Cahaya Harold Bloom - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
19/06/2006

Cahaya Harold Bloom

Oleh Hamid Basyaib

Yang menyatakan hal itu bukan dosen Jurusan Tafsir ataupun dekan Fakultas Dakwah UIN. Yang menegaskannya adalah Harold Bloom, profesor sastra di Universitas Yale, AS, dalam karya mashurnya, Genius: A Mosaic of One Hundred Exemplary Creative Minds. Ia menyanjung Quran dalam bab khusus tentang Nabi Muhammad, yang dinobatkannya sebagai salah seorang jenius sastra terbesar dalam sejarah.

Injil Ibrani, secara keseluruhan maupun bagian-bagiannya, merupakan teks yang sangat sulit dipahami. Injil Yunani (Perjanjian Baru) membingungkan dan (ayat-ayatnya) saling bertentangan. Sedangkan Alquran Arab ternyata sungguh terbuka dan jernih, sangat konsisten dan benar-benar koheren.

Yang menyatakan hal itu bukan dosen Jurusan Tafsir ataupun dekan Fakultas Dakwah UIN. Yang menegaskannya adalah Harold Bloom, profesor sastra di Universitas Yale, AS, dalam karya mashurnya, Genius: A Mosaic of One Hundred Exemplary Creative Minds. Ia menyanjung Quran dalam bab khusus tentang Nabi Muhammad, yang dinobatkannya sebagai salah seorang jenius sastra terbesar dalam sejarah.

Muhammad adalah satu-satunya nabi yang dianggap jenius oleh Bloom. Pada Kristen ia bukan menyebut Yesus, melainkan Santo Paulus, penulis salah satu versi Injil. Dan pada Yahudi, ia bukan memasukkan Nabi Musa, tapi seorang tokoh dari masa sekitar seribu tahun Sebelum Masehi, yang oleh para sarjana hanya disebut “J” atau “Yahwist”.

Bloom, yang boleh dikata kritikus sastra (Barat) terbesar saat ini, secara khusus mengutip lengkap Surah An Nur ayat 35, “sebuah puisi yang sempurna pada-dirinya”, suatu “mukjizat tapi alamiah”, dan sama sekali tak mengandung unsur sektarian. Ia terutama takjub pada ungkapan “cahaya-atas-cahaya” (nur alannur) dalam surah itu.

Ceruk tempat cahaya-atas-cahaya bertahta, menurut tafsir Bloom, mungkin hati Muhammad; tapi pada akhirnya bisa hati siapa saja yang peka. Sebab, seperti disebut oleh ayat tersebut, “Tuhan membimbing kepada cahayaNya siapapun yang Ia kehendaki”. Pohon zaitun yang diberkahi dan merupakan sumber energi mahabening itu – minyak yang bercahaya cemerlang bahkan tanpa tersentuh api—tidak tumbuh di Timur maupun di Barat. Ia bisa mekar di mana saja. Atau tidak di mana-mana. Ia ada di manapun dan kapanpun suatu wawasan yang jernih memancar.

Bagi Bloom, cahaya yang dilukiskan secara memukau itu tepat dijadikan lambang Alquran. Ia adalah bukti lain tentang status otentik Quran sebagai kitab bagi siapa saja, bukan hanya bagi muslim.

Mungkinkah Harold Bloom sendiri tepercik cahaya-atas-cahaya? Boleh jadi.  Dengan ulasan memikat tersebut, ia membuktikan bahwa kitab suci yang bukan rujukan agamanya itu dapat diapresiasi dengan jernih dan tajam. Kita bisa menambahkan: mereka yang sejak lahir menjunjung Quran sebagai kitab suci agamanya pun mungkin luput dalam memahami pesan-pesan pokoknya dengan jernih.

Orang-orang seperti Bloom, yang beragama Yahudi dan juga dikenal sebagai pakar agama-agama, mampu menangkap inti-inti pesan Quran. Mereka sanggup memilah inti dari anjuran maupun ketentuan-ketentuan temporal dan situasionalnya, yang kerap justru dianggap permanen dan bersifat legal.  Kaum Muslim sendiri mungkin saja kehilangan wawasan dan daya tangkap yang persis terhadap inti pesan itu, dan justeru tertawan pada anjuran atau ide-ide Quran yang bukan merupakan inti pesannya sebagai pengarah langkah dan pedoman hidup.

Bloom menganggap kebangkitan spiritual Barat ditopang oleh tiga teks suci: Injil Yahudi (atau Perjanjian Lama, menurut perspektif Kristen), Perjanjian Baru, dan Alquran (inilah sebabnya ia membahas Quran dan Muhammad dalam buku yang mengulas sastra Barat itu). Ia heran mengapa orang Barat hanya membaca dua yang pertama, seraya sangat mengabaikan Quran – atau malah mengecamnya secara serampangan.

Ketika mereka kelak mulai mengikuti anjuran Bloom untuk membaca Quran, siapa tahu rekan-rekannya di Barat itu mampu membacanya secara setajam Bloom. Tapi kemampuan seperti itu lebih besar lagi kita harapkan terjadi pada pihak yang paling berkepentingan, yaitu umat Islam sendiri. Sebab, cara mereka membaca Kitab Suci adalah penentu wajah Islam hari ini – juga esok. []

19/06/2006 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Apabila anda dipuji oleh “seseorang” langkah yang bijak apa....?  Selami dan telaah apakah perkataan itu adalah kebenaran yang muncul dari hatinya ataukah hanya lipstik di bibirnya saja....? Bagi saya Jelaslah bahwa Kandungan Al-Quran adalah yang Terbaik karena apa...? Karena dalam Al-Quran kebenaranlah adanya, Otentiknya selalu di terjaga. dan yang Pasti Al-Quran bukanlah Karya Sastra… Tapi Firman-NYA, Al-Quran Adalah Ucapan dari Sang Maha Agung yang Kebenaran selalu menyertainya dan tidak ada keraguan di dalamnya...? Ingat.....! Mr Bloom Al-Quran bukan karya sastra tapi Firman dari Sang Maha Agung, dan Al-Quran bukanlah hasil Karya Sang Nabi Kita tapi… adalah Ucapan Sang Maha Agung yang disampaikan pada Rosulnya lewat malaikat Jibril.... saya rasa semua Penganut Agama tidak ingin bahwa kitab sucinya adalah karya Sastra...., walaupun Ontetiknya perlu dipertanyakan.... Wassalaaam, Iwan Mertady, Bumiayu.........
-----

Posted by Iwan Mertady  on  07/12  at  08:08 PM

Saya coba mengutip ulang kata-kata Bloom ini sbb:  Bloom menganggap kebangkitan spiritual Barat ditopang oleh tiga teks suci: Injil Yahudi (atau Perjanjian Lama, menurut perspektif Kristen), Perjanjian Baru, dan Alquran (inilah sebabnya ia membahas Quran dan Muhammad dalam buku yang mengulas sastra Barat itu). Ia heran mengapa orang Barat hanya membaca dua yang pertama, seraya sangat mengabaikan Quran – atau malah mengecamnya secara serampangan. Saya kira banyak orang Barat dan bahkan non Muslim yang tidak membaca Al Quran, tapi saya sangat meragukan kalau orang Barat atau non Muslim mengecam Al Quran secara serampangan. Saya mencaba menaruh posisi saya di pihak non Muslim. Apakah Muslim sudah membaca kedua kitab yang katanya spiritual Barat? Padahal Injil Yahudi (atau Perjanjian Lama, menurut perspektif Kristen), Perjanjian Baru itu dikatakan dalam Al Quran sebagai kitab yang benar dan lurus. Saya tidak bermaksud mengecilkan hati para muslim disini, tapi saya malah menantang para Muslim untuk membaca kedua kitab tersebut sehingga kita sebagai muslim berhak mengatakan bahwa pihak Barat atau non Muslim sering mengatakan atau mengecam Al Quran/Muslim secara serampangan. Kalau Kita belum membacanya maka sebaiknya kita urungkan saja niat kita untuk mengatakan bahwa pihak Barat atau non Muslin sering mencap/mengecam Al Quran/Muslim secara serampangan. Wasaalam Munirsjaf

Posted by Munirsyaf  on  06/24  at  05:07 AM

Pujian telah dikumandangkan dari barat, sebuah sinyalemen positip agar kaum radikalis (FPI, HTI, DLL) dapat bertindak lebih dengan hati. Barat belum tentu musuh yang harus dimusnahkan!!! Mr. Bloom telah memberi pencerahan bagi kita semua, nggak semua orang barat jahat dan anti islam, malah kadang-kadang banyak hal yang dapat kita peroleh dari mereka (barat) seperti pandangan Mr. Bloom dan yang lainnya. Barat tidak menggunakan syariat sebagai panduan mereka untuk pengembangan wawasan mereka tapi tercipta dari hati nurani. Kehebatan tekhnologi yang boleh kita nikmati saat ini tidak tercipta karena adanya syariat atau sejenisnya. Hilangkan prasangka, lawan musuh dengan cinta dan biarkan Tuhan menistakan mereka yang membenci-Nya, Tuhan sanggup untuk itu karena Dia adalah Yang Maha. Wassalam.

Posted by Wilet  on  06/22  at  10:06 PM

Adalah keharusan bagi kita untuk meyakini bahwa Al-Qur’an bukanlah karya sastra meskipun gaya bahasanya sangat indah dan mempesona. Keindahan gaya bahasa hanyalah bagian dari kemukjizatan Al-Qur’an. Bloom- meski secara implisit- berusaha menyampaikan bahwa Al-Qur’an adalah karya Muhammad yang jenius, dengan demikian Al-Qur’an dengan mudah direduksi menjadi sebuah karya sastra. Pendekatan seperti ini tidak beda dengan pendekatan-sebut misalnya terhadap karya Shakespeare- yang sama sekali bertentangan dengan Status Al-Qur’an sendiri sebagai kitab suci dan pedoman hidup bagi Umat islam. Al-Qur’an dibaca untuk dipahami dan dipraktekkan, bukan untuk diresensi sebagai sebuah karya satra. Segi positif dari pendapat Bloom adalah bahwa kemukjizatan gaya bahasa Al-Qur’an terbukti dengan sendirinya. Akhir kata, marilah kita membaca buku apa saja terutama yang berisi pendapat tentang islam secara kritis dan senantiasa tidak melupakan mainstream pemikiran dan akidah Islam.

Posted by aminuddin  on  06/22  at  10:06 PM

Ungkapan jujur Mr. Bloom sepertinya menambah lagi deretan kekaguman peneliti al-qur’an non muslim terhadap kitab suci kita. Ini merupakan sinyalemen positif, suatu motivasi harus kita, bangun dari sini.

Namun sayangnya kita sering melakukan kesalahan dengan hanya merasa bangga dengan pujian itu, dan tidak menyadari bahwa itu hanaylah sebuah motivator yang tentu saja harus kita lanjutkan dalam pencarian dan penyingkapannya. Saudara Fajar juga jangan terlalu menjelekkan Kyai dan ulama. Memangnya siapa anda? Apakah anda lebih santun dari mereka. Kalau jadi muslim liberal itu harus murni. Saya curiga jangan-jangan anda sendiri yang kolot!! (maaf untuk anda)

Posted by Ahmad Faizin Karimi  on  06/22  at  12:07 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq