Depolitisasi Syariat Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
22/09/2003

Depolitisasi Syariat Islam

Oleh Ali Asyhar NF

Syariat senantiasa akan menjadi perdebatan yang hangat dan menarik, dan akan lebih konstruktif apabila dapat membentuk paradigma civil society dan demokrasi yang kukuh dan berdimensi kerakyatan. Sejatinya syariat tidak dijadikan” agama yang absolut” melainkan jalan yang akan membentangkan perubahan dan transformasi sosial.

SEDIKITNYA ada tiga arus besar yang mengemuka dalam menyikapi syariat Islam. Pertama, kelompok formalisasi syariat menghendaki agar syariat Islam dijadikan landasan riil dalam berbangsa dan bernegara, termasuk encantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945.

Kedua, kelompok deformalisasi syariat memilih pemaknaan syariat secara subtantif. Pemaknaan syariat tidak serta merta dihegemoni oleh negara, karena wataknya yang represif. Syariat secara individu sudah dilaksanakan, sehingga formalisasi syariat dalam UUD 1945 tidak mempunyai alasan kuat secara politik.

Ketiga, kelompok moderat berposisi mengambil jalan tengah: menolak sekularisasi dan islamisasi, karena budaya di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri. Sekularisasi dan islamisasi merupakan “barang impor” yang tidak cocok dengan identitas masyarakat, sehingga keduanya berpotensi untuk melakukan indoktrinisasi dan ideologisasi.

Ini terekam dalam buku Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945 (Paramadina) yang membentangkan tingkat ketajaman perbedaan debat syariat Islam, baik pada tataran diskursus maupun tataran politik praktis, dalam ulasan media massa. Pemandangan tersebut menjadi bukti kuat bahwa syariat merupakan arena kontestasi dan tarik ulur laku keras, baik di dunia wacana maupun politik.

Pelembagaan Syariat

Pelembagaan syariat menemukan momentumnya sejak maraknya gerakan-gerakan pembaruan Islam -baik pemikiran maupun politik-- pada tiga abad terakhir, abad ke-18 hingga ke-20.

Di awal abad ke-18 hingga paro abad ke-19, gerakan Islam mempunyai karakter pembaruan fikh, tasawuf dan teologi, sebagaimana dimulai Ibnu Abdul Wahab di Najd (1703-1791) mengajak tauhid yang mutlak, menolak reinkarnasi, menekankan pertanggung jawaban manusia, melarang tawasul kepada selain Allah dan menyerukan terbukanya pintu ijtihad. Di Madinah muncul Muhamamd bin Nuh al-Ghulati (1752-1803), Waliyuddin ad-Dahlawi di India (1702-1762), Muhammad bin Ali as-Syaukani di Yaman (1758-1823), Shihab al-Alusi di Irak (1802-1854), Muhamamd bin Ali Al-Sanusi di Maroko (1778-1859) dan Muhammad bin Ahmad al-Mahdi di Sudan (1843-1885).

Mereka melandasi dirinya pada syariat namun menekankan pengganyangan taklid dan terbukanya pintu ijtihad. Yang menarik dari langgam gerakan Islam pada abad ini hampir tersebar di pelbagai dunia Islam akan tetapi tidak menyentuh jantung dunia Islam: Istanbul, Damaskus dan Kairo. Thariq Bisyri melihat, bahwa di ketiga wilayah tersebut sedang konsentrasi pada pengukuhan Dinasti Ottoman (Utsmany)

Karena itu, gerakan keagamaan yang berkembang pada fase selanjutnya terlihat semakin politis. Ditandai dengan gerakan Sultan Salim III untuk membangun tentara Ottoman yang sedang menghadapi gempuran tentara Rusia di utara, Inggris di Laut Tengah dan beberapa negara Eropa lainnya. Kekalahan Salim III melawan mereka dilanjutkan oleh Mahmud II (1808-1840), Muhammad Ali di Mesir (1805-1845). Tekanan luar semakin gencar, terutama ekspansi Napoleon Bonaparte di Mesir (1978), Inggris di Adnan (1839), Prancis menjajah Aljazair (1830) dan Tunisia (1899) serta Maroko (1912), dan Italia di Libya (1912).

Pada fase inilah seluruh gerakan keagamaan terlihat semakin politis dan mengarah pada penguatan institusi militer. Pembaruan pemikiran keagamaan pun tersisih. Memang, para pemimpin sangat membutuhkan legitimasi agama untuk menumbuhkan heroisme melawan kekuatan eksternal. Pemikiran keagamaan selalu dieksploitasi untuk kepentingan politik. Bahkan menurut Thariq Bisyri, sebagaimana layaknya kekuasaan, Mahmud II di Istanbul dan Muhammad Ali di Mesir tidak memberikan ruang eksistensi pembaruan pemikiran yang dibawa kalangan pembaru pada awal abad 18.

Pembaruan Pemikiran

Namun, gerakan pembaruan menemukan momentumnya juga ketika bagian dunia Islam diserbu bangsa Eropa. Muncul Jamaluddin al-Afghani (1839-1896), Muhamamd Abduh di Mesir (1849-1905) Muhamamd Rasyid Ridla di Mesir dan Syiria (1865-1935) dan Abdul Hamid Badis di Aljazair dan Maroko (1889-1940).

Pada periode ini, terdapat upaya pembaruan pemikian di satu sisi dan pembaruan institusi di sisi lain. Keempat tokoh tersebut mempunyai kecenderungan pembaruan pemikiran, walaupun intensitas antara satu dengan yang lainnya berbeda.

Abduh lebih kental nuansa pembaruannya, karena mampu merekontruksi teologi, fikh dan sistem pendidikan di Al Azhar. Abduh pernah mengeluarkan statemen menghebohkan antara lain “Apabila terjadi kontradiksi antara akal dan syariat, maka akal harus didahulukan atas syariat.” Juga “Saya melihat Islam di Barat tanpa komunitas muslim dan melihat komunitas muslim di Timur tanpa Islam”.

Sedangkan Jamaluddin al-Afhgani lebih menonjol dimensi pergerakannya, dan Rasyid Ridla terlihat kembali pada teks, karena tuntutan kondisi pada saat ini. Rasid Ridla lebih moderat dari pada Abduh.

Karena itu gerakan-gerakan Islam mempunyai sejarah yang menjadi pijakan mereka. Pada fase-fase akhir, lalu muncul Hasan al-Banna yang membentuk Ikhwanul Muslimin. Kelompok inilah yang menyebar ke pelbagai dunia Islam. Meskipun lebih menonjolkan dimensi pergerakan, tak sedikit ditemukan dari aktivisnya yang membawa pembaruan, seperti Hasan Hanafi, Nasr Abu Zayd, Syaih Muhammad al-Ghazali, Yusuf Qardlawi dan lain-lain.

Syariat Demokratik

Di tanah air, “agama syariat” selalu digulirkan sebagai kekuatan politik. Pengangkatan isunya selalu menggunakan momentum politik, seperti pemilihan umum, sidang tahunan dan instabilitas politik. Saat itulah muncul peluang legitimasi. Dengan demikian, relasi kuasa agama-syariat harus dijadikan optik dalam melihat gejala politikisasi agama. Aktor-aktor yang mengampanyekan syariat kebanyakan dari kalangan politisi sehingga kuat kesan syariat sebagai komoditas politik.

Sedangkan NU dan Muhamamdiyah, sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar, hingga saat ini masih tetap pada komitmen semula untuk mendepolitisasikan syariat. Karena syariat sudah dilaksanakan oleh individu muslim, intervensi agama atas syariat hanya akan memperkuat hegemoni negara dengan menggunakan kekuasaan agama.

Karena itu yang harus diupayakan adalah membangun “syariat demokratik” dan “syariat civil society”, yaitu syariat yang tidak menggunakan agama sebagai komoditas politik. Sedangkan posisi agama harus ditafsirkan secara emansipatoris untuk mengakselerasikan demokrasi dan civil society. Karenanya, agama dalam hal ini tidak dijadikan tameng, akan tetapi sebagai elan pembebasan, pemihakan kepada kaum lemah dan pemberdayaan masyarakat kritik.

Dalam konteks depolitisasi agama, Muhammad Said al-Asymawi menulis: “Allah menghendaki Islam menjadi agama, akan tetapi sebagian kelompok menginginkan islam sebagai politik. Agama adalah universal dan humanis. Sedangkan politik adalah wilayah yang sempit, lokal, temporal dan sektarian. Politisasi agama hanya akan mempersempit ruang lingkup agama yang luas, humanis, inklusif dan universal. Agama akan membawa manusia pada puncak kemanusiaan, sedangkan politik (bisa) menjerumuskan manusia pada jarang terendah kemanusiaan. Karenanya, politik yang berlandaskana gama, atau agama yang menggunakan politik hanya akan memposisikan agama dan politik dalam wilayah konflik, pembunuhan dan peperangan yang tidak kunjung selesai bahkan hanya digunakan untuk memperkuat kekuasaan.”

Dengan demikian, syariat yang dipolitisasi hanya akan menguatkan kekuasaan. Sebaliknya syariat yang mendorong demokrasi, pluralisme dan egaliteranisme akan mendorong terbentuknya masyarakat yang adil dan berkeadaban. Sejarah “masyarakat utama” yang diimpikan Ibnu Bajah perlu mendapatkan perhatian serius, karena budaya yang ingin dikembangkan adalah budaya yang menjunjung tinggi kemanusiaan, rasionalisme, filsafat dan oposisi terhadap negara. Muhammad Jabir al-Anshari pun melihat bahwa agama harus menjadi elan keadaban yang mendobrak tradisi nomaden (al-badawah). Tradisi nomaden, termasuk di dalamnya politisasi agama, hanya akan mengukuhkan kekuasaan despolitik.

Muhammad Mahmud Thaha dalam The Second Message of Islam, mengutarakan pentingnya syariat yang dapat membangun masyarakat, menciptakan kesetaraan politik melalui mekanisme demokrasi, mewujudkan kesetaraan ekonomi melalui sosialisme dan kesetaraan sosial dengan menghapus diskriminasi dan kelas.

Syariat senantiasa akan menjadi perdebatan yang hangat dan menarik, dan akan lebih konstruktif apabila dapat membentuk paradigma civil society dan demokrasi yang kukuh dan berdimensi kerakyatan. Sejatinya syariat tidak dijadikan” agama yang absolut” melainkan jalan yang akan membentangkan perubahan dan transformasi sosial.

22/09/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Supaya partai politik tidak ditunggangi ‘kepentingan nafsu duniawi’, maka kiranya perlu ada aturan dalam mengkampanyekan diri… Anda setuju?!

INILAH ETIKA KAMPANYE DALAM ISLAM, yang sejak pemilu ‘99 sudah dipublikasikan. Siapa ikut?

ETIKA KAMPANYE DALAM ISLAM

1. Ikhlas dan Membebaskan diri dari Motivasi Rendah.  2. Menampilkan Partai dan Menyampaikan Program-programnya dengan Cara yang Sebaik-baiknya (Ihsan).  3. Tidak Memaksa 4. Tidak Jatuh pada Dusta / Bohong 5. Tidak Mengucapkan Janji secara Berlebihan.  6. Tidak Jatuh dalam Ghibah, Caci Maki dan Cemooh 7. Tetap Menjaga Rasa Ukhuwah Islamiyah 8. Tidak Memuji-Muji Diri Sendiri 9. Memberikan Kemaslahatan bagi Bangsa 10. Dilakukan Secara Tertib dan Tidak Mengganggu Pihak Lain.  11. Selalu Ingat akan Kewajiban Utama 12. Memberi Keteladanan yang Baik
-----

Posted by Adin  on  10/02  at  04:11 AM

Pada satu sisi apa yang diargumenkan kang Ali aku sepakat saja. Bahwa pada ketika agama dekat dengan kekuasaan akan mengulang sejarah pahit dunia Islam maupun barat. Ironis yang terjadi di masyarakat bahwa agama tetaplah menjadi idola dlm memperebutkan ligitimasi suatu gerakan politik. Kiranya seperti diungkapkan kang Ali bahwa agama diharapkan mempunyai kakuatan keberpihakan pada nilai humanis -universal dan inklusif. dpat memberikan pencerahan pada pemahaman kewajiban dan penghormatan hak pada agama-syariat dan fiqh.

Sebagai tugas yang besar pada hal tersebut, yang dengan tujuan bahwa legitimasi agama tidak menjadi idola lagi, artinya bahwa agama tidak diseret dalam kepentingan poltik yang berorentasi pada kekuasaan semata. Kiranya metode sistematis untuk memberikan bobot pada nilai pencerahan dan pemihakan yang benar pada islam, sangat sulit terealisai karena tingkat pemahaman yang berbeda, yang diakibatkan sistem pendidikan yang kurang mendukung. Pemahaman yang humanis universal berhenti pada tingkat kaum intelektual. Toh kitapun tidak bisa memberikan penyeragaman pemahaman, karena hal tersebut bagian pelanggaran hak. Menurutku yang menjadi kunci adalah sistem pendidikan yang memberkan ruang keterbukaan dan humanis.

Mengacu pada pendapat kang Ali, bahwa agama haruslah bebas politik. Aku di sini kurang bisa menerima. Sejarah Islam sampai pada masa Rosulpun juga tidak lepas dari aktivitas gerakan politik. Pembentukan komunitas sampai pada konstitusi Madinahpun bagian dari politik Rosul, hingga perang Badar dan Sifin. Sang Muhamad pun tidak tinggal diam menyendiri dalam membumikan nilai Islam. Menurut Karen Armstrong, Muhamad tidak seperti Yesus dalam cerita, yang tinggal di gua menyendiri dengan mengobati orang sakit, akan tetapi beliau berjuang di tengah gempuran, ancaman dan tekanan untuk memperoleh pengakuan secara teologi akidah sampai pada tingkat sosial. Disini Rosul berjuang dengan kendaraan politik untuk tujuan membumikan nilai Islam baik akidah maupun sosial. Sedangkan saat ini politik Islam mencari -memanfaatkan-legitimasi agama guna kekuasaan. Aku kira cukup jelas, dasar orentasi yang menjadi pijakan. Pembumian nilai Islam yang substansial atau kekuasaan?

Posted by panduwagung  on  09/25  at  02:09 PM

Thanks so much,

Mas Azhar, saya akhir-akhir sungguh bahagia melihat eskalasi pemikiran pesantren, sebuah indikator awal yang sangat prospektif, saya optimis, ke depan, santri akan mengukir tinta renaissance gemilang sepanjang konsisten dengan pergulatannya saat ini. Dan, Anda telah memulai langkah besar.

Mas, Azhar, saya hanya ingin menanggapi sekilas saja, politisasi syari’ah menurut saya akan lebih bijaksana apabila mencoba melihat latar historis sejak era Nabi, sejauh mana implementasi dan posisi syari’ah pasca-nabi menjadi pemimpin politik dan agama Islam di Madinah dan ketika selesai membebaskan Makkah dari tirani Qurays.

selama ini para penentang politisasi agama sangat subyektif, karena melihat secara apriori persoalan krusial ini.

Kalau saya membaca buku terbitan republika baru-baru ini, Demokrasi Piagam Madinah, saya jadi yakin, bahwa nabi betul-betul memegang otoritas keagamaan politik dan agama masa itu. Artinya tidak mungkin Islam tegak ketika itu tanpa memiliki kekuatan militer dan pemerintahan secara efektif.

Pada aras ini politik tidak bisa dikisahkan dari risalah Islam,

Ada dua manfaat ketika politik masuk agama, adanya power dalam implementasi syari’ah, kedua, terjadi sosialisasi budaya Islam. Idealisme inilah yang harus kita pikirkan bersma, karena saya melihat, kelemahan Islam saat ini berada pada kekuatan budaya karena penetrasi kapitalsime global dengan ciri khasnya liberalisme dan industrialisme yang sama sekali tidak mengindahkan moralitas dan etika agama.

Jadi, saya sepakat, memang kalau politisasi agama itu seperti kata pak Mashan akan timbul radikalisasi atas nama agama, tapi harus juga kita pikirkan, bagaimana solusi kita ketika melihat aneka ragam kemaksiatan dan kemunafikan saat ini.

Hanya satu usul saya, reformasi mental dan intelektual adalah solusi jalan terbaik.

Sepanjang politisi Islam dan pejuang Islam tidak menampakkan moralitas Islam niscaya Islam hanya tinggal romantika historis, tidak punya peran signifikan dalam pembentukan budaya dan kosmopolitanisme modernitas saat ini.

Kalau moralitas Islam masih seperti sekarang, saya sepakat dengan gagasan sampeyan, namun kalau sudah ada internalisasi moral seperti kejujuran, amanah, konsisten dengan nilai-nilai universal, saya usulan politisasi syari’ah bisa dipikirkan ulang, artinya mengharuskan paa pemikir Islam untuk membuat formulasi hukum yang bersifat pluralis dan akomodatif.

Atau barangkali, bisakah umat Islam secara sektarian menerapkan hukumnya sendiri, sedangkan umat lain juga menerapkan hukumnya sendiri, tentu ini dalam masalah yang sangat spesifik sekali, tidak bisa digeneralisir.

Jujur saja, karena saya di pesantren, sedih sekali melihat gejala inulisasi dan anisabaharisasi begitu vulgar tanpa ada kekuatan hukum menindaknya. Fatwa MUI saja ditertawakan, di sisi lain polisi tidak bisa karena tidak ada landasan hukumnya.

Saya hanya berharap ada solusi alternatif fenomena degradasi moralitas, karena ini menyangkut masa depan bangsa dan negara secara langsung.

Innama Buitstu liutammima makarimal akhlaq, itulah pesan esensial dan substansial Nabi kepada kita.

Sekarang saya melihat baru terjadi eskalasi intelektual, belum ada titik terang sedikitpun masalah eskalasi moralitas Islami.

Thanks,

Maaf kepada redaktur Islamlib, ketikannya kocar-kacir, terburu waktu, eh efisiensi.

Posted by Jamal Ma'mur Asmani  on  09/23  at  06:09 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq