Euthanasia adalah Refleksi Kegagalan Jaminan Kesehatan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
06/03/2005

Masdar F. Mas’udi: Euthanasia adalah Refleksi Kegagalan Jaminan Kesehatan

Oleh Redaksi

Permohonan eutanasia merupakan refleksi kegagalan negara menyediakan jaminan kesehatan. Pemohon eutanasia Hasan Kesuma (10/04) dan Rudi Hartono (02/05) atas diri istri mereka sedang menggugah pemerintah mengenai carut-marutnya sistem kesehatan negeri ini. Bagaimana status hukum eutanasia menurut fikih? Ketua PB NU Masdar F. Mas’udi menuturkan kepada Novriantoni dari JIL (Kamis 24 Februari 2005).

Gonjang-ganjing permohonan euthanasia yang sempat melanda kita, sesungguhnya merupakan refleksi kegagalan negara dalam menyediakan sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat. Itu dapat dicermati, setidaknya dari dua kasus permohonan euthanasia terakhir. Secara implisit dapat ditangkap, bukan kehendak menyingkat hidup isterinya yang sungguh-sungguh diharap Hasan Kesuma (10/2004) maupun Rudi Hartono (02/2005). Keduanya sebenarnya sedang bermanuver untuk mengetuk hati pemerintah dan membuka mata kita akan carut marut sistem kesehatan negeri ini. Lantas bagaimana status hukum euthanasia an sich menurut sudut pandang fikih? Untuk menjawab itu, Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal berbincang-bincang dengan KH. Masdar Farid Mas’udi, salah seorang ketua PBNU, sekaligus direktur P3M, Kamis, 24 Februari kamarin.

NOVRIANTONI: Pak Masdar, ada dua kasus permohonan euthanasia yang cukup mengguncang kita dalam beberapa bulan terakhir. Pertama kasus pasangan Hasan Kesuma-Isna Nauli (10/2004), dan kedua Rudi Hartono-Siti Zulaekha (02/2005). Menurut Anda, ini menunjukkan gejala apa?

MASDAR FARID MAS‘UDI: Menurut cerita yang saya dengar dari Anda, beberapa kasus permintaan euthanasia itu diduga berawal dari kasus malparktik kedokteran. Ini memang dua hal yang berbeda dan dua perkara yang berdiri sendiri, sekalipun masih ada hubungannya. Kita sekarang fokus soal euthanasia, yaitu usaha untuk menghentikan hidup seseorang dengan alasan-alasan tertentu. Dari sudut pandang agama sudah sangat jelas bahwa soal kehidupan memang sangat dihormati, bahkan dianggap sakral. Makanya, tidak seorang pun berhak menghabisi jatah hidup seseorang, atau membuat orang lain, bahkan dirinya sendiri, teresiko kematian.

NOVRIANTONI: Jadi jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, ya?

MASDAR: Ya, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri.

NOVRIANTONI: Pak Masdar sudah mengambarkan pandangan normatif-keagamaan. Tapi kenyataan sosial yang dihadapi mereka yang mohon euthanasia itu jauh lebih kompleks. Misalnya, ada soal keputusasaan atas sistem kesehatan, ketidakmampuan menopang biaya pengobatan, dan lain-lain. Tanggapan Anda?

MASDAR: Sebenarnya memang ada kecarut-marutan dan ketidakadilan di situ, misalnya soal malpraktik. Sebagian kasus malpraktik memang benar-benar terjadi, tapi tidak diketahui oleh publik yang luas. Sejauh ini, belum ada penyelesaian yang terasa adil atau memenuhi rasa keadilan para korban. Beberapa kasus malpraktik yang terjadi selalu berakhir dengan kekalahan di pihak pasien. Dokter yang diduga bersalah lagi-lagi bisa selamat dari tanggung jawab. Padahal, dugaan (malpraktik) itu saya kira memang terjadi, karena siapa lagi yang melakukan kalau bukan dokter. Ketidakadilan ini mungkin terjadi karena pihak yang memutuskan siapa yang bersalah juga sesama dokter. Artinya, ada aspek subjektivitas dalam proses pengambilan keputusan. Bagaimanapun juga, dokter-dokter itu tetaplah manusia yang punya feeling corps-group atau rasa sebagai satu kelompok. Ini juga persoalan yang harus kita pecahkan, supaya kita tidak terlalu lama membiarkan proses menghakimi diri sendiri. Ketidakadilan misalnya juga terjadi pada kasus pelanggaran yang dilakukan anggota kepolisian. Polisi yang melakukan pelanggaran, justru dihakimi kalangan internal mereka juga. Akibatnya, keputusan hakimnya juga tidak memberikan rasa keadilan publik.

NOVRIANTONI: Pak Masdar, kita tahu permasalahannya sangat kompleks. Ketika akan menetapkan hukum agama, apakah kompleksitas pengalaman manusia itu juga masuk dalam pertimbangan?

MASDAR: Saya kira, pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berkelindan dengan hukum positif. Sebab, di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik dan moral yang juga bersifat publik. Misalnya soal perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dan hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodir. Makanya, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.

NOVRIANTONI: Pak Masdar, persoalan euthanasia ini termasuk kategori soal-soal kontermporer yang belum jelas rumusan hukum fikihnya. Nah, bagaimana merumuskan hukum fikih untuk kasus-kasus seperti ini?

MASDAR: Memang kasus ini persoalan baru. Dulu kita hampir tidak pernah mendengar istilah euthanasia. Sekarang sudah ditemukan alat pacu jantung. Makanya, sekarang seorang pasien bisa saja sudah tidak lagi bisa dikatakan hidup dari sudut kesadaran, tapi jantungnya masih berdegup karena dipacu. Nah, ketika alat pacu jantung itu dilepas, maka jantungnya langsung berhenti. Makanya, perumusan hukum fikih juga harus betul-betul peka terhadap kemajuan dan kompleksitas persoalan seperti itu.

Sebenarnya perbedaan hukum fikih dengan hukum positif adalah kenyataan bahwa hukum positif dikawal oleh kekuasaan. Kalau kita bicara soal euthanasia dari sudut pandang hukum positif, sudah jelas itu tidak dibenarkan. Dalam pandangan hukum Islam atau fikih saya kira sama saja. Artinya, aksi tertentu yang secara sengaja berakibat pada berakhirnya kehidupan seseorang, selalu saja tidak dapat dibenarkan.

NOVRIANTONI: Tapi kondisi yang dialami mereka yang memohon euthanasia akhir-akhir ini terlihat begitu kompleks, kan?

MASDAR: Sebenarnya permintaan euthanasia yang diajukan beberapa orang belakangan ini, erat hubungannya dengan soal beban biaya. Inilah persoalan yang real. Ini artinya, kita tidak bisa bicara tentang kasus euthanasia semata-mata dari sudut boleh atau tidaknya menurut kaca mata agama. Ada aspek lain yang lebih luas dari sekedar itu. Saya pikir, ketika kita menemukan kasus di mana orang harus menyelamatkan hidup, sementara beban biaya sangat berat, dan mereka atau keluarganya tidak mampu, ini sudah menjadi tanggung jawab negara. Pemerintah mestinya berperan di situ. Jangan sampai ada orang yang jatuh bagkrut demi menyelamatkan hidupnya, apalagi sampai tidak mempu membiayai.

NOVRIANTONI: Jadi sebenarnya kasus ini refleksi dari kegagalan negara dalam menjamin kesehatan masyarakat?

MASDAR: Ya, karena kita merasakan bahwa permintaan eutanasia yang muncul dari keluarga yang sedang sakit, sangat terkait dengan soal beban biaya yang tidak tertanggung lagi. Jadi sebenarnya masalah ini hampir tidak ada sangkut-pautnya dengan permintaan memutus nyawa itu sendiri. Faktanya, dalam permintaan euthanasia terakhir, orang yang diminta untuk dieuthanasia ternyata justru bisa sembuh kembali setelah mengalami beberapa alternatif pengobatan. Makanya, secara etis akan menjadi sangat riskan dan kontroversial bila keputusan euthanasia itu diambil.

NOVRIANTONI: Jangan-jangan, kasus ini heboh karena liputan media yang gencar saja. Sekiranya, mereka melakukan “euthanasia” secara sembunyi-sembunyi, misalnya dengan membawa yang sakit parah itu ke rumah, mungkin tidak akan terjadi ribut-ribut seperti ini...

MASDAR: Ya, tentu ada unsur blow-up media yang membuat sesuatu menjadi lebih heboh dari yang semestinya. Tapi menurut saya, tetap harus ada jaminan hukum atau undang-undang yang membantu orang tertentu yang tidak bisa membiayai pengobatan. Negara harus turun tangan membantu kasus-kasus seperti itu, sehingga orang tidak lagi mengambil jalan euthanasia. Saya yakin, sebenarnya negara ini mampu melakukan itu semua asalkan ada kemauan politik yang kuat dari pihak yang punya kewenangan untuk itu. Sejauh ini mungkin belum terlaksana, karena kenyataannya memang tidak ter-cover. Mereka yang mengaku bahwa keluarganya betul-betul tidak mampu, sejauh ini belum mendapat uluran tangan apa-apa. Media juga tidak memberitakan apapun.

NOVRIANTONI: Tapi berkat media juga sebetulnya kasus-kasus seperti ini mendapat cukup perhatian!

MASDAR: Ya, tapi tidak boleh dibiarkan secara sporadis seperti sekarang. Harus ada suatu pendekatan yang sistemik dan lebih meyakinkan. Jaminan sistemik dari pemerintah mesti ada. Jadi jangan hanya karena diliput oleh media, lalu satu dua orang menjadi peduli. Makanya, harus ada jaminan yang positif dan pasti dari negara itu sendiri. Bagi keluarga yang mampu membiayai pengobatan pada penyakit yang akut, otomatis dia menanggung sendiri.

NOVRIANTONI: Pak Masdar, sekarang ada juga beberapa orang yang menyebut bahwa kita sedang berada dalam ancaman euthanasia demografis dengan cepatnya pertumbuhan penduduk. Makanya, muncul usul tentang perlunya fikih kependudukan untuk menanggulangi bunuh diri sosial. Tanggapan Anda?

MASDAR: Ini tema tersendiri lagi. Tapi memang tingkat constrain atau hambatan agama untuk program keluarga berencana dan usaha-usaha pembatasan penduduk di negeri ini tinggal 0,5% saja. Itu sangat sedikit dan nyaris sudah tidak berarti. Fatwa fikih soal kependudukan di negeri ini memang sudah sangat radikal dibandingkan negara-negara lain, apalagi Timur Tengah. Sekarang persoalannya, bagaimana penyelesaian soal kependudukan dari dimensi yang lain (selain pandangan agama), seperti dari tata hukum dan perundang-undangan negara? Pertanyaannya, sejauh mana undang-undang di Indonesia telah menerjemahkan amanat proklamasi berupa jaminan kesejahteraan bagi orang yang tidak mampu, kaum fakir miskin, anak yatim, dan mereka yang mestinya dijamin oleh negara? Kalau kembali ke soal euthanasia, bagaimanapun juga, kasusnya masih bisa dihitung jari. Masak negara tidak mampu menaggulangi keputusasaan beberapa warga negaranya sehingga harus memohon euthanasia?!

06/03/2005 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Komentar

Masdar F. Mas’udi: Euthanasia adalah Refleksi Kegagalan Jaminan Kesehatan Dimuat: 7/3/2005 - Publikasi: 7/3/2005 Permohonan eutanasia merupakan refleksi kegagalan negara menyediakan jaminan kesehatan. Pemohon eutanasia Hasan Kesuma (10/04) dan Rudi Hartono (02/05) atas diri istri mereka sedang menggugah pemerintah mengenai carut-marutnya sistem kesehatan negeri ini. Bagaimana status hukum eutanasia menurut fikih? Ketua PB NU Masdar F. Mas’udi menuturkan kepada Novriantoni dari JIL (Kamis 24 Februari 2005).

Assalamualaikum Adapun maksud tulisan ini adalah pengungkapan dari seseorang yang ingin berada dalam posisi independen dan memberi masukan bagi para pembaca dalam menyingkapi suatu masalah yang berhubungan dengan kedokteran (Euthanasia adalah Refleksi Kegagalan Jaminan Kesehatan) sehingga dalam berkomentar masalah tersebut dapat bersifat obyektif dan bijak.

Untuk itu, sebaiknya kita mengerti pada SKALA PRIORITAS PENANGANAN KEGAWAT DARURATAN

Sebagai contoh pemberitaan tidak benar malpraktik dari Surat kabar TEMPO terbitan 1 Oktober 04 mengabarkan bahwa seorang ibu menggugat dokter ahli kebidanan karena waktu anaknya yang lahir melalui operasi section caesarea ternyata mengalami fraktur femur (patah tulang paha), dan ternyata sampai anak berumur 3 bulan benjolan di daerah patah tulang tetap ada, akan tetapi rasa sakit sudah jauh berkurang. Team dokter Rumah Sakit Medistra dituntut karena malpraktik dan diminta ganti kerugian 17 miliar rupiah.

Yang menjadi masalah dalam pemberitaan kasus ini adalah apakah benar dokter kebidanan itu telah melakukan malpraktik, ataukah masyarakat tidak memahami apa yang telah terjadi ? Marilah kita ulas bersama peristiwa itu tahap demi tahap ditinjau dari sudut pandang kedokteran, walaupun informasi ini hanya berasal dari surat kabar. Seharusnya, kita mendapatkan informasi dari kedua belah pihak, sedangkan penulis mencoba berdiri dipihak independent, dan hanya mendapat informasi dari Koran Tempo ini.

Tahapan kemungkinan prosedur yang telah terjadi adalah: 1.Tentunya saat ibu mengandung selalu melakukan perawatan dan pemeriksaan kehamilan pada dokter tersebut secara rutin, dan pada saat akhir kehamilan sudah diketahui bahwa sang bayi dalam kandungan dalam posisi sungsang, suatu letak bayi yang tidak biasa, dimana kaki ada di bawah, yang seharusnya posisi yang benar (pada umumnya) adalah kepala di bawah (rongga panggul), dan kemungkinan sudah masuk rongga pelvix, yang akan memerlukan tindakan khusus pada saat dilahirkan. Sang ibu harus sudah menyadari ini, dan informasi yang diterangkan oleh dokter merupakan bentuk dari informed consent. 2. Apabila letak bayi sungsang dibiarkan lahir melalui jalan lahir alamiah (melalui vagina), dengan suatu kemungkinan akan mendapatkan kelahiran yang beresiko tinggi, yaitu akan mengalami kesulitan saat dilahirkan, dan pada akhirnya akan mengalami kecacatan ataupun sampai suatu kematian. Itulah sebabnya dokternya telah menganjurkan untuk dilakukan operasi section caesarea, suatu kelahiran melalui jalan operasi yaitu melalui lobang/jalan buatan pada dinding perut bagian bahwa yang disayat sedemikian rupa tentunya dengan pisau operasi sampai ke rahim yang berisi bayi, dan kemudian dinding rahim akan disayat juga sampai dengan dinding dalam rahim.  3. Selanjutnya sang bayi akan dipegang (diidentifikasi) dan ditarik untuk dikeluarkan melalui lubang yang dibuat tadi, tentunya ini perlu ketrampilan khusus, dan sang bayi akan segera diserahkan pada dokter ahli penyakit anak secepatnya, yang sudah berada di kamar operasi untuk menangani awal kehidupan dalam dunia baru sang bayi dengan kemampuan sendiri.

Marilah kita bersama membayangkan kejadian tersebut. Di sini timbul masalah, sang dokter harus bekerja dengan penuh konsentrasi karena saat rahim disayat mengakibatkan darah keluar, yang harus berpacu dengan kecepatan pengeluaran sang bayi dari dalam rongga rahim, dan selanjutnya oleh sang dokter ahli anak harus sesegera mungkin diusahakan agar sang bayi menangis, yang artinya sang bayi tersebut mampu bernapas spontan, ini menandakan bahwa jalan napas sang bayi baik, tidak ada kelainan yang berarti, alat napas mampu memasuk-keluarkan udara (oxygen-CO2).  Ini moment yang sangat krusial, berarti keadaan ini merupakan keadaan yang sangat gawat (kegawat daruratan) bagi si ibu maupun sang bayi untuk mendapatkan hasil akhir (outcome) yang baik dalam arti semua ibu dan bayi selamat.  Pada kenyataannya ibu selamat, tapi sang bayi mengalami patah tulang paha.  Mengapa ini terjadi, mari kita ulas lagi tahap demi tahap: 1. Penanganan pasien dalam kegawatan darurat harus dilakukan secara skala prioritas sesuai dengan kondisi penyakit yang dialaminya pada saat tersebut apakah akan mengancam jiwanya.  2. Adapun skala prioritas tersebut didasarkan pada berat ringannya fungsi organ tubuh dalam menghadapi kegawat daruratan yaitu:  a. Breathing (B.1) = apakah pernapasannya terganggu tidak, sebab kita menyadari bahwa kalau kita tidak bisa bernapas sampai 3 menit saja maka akan terjadi kerusakan pada organ lainnya. b. Blood (B.2) = darah, apakah darah yang berada dalam pembuluh darah itu tidak mengalami kebocoran, darah mancer keluar, sebab ini akan menyebabkan berkurangannya volume darah yang mengalir dalam tubuh si ibu. Di sini sang ibu sedang mengalami operasi penyayatan dinding perut dan dinding rahim, belum lagi perdarahan akibat plasenta (ari-ari) terlepas dari dinding dalam rahim. Tentunya perdarahan yang terjadi akan mengganggu fungsi organ vital lainnya, apabila operasinya “berleha-leha.”Yang pada akhirnya akan terjadi MOF (multi organ failure). c. Brain (B.3) = otak. Kalau aliran darah dan oxygen berkurang ke otak akibat perdarahan tadi maka otak akan mengalami kekurangan oxygen dan berlebihan CO2, ujung-ujungnya otak mengalami kerusakan permanen. d. Bladder (B.4) = kandung kemih = sistem urogenitalia, produksi air kencing perlu dipantau, karena dapat memantau fungsi metabolisme jaringan tubuh, sebagai cerminan kerja sel-sel apakah berjalan normal atau memburuk. e. Bowel (B.5) = sistem saluran percernaan. f. Bone (B.6) = tulang = system musculoskeletal, yang kebetulan sang bayi telah mengalami patah tulang paha itu tadi. 3. Semua pernyataan di atas tersebut dan dihubungkan dengan kondisi sang ibu dan bayi menunjukan suatu kegawatan darurat, dengan demikian yang dialami sang bayi berupa patah tulang paha tadi mempunyai skala prioritas keenam. Yang terpenting saat operasi sedang berlangsung adalah kondisi ibu yang menjalani operasi section caesarea mempunyai skala prioritas B.2 (blood), sedang sang bayi sedang mengalami kegawat daruratan B.1 (breathing). Ini berarti bahwa sang dokter memang sedang dalam keadaan sangat delimatis, harus segera membuat keputusan segera, tindakan apa yang dilakukan agar semua dapat diselamatkan. Harus diingat sang bayi berada dalam posisi sungsang, berarti sang bayi yang akan dikeluarkan dari rongga rahim dengan cara ditarik, yang tidak dalam kondisi seperti bayi dalam rahim pada umumnya yaitu letak kepala.  4. Sang dokter tidak menghendaki sang ibu mengalami perdarahan, dan juga sang bayi harus segera bernapas. Di sini sang dokter kemungkinan sedang mendapatkan kesukaran dalam mengeluarkan kaki sang bayi, mungkin sebagian kaki sudah masuk kejalan lahir alamiah. Dokter harus berpikir dan mengambil keputusan segera, harus dalam hitungan beberapa detik. Memang sangat tragis kondisi ini. 5. Yang paling ringan komplikasi yang bakal terjadi apabila semua yang dikerjakan oleh sang dokter tersebut adalah hanya pada kaki saja yang di”paksa” keluar akan mengalami patah, di lain pihak jiwa sang ibu dan bayi dapat diselamatkan, dalam arti tidak akan menyebabkan suatu kematian ataupun suatu kecacatan. Seandainya ada usaha lain dalam penyelamatan kaki agar tidak mengalami patah, maka usaha ini tidak memungkinkan karena terbatas waktunya hanya beberapa detik, karena operasi pada momentum ini tidak dapat berleha-leha. 6. Perlu diingat bahwa patah tulang pada bayi yang baru mengalami perubahan mendadak yaitu semula proses kehidupan dalam air, dan secara tiba-tiba berada dalam kehidupan di alam terbuka (udara). Patah tulang tersebut tidak perlu dikhawatirkan karena proses penyembuhan patah tulang akan berjalan sangat cepat, lebih cepat dari pertumbuhan sel (bagian tubuh) yang mengalami keganasan, kemampuan ini merupakan karunia Allah swt yang sangat mengagumkan. Yang diperlukan sekarang adalah patahan tulang tersebut harus dalam kondisi diam (immobilisasi), harus di bidai, agar tidak menimbulkan rasa sakit. Biasanya kalau bayi diam, tidak rewel, ini artinya tidak merasa sakit. Dilain pihak rasa sakit merupakan tanda penting yang juga dapat dianggap menggembirakan karena tanda ini merupakan tanda bahwa sang bayi mempunyai sistem persyarafan yang normal saat awal menjalani kehidupan baru.

Apabila semua usaha itu (prosedur baku) telah dijalankan maka patah tulang yang terjadi merupakan komplikasi akibat adanya keadaan posisi bayi dalam kandungan tidak seperti biasanya. Kita semua harus bersikap bijak, yang jelas dokter telah terikat pada sumpah dokter, diharapkan telah berusaha semaksimalnya sesuai dengan skala prioritas tadi. Yang terpenting saat ini adalah sang ibu dan bayi selamat dan masih menjalani kehidupan ini, dan masyarakat jangan dulu berkomentar seperti di pikiran pembaca apabila masalah belum jelas karena pengatahuannya (pengeritik) belum sampai pada pengetahuan kondisi ini. Mudah-mudahan dengan bertambah informasi dalam skala prioritas kegawat daruratan ini semua dapat berpikir lebih jernih dan bijak.

Dakwaan dokter melakukan malpraktik saat ini sedang ngetren, akibat ulah profesi lain yang tidak bijak karena tidak mendapatkan informasi jelas, di lain pihak kita perlu ingat bahwa keterangan klinik mengenai pasien merupakan sesuatu rahasia yang harus dipegang erat oleh penderita maupun oleh dokternya. Coba bayangkan seandainya semua dokter mogok karena selalu dipersalahkan oleh mereka yang tidak mengerti secara mendalam mengenai suatu penyakit dan komplikasinya, mereka melakukan seperti ulah sebagian masyarakat yang melakukan demontrasi menuntut sesuatu tetapi tidak tau persis apa yang terjadi. Perlu diketahui bahwa negara Indonesia sekarang sudah mempunyai UU Praktik Kedokteran, yang akan melindungi semua pihak, dan pada akhirnya diharapkan dokter akan dapat bekerja dengan nyaman dalam menangani kasus penyakit sesuai dengan kopetensinya. Kalau “diadili” maka akan diadili oleh orang yang mengetahui bidang kedokteran. Sedangkan bagi dokter bekerja diluar jalur itu maka bersiaplah mendapatkan masalah yang tidak nyaman yang akan menimbulkan reaksi dari subsistem sosial lainnya. Walaupun sangat berat dirasakan apalagi dibandingkan dengan paranormal bertipu-daya, yang telah mengisap duitnya dengan janji kesembuhan, katanya kesembuhan dari Tuhan, yang ujung-ujungnya yang didapat kematian juga. Masyarakat diam membisu karena telah sadar dia telah menjadi korban tipuan (bentuk eutanasia lainnya).

Berbicara mengenai eutanasia sebenarnya telah banyak terjadi sejak dulu, seperti penyakit berat dalam kondisi terminal, maupun penderita yang mengalami keganasan p-ada suatu jaringan. Kalau keganasan ditemukan secara dini maka itu ada kemungkinan dapat sembuh, akan tetapi untuk kesembuhan memerlukan biaya sangat besar, mengapa (?) karena salah satu pengobatan harus digunakan chemoterapi (obat mahal), itupun semuanya harus disadari bahwa kemungkinan hidup 70 % artinya dia bisa hidup lebih lima tahun kedepan dimungkinkan, setelah mendapatkan segela prosedure pengobatan yang mahal itu. Seseorang yang telah di"vonis" menderita keganasan maka seluruh keluarga yang mengalami stress, sebab itu merupakan pertanda lonceng kematian bagi sang penderita. Memang demikian adanya apabila penyakitnya didiamkan atau justru pergi ke paranormal dengan mendapat janji akan kesembuhan, ini merupakan suatu bentuk penipuan, yang ujung-ujungnya merupakan pemeras harta keluarga penderita secara halus. Yang dalam kenyataannya penyakit terus akan berkembang, dan apabila penderita datang lagi ke RS tentunya kondisi penyakit tumornya sudah lanjut artinya keluarga merasa sudah berusaha dengan segala cara dan telah mengtahui bahwa penderita kemungkinan hidup sangat kecil, dan pada akhirnya biasanya keluarga akan membawa pulang untuk memberi kesempatan meninggal dunia di rumah. Ini juga adalah salah satu bentuk eutanasia yang paling sering terjadi, tanpa meminta diexpose di media.  Dan jangan lupa bahwa semua yang terjadi ini disebabkan oleh banyaknya kondisi miskin, sebenarnya tidak melulu tanggung jawab pemerintah, tapi yang terpenting adalah bagaimana masyarakat berjuang untuk lepas dari kemiskinan, yang salah satunya melahirkan anak dengan tanggungjawab yang benar, dalam arti dipikirkan mengenai makanan (gizi), pergaulan, pendidikan dsb sehingga tidak begitu saja diserahkan tanggung jawabnya pada pemerintah (?), itu tidak benar sebab ini artinya sama saja “enak di situ dalam membuat anak, engga enak di pemerintahan dalam menanggung kesehatannya”. Mudah-mudahan dalam menilai sesuatu itu diperlukan kearifan yang didapat dari sumber yang benar (Kosil Kedokteran Indonesia).

Sekian, terimakasih, wassalam.

##
-----

Posted by H. Bebey  on  03/16  at  06:03 PM

assalamu’alaikum, sholawat&salam senantiasa tercurah pd al-ma’shum saw saya setuju dengan pernyataan pak masdar mengenai euthanasia bukan sekedar persoalan agama, disini ada kompleksitas yg luar biasa mencakup persoalan kesehatan, sosial, dan peradaban manusia. dari sisi kesehatan kiranya kita tidak hanya mengkajinya dari sudut pandang malpraktek saja, banyak orang mengatakan kalau persoalan euthanasia ini timbul dr kegagalan dokter dlm treatment kpd pasien, atau bahkan “kesalahan praktikal” dr si dokter. prinsipnya dokter selalu berusaha memberikan terapi dan pelayanan yg terbaik sesuai dg sumpah dan standar etik kedokteran, namun dlm praktiknya kita tdk bisa selalu menuntut seorang dokter untuk bisa memberikan pelayanan yg complete dan successfull, tak ada yg mutlak di dunia ini, bahkan seorang mahaguru kedokteran sekalipun memiliki kapasitas yg ada limitnya, ada berbagai faktor yg m’pengaruhi tingkat kberhasilan terapi pasien bahkan pd umumnya semua itu tergantung dr kondisi si pasien sendiri. jadi intinya, euthanasia tidak mutlak disebabkan oleh dokter atau karena penyimpaagan yg dilakukan dokter. kalau kita lihat dr sisi agama saya pribadi sungguh meyakini dan saya kira sdh sgt jelas bahwa dr segi agama hal itu tidak ada celah sama sekali untuk dibenarkan. wallahu a’lam bisshowab

Posted by nur 'iffah  on  03/08  at  09:04 PM

Kalo kita menilik kasus eutanasia dan begitu juga semacamnya,sebetulnya kita ini dalam posisi yang selalu grusa-grusu(bhs.jawa) dengan menafikan proses sebab-akibat!! Kalo kita sinkron kan, kasus diatas tidak jauh beda dengan operasi caesar!! Buktinya nenek moyang kita tanpa “proses” itu dapat merasakan akibatnya!! Maka sudah saatnya kita merefleksikan segala aktifitas kita dengan tanpa harus merajuk pada finansial!!! Buktikan!!!!

Posted by Hilmy Pratomo  on  03/07  at  07:04 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq