Dawam dan Citra Muhammadiyah Yang Hilang - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
29/01/2006

Dawam dan Citra Muhammadiyah Yang Hilang

Oleh Luthfi Assyaukanie

Pemecatan M. Dawam Rahardjo dari keanggotaannya di Muhammadiyah menambah satu lagi catatan buruk sejarah kontemporer Muhammadiyah. Pemecatan ini merupakan kulminasi dari proses puritanisasi yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah sejak dua tahun terakhir. Benar bahwa ada sebagian pemimpin organisasi ini yang cukup progresif dan liberal, seperti Ahmad Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, dan Amien Abdullah, tapi keberadaan mereka tertutupi dengan banyaknya kaum puritan non-liberal yang menguasai cabang-cabang dan ranting-ranting.

29/01/2006 20:51 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (23)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 2 halaman 1 2 >

Dawam Rahardjo adalah salah satu dari sekian banyak intelektual islam yang saya kagumi karena pemikirannya.

Karena itu.. berita tentang pemecatannya dari Muhammadiyah terasa menyesakkan, betapa tidak Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasinya orang sekolahan ternyata masih belum dapat berdemokrasi secara baik, dan masih saja belum dapat menerima bentuk pemikiran alternatif.

Kalau gitu..apa gunanya Muhammadiyah???

#1. Dikirim oleh rynal may f  pada  30/01   05:02 AM

Pemecatan yang di lakukan Dewan Muhammadiyah kepada M. Dawan Rahrja, semata melihat sisi kemashlahatan bersama. dan ini sama sekali tidak mengindikasikan kulminasi dari proses puritanisasi. Maaf !, saya mengatakan hal demikian bukan berarti karena oposisi kepada penulis. Akan tetapi bukankah segala sesuatu itu mesti dicari dulu kebenaran data atau informansi. Dan satu lagi tergadang dalam penilaian manusia jelek tapi di sisi Allah justru terbalik baik.

#2. Dikirim oleh Muhammad Darwis  pada  31/01   01:01 AM

perkembangan Muhammadiyah cukup mengkhawatirkan bagi saya, lembaga yg “pernah” menjadi pengusung pembaharuan Islam degan membuka pintu Iztihad. Kini menjadi lembaga yang cenderung mengarah otoriter seperti MUI, apalagi ketika Dien Syamsudin terpilih sebagai ketua umum. Dien menurut saya tokoh yg agak keras & kurang toleran terhadap perubahan. Lihat saja sikapnya yg ikut mendukung fatwa MUI bahwa Ahamdiyah sesat.

Sementara Syafii Maarif (mantan ketua PP Muhammadiyah) menolak fatwa tersebut dgn alasan hak kebebasan agama adalah hak asasi dasar yg harus dihormati. Saya berharap Muhammadiyah dapat memilih kader-kader yg progresif karena masih banyak tokoh-tokoh yg lebih liberal dapat dijadikan panutan, agar grass root tidak terjerumus ke arah fundamentalisme.

#3. Dikirim oleh t handayanto - Ciledug  pada  31/01   07:01 AM

Perihal “pemecatan” Pak Dawam Rahardjo dari organisasi Muhammadiyah pada hakikatnya bisa jadi merupakan sebuah ciri/pertanda bahwa memang pada kenyataannya kebanyakan organisasi masyarakat yang ada di Indonesia “belum siap” untuk mengakomodir adanya “perbedaan”, pun itu bagi organisasi sebesar Muhammadiyah. Namun, kita tidak seyogyanya “menuding” bahwa hal itu menunjukan citra Muhammadiyah yang hilang.  Menurut hemat saya tidak hilang, hanya memudar dengan adanya fenomena tersebut.

Mengapa kita selalu cenderung untuk “menghakimi” pihak lain yang kita pandang “melenceng” dari kebenaran ?.  Padahal pada hakikatnya, dalam hidup ini kita (manusia) tidak akan pernah mampu mencapai “kebenaran mutlak”, mungkin kita hanya diberi kemampuan menangkap sebuah kebenaran yang menghampiri “kebenaran mutlak”. Jika “kebenaran mutlak” ditampakan, justru mungkin sebagian besar dari kita akan memungkirinya, dengan beragam alasan seperti ;” itu tidak lain tidak bukan melainkan sihir semata”, atau “itu bid’ah” ; atau “itu kufur” dsb.  Hal itu sama halnya yang terjadi pada umat-umat terdahulu, ketika para Nabi dan rasul-Nya membawa berita tentang kebenaran, pasti selalu mendapat tantangan.

Kesimpulannya, kita harus berusaha untuk dapat mengambil hikmah/pelajaran dari “pemecatan” Pak Dawam Rahardjo, agar dikemudian hari, kita dapat lebih arif dalam mengakomodasi atau bahkan menolak sebuah perbedaan.  Karena kita sudah sama-sama mengetahui, bahwa pada hakikatnya perbedaan juga merupakan salah satu dari rahmat & karunia-Nya pula. Jika Tuhan menginginkan umat ini satu, maka sudah dari dulu manusia ini satu dan tidak akan timbul perbedaan.  Tapi perbedaan adalah sunatullah, maka mengapa kita berani menantang (ingkar) terhadap sunatullah ?. Tidak ada persoalan yang tidak dapat dimusyawarahkan dalam hidup ini, jika memang kita sama-sama memiliki niat dan hati yang bersih untuk senantiasa mengaharap ridha dan ampunan-Nya.  Wallhua’lambishawab.

#4. Dikirim oleh rais sonaji  pada  01/02   06:02 PM

Sehubungan dengan tulisan Saudara Luthfi Assyaukanie, “Menyimak Pemecatan Dawam”, pada rubrik Kajian (asuhan Jaringan Islam Liberal) di Harian Jawa Pos pada hari Jumat tanggal 27 Januari 2006 yang lalu, Lembaga Hukum dan HAM PP. Muhammadiyah merasa perlu menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Opini tersebut benar-benar tidak mencerahkan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Penulis terkesan hanya mengambil informasi dari satu pihak tanpa melakukan klarifikasi terlebih dahulu kepada Ketua Umum PP. Muhammadiyah atau kepada pengurus Muhammadiyah yang lain. 2. Terkait dengan kasus ini, yang benar adalah bahwa banyak desakan dari warga Muhammadiyah dari daerah-daerah untuk memecat Dawam Rahardjo dari keanggotaan Muhammadiyah. Namun sampai sekarang, belum ada putusan resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang status keanggotaan yang bersangkutan, bahkan belum pernah dibicarakan. Ada saran yang mengatakan bahwa tidak usah memecat karena yang bersangkutan sudah “memecat” dirinya sendiri dari Muhammadiyah yaitu dengan sering menampilkan sikap dan pandangan yang meremehkan pandangan resmi organisasi. 3. Perlu ditambahkan bahwa Saudara Dawam Rahardjo sudah pernah dipecat dari jabatannya sebagai pembina bidang ekonomi PP. Muhammadiyah pada periode yang lalu. Alasan pemecatan tersebut dikarenakan yang bersangkutan dianggap tidak bertanggung jawab dalam penyelesaian badan amal usaha milik Muhammadiyah, termasuk menyangkut Bank Persyarikatan Indonesia yang diprakarsainya sehingga merusak citra Muhammadiyah.  4. Bilamana Saudara Lutfhi Assyaukanie ingin meminta penjelasan lebih detail tentang status Dawam Raharjo di Muhammadiyah, maka dengan senang hati kami akan menjelaskannya.

Demikian surat ini disampaikan dengan harapan di masa yang akan datang Saudara Lutfhi Assyaukani dapat menulis opini yang lebih mencerahkan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Sekretaris,

Saleh Partaonan Daulay, M.Hum

Tembusan: 1. Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta dan Yogyakarta 2. Pemimpin Redaksi Harian Jawa Pos 3. Saudara Lutfhi Assyaukanie 4. Arsip

#5. Dikirim oleh Saleh Partaonan Daulay  pada  02/02   12:02 AM

Membaca tulisan Lutfi Asyaukani di atas saya jadi bertanya.. Sebenarnya siapa yang tidak menghargai perbedaan itu? Anda atau orang-orang di Muhamadiyah? Anda punya pandangan sendiri..orang-orang di Muhamadiyah pun punya pandangan sendiri.. Jadi mari kita sama-sama saling menghargai perbedaan itu…

Sebenarnya kalau kita mau jujur kepada diri kita sendiri,sebagai orang Islam seharusnya kita melihat segala sesuatu berdasarkan ajaran yang telah ditentukan dalam agama Islam,yang kita yakini kebenaranya..apabila dalam ajaran Islam dikatakan hitam..ya kita harus mengatakannya hitam juga jangan kita katakan menjadi putih..adakalanya sesuatu itu bisa kita pikirkan menurut akal kita,.ada pula yang harus kita yakini kebenarannya meskipun tidak bisa kita pikirkan dengan akal kita...saatnya kita jujur kepada nurani kita

#6. Dikirim oleh gunawan  pada  02/02   05:02 AM

Dawam Rahardjo adalah salah satu pemikir dan pembaharu Islam yang cukup progresif di Indonesia. Beliau berani mengungkapan “Islam” pada hakikatnya terlepas dan tanpa memandang Muhammadiyah sebagai golongan dan organisasi Islam pada umumnya. Pandangan pandangannya seharusnya telah “membuka mata hati” para petinggi, pengurus, anggota Muhammadiyah bahwa “kebenaran-Nya” tidak memandang golongan atau milik golongan tertentu atau golongan manapun. Tetapi ada hikmah di balik pemecatan mas Dawam Rahardjo dari Muhammadiyah, yakni beliau secara hakekat telah “dilepaskan” dari golongan dan mudah mudahan kini berada diatas golongan manapun dalam mengungkap kebenaran-Nya. Teruskan perjuangannya dalam menegakan kebenaran Islam yang sejati.

#7. Dikirim oleh Hadrian Nataprawira  pada  02/02   06:03 PM

PAK DAWAM ADALAH ANAK ZAMAN YANG SELALU DIBUTUHKAN OLEH SEBUAH PERADABAN UMAT MANUSIA. PAK DAWAM ADALAH MILIK KITA, KITA SEBAGAI UMAT MANUSIA, BUKAN KITA SEBAGAI MUHAMMADIYAH SAJA SECARA SEMPIT.

#8. Dikirim oleh MISHAR  pada  03/02   12:02 AM

Keberhasilan Muhammadiyah tampak kurang diimbangi dengan kemajuan “pemikiran keagamaan”nya. Memang karya nyata Muhammadiyah dengan ribuan amal usahanya tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Kontribusinya bagi kemajuan bangsa juga sama-sama kita akui. Namun dalam hal pemikiran keagamaan Muhammadiyah terkesan “mandeg”. Mungkin anggapan semacam ini kurang bisa diterima oleh warga Muhammadiyah karena Muhammadiyah memang telah melakukan upaya pendidikan di berbagai aras kehidupan dan berbagai lapisan usia/jenjang pendidikan. Muhammadiyah juga membentuk beberapa badan intra organisasi seperti Badan Pendidikan Kader, Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, Diktilitbang, Majelis Pustaka dan sebagainya yang tentunya tidak menutup mata dari perkembangan pemikiran keagamaan dan mengindikasikan progresifitas pemikiran Muhammadiyah. Namun kemajuan pemikiran keagamaan yang saya maksud, tidak cukup hanya diukur dari banyaknya lembaga yang dimiliki, tapi seberapa kaya perspektif pemikiran dalam Muhammadiyah, dan bagaimana peranannya serta seberapa lihai menanggapi perubahan zaman.

Sebagai organisasi yang sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muhammad Abdul Wahhab, tidaklah aneh jika nuansa puritanisme dalam tubuh Muhammadiyah dirasa cukup kental. Tapi saya melihat bahwa tujuan awal didirikannya Muhammadiyah bukanlah purifikasi. Muhammadiyah lahir sebagai pelopor yang menggunakan pembenaran teologis untuk membawa masyarakat yang tradisionalis dan agraris ke arah modernis dan Industrialis.

Jadi meskipun dengan pembenaran teologis namun tujuannya adalah transformasi sosial ke arah modernisasi. Dengan kata lain “pembaruan untuk kemajuan”. Pembenaran teologis yang diusung Muhammadiyah identik dengan pemberantasan TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat). Sikap melawan takhayul ini sempat memaksa Muhammadiyah untuk berseberangan jalan dengan para Priyayi Kraton dan kaum feodal pribumi yang dekat dengan Islam Sinkretik (Abangan). Sementara sikap anti bid’ah dan churafat membawa Muhammadiyah pada perseteruan dengan Islam tradisionalis yang diwakili beberapa Kyai dan masyarakat pesantren (kaum santri). Pembenaran teologis yang diusung Muhammadiyah dengan semangat “ad fontes” (kembali ke sumber asli) sering didengungkan dengan jargon “kembali pada AlQuran dan as Sunnah” serta “ ‘amar ma’ruf nahiy munkar” yang tidak hanya melegitimasi purifikasi tapi juga membuka pintu fanatisme organisasi serta peluang eklusifisme. Sikap eklusif dan fanatis yang biasanya justru menggejala pada warga Muhammadiyah di tingkat grass root menambah potensi kemandegan pemikiran keagamaan Muhammadiyah.

Kalau dahulu Muhammadiyah mampu melakukan transformasi sosial dengan melepaskan “beban kultural” dan diganti etos kerja baru dengan pembenaran teologis, lalu mengapa sekarang Muhammadiyah terkesan lebih memilih bersikap “malu-malu” untuk menghadapi perubahan sosial kontemporer tanpa mau melakukan pembaharuan pemikiran keagamaan. Alih-alih melakukan rethinking, sekarang Muhammadiyah malah memandang sebelah mata terhadap orang-orang yang menggagas pembaruan semisal Syafi’i Ma’arif, Amin Abdullah dan Dawam Raharjo. Maka menjadi dipertanyakan, sebenarnya apa (meminjam istilah Kuntowijoyo) reform-maximum yang ingin dituju Muhammadiyah? Apakah purifikasi seperti gerakan Wahhabi, atau yang lain? Kalau melihat semangat awalnya, seharusnya Muhammadiyah tetap menjaga imagenya sebagai organisasi yang menjadi garda terdepan dalam upaya pembaruan demi kemajuan umat Islam. Saya rasa, kini Muhammadiyah harus memikirkan kembali kerangka paradigmanya, agar mampu menerjemahkan Islam pada tataran empiris sesuai perubahan yang terus berlanjut dan semakin beragam.

#9. Dikirim oleh Erham Budi Wiranto  pada  05/02   06:03 PM

JIL kan asal beda dan dangkal. Ngomongnya liberal, ngapain ngomentarin organisasi lain, mending urus aja organisasi JIL sendiri, jangan cari sensasi.

#10. Dikirim oleh Azman  pada  05/02   07:03 PM

Sebenarnya pemecatan adalah suatu cara orang-orang primitif yang tidak bisa menerima perbedaan. Biarlah perbedaan itu berjalan, kita tanggapi dengan akal bukan dengan nafsu. Siapa sih yang tahu kebenaran yang haqiqi; bukan manusia tetapi yang maha tahu dan maha benar, ALLAH SWT. Mari kita tumbuhkan prinsip-prinsip demokrasi ditubuh Muhammadiyah, bukan klaim yang menyesatkan. MAJU TERUS PAK DAWAM, KEBENARAN BUKAN MEREKA YANG MENILAI, TAPI ALLAH SWT.

#11. Dikirim oleh zaenal arifin  pada  05/02   08:03 PM

Sebenarnya pemecatan mr. Dawam oleh PP Muhammadiyah adalah wajar2 saja, karena itu merupakan sebagian kecil dari “amar ma’ruf nahi munkar”.

Sebenarnya apa sih hebatnya mr. Dawam itu? wong dia nggak lebih dari seorang manusia biasa. Apa sih hasil karya atau sumbangan dia dalam dunia keilmuan? tidak ada bukan.

Jadi, ya sudah sewajarnya jika PP Muhammadiyah mendepak orang2 spt mr. Dawam tsb.

Terima kasih.

#12. Dikirim oleh Vidi Hartanto  pada  06/02   02:02 AM

Pak, Dawam, bagi saya seorang intelektual. Dia menyumbangkan pemikiran besar pada dunia islam. Dia yang menunjukkan pada saya, muhammadiyah ternyata mempunyai anggota yang bersikap toleran, pluralis, dan inklusif. Dawam, seperti Gus Dur dan Gus Mus di NU.

Pemecatan Dawam, berarti muhammadiyah telah mengabaikan pemikir besar. Bukankah tak banyak orang muhammadiyah yang pintar membuat cerpen tanpa menggurui?

Destika Cahyana

#13. Dikirim oleh destika cahyana  pada  06/02   09:03 PM

Terus terang saya jadi senyum sendiri, bagaimana tidak, Bung Luthfi dengan lancarnya mengkritisi sikap Muhammadiyah atas keputusannya memecat Dawam Raharjo dari Muhammadiyah. Tentunya Muhammadiyah sebagai Organisasi besar dan sangat berpengalaman mafhum dan sadar dengan keputusannya. Seharusnya bung Luthfi sadar anda bukan orang Muhammadiyah, artinya saudara tidak akan pernah merasakan kegerahan dan kegelisahan atas epak-terjangnnya Mas Dawam.Saudara hanyalah penonton bukan pemain. Tentunya akan sangat berbeda penilaian mengenai para pemainnya, mana yg harus diganti, dikeluarkan atau dipensiunkan. Kalau hanya satu sudut pandang yg dipakai, tentunya hasilnya akan lain bila penilaiannya dari bebrapa sudut pandang yg berbeda. Pandangan anda sebagai JIL/ penonton, akan berbeda dengan pandangan official Muhammadiyah. Caci-maki, tepuk-tangan, bahkan menang-kalah pun akhirnya bagi penonton tak jadi soal, tapi sebaliknya bagi para pemain, semua adalah berhubungan dengan prestasi, prestise dan masa depan team/organisasi. Masa mengaku diri Pluralis, liberalis tapi berfikirnya sempit”. Hanya dari satu sudut pandang”

#14. Dikirim oleh iwan jabarut  pada  07/02   07:03 AM

Pak Dawam, entah apa yg sebenarnya terjadi (entah anda itu dipecat atau “terpecat"), namun saya kira hikmahnya adalah anda akan lebih bebas bersuara. Saya kira dinding-dinding Muhamadiyah tak akan bisa menampung aspirasi anda dan juga pemikir-pemikir pluralis lain. Seperti kata seorang Muhammad Ali “Seekor ayam akan berkokok saat melihat cahaya. Coba masukkan ayam tersebut ke dalam kegelapan, maka dia tidak akan berkokok.”

Saya kira, Pak Dawam telah melihat “cahaya terang” itu dan semoga “terang” itulah yg akan selalu memimpin anda dan juga orang-orang pluralis lain yg tidak takut akan “terang”. Orang-orang yg takut akan “terang” biasanya seperti kecoa, atau tikus hidup di gorong-gorong. Kita bisa melihat di dunia Indonesia saat ini mana yg “terang” dan yang takut “terang”. Semoga pemikiran-pemikiran Pak Dawam bisa bergaung lebih luas tanpa perlu lagi dibatasi oleh Muhamadiyah.

Amiin.

#15. Dikirim oleh M.JOhan  pada  07/02   02:03 PM

Sebagai bukan orang Muhammadiyah, saya tidak melihat tulisan ini mengandung semangat demokrasi. Sangat sepihak, dan sangat membela Dawam Rahardjo. Saya memang salut pada pemikiran DR. Cuma, penulis kentara tidak mengikuti perkembangan. Bukankah soal DR belum ada keputusan pemectan (secara resmi) dari Muhammadiyah. Bukankah soal pemecatan itu, memang, muncul dari kalangan Muhammadiyah. tapi, sebagai organisasi, belum ada keputusan itu.

Berita di Tempo sendiri belum tentu kebenarannya. Bukankah Din Sjamsuddin mempertanyakan kenapa berita itu sampai muncul? Karena ia tidk pernah menyampaikannya.

Lagi pula, penulis seharusnya melihat DR itu pernah “mau dipecat” pada 1992--kalau saya tidak keliru. Ketika itu, DR menjabat wakil ketua bidang usaha (bertanggung jawab mengelola badan usaha milik Muhammadiyah). Tapi, tanggung jawab itu tidak bisa ditunjukkan DR. Maka, pada 1992, DR mengundurkan diri dari Muhammadiyah sebelum tanggung jawab itu ditanya.

Betulkah begini kenyataannya. Penulis harus membuktikannya. Ngobrol lagi dengan Din Sjamsuddin atau DR.

Oke, semoga lebih kreatif.

#16. Dikirim oleh budi p. hatees  pada  07/02   11:02 PM

Dawam dipecat? satu terobosan baru bagi pembaharuan Muhammadiah, salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia. Muhamadiah datang untuk menyebarkan islam yang orisinil, tanpa harus keluar dari relnya dengan mengikuti langkah-langkah setan liberal.

Kalau Muhamadiah memecat Dawam itu tandanya satu kebaikan bagi agama Islam di Indonesia. Bagaimana tidak. Kalau kita cermati opini-opini Dawam sebagai seorang yang dianggap “intelektual Islam” pada hakikatnya tidak selaras dengan ajaran islam sendiri.

Singkatnya saya salut terhadap Muhamadiah yang melakukan gerakan pembersihan di tubuhnya dari firus-firs liberal.

Selamat berjuang, Allah bersama kita.

#17. Dikirim oleh arif munandar  pada  11/02   12:03 AM

Siapa yang tidak mengakui akan andil besar Muhammadiyah pada Republik ini, terutama dalam pengembangan/kemajuan pendidikan. Kalau tidak mengakui berarti tak tau sejarah dan nggak piknik, sebab hampir di setiap kelurahan/desa pasti ada sekolah Muhammadiyah.

Muhammadiyah sekarang katanya juga sudah tidak seperti dulu lagi sebagaimana ide-ide dan gerakan Yai Dahlan. Lho wajar to namanya perkembangan. Bukan maksud saya ‘itiqad Muhammadiyah. Saya setuju dengan Bung Luthfi terbawa arus puritanisme, dan kelihatan arus dan alirannya. Kita tunggu saja bagaimana alirannya nanti di Pemilu mendatang. Ayo kita tunggu ke mana MU akan mengelompokkan diri dengan kelompok yang sealiran atau menuju suatu aliran. Saya sendiri agak terkejut juga waktu pemilu kemarin dari DPP MU mengarahkan untuk memilih Pak Amin.

Kepengurusan MU sekarang menurut saya kurang mengakomodir orang-orang MU yang non gelar dan MU-ne ‘ndekek’. Satu hal yang kurang saya senangi adalah orang-orang MU yang tidak memiliki titel/gelar kurang mendapat perhatian, padahal banyak sekali orang-orang MU yang ahli suatu bidang tetapi tidak diakomodasi. Seperti adanya ahli ilmu falak di Kauman/Notoprajan,tetapi kok tidak diakomodasi. Di Kauman Jogja terkenal sebagai basis MU, tetapi benarkah semuanya MU, coba saja cari tahu sejarah adanya istilah langgar lor dan langgar kidul di Kauman.

Pada mulanya saya mengira Pak Dawam itu orang NU kok ternyata dia MU, sebab dia banyak membawa wacana keterbukaan, pemikiran-pemikiran baru bagi Muhammadiyah dan toleran (liberal). Benarkah Dawam virus bagi MU? Kalu iya ya terserah itu Muhammadiyah sebagai suatu lembaga dengan Islam murni versinya, tentu saja. Kalau mau jujur gerakan pemikiran di Muhammadiyah tidaklah banyak mengalami kemajuan, dibanding gerakan pemikiran anak-anak muda NU. Sebenarnya Yai Dahlan sendiri sudah ‘ngajari’ untuk keterbukaan dan toleransi, misalnya dengan mengambil salah satu istrinya beliau (dari lima istri) dari Krapyak (NU).

Benarkah Din seorang pemanfaat? Lihat saja Pemilu kemarin Bapak Din sempat melirik untuk masuk suatu partai berbasis Islam lainnya. Muhammadiyah dipimpin oleh Kyai yang organisatoris/cendekiawan berakhir pada KH. Ahmad Azhar Basir, setelah itu oleh para Profesor (cendekiawan muslim).

#18. Dikirim oleh nugroho w.  pada  13/02   08:02 PM

Membaca tulisan saudara Luthfi Assyaukani benar-benar seperti membawa saya pada sebuah dongeng yang mirip salah satu cerita di kisah seribu satu malam.

Saudara Assyaukani benar-benar pintar dalam menjajikan story yang boleh dibilang hampir thriller tapi sayang terkesan penuh fiction.

Pesan saya belajar lagi lebih banyak tentang wacana yang ditulis sehingga tidak terkesan jungkir balik dari realitas sejarah. Dan bukankah demikian yang diinginkan oleh orang-orang JIL?

Wassalam, La Sali mangari weru.

#19. Dikirim oleh La sali mangari weru  pada  13/02   10:03 PM

Sangat disayangkan orang model pak Dawam. Ia adalah seorang cendekiawan yang sangat lentur, moderat dalam menghadapi berbagai macam persoalan bahkan dalam kancah nasional ia telah banyak memberikan sumbangsih pemikiran bagi kemelut permasalahan Indonesia. Ia juga bisa menetralisir puritanisasi Muhammadiyah. Sungguh sangat disayangkan ketika ada kabar bahwa pak Dawam dipecat dari organisasi Muhamadiyah.

Seyogyanya Muhammadiyah harus berfikir kembali,akan rekomendasi pemecatan itu. Namun yang jelas ada apa dengan Muhammadiyah? atau mungkin ini awal dari kemunduran organisasi yang ada awal berdirinya diklaim sebagai organisasi modern/pembaharu. Tepat sekali apa yang dikatakan Prof.Azyumardi Azra bahwa gerakan pembaharuan yang diusung organisasi Muhammadiyah perlu dipertanyakan kembali sehingga organisasi terbesar kedua setelah Nu ini banyak mendapat kritikan pedas dari berbagai tokoh ataupun kalangan.Muhammadiyah perlu merekonstuksi lagi akan orientasi yang selama ini diusung.Muhammadiyah perlu belajar dari organisasi lainnya dimana sangat lentur,moderat ketika menghadapi sebuah persoalan.

Semoga Muhammadiyah lebih eksis lagi.

#20. Dikirim oleh Asep Henry Habibulloh  pada  18/02   10:03 AM
Halaman 1 dari 2 halaman 1 2 >

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq