Desakralisasi Politik Islam - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
09/08/2004

Desakralisasi Politik Islam

Oleh Muhammad Sholehuddin

Agaknya, pangkal persoalan relasi Islam dengan politik bermula dari interpretasi atas praktek dakwah Nabi di Madinah. Pertanyaanya: apakah Nabi hanya berperan sebagai Rasul atau merangkap juga sebagai raja (king)? Pernahkah ia mendirikan sebuah negara? Dan, apakah mendirikan negara juga merupakan tugas yang inhern dari risalah kerasulan?

Pemikiran umat Islam Indonesia tentang relasi agama (Islam) dengan politik, sampai kini masih terpola dalam dua mainstream, yaitu Islam formal (tekstualis) dan Islam substantif (liberal). Muslim skriptualis berusaha memperjuangkan formalisasi agama. Artinya, dalam pandangan mereka, Islam harus mewarnai kehidupan, dan tidak boleh menjadi sekedar agama privat. Islam harus asertif menjadi dasar negara, dan syariatnya mesti diberlakukan dalam tiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan mengambil inspirasi dari karya-karya Sayyid Qutb (W.1966) dan Abul A’la Al-Maududi (W. 1979), mereka yang dalam istilah John L. Esposito (1990: 203), menegaskan jargon bahwa doktrin Islam itu self-sufficiency, sehingga mendirikan negara Islam menjadi doktrin agama.

Pasangan capres-cawapres kita dalam kampanye pilpres lalu, nampaknya tidak berminat mengangkat isu formalisme agama. Namun hal itu bukan berarti bahwa “ancaman” formalisasi syariat Islam di Indonesia telah mati sama sekali. Suksesnya PKS menempati posisi ke-6 dalam Pemilu Legislatif lalu dikuatirkan akan mencuatkan ghirah formalisasi Islam pada masa-masa mendatang. Sidang Tahunan DPR/MPR era Presiden Gus Dur dulu, selalu dimanfaatkan oleh partai-partai Islam sebagai momentum revivalisasi Piagam Jakarta, walaupun secara in-door lobby mereka kandas. Ormas-ormas Islam yang bercorak Maududian dan Qutbian, semisal Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) juga aktif berperan sebagai out-door lobbiers formalisasi syariat. Lalu bagaimana pandangan Islam subtantif?

Sesungguhnya ada titik konvergensi antara Islam formal dengan Islam substantif dalam kehendak agar Islam mewarnai kehidupan masyarakat dan tidak sekedar menjadi agama privat. Namun, keduanya berbeda dalam soal bagaimana tujuan tersebut efektif diaktualisasikan? Kalangan subtantif-liberal cenderung menginginkan Islam sebagai dasar etik dalam mengatur kehidupan masyarakat, tanpa harus terlibat jauh dalam formalisasi. Bagi mereka, bentuk negara dan institusi politik dalam pandangan Islam bukanlah bagian dari dogma agama, sehingga bersifat sakral. Melainkan, kesemua itu --meminjam istilah Ali Abdul Raziq-- merupakan naw’an lâ dîniy (masalah profan) yang dipasrahkan Tuhan pada manusia untuk dikreasi sesuai kemashlahatan zaman. Tulisan ini berusaha menggali dan menganalisis akar teologis-historis desakralisasi politik dalam Islam. 

Agaknya, pangkal persoalan relasi Islam dengan politik bermula dari interpretasi atas praktek dakwah Nabi di Madinah. Pertanyaanya: apakah Nabi hanya berperan sebagai Rasul atau merangkap juga sebagai raja (king)? Pernahkah ia mendirikan sebuah negara? Dan, apakah mendirikan negara juga merupakan tugas yang inhern dari risalah kerasulan? Jawabnya, tidak ada nash yang sharîh menjelaskan bahwa Nabi mendirikan sebuah negara Islam, dan merangkap menjadi penguasa atau raja. Tugas utama beliau diutus di muka bumi, tak lain menjalankan misi kerasulan, bukan menjadi penguasa politik. Jika ia betul-betul telah mendirikan negara sebagai religius necessity, mengapa pula dia tidak berbicara sedikitpun tentang konsep negara Islam secara gamblang? Adapun kenyataan bahwa beliau berhasil mencetuskan Piagam Madinah, sebagaimana yang dikatakan Loenard Binder (1988: 142) tetap “tidak dapat disebut sebagai rezim kerasulan” (the prophetic regime).

Madinah saat itu belum dapat disebut sebagai negara menurut konsep politik modern, karena tidak mengenal distribusi kekuasaan sebagaimana konsep trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Lebih lanjut menurutnya Binder, Madinah kala itu bukan negara, bukan juga dinasti, tetapi “sesuatu yang lain” (it must have been something else) yang belum jelas jati dirinya. Dus, lembaran sejarah Islam masih menyimpan banyak persoalan yang vague dan uncertain (samar-samar).

Peralihan sistem pemerintahan historis Islam, dari khilâfah menuju dawlah (dinasti) agaknya juga penting dikaji lebih lanjut. Mengapa sistem pemerintahan “demokratis” al-khulafâur râsyidûn berumur sangat pendek (sekitar 30 tahun saja, termasuk 5 bulan pemerintahan sementara Hasan bin Ali), sementara sistem dinasti bertahan enam abad lebih 24 tahun? Dinasti Umayyah bertahan sepanjang 89 tahun, sejak Muawiyah (661 M) sampai Marwan II (750 M). adapun Dinasti Abbasiyah lebih panjang umur, dan bertahan bertahan selama 535 tahun, sejak Abul Abbas as-Shaffah (750 M) sampai al-Mu’tashim (1258 M).

Menjawab persolaan di atas, Abied al-Jabiri dalam Al-‘Aqlus Siyâsil ‘Arabî (Vol. III. 1992: 231, 259) mengajukan hipotesis bahwa model pemerintahan demokratis empat khalifah yang diadopsi dari praktek kepemimpinan Nabi di Madinah, sesungguhnya tidak selaras dengan zamannya. Secara sosiologis, kepemimpinan demokratis Nabi hanya aplikatif bagi masyarakat Mekah dan Madinah. Komunitas dua wilayah dikenal menggunakan sistem kabilah dan rekrutmen pemimpinnya atas dasar adagium primus interpares. Artinya, hanya individu yang terbaik dan paling cakap yang akan dipilih oleh komunitas tersebut. Begitu wilayah Islam mengembang ke Damaskus, Persia, Irak dan Mesir, pada zaman empat khalifah, sistem demokrasi menjadi tidak efektif lagi, karena mereka terbiasa dengan sistem kerajaan decisive (tegas) sebagaimana praktek Kerajaan Persia (seorang raja sekaligus merangkap sebagai pemimpin agama) dan kerajaan Romawi Timur (kekuasaan raja tunduk di pada kekuasaan gereja). 

Pemerintahan demokratis empat khalifah, nyatanya hanya berjalan normal dan aman pada dua periode setengah saja (masa Abu Bakar, Umar, dan permulaan masa Utsman), karena fakta bahwa khalifah pertama dan kedua adalah sosok yang decisive ruler. Abu Bakar berani mengambil kebijakan tidak poluler dengan memaklumatkan perang terhadap kaum murtad, sementara Umar adalah sosok pemberani dan tegas. Pasca kedua figus tersebut, demokrasi berjalan abnormal, bahkan memunculkan the big chaos (al-fitnah al-kubrâ) karena khalifahnya dikenal tidak decisive. Pada sisi inilah, tesis Robert N. Bellah yang mengatakan bahwa kepemimpinan demokratis Nabi di Madinah terlalu maju (too modern) untuk zamannya, dan karena itu dia berumur pendek, patut kita apresiasi lebih lanjut.

Dalam sejarah tercatat, setelah sukses mengibuli Ali dalam sidang Tahkim, Muawiyah membuat keputusan yang aneh. Dia meninggalkan Madinah menuju Damaskus, meninggalkan tradisi khilafah --walaupun dia ditentang oleh beberapa sahabat Nabi-- dan menggantikannya dengan sistem Kerajaan Persia yang disebut sistem ‘ajam (non-Arab) oleh Abied al-Jabiri. Sejarah menunjukkan, Dawlah Umawiyah, hasil kreasi politik dan ketegasan Mua’wiyah, ternyata mampu menanggulangi situasi chaos, dan diterima oleh kaum Sunni sebagai realitas politik yang dikukuhkan dalam istilah ‘âmul jamâ’ah (tahun rekonsiliasi). Kreasi politik Muawiyah akhirnya menjadi pilihan utama para penguasa Islam klasik selanjutnya, sampai kita menapaki era modern. 

Fakta sejarah di atas menunjukkan, bentuk negara menurut Islam sangat terbuka, asalkan mampu mengaktualisasikan maqhâsidus syarî’ah. Republik Mesir, Kerajaan Arab Saudi, Kerajaan Konstitusional Malaysia, dan Demokrasi Indonesia adalah varian-varian negara Islam modern. Kebebasan beragama, toleransi, anti-diskriminasi, penegakan hukum, keadilan dan HAM adalah partikular dari maqhâsidus syarî’ah yang wajib dikampanyekan para capres-cawapres, dan diaktualisasikan ketika mereka benar-benar terpilih. Jika itu tidak mereka kerjakan, maka sesungguhnya secara substansial mereka tidak layak disebut memimpin dengan nilai-nilai Islam. []

Muhammad Sholehuddin, Dosen STIE Gempol Pasuruan, aktivis GP Ansor Sidoarjo.

09/08/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

berbincang antara Islam dan negara akan selalu menarik buat didiskusikan, mencari model negara yang ideal bukan hal yang substansial sama halnya menyatakan negara Islam atau sekuler, namun yang lebih mendasar adalah bagaimana dalam sebuah negara tercipta tatanan hidup yang damai merdeka (berpikir berpendapat mengeluarkan inspirasi). bentuk negara tidak menjadi soal yang penting semua penduduk merasa aman, apalah artinya disnyatakan sebagai negara Islam atau negara sekuler kalau terjadi teror setiap saat.
-----

Posted by irfan idris  on  06/24  at  11:06 PM

ada sebagian statemen cak sholeh yang saya setujui, tetapi ada juga yang patut dikritisi. yang saya setujui adalah apresiasi sampean tentang “ketinggian” sistem islam dalam kurun waktu jaman itu. tetapi, just like a trivia trap, di sisi lain--kalau kita jeli--sampean juga menggunakan eksplorasi sumber (ilmiah) yang rancu bin kontradiktif satu sama lain. sampean cenderung menggunakan paradigma outer mainstream islam untuk menganalisa inner islam. sampean lebih berorientasi ke leonard binder, daripada al mawardi-al ghazali-dll dimana “paribasan"nya nama2 terakhirlah yang sepertinya jauh lebih “nglonthok” mengenal tetek-bengek pemerintahan islam daripada nama yang pertama.  kritik saya buat cak sholeh, janganlah kita menjadi bahan permainan “kuis kata2” binder, etc thok. tolong explore juga dong lembaran “lusuh” klasik kita. karena “jepretan kamera tua” dari para ulama’ salaf-lah yang lebih jeli melihat sejarah islam (soalnya mereka ‘kan hidup di jaman itu), daripada “lukisan abstrak” tendensius binder-kurzman-armstrong-arkoun-jabiri-abdurraziq dkk.

wallaahul muwaffiq ilaa aqwaamith-thariiq… (salam teko arek suroboyo cak!)

Posted by ahmad fauzan  on  08/15  at  05:09 PM

Saya berprinsip tentang relasi agama dan negara (politik) bahwa: Islam adalah agama dan negara. Karena saya yakin bahwa syariat Islam yang turun kepermukaan bumi ini tidak berhenti hanya pada urusan moral dan kejiwaan manusia semata. Tapi juga dalam sistem kehidupan, sosial, hukum, politik dan tentunya juga kenegaraan. Munculnya semangat untuk memformalisasaikan ajaran agama Islam yang mencuat ke permukaan dewasa ini, adalah bukti kesadaran umat untuk kembali ke identitas mereka sebagai seorang muslim. Islam bukanlah agama ritual dan privat yang tidak menjamah kawasan politik negara dan sendi kehidupan ummat. Sangat tragis sekali Indonesia yang secara nota bone penduduknya mayoritas muslim, tidak dapat menjalankan hukum syariatnya sendiri secara “kaffah” sebagai sebuah entitas yang di akui secara resmi, kalau pun ada itu hanya sebagian kecil saja. Menyinggung thesis : tidak wajib mendirikan sebuah bangunan negara Islam dan membentuk pemerintahan Islam, dengan alasan tidak ada “nash sharih” baik Al-Quran maupun Hadits, adalah argumen yang terlalu sembrono, dan menurut saya perlu dipertanyakan akan kebenarannya.

Adanya negara dan pemerintahan Islam justru merupakan syarat dari eksistensi agama Islam itu sendiri, tanpa adanya negara Islam, Islam bukanlah bangunan yang sempurna dan tentunya hukum dan ajaran Islam semisal zakat atau hudud tidak bisa di laksanakan.

Sejarah telah membuktikan semenjak berdirinya negara Islam Madinah yang dirintis Rasullullah SAW dan kepemimpinan empat “khalifatur ar-rasyidin sepeninggal beliau di teruskan kepemimpin Bani Ummayyah, Abbasiah, dan terakhir Turki Utsmani yang ambruk tahun 1924 oleh konspirasi Yahudi, umat Islam tidak pernah hidup kosong tanpa sebuah negara yang menjalankan hukum Islam.

Sangat nyata sekali maju dan jayanya Islam justru bukan karena ia di jadikan sebatas nilai dan etika semata yang tidak boleh terlibat jauh dalam kehidupan masyarakat tapi ajarannya harus melebur ke tengah-tengah. Karena sekali lagi Islam dan ajaranya adalah denyut nafas umat itu sendiri dalam seluruh dimensi kehidupan yang beragam.

Posted by Suharmadi Assumi  on  08/14  at  05:08 AM

Sumber Islam adalah Qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Sunnah adalah segala perbuatan Rosul (termasuk Qur’an didalamnya). Rosul adalah sebagai teladan umat yang mengaku sbg umat Muhamad. Negara Madinah yg didirikan Rosul dikatakan bukan negara, karena kecil, tdk sesuai dg definisi negara modern, dll. Bagaimana dengan Negara Creta, Trojan di Yunani? bukankah mereka sekecil kota. Atau Babilonia dan Mesopotamia di Irak yang juga sekecil kota pada mulanya. Atau tengok negara Singapura. Bukankah saat itu Rosul sudah punya tentara, Mengirim duta ke negara-negara sekitarnya? Kemudian dilanjutkan dengan kekhalifahan para sahabat. Inilah sistem kenegaraan yang berkeadilan lain dengan sistem non Islam saat itu yang kerajaan. Memang benar setelah era sahabat ada penyimpangan menjadi seperti sistem kerjaan. Seperti halnya demokrasi ada kudeta militer. Tetapi ini tidak menutup bahwa negara dg sistem Islam pernah ada.

Posted by m. fauzi  on  08/13  at  10:08 AM

Sumber Islam adalah Qur’an, Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Sunnah adalah segala perbuatan Rosul ( termasuk Qur’an didalamnya ). Rosul adalah sebagai teladan umat yang mengaku sbg umat Muhamad. Negara Madinah yg didirikan Rosul dikatakan bukan negara, karena kecil, tdk sesuai dg definisi negara modern, dll. Bagaimana dengan Negara Creta, Trojan di Yunani? bukankah mereka sekecil kota. Atau Babilonia dan Mesopotamia di Irak yang juga sekecil kota pada mulanya. Atau tengok negara Singapura. Bukankah saat itu Rosul sudah punya tentara, Mengirim duta ke negara-negara sekitarnya? Kemudian dilanjutkan dengan kekhalifahan para sahabat. Inilah sistem kenegaraan yang berkeadilan lain dengan sistem non Islam saat itu yang kerajaan. Memang benar setelah era sahabat ada penyimpangan menjadi seperti sistem kerjaan. Seperti halnya demokrasi ada kudeta militer. Tetapi ini tidak menutup bahwa negara dg sistem Islam pernah ada.

Posted by m. fauzi  on  08/13  at  10:08 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq