Evolusi Dari Bawah - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
09/09/2001

Evolusi Dari Bawah

Oleh Muhammad Qodari

Tak ada gunanya menuntut syariat atau negara Islam bila pemerintah dan masyarakatnya belum “siap” untuk itu. Mereka bergerak diam-diam, tak mau berkoar-koar, apalagi dengan ekspresi yang garang. Yang saya ingin katakan, di Indonesia pun kini bergerak kalangan Islam revivalis seperti di Malaysia. “Versi” Indonesia muncul lebih lambat 10-15 tahun.

Hari Senin, 27 Agustus 2001, sekitar 1.500 umat Islam mendatangi gedung DPR/MPR RI untuk menyampaikan pernyataan sikap dan menuntut pemberlakuan Piagam Jakarta. Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah organisasi Islam lainnya ada dibalik unjuk-rasa yang menargetkan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia itu. Bagaimana kita menilai menilai gerakan dan agenda tuntutan ini? Salah satu cara yang berguna untuk membuat penilaian adalah dengan melakukan perbandingan dengan pengalaman negara lain. Malaysia adalah negara yang tepat. Mengapa tidak sejumlah negara-negara Arab yang jelas-jelas memproklamirkan diri sebagai negara Islam? Dari sono-nya negara-negara Arab adalah “the land of Islam”. Jadi sejarah mereka kurang pas diperbandingkan dengan Indonesia.

Malaysia pas karena sebelumnya negeri jiran itu adalah negara yang nota bene “sekuler” seperti Indonesia. Akan tetapi, perlahan namun pasti, Malaysia menjadi negara yang sangat “terislamisasi” seperti sekarang. Menurut seorang aktivis Islam moderat Malaysia, Zainah Anwar, probabilitas Malaysia menjadi negara Islam besar, kalau saja Partai Islam Se-Malaysia (PAS) bisa mengalahkan partai pemerintah berkuasa United Malay Nations Organizations (UMNO) dalam Pemilu 2004 nanti. Sejumlah komentar mengatakan UMNO masih terlalu kuat. Tetapi adagium “politics is the art of possible”, membuat kemungkinan kekalahan UMNO itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi, tindakan-tindakan politik Mahathir belakangan semakin kehilangan simpati rakyat.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari pengalaman Malaysia? Di sana, kalangan yang menghendaki syariat Islam menggunakan strategi “evolution from below” (evolusi dari bawah) untuk menggolkan agendanya tersebut. Artinya, mereka memprioritaskan kerja “mengislamisasikan” rakyat Malaysia agar menjadi pendukung gagasan ini. Logikanya begini: kalau rakyatnya sudah satu “ideologi” dan satu “kepentingan”, maka rakyat tersebut akan menjadi penyokong untuk menggolkan tuntutan syariat Islam – baik dalam pemilu ataupun opini publik. Dalam pemilu, mereka akan mencoblos partai yang mengagendakan syariat Islam. Sebagai “kekuatan massa” mereka akan menjadi alat penekan yang ampuh. Seperti tersirat dari namanya, “evolusi dari bawah” ini makan waktu lama dan membutuhkan kesabaran yang tinggi. Toh mereka sudah berhasil, walau belum mencapai puncaknya.

Tuntutan syariat - bahkan negara Islam - bukanlah hal baru di Indonesia. Tetapi, selama ini upaya itu terkesan elitis, bahkan dalam sejumlah kasus kurang simpatik alias berwajah garang. Saya menyebut usaha-usaha tuntutan syariat Islam semacam itu sebagai “revolution from above” (revolusi dari atas). Usaha model ini ingin menyukseskan tuntutan melalui jalur “atas” dan waktu “singkat”. Bukti bahwa usaha masa lampau bersifat elitis terlihat dari kecenderungan usaha ini berfokus pada politisi Islam yang jumlah suaranya tidak dominan di parlemen (a.l. sidang-sidang Konstituante 1958-1959). Bentuk lain yang lebih kontroversial adalah tuntutan dengan gerakan bersenjata seperti DI/TII di tahun 1950-an. Gerakan ini berharap, dengan menguasai pemerintahan mereka memiliki akses langsung penerapan syariat Islam. Kedua gerakan - baik yang di parlemen maupun yang bersenjata - seperti mengabaikan riil-politik dukungan masyarakat.

Kelompok-kelompok seperti FPI dan organisasi sejenisnya, menurut hemat saya, masih meneruskan metode “revolution from above” seperti pendahulu-pendahulunya yang terbukti gagal. Mereka adalah kekuatan esktra-parlementer, tapi masih masih jauh dari massif untuk mampu mempengaruhi para legislator di Senayan. Mereka pun suka menampilkan wajah Islam yang “garang” dengan slogan maupun aksi-aksi seperti razia tempat-tempat hiburan, pemberlakuan hukum rajam, ataupun keterlibatan dalam konflik agama seperti di Ambon dan sekitarnya. Saya kira, slogan dan aksi semacam ini justru menjauhkan simpati publik dari mereka. Di sisi lain, walaupun memiliki “partner” di dalam gedung DPR/MPR, yakni fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB), kekuatan PPP dan PBB tersebut masih jauh dari memadai. Ini terbukti dari gagalnya agenda tuntutan Piagam Jakarta oleh keduanya dalam Sidang Tahunan (ST) MPR tahun lalu.  Seperti FPI dan kawan-kawan, usaha melakukan perubahan dari “atas” oleh PPP dan PBB kandas di tengah jalan.

Memang cerita sukses Malaysia tak bisa dijadikan eksemplar begitu saja. Meski proporsi jumlah umat Islam di Indonesia yang sekitar 85% dari populasi lebih besar dari proporsi di Malaysia yang cuma 60%, pada kenyataannya pluralisme internal dalam tubuh umat Islam Indonesia jauh lebih besar. Saya menduga, dari sekian “aliran” Islam yang ada di Indonesia, seperti tercermin dari pandangan NU dan Muhammadiyah, mayoritasnya justru tidak mengasipirasikan syariat, apalagi negara Islam. Etnis Jawa, sebagai etnis terbesar di negara ini, bahkan mengenal kategori “santri, priyayi, dan abangan”. Di Malaysia, etnis Melayu sebagai etnis mayoritas identik dengan agama Islam. “Melayu is Islam” dan “Islam is Melayu”. Pada gilirannya, keberhasilan Islamisasi masyarakat Malaysia juga terbantu oleh kebijakan Mahathir Mohammad dan UMNO yang semenjak tahun 1969 mulai memberikan preferensi bagi pertumbuhan dan perkembangan “ideologi” Islam pada level negara dan masyarakat (Esposito dan Voll, 1999: 182-186).

Akan tetapi, ada satu variabel lagi yang menurut saya sangat mempengaruhi keberhasilan proyek “evolusi dari bawah” di Malaysia.  Yakni, keberadaan “creative minority” yang bernama Islam revivalis. Mulanya mereka kecil dan terdiri dari anak-anak muda yang dikirim belajar oleh Mahathir ke Inggris di awal tahun 1970-an. Sekembalinya ke Malaysia, mereka mengimpor ajaran-ajaran tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin, Mesir yang mereka peroleh di sana. Mereka ini, meski kecil tapi terdidik dan memiliki semangat juang yang luar biasa tinggi. Mereka sangat tekun merekrut pengikut dengan metode rekrutmennya yang khas. Mereka sadar akan pentingnya taktik dan strategi perjuangan.

Tak ada gunanya menuntut syariat atau negara Islam bila pemerintah dan masyarakatnya belum “siap” untuk itu. Mereka bergerak diam-diam, tak mau berkoar-koar, apalagi dengan ekspresi yang garang. Yang saya ingin katakan, di Indonesia pun kini bergerak kalangan Islam revivalis seperti di Malaysia. “Versi” Indonesia muncul lebih lambat 10-15 tahun. Seperti dikatakan di atas, kondisi di Indonesia relatif berbeda, tapi mereka adalah “creative minority”. Sejarah mengajarkan, perubahan besar selalu di awali oleh sekelompok kecil manusia. Seperti laiknya gerilyawan Vietnam mengalahkan Perancis dan Amerika Serikat, bukan mustahil NU dan Muhammadiyah akan tumbang. Mungkin tidak sekarang, tapi 10-20 tahun lagi. Dari sekarang, NU dan Muhammadiyah harus bergerak, kelak atau menjadi “dinosaurus” yang dilahap sejarah.  Wallahualam bissawab.

09/09/2001 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq