterima eksistensinya oleh Islam selama memenuhi tiga sendi pola kenegaraan, yaitu: keadilan (al-’adâlah); persamaan derajat (al-musâwah); dan demokrasi (asy-syûrâ). Dalam karyanya itu, Abdur Raziq juga menegaskan bahwa khilâfah bukanlah satu-satunya bentuk negara Islam. (Said Aqil Siradj, 1999:16). Kita tidak berada dalam posisi mengadili mana pandangan yang benar tentang konsep kenegaraan yang dijelaskan di atas. Kita perlu melihat persoalan ini dengan pemikiran yang jernih dan bijaksana. Bisa dijamin bahwa secara konseptual –terlepas dari bagaimana bentuk formal teknis operasionalnya-- penegakan keadilan (al-qisht); menjaga ukhuwwah; melakukan ishlâh, dan lain sebagainya akan diterima oleh kelompok manapun, muslim atau non muslim, dan dianggap sebagai nilai-nilai kemanusiaan universal yang harus dijaga dan diimplementasikan. Pemahaman inilah yang dipegang oleh kalangan NU ketika menerima Pancasila sebagai dasar negara, bukan syari’at Islam, karena memahami betul bahwa sila-sila yang termuat di dalamnya tidak mengandung segi-segi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, atau tujuan-tujuan syari’at Islam yang disebut maqâshid asy-syarî’ah. Begitu juga NU bisa menerima keputusan politis penguasa Orde Baru yang mengharuskan semua organisasi sosial (termasuk agama) menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asasnya, dan tidak mentolerir asas-asas yang lain. Bahkan dalam butir ke-4 Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila Dengan Agama (berisi 5 butir) yang disahkan oleh Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, ditegaskan, bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya. (Muhith Muzadi, tt. 61-62) Dalam lintasan sejarah bangsa-bangsa, kita bisa melihat ketika terjadi institusionalisasi “agama” atau semacam legitimasi “wahyu” dalam sebuah negara, bisa mengakibatkan tertutupnya akses publik terhadap kekuasaan dan tranparansi pemerintahan. Kita patut bersedih bahwa di beberapa negara yang mencoba mengikuti pola pemikiran Imam Ibnu Taymiah yang direduksi dalam bentuk pemerintahan monarkhi. Dampaknya tidak sederhana, warga kemudian terjangkit penyakit ‘pentaqdisan’ (baca: pengkultusan atau pendewaan) terhadap penguasa karena diyakini sebagai pihak yang mengendalikan pemberlakuan agama melalui institusi ‘negara’ yang dipimpin (baca: dikuasai)-nya. Institusionalisasi agama ke dalam bentuk negara boleh jadi melahirkan pemerintah yang baik (good government), tetapi belum tentu pemerintahan yang baik (good governance). Sekedar pemerintah yang baik dengan sistem administrasi dan instumen pemerintahan yang efektif, mungkin bisa diwujudkan dalam kediktatoran sekalipun. Akan tetapi, membangun suatu struktur politik yang diterima oleh suatu masyarakat, dan karena itu, dapat diklaim sebagai struktur politik yang sah, dibutuhkan lebih dari sekedar administrasi yang baik. Administrasi yang baik, kata Immanuel Kant, tidak membuktikan apapun bagi pemerintahan yang baik. (Ulil Abshar Abdalla (ed.), 2002: 106-107). Dengan demikian, demokrasi (dalam tataran substantif; bukan teknis) harus dilihat sebagai frame perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai keadilan (al-‘adâlah), persamaan derajat (al-musâwah), menghargai perbedaan suku, budaya, dan agama (at-tasâmuh), kemerdekaan dan kebebasan berekspresi (al-hurriyah), solidaritas (at-ta’âwun) yang akhirnya akan mendorong pada terciptanya sebuah sistem yang berlandaskan syûrâ. Nilai-nilai itulah yang akan membuat masyarakat mampu membangun kebersamaan, menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai atau plularis, dan akhirnya pemerintahan yang baik. Wa Allâh A’lam. []

#2. Dikirim oleh Aji Setiawan  pada  18/07   12:08 AM

Sudah sangat sering terjadi, pemborosan energi dalam melakukan diskusi diakibatkan oleh perbedaan semantik yang seharusnya bisa dikurangi. Tentunya ini berasal dari penggunaan istilah-istilah yang bias. Sebagaimana dalam wacana hubungan antara agama (islam) dan negara (pancasila). Saya sepaham dengan maksud Sdr. Moqsith. Namun dalam hal pemilihan diksi untuk menggambarkan hubungan antara negara dan agama, saya kira secara filososis dan psikologis, penggunaan kata “dipisahkan” adalah tidak rasional. Menjadi lebih akomodatif terhadap kaidah2 di atas kalau istilah tersebut diganti menjadi “dibedakan”. Sehingga ketika menjabarkan maksud dari “perlunya dibedakan antara agama dan negara” akan menjadi lebih fair bagi setiap kelompok maupun individu. Terserah bagi setiap orang dalam bernegara untuk secara pribadi memisahkan ataupun mengambil spirit agama atau tidak. Yang pasti adalah setiap warga negara wajib mengikuti asas-asas hidup bernegara.

#3. Dikirim oleh Tamsil  pada  18/07   12:08 AM

Saya hanya ingin men-stressing beberapa statement dari ikhwan yang lain baik di forum ini maupun diluar sana, bahwa mari kita kembali kepada pemahaman Islam sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi kita. Bahwa Islam adalah bukan Arab, dan bukan pula NU atau pun Muhammadiyah. Islam bukan pula HTI, MMI, FPI dan bukan pula Wahhabi.

Islam sama sekali tidak mengenal istilah frase “masuk ke...” baik dengan pernyataan “si fulan dari ormas anu sekarang masuk ke...”, atau “si fulan belum mau masuk ke...”, atau “si fulan sih golongan anu tidak mau masuk ke..."atau dengan ungkapan yang lebih atraktif lagi,"bagaimana supaya si fulan mau masuk ke....”. Yang ada adalah kata “rujuk” atau kembali kepada sunnah untuk meluruskan perspektif keislaman kita.

Tentu kata yang mengikuti frase “masuk ke” adalah nama golongan, kelompok bisa juga mazhab-mazhab yang dituduhkan tersebut tanpa di-tabayyunkan terlebih dahulu ke kelompok yang dituduh. Inilah prestasi terbaik sepanjang jaman dari kelompok yang membenci Islam. Ada hal yang sangat menarik yang pernah saya alami bahwa ternyata yang dituduh sama sekali tidak mengerti dan memahami istilah istilah yang dinisbatkan ke mereka, karena memang mereka tidak memakai istilah tersebut dan parahnya lagi istilah itu merupakan sarana pengadu-dombaan umat Islam itu sendiri.

Sebutlah istilah wahhabi, istilah ini diambil dari nama seorang imam ahlu sunnah pada abad ke 12H yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang berjuang memurnikan ajaran tauhid dengan memberantas kemusyrikan yang merebak di tanah Arab ketika berjayanya Khalifah Ustmani Turki dimana banyak ulama saat itu yang diiris telinganya kemudian diarak karena menentang kebatilan yang merebak dimana-mana. Serangan kemudian dilancarkan kepada syaikh dan ia pun akhirnya difitnah dengan tuduhan menyebarkan bid’ah dan ajaran kebatilan.

Namun Allah senantiasa menolong hambanya yang membela agamanya ketika Amir Muhammad bin Saud mendukung perjuangan beliau hingga Makkah jatuh kembali ketangannya pada 1218 H dan kemusyrikan dihancurkan, serta kembali tegaknya tauhid dan syariat Islam. Yang lebih mengherankan adalah mengapa istilah yang dipakai bukan Muhammadi tetapi malah mengambil nama keluarga, yaitu wahhabi.

Istilah ini belakangan amat popular disematkan ke umat muslim yang mengikuti manhaj salafusshalih, ahlu sunnah wal jama’ah yang senantiasa membela sunnah. Banyak sekali praktek-praktek ibadah yang dahulu sempat dirusak oleh ahli bid’ah dan kaum musyrikin yang kembali dimurnikan oleh manhaj ini. Saya ambil contoh, tawassulan kepada wali atau bahkan Nabi kita ketika mereka sudah wafat. Ziarah kubur meminta pertolongan kepada ahli kubur orang-orang shalih, istighostah beramai-ramai dilapangan hanya untuk memenagkan calon pemimpin mereka dalam PILKADA, atau PEMILU. Naudzubillah.

Bahkan beberapa hari yang lalu saya sempat iseng membaca tabloid al-Kisah (maaf kalo terpaksa saya sebut namanya), disitu dimuat pernyataan seorang habib ketika mengadakan peringatan maulud Nabi secara besar-besaran bahwa dengan semakin sering memperingati maulud maka Jakarta tidak akan terkena bencana. Subhanallah, seharusnya pernyataan ini tidak dilontarkan oleh seorang habib yang justru menimbulkan misinterpretasi terhadap masalah qada & qadar yang semata-mata hanya milik Allah dan tidak ada campur tangan dari siapapun sekalipun Nabi Muhammad SAW. Marilah kita kembali memurnikan tauhid kita. Karena rahmat Allah hanya kepada orang-orang yang memaknai kalimat tauhid dengan sesungguhnya. Buat apa organisasi yang kita bela menang atau berkuasa namun kita masih lupa akan kemusyrikan yang selalu kita lakukan. Kadang kita tidak sadar kita melakukan ibadah shalat namun sejalan dengan itu kita masih juga melakukan khurafat bahkan kemusyrikan. Wallahu a’lam bishawab.

#4. Dikirim oleh Abu Fatih  pada  18/07   08:07 PM

Saya sangat mendukung pernyataan Bapak Tomi Wahid bahwa NU lebih romantis. Dan saya sendiri sebagai salah satu orang non-muslim sering mendengar komentar dari orang-orang di sekitar saya bahwa NU itu jauh lebih sejuk, damai, dan mau menghormati serta bisa menjadi teman baik bagi umat lain karena fleksibel/dapat menerima perbedaan suku, ras, budaya, dan kepercayaan orang lain. Andai saja di Indonesia ini tidak ada NU, bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi sebab banyak ormas-ormas lainnya sangat sering menonjol-nojolkan kelompok/golongannya dan senang menampakkan kekerasaan,kekasaran, fanatik berlebihan, kebencian, dan permusuhan dengan orang-orang/kelompok lain yang berbeda faham/pendapat/keyakinan. Mereka sangat sulit menerima perbedaan, khususnya faham dan keyakian kelompok lain, padahal perbedaan itu, seperti beda rupa, beda fisik, beda kemampuan, beda pemikiran, beda pendapat, beda sifat, beda sikap, beda watak, bahkan sampai beda faham, beda kepercayaan, beda budaya, beda adat istiadat, beda suku, beda lokasi, dll adalah diciptakan oleh Tuhan yang Maha Agung agar isi dunia ini kaya, lengkap dan saling isi mengisi. Tetapi lantas kenapa banyak orang mengingkarinya dan tidak suka perbedaan itu ?? Mereka maunya semua itu sama /seragam bahkan satu warna!! Apakah mereka menolak hukum kodrat/hukum alam itu ?? Apakah makna “Damai” dan “Selamat” itu belum dipahami atau baru hanya sebatas pintar berteori saja??

Selama terus saja digaungkan keras-keras istilah, kaum sesat, orang kafir, haram kepada umat lain/kelompok minoritas , maka dendan, kebencian dan permusuhan itu akan tetap berkobar-kobar, dan tidak bakal ada kekuatan yang bisa menghentikannya kecuali kekuatan hukum alam dan hukum Tuhan Yang Maha Adil karena hanya Beliaulah Yang Maha Tahu, Maha Kuasa dan Maha Adil terhadap segala ciptaanya di dunia ini.

Namun demikian, saya masih tetap berharap bahwa masalah di Dunia ini khususnya di Indonesia, ormas NU semoga tetap menjadi pembawa kesejukan , cinta dan perdamaian kepada semua umat manusia. Laksana Sang Surya menyinari seluruh jagat raya ini secara adil dan bijaksana terhadap segala yang ada di dunia ini, tanpa membeda-bedakan : suku , ras, budaya dan keyakinannya !! SEMOGA

#5. Dikirim oleh Sari  pada  18/07   08:07 PM

Nu sbg organisasi islam dlm berasas memang lebih bercorak islam kultural dari pada islam formal corak nu dlm berdakwah adalah pararel dengan apa yg di lakukan wali songo bhw berislam tidak harus melepas identitas budaya qta sbg bangsa indonesia krn itulah nu menyadari bhw kemajemukan adalah sebuah keniscayaan yg harus di jaga supaya tetap dalam bingkai rahmah yg sesuai dg inti tujuan ajaran islam

#6. Dikirim oleh Misbah ms  pada  19/07   09:08 AM

Jika merujuk pada teks-teks dalam Kitab Suci, tidak ada satupun ayat yang dengan gamblang menjelaskan tentang bernegara. Tidak sebanding dengan teks-teks urusan lainnya, misalnya haji, AlQuran memberikan penjelasan rinci. Bahkan penjelasannya pun terdapat di berbagai surat. 

Kalaupun ada ayat-ayat yang menyinggung tentang negara, itu pun sebatas interpretasi, misal, baldah (balad, bilad) dan qura (qaryah), al-mulk, dulat (diwal) yang jika diterjemahkan melahirkan berbagai interpretasi, yang pasti tidak ada bentuk yang jelas apa dan bagaimana negara dalam Islam. Para Imam Mujtahidin yang termasyhur(Maliki, Hanafi, Syafiiy dan Hambali) memasukkan urusan bernegara bagian dari Fiqih Siyasah. Dan yang namanya fiqih, apapun jenisnya, bersifat ijtihadi, yang berarti masih belum pasti. Masih besar peluangnya untuk diamati, dikritisi, dirubah, diutak-atik, bahkan ditolak. Sebab itu sekedar produk dari proses pemikiran manusia yang tentu tidak bisa dijadikan standar universal.

Secara substansial, Islam mengajarkan etika untuk hidup bermasyarakat dan bernegara, bukan bentuk negaranya.

#7. Dikirim oleh Agus Sulthonie  pada  19/07   10:08 AM

Akhirnya kepenasaran saya terhadap di mana Jngkar NU dalam wacana islam di Indonesia sedikit terobati dengan adanya muktamar bulan Juli ini. Sedikit terobati karena saya belum mendengar pasti ke mana jangkar NU dan ulamanya akan ditancapkan. Kalau beberapa waktu lalu saya bertanya-tanya “QUO VADIS NU”, mungkin kata-kata itu akan saya ganti “NU dan ulamanya emang Hebat deh!!!” Penghargaan serta kekercayaan saya terhadap NU akan semakin kuat karena keberanian NU berani bertarung demi kedamaian dan keselarasan hidup bernegara. Saya memang lebih berharap pada NU sebagai salah satu kapal penting dalam kehidupan demokrasi di NKRI ini daripada institusi lain berdasarkan faktor kesejarahan negeri ini.

Pribumisasi islam di Indonesia memang salah satu cara yang sangat tepat berkaitan dengan kondisi nyata Indonesia yang tidak akan bisa lepas dari kearifan lokal sebagai dasar eksistensi Indonesia, dan bukan “kearifan import” yang pada dasarnya kontradiktif dengan keberagaman bangsa kita.

Jadi, NU, KAMU BISA!!! sangat relevan saya teriakkan kepada NU dalam menghadapi pergulatan kehidupan berbangsa dan bernegara di indonesia, yang terus terang sangat melelahkan.

Dan BUKTIKAN MERAH PUTIHMU!!!! adalah tantangan besar untuk NU dan kearifan ulamanya dalam menghadapi “warna-warna” lain yang semakin marak dan menyeramkan di Indonesia.

#8. Dikirim oleh Wahyu W  pada  20/07   09:08 PM

Saya sebagai warga non muslim berpendapat bahwa NU sebagai organisasi kemasyarakatan sangat cocok dengan kehidupan di Indonesia. Tidak seperti organisasi radikal lainnya yang hanya bisa mengobarkan kekerasan dan dendam kepada umat lain, NU lebih plural dan bisa menerima perbedaan. Hal ini bukan saja karena pemimpinnya Gus Dur, tapi sistem NU memang sesuai dengan corak kehidupan di Indonesia. NU bisa menyesuaikan diri dengan sosial kultural masyarakat Indonesia.  Untuk organisasi dan orang-orang radikal islam, percayalah apa yang kalian lakukan hanya menambah kebencian di kalangan non muslim kepada islam, apalagi teknologi komunikasi sekarang udah begitu maju, apa yang mereka lakukan langsung diketahui penduduk Indonesia bahkan dunia. Memang tidak semua orang muslim seperti itu, contohnya NU dan JIL, tapi apa yang mereka lakukan telah membentuk opini masyarakat bahwa Islam itu adalah kekerasan!! Hal ini lama kelamaan akan mengarah pada disintegrasi bangsa Indonesia.

#9. Dikirim oleh Rudi Tan  pada  23/07   07:07 PM

Alhamdulillah NU munas lagi, semoga para Ulama’ kita bisa ber-MUNAS dengan lancar. semoga kemanfaatan dapat dirasakan warga NU yang Miskin, Lapar, Putus Sekolah, Nganggur, Sengsara..... Kami rindu sosok Ulama’ terdahulu yang mengayomi, memberikan keteduhan, dan dapat kami jadikan tempat curhat ketika kami susah… Kami sungguh TIDAK BANGGA melihat momen formalitas itu sering terjadi tapi tidak ada kemanfaatan yang kami rasakan secara langsung..... Jujur kami masih tetap sangat berharap banyak pada NU!!! semoga Ke’arifan dan Ketulusan itu tetap ada!!!!

#10. Dikirim oleh Alfin  pada  24/07   09:08 PM

Bismillah. bagaimanapun juga NU harus mampu menjawab persoalan2 yang ada jika tidak maka peran itu diambil oleh ormas yang berhaluan beda. Harapan saya NU = SOLUSI

#11. Dikirim oleh muhammad Sueb  pada  28/07   12:07 AM

Jika dibilang diantara semua ormas yang bernuansa keagamaan, maka yang tetap mempertahankan budaya bhinneka tunggal ika, serta tidak mempunyai fanatisme, dan tidak menjajah maka yang kupilih adalah NU. Mempribumisasikan islam di negara yang serba beragam budaya adalah pekerjaan orang kafir, dalam konteks ini kaum muslim sering menganggap dirinya yang paling bersih diantara paling bersih, sehingga sering menimbulkan keresahan bagi umat lain.contoh dekat adalah bahwasanya dengan diterapkanya perda sya’riat islam sudah barang tentu menimbulkan keresahAn bagi umat lain, serta tidak memberikan kebebasan kepada umat lain.Tetapi dalam masalah ini sangat disayangkan NU tidak ikut memberikan tanggapan, dengan memilih diam. Umat islam bukan segala-galanya dalam kehidupan, bukan berislam jadi jaminan untuk maju dan pintar serta bijak,muslimin dan muslimat juga manusia punya keterbatasan, kadang atribut bukan menunjukkan yang sebenarnya.

#12. Dikirim oleh ZAIANAL SIMATUPANG  pada  04/08   11:09 PM

apa yang dimaksud substansi islam? apakah setiap keadilan merupakan islami? bagaimana kalau kita harus bersikap adil ketika penduduk asli di sekitar PT Freepot miskin? apakah kaum liberal membela si miskin atau karena alasan undang undang mendiamkannya? setiap adil belum tentu islam, tapi adil yang sah menurut iman dan syariat. Mengapa kita tidak mengatakan formalitas demokrasi tidak perlu?? yang penting substansinya. Formalitas Pluralisme tidak perlu? Formalitas Sekulerisme tidak perlu? yang adil donk kalau menilai islam, jangan hanya liberalisme saja yang dibela.
-----

#13. Dikirim oleh agus indratno  pada  10/08   05:09 AM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq