Dibutuhkan Islam sebagai Spirit - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
11/08/2002

Masdar F. Mas’udi: Dibutuhkan Islam sebagai Spirit

Oleh Redaksi

Agama dalam hal ini jelas adalah spiritnya, moralitasnya, nilai-nilai etik dan moralnya. Jadi bukan lembaga agama yang harus mengontrol negara dan bukan pula elit-elitnya. Tapi semangat religiusitasnya itu yang harus mengontrol kehidupan bernegara. Di mana letak religiusitas dan moralitas itu? Itu ada di hati nurani setiap warganegara. Tugas agama adalah membangun kesadaran kritis di kalangan umatnya untuk menjadi kekuatan kontrol terhadap negara itu sendiri.

Setiap kali Sidang Tahunan MPR digelar, pasal 29 ayat 1 UUD 1945 selalu menjadi titik krusial perdebatan di dalam maupun di luar parlemen. Sebenarnya pada Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang diadakan tanggal 26-28 Juli lalu, telah menghasilkan rekomendasi agar pasal 29 UUD 1945 tetap dipertahankan dan tidak diutak-atik. Namun tetap saja ada aspirasi umat Islam yang ingin mencantumkan kembali tujuh kata “Piagam Jakarta” ke dalam UUD 1945 agar penerapan syariat Islam dikontrol dan menjadi tugas negara.

Nah, untuk membahas persoalan kembali mengenai Negara, Islam dan penerapan syariat Islam, Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Utan Kayu (KUK) mewawancarai Masdar F. Mas’udi, Wakil Katib Syuriah PBNU yang juga Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta. Berikut petikan wawancaranya yang disiarkan Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada 8 Agustus 2002:

Pak Masdar, secara umum, bisa Anda jelaskan format ideal hubungan agama dan negara itu?

Hubungan antara agama dan negara memang persoalan yang rumit. Dan itu telah menjadi isu, perdebatan, pergulatan, bahkan menjadi sumber konflik berabad-abad. Seperti kita tahu, ada tiga pola yang berkembang dalam peradaban manusia menyangkut hubungan agama dan negara. Pertama, agama disubordinasikan, ditundukkan dalam kuasa negara. Kedua, sebaliknya kuasa negara yang ditundukkan di bawah kuasa agama. Dan ketiga, seperti yang terjadi sekarang ini, kuasa agama dipisah dengan kuasa negara dengan kapling wilayah dan kekuasaan masing-masing; agama mengurusi persoalan kehidupan privat, dan negara mengurusi kehidupan publik. Itu perkembangan terakhir yang lebih dikenal dengan hubungan agama dan negara secara sekularistik.

Saya pikir masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dan memiliki konteks berbeda. Tapi kalau kita lihat pada perkembangan terakhir, ketika agama ditarik ke ruang privat dan negara sepenuhnya yang menjadi penguasa untuk mengurusi kehidupan publik, ternyata ada persoalan yang serius, karena negara pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang netral. Yang paling menentukan dari sebuah negara adalah siapa yang mengendalikannya. Itu pertanyaan yang paling penting. Maka ketika negara dibebaskan dari pengaruh agama dan negara sekarang berdiri sendiri, siapa sesungguhnya yang ada di balik negara. Inilah kemudian yang sangat menentukan dan mewarnai corak kehidupan bernegara.

Ternyata negara telah menjadi alat segelintir orang; elit kekuasaan yang gila kekuasaan dan juga elit ekonomi yang juga rakus dengan kekuasaan ekonomi dan uang. Nah, inilah yang sesungguhnya yang telah menyebabkan negara dalam dunia sekuler telah menjadi alat dari kerakusan itu sendiri dan akibatnya adalah terjadinya petaka kemanusiaan yang luar biasa dan berskala global. Ada ketertindasan umat manusia, ketidakadilan, kezaliman sampai pada pemiskinan yang luar biasa. Memang, sekali lagi, dalam hal ini negara diperalat oleh kekuatan yang ada di baliknya.

Tapi negara seperti itu, seperti yang dipraktekkan Orde Baru, bukan negara demokrasi. Kalau demokratis, ia akan mementingkan suara rakyat?

Ya, normatif atau teorinya begitu. Tapi sesungguhnya, negara yang demokratis pun akan ada kekuatan-kekuatan elit yang paling dominan, jauh lebih dominan dari kekuatan rakyat itu sendiri.

Nah, di sinilah kita merasa memerlukan suatu spirit tertentu, yang bisa menjadi pengendali negara itu sendiri. Dan spirit itu bukan kerakusan. Tapi spirit nilai-nilai kemanusiaan.

Anda tidak percaya, prosedur check and balances dalam demokrasi dapat mengontrol kerakusan itu?

Karena ternyata, dalam negara demokrasi sekalipun, partisipasi masyarakat terbatas sekali. Kita lihat saja misalnya, kampium demokrasi seperti Amerika Serikat. Di sana partisipasi publiknya sangat rendah. Dalam pemilu misalnya, rata-rata hanya lima puluh persen yang menggunakan hak pilihnya. Dan yang lima puluh persen ini adalah rakyat pada umumnya atau rakyat kelas menengah ke bawah. Ini artinya bahwa partisipasi dari publik dalam ikut menentukan corak negara agar berpihak kepada pemerataan. Bisa jadi negara dikooptasi oleh kekuatan menengah ke atas.

Anda berharap posisi agama di mana?

Kita harus kembali pada tanggung jawab moral umat beragama yang paling mendasar yaitu persoalan kemanusiaan. Kalau agama tetap berada pada kurungan ruang privatnya, dan dia merasa enjoy di situ, sesungguhnya agama seperti ini adalah agama yang tidak mempunyai tanggung jawab moral terhadap kemanusiaan.

Untuk mengoreksi kerakusan negara, maka agama harus menunjukkan perannya. Nah, peran seperti apa yang Anda inginkan itu?

Di sini perlu dibikin jelas. Agama dalam hal ini jelas adalah spiritnya, moralitasnya, nilai-nilai etik dan moralnya. Jadi bukan lembaga agama yang harus mengontrol negara dan bukan pula elit-elitnya. Tapi semangat religiusitasnya itu yang harus mengontrol kehidupan bernegara. Di mana letak religiusitas dan moralitas itu? Itu ada di hati nurani setiap warganegara. Tugas agama adalah membangun kesadaran kritis di kalangan umatnya untuk menjadi kekuatan kontrol terhadap negara itu sendiri.

Tentu saja di sini harus ada partisipasi dari warganegara berdasarkan landasan religiusitasnya untuk membangun tatanan yang adil sebagai pesan transendental. Jadi berpartisipasi dalam kehidupan bernegara bukan semata-mata dengan kalkulasi kepentingan sesaat dan pribadi. Tapi merupakan kalkulasi kepentingan transendental itu. Dan itu hanya dipahami melalui penghayatan keagamaan.

Anda mengatakan bahwa nilai-nilai religiusitas dapat diharapkan untuk membimbing negara yang rakus itu. Bagaimana Anda menanggapi ajakan untuk melaksakan syariat Islam yang disinyalir dapat menjadi solusi?

Memang diskusi ini tidak sederhana. Kembali kepada yang saya katakan tadi. Agama pun seharusnya melakukan penajaman spiritualitasnya masing-masing pada penghayatan umatnya. Taruhlah, saya suka mengatakan misalnya adanya spiritualitas yang suka digarisbawahi oleh masing-masing agama yang punya nilai keunggulan masing-masing. Kristen misalnya, dengan nilai cinta kasihnya dan pemihakan pada yang lemah, Islam dengan nilai keadilannya, Budha dengan kesederhanaannya dan lain-lain. Saya kira dari sinilah partisipasi umat beragama dalam membangun tata hubungan bernegara yang diinginkan. Misalnya bagaimana merefleksikan nilai kasih dan pemihakan pada yang lemah seperti diirefleksikan oleh umat yang ada di Barat dengan basis Kristianinya. Itu ‘kan indah sekali dan pasti tidak akan ada penjajahan dan imperialisme.

Dan saya pikir, mengapa yang terjadi sebaliknya? Karena adanya proses privatisasi agama dan agama pun mengalami proses pengkaratan. Agama kemudian lebih dipahami sebagai suatu kekuatan yang hierarkis, sebagai organized religion ketimbang sebagai spirit dan religiusitas itu sendiri. Dalam hal inilah sesungguhnya apa yang dimaktubkan dalam dasar negara kita bahwa negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, ini sebuah pintu masuk yang luar biasa. Belum ada terjemahan masalah ini sama sekali. Apa makna negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa itu? Tidak ada satu pasal pun yang berbicara masalah ini.

Kemudian yang kita perbincangkan adalah seperti yang sekarang ini lagi diramaikan, negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Nah ini nggak nyambung. Juga misalnya, Ketuhanan yang Maha Esa itu bukan hanya persoalan umat Islam. Dalam konteks kehidupan religiusitas di negara kita, UUD 1945 ini ‘kan dokumen bersama. Mengapa Ketuhanan yang Maha Esa yang inklusif itu kok tiba-tiba kata berikutnya diikuti dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya? Ini juga nggak setara.

Ada juga usulan semua umat beragama agar menjalankan syariat agama masing-masing.

Ini juga persoalan yang kedua, bahwa kewajiban menjalankan agama, itu kok kemudian menjadi dokumen negara plural. Ironisnya, kenapa negara yang harus mewajibkan perangkat ritual dan kenapa pula negara yang harus menyediakan aparat penekan, aparat represi agar umat beragama menjalankan syariat agamanya?

Menurut saya, hal itu tidak nyambung. Pertanyaan yang muncul kemudian; negara dituntut untuk menjadi penegak syariat, tetapi negara itu sendiri ditegakkan atas prinsip apa? Ini persoalan yang menurut saya lebih serius ketimbang bagaimana mengatur umat beragama dengan ritual agamanya. Negara sendiri akan diatur dengan cara apa? Dengan norma-norma semacam apa? Sayangnya, hal ini tidak dibicarakan. Jadi kalau negara sendiri tidak jelas aturannya, bagaimana mungkin ia diberikan kewajiban seperti itu. Jelas pikiran untuk memformalkan syariat dengan meminjam tangan negara ini luar biasa kacaunya.

Bila agama harus menjadi spirit nilai bagi negara, tapi nyatanya, agama bagi mayoritas kita masih berupa simbol-simbol. Bagaimana mengubah agama dari slogan menuju spirit itu?

Sebenarnya ‘kan UUD 1945 itu sebuah kontrak atau cetak biru bagaimana negara itu ditata. Dalam pasal 29 UUD 1945 tidak diatur bagaimana negara ditata, tapi merumuskan bagaimana negara itu sendiri menata umat beragama dengan dasar ajaran-ajaran agama itu sendiri. Jadi pikiran meminjam negara untuk mewajibkan syariat itu sebenarnya tidak bisa dipahami sebab negara tidak punya kewenangan untuk itu. Apalagi yang dipahami umat Islam sekarang, Islam lebih dipahami sebagai ajaran-ajaran yang simbolik. Itulah sebabnya tidak ada korelasi, bahkan negatif. Misalnya umat Islam di Indonesia mayoritas, tapi perilaku korupnya kok tidak terbendung. Inilah sesungguhnya ironi keberagamaan umat Islam sendiri bahwa beragama yang dihayati tidak menyentuh apinya Islam, menurut bahasa Soekarno, tapi sekadar menyentuh abunya. Sekadar jargon-jargonnya saja. Soekarno juga punya bahasa lain, yakni Islam sontoloyo.

Sindiran Soekarno itu merupakan bahasa yang sangat menggigit. Islam seperti ini tidak bisa dibawa ke ranah negara. Nggak mungkin dan tidak ada gunanya Islam seperti itu dibawa dalam konteks bernegara. Yang dibutuhkan adalah Islam sebagai spirit. Kalau kita bicara spirit keadilan dalam Islam, justru di sinilah syariat Islam yang yang universal, bersifat menyeluruh, tidak hanya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan agama dan negara secara khusus seperti dalam pasal 29 UUD 1945. Saya sependapat dengan gagasan yang mengatakan bahwa semua aturan-aturan negara ini harus dijiwai dengan spirit keadilan itu.

Banyak yang mengatakan bahwa kewajiban menjalankan syariat agama itu bergantung pada individu umat beragama, bukan negara yang mengatur. Yang ingin saya tanyakan apakah kalau Piagam Jakarta dimasukkan bisa menjamin tata kehidupan negara kita akan lebih baik?

Saya sudah jelaskan itu di atas. Poin saya adalah Islam menjadi spirit, katakanlah prinsip keadilannya. Karenanya, ia harus direfleksikan pada seluruh regulasi dan aturan kehidupan bernegara itu sendiri. Misalnya dalam sebuah acara dengar pendapat di PBNU, saya mengusulkan pasal 23 UUD 1945 tentang penganggaran negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Itu harus dipertegas bahwa pihak mana yang disebut sebagai sasaran dari penganggaran negara? Prioritas itu harus tegas juga. Selama ini dikamuflase, apa saja yang menyangkut kesejahteraan rakyat diambil dari atas. Dengan begitu, ada pembicaraan syariat yang substantif.

Sementara pasal 29 UUD 1945 yang diributkan itu rupanya hanya berkaitan dengan masalah yang simbolik belaka. Diskusi dan perdebatan masalah pasal ini dan tujuh kata itu hanya saya pahami sebagai diskusi politik saja. Itu wacana politik dan kepentingan politik yang berada di baliknya. Dan kadang-kadang yang memunculkan itu juga punya agenda politik, kemudian yang menolak pun terbawa oleh sikap politis juga. Jadi kalau mau berdebat dengan yang lebih substantif itu justru pada pasal-pasal yang lain; bagaimana negara diatur, bagaimana kekayaan negara ditasharrufkan.

Islam itu memang memuat sejumlah aturan-aturan yang menyangkut kehidupan pribadi dan sosial. Nah bagaimana menempatkan aturan-aturan personal semacam ini bila mau ditegakkan melalui pasal 29?

Nah, itu perlu dibikin distingsi. Ketika kita bicara masalah syariat Islam dalam hal ajaran, kita bisa memilah menjadi tiga level: Pertama, yang berkaitan dengan keyakinan. Keyakinan saya pada Tuhan, hari akhir, itu sangat pribadi sekali sifatnya. Tidak bisa disamakan dengan orang lain. Jangankan yang berbeda agama, seagama sekalipun tentang apa yang saya definisikan tentang Tuhan mungkin saya berbeda dengan Anda. Ini ruang privat yang luar biasa dan sangat pribadi. Negara tidak berhak mengintervensi dan bahkan saya katakan, tak berhak mengaksesnya. Yang kedua, ekspresi keagamaan yang bersifat simbolik dan komunal semacam shalat. Itu ‘kan merupakan ekspresi dari keberimanan. Sujud, ruku’, haji dan lain-lain itu ‘kan sifatnya simbolik. Dia juga komunal karena memiliki makna identitas. Nah, dua hal ini yang bersifat pribadi dan simbolisasi komunal ini negara tidak punya tempat untuk ikut campur.

Jadi Anda tidak setuju misalnya ada polisi untuk mengawasi orang berpuasa?

Ya, itu sama sekali tidak bisa diterima dan tidak masuk akal. Pertama, secara teologis tidak bisa, dan kedua, secara teknis juga tidak mungkin. Bagaimana mengawasi shalat umat Islam yang jumlahnya sekitar 200 juta ini. Bagaimana polisi lalu lintas yang semua orang tahu polisi nggak bisa mengurusi kemacetan kok kemudian mengurusi shalat. Secara teologis juga nggak bisa. Bagaimana mungkin orang shalat karena takut ditilang atau dipenjarakan? Shalat cap apa seperti itu? Kalau Islam itu dipaksakan, berarti sudah tidak islami lagi. Sedangkan makna Islam itukan penyerahan, kalau sudah dipaksa-paksakan sudah tidak logis lagi khan? Nah begitu juga dengan urusan yang dalam fikih disebut sebagia al-akhwal al-sakhsiyyah. Itu juga nggak pada tempatnya negara mengurusi.

Bagaimana dengan aspek punitif misalnya potong tangan untuk pencuri?

Memang seluruh perdebatan tentang syariat Islam kalau diamati ujung-ujungnya ke situ. Ini kacau luar biasa dan ini terjadi akibat dari pemahaman umat Islam sendiri sehingga akhirnya orang lain pun mempersempit syariat Islam sekadar bermakna itu. Kalau orang memahami syariat Islam sekadar potong tangan itu bukan semata-mata kesalahan dia. Seringkali saya tanyakan pada pejuang formalisasi syariat Islam, apa sih sesungguhnya yang kalian pahami tentang syariat Islam itu? Eh, ternyata ujungnya seperti itu.

Suatu kelompok mengatakan bahwa puncak syariat Islam itu hudud yang berarti hukuman?

Nah itulah. Ada distorsi yang luar biasa. Syariat Islam disempitkan menjadi ahkam atau hukum-hukum legal. Hukum-hukum disempitkan lagi menjadi hudud. Ini distorsi penyempitan yang berlapis-lapis. Inilah yang selama ini dilakukan oleh orang yang menamakan diri mereka pejuang syariat. Pada dasarnya, saya mohon maaf, bahwa sebagian besar kawan-kawan yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam ini tidak cukup tahu apa yang dimaksud sesungguhnya dengan syariat Islam itu.

Jadi persoalan itu tidak bersifat sederhana. Ada level-level syariat hingga sampai pada persoalan yang sangat teknis seperti potong tangan. Di balik itu sebenarnya ada juga hukum-hukum Islam yang sudah diterima semua pihak misalnya, keharaman mencuri, keharusan untuk memberikan hukuman yang keras, itu ‘kan juga prinsip-prinsip syariat. Kenapa mencuri diharamkan karena itu bertentangan dengan dlaruriyyah al-khamsah seperti memelihara agama, harta benda, kehormatan dan lain-lain. []

11/08/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq