Demokrasi dan Perlindungan Kaum Minoritas - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
09/05/2006

Demokrasi dan Perlindungan Kaum Minoritas

Oleh Nadirsyah Hosen

Hari-hari ini, saat kita menyaksikan dirampasnya sebagian hak-hak konstitusional kalangan minoritas di negeri ini, saya kembali teringat akan pentingnya memiliki empati. Salah satu cara menumbuhkan rasa empati itu adalah dengan membayangkan sejenak bagaimana tidak enaknya menjadi minoritas.

Seorang kawan yang baru tiba di Singapore marah-marah. Dia mendapati banyak toko dan rumah makan yang tutup. Kebetulan kawan tersebut tiba di saat perayaan imlek. Saya tersenyum sambil mengatakan: “Sekarang Anda baru merasakan bagaimana kesulitan non-Muslim di Indonesia selama bulan Ramadan ketika banyak rumah makan dipaksa tutup pada siang hari.” Kawan tersebut terdiam, lalu menjawab pelan, “Saya baru sadar bagaimana rasanya menjadi minoritas.”

Hari-hari ini, saat kita menyaksikan dirampasnya sebagian hak-hak konstitusional kalangan minoritas di negeri ini, saya kembali teringat akan pentingnya memiliki empati. Salah satu cara menumbuhkan rasa empati itu adalah dengan membayangkan sejenak bagaimana tidak enaknya menjadi minoritas.

Salah satu elemen penting dalam konstitusi adalah melindungi hak-hak minoritas. Suatu konstitusi negara harusnya melindungi hak-hak kelompok minoritas dari “serangan” kelompok mayoritas yang memanfaatkan besarnya jumlah massa pendukung mereka. Meski demokrasi meniscayakan mayoritas suara, namun ia juga ditegakkan lewat aturan main yang bertujuan melindungi dan mengayomi semua pihak, termasuk kelompok minoritas.

Inilah yang disebut dengan democratic constitutionalism. Dengan atau tanpa konstitusi, kelompok mayoritas akan meraih hak-hak-nya dengan mudah. Sementara, kelompok minoritas hanya bersandar pada jaminan konstitusi. Itulah sebabnya penjaga gawang konstitusi ditentukan oleh sembilan hakim Mahkamah Konstitusi; bukan ditentukan suara mayoritas rakyat.

Di Indonesia saat ini, kita menyaksikan hak-hak minoritas dirampas begitu saja oleh kekuatan massa, seperti yang terjadi pada jemaah Ahmadiyah dan Lia Eden. Alih-alih melindungi dan mengayomi, pemerintah seakan-akan menutup mata atas dicabutnya hak-hak konstitusional kelompok minoritas itu untuk menjalankan keyakinannya.

UUD 1945 Pasal 29 menjamin kebebasan menjalankan agama. Pasal ini
sayangnya direduksi oleh dua hal. Pertama, Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 yang membatasi penafsiran kata “agama” dalam Pasal 29 UUD 1945 hanya untuk enam agama resmi saja. Pemerintah telah menafsirkan dan membatasi Pasal 29 UUD 1945 itu secara sewenang-wenang.

Problem pertama ini telah menimpa Komunitas Eden yang mengklaim sebagai agama baru. Dulu, waktu masih bernama Salamullah, mereka juga tidak diakui sebagai agama yang sah. Kelompok Lia Eden itu tetap dianggap sebagai aliran atau sekte yang telah menodai ajaran Islam.

Kedua, pemerintah menyerahkan persoalan kepada pemuka agama untuk menentukan mana aliran/paham resmi dan mana yang sesat/ngawur/menyimpang dalam agama masing-masing. Pendapat para pemuka agama tersebut lalu disalurkan lewat Kejaksaan Agung. Kejaksaan memiliki fungsi PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang berada dibawah Jaksa Agung Muda Intelijen. Tim PAKEM antara lain terdiri dari unsur kejaksaan, Depag, MUI, Depdagri, dan sejumlah organisasi keagamaan lainnya. Institusi PAKEM ini sudah berdiri sejak 1960, dan terus beroperasi sampai sekarang.

Problem kedua telah menimpa banyak kalangan, termasuk Ahmadiyah. Di sinilah aturan “negara hukum” kembali dirusak oleh pemerintah. Pada satu sisi, pemerintah tidak berani terang-terangan melarang dan membubarkan kelompok Ahmadiyah, karena tindakan itu jelas-jelas akan bertabrakan dengan UUD 1945. Di sisi lain, pemerintah juga tidak berusaha melindungi Ahmadiyah ketika mendapat serangan secara fisik serta pengusiran lewat kekuatan massa. Alih-alih melindungi kelompok minoritas seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945, pemerintah malah “bermain mata” dengan kelompok mayoritas.

Pernyataan Menteri Agama yang menyarankan agar Ahmadiyah mendirikan agama baru dapat menjebloskan Ahmadiyah dari problem kedua menuju problem pertama. Andaikata Ahmadiyah mendeklarasikan diri sebagai agama baru, tetap saja mereka--seperti halnya kelompok Lia Eden—akan dianggap bermasalah karena tidak akan diakui sebagai agama resmi. Karena itu, hak-hak konsitusional anggota Ahmadiyah tetap tidak akan dapat dipulihkan.

Sudah sepatutnya dilakukan judicial review terhadap UU No. 5/1969 mengenai agama resmi dan tidak resmi, dan tim PAKEM juga selayaknya dibubarkan. Biarlah urusan agama menjadi urusan individu yang tidak dicampuri oleh negara. Biarlah mereka yang dianggap sesat berhadapan langsung dengan pengadilan ilahi di akhirat nanti.

Seandainya Pengadilan Negeri memaksakan diri untuk mengadili sebuah keyakinan keagamaan, kompetensi pengadilan itu juga dapat dipertanyakan. Hal ini mengingat majelis hakim yang mengadili adalah mereka yang tidak memiliki kapasitas keilmuan di bidang agama. Bagaimana mungkin mereka diminta memutuskan apakah telah terjadi penodaan terhadap keyakinan agama tertentu dalam kasus seperti itu? Bagaimana mungkin sebuah pengadilan “sekuler” memutuskan masalah keagamaan?

Pengadilan Agama sendiri tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili kasus penodaan agama, karena wilayah garapan mereka hanya masalah hukum keluarga semata. Jadi, logika hukum kita mengatakan, tidak ada sebuah pengadilan pun di tanah air yang dapat mengadili iman atau keyakinan kelompok minoritas keagamaan.

Pada sisi lain, kelompok minoritas juga tidak bisa berlindung di balik Pasal 29 yang nyata-nyata menjamin kebebasan beragama ketika mereka melakukan tindak kriminal atau menciderai hak orang lain. Marci A. Hamilton dalam bukunya God vs. the Gavel: Religion and The Rule of Law (Cambridge University Press, 2005) menjelaskan: “No clergy member is exempt from the legal consequences of criminal activity.” Tidak ada anggota kelompok keagamaan apapun yang bisa dikecualikan dari konsekuensi hukum atas perbuatan kriminal.

Namun demikian, pihak pengadilan tetap tidak berhak mengadili keyakinan orang lain. Pengadilan hanya berhak mengadili pelanggaran pidana yang dilakukan siapapun, baik dari kelompok mayoritas maupun minoritas. Contohnya, Amrozi tidak diadili karena keyakinannya, tapi karena tindak pengeboman yang ia lakukan. Batas pemisah ini harus ditegaskan. Dengan cara inilah demokrasi dan konstitusi dalam suatu negara hukum bisa ditegakkan.

Para ulama, menteri agama, polisi, jaksa, dan hakim, tampaknya perlu juga belajar berempati kepada kelompok minoritas, dan sekali-sekali perlu merasakan betapa tak enaknya menjadi minoritas.

Nadirsyah Hosen, pengajar mata kuliah Islamic Law di University of Wollongong dan Comparative Anti-Terrorism Law di University of Queensland.

09/05/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

marilah kita saling damai dan saling mengasihi satu sama lain. zaman gini rasis..gk la yoiy…

Posted by peace^^  on  11/25  at  09:42 PM

kalau mau jujur sih emang begitu, coba lihat aja bagaimana susahnya untuk mendirikan gereja, susahnya minta ampun. padahal kalau dikampung saya di medan sana, meskipun orang islamnya hanya 2 KK, trus mereka mau bangun musallah, gak apa2 itu, kagak ade larangan atau hambatan tuh.

Posted by dragon  on  09/16  at  06:19 PM

Minoritas Kristen sampai sekarang masih dijepit dan menjadi korban syarat-syarat ketentuan perundangan yang baru itu.  Pada dirinya ketentuan itu sudah tidak sah karena pemerintah tidak boleh mengatur bagaimana warga negaranya membangun rumah ibadah.  Syarat-syarat adalah mengurangi hak konstitusional yang dimiliki setiap orang beriman, bahkan sekalipun imannya itu tidak tercakup dalam agama manapun.

Kekuatan Islam radikal dan fundamental belakangan ini sangat kuat dan kelihatannya pemerintahan SBY tidak berdaya bertindak tegas, takut kehilangan dukungan dari Islam.  Membiarkan perbuatan anarkis yang dilakukan kelompok-kelompok radikal, sektarian, kelompok-kelompok lokal adalah juga suatu kejahatan.  Kalau dibiarkan terus maka sudah pasti negeri ini akan gagal sebagai negara.
-----

Posted by Rikos Junaidi  on  06/05  at  07:06 PM

Sebagai minoritas sering saya rasakan, apalagi bulan-bulan Ramadan. Baik ditempat umum maupun di kantor. Tetapi kita sering merasa lebih baik diam karena percuma kita bicara sebab hanya menambah kepedihan hati aja… Mengannggap kaum minoritas bukan kalangan sendiri seharusnya kita hilangkan apabila kita mengingat kita sama-sama makhluk yang punya darah dan daging yang sama.. Agama dan suku tidak membedakan kita terhadap apa-apa, kecuali status kita di KTP… Marilah kita coba membangun Indonesia tanpa harus membawa-bawa agama apapun dia…

Posted by suparwanto  on  05/28  at  11:05 PM

aduh… lucu amat sih mendengar konstitusi harus di tinjau kembali. yang nulis pake otak nggak ya? sebenarnya umat Islam Indonesia itu udah sangat toleran ama minoritas. yang nulis aja nggak pernah mikirin pengorbanan besar yg dilakukan umat Islam. bayangin aja umat islam yg 80% harus merelakan 7 kata di piagam jakarta, waktu disahkan menjadi dasar negara harus dihapuskan. mana ada bangsa yg setoleran indonesia. lihat aja Eropa. islam minoritas dipaksa harus membuka jilbabnya. di indonesia bagi orang kristen yg make kalung salib nggak dilarang tuh. makanya yg nulis artukel “demokrasi dan perlindungan hak minoritas” sekali-kali pake otak dong nulis. jangan pake dengkul. yg nggak habis saya pikir kok ada orang Islamn yg nulis kayak gitu. jangan2 yg nulis bukan islam. hayoo orang2 islam liberal jangan ngaku2 Islam kalo nggak mau menjalankan Syariat Islam. satu lagi saya tegaskan INDONESIA KALAU UMAT ISLAMNYA BERSATU BUKAN SUATU HAL YANG MUSTAHIL UNTUK MENJADIKAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA ISLAM!!!

Posted by Tomi  on  05/20  at  08:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq