Fatwa NU Tentang Sesatnya Islam Liberal - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
27/03/2005

Fatwa NU Tentang Sesatnya Islam Liberal

Oleh Redaksi

Baru-baru ini dalam muktamarnya di Solo, NU mengambil satu keputusan “kontroversial” bahwa NU dengan seluruh kelengkapan strukturnya mesti dibersihkan dari unsur Islam Liberal. NU harus suci dari orang-orang yang berpaham Islam liberal. Islam liberal adalah paham sesat dan menyesatkan sehingga tidak perlu masuk dalam NU. Diskusi ini coba membahas keputusan NU tersebut.

Nara Sumber: Abd Moqsith Ghazali (JIL Jakarta), DR. Ahmad Rofik
(Dosen Fak Syari’ah IAIN Semarang), dan Sumanto al-Qurthuby
(Direktur ILHAM Semarang).

Tempat: Universitas Wahid Hasyim, Semarang

Tanggal: Sabtu, 18 Desember 2004

Moderator

Baru-baru ini dalam muktamarnya di Solo, NU mengambil satu keputusan “kontroversial” bahwa NU dengan seluruh kelengkapan strukturnya mesti dibersihkan dari unsur Islam Liberal. NU harus suci dari orang-orang yang berpaham Islam liberal. Islam liberal adalah paham sesat dan menyesatkan sehingga tidak perlu masuk dalam NU. Diskusi ini mencoba membahas keputusan NU tersebut. Di tengah-tengah kita kini telah hadir salah seorang aktivis Jaringan Islam Liberal, yaitu Mas Abdul Moqsith Ghazali. Ia sesungguhnya datang dari tradisi kitab kuning yang kuat karena ia cukup lama hidup dan belajar Islam di Pesantren. Dan untuk memberikan komentar lanjutan, ada Prof. DR. Ahmad Rofik dari MUI Wilayah Jawa Tengah dan Sumanto al-Qurthuby yang mewakili generasi muda Islam di Semarang.

Abd Moqsith Ghazali

Pertama, saya sampaikan terima kasih kepada segenap civitas akademika Universitas A Wahid Hasyim atas kesediannya menjadi tuan rumah diskusi ini. Ini sebuah sikap yang tidak mudah untuk diambil di tengah gelombang penolakan dan resistensi terhadap Jaringan Islam Liberal dengan segenap pandangan-pandangan keagamaan yang dikembangkannya. Banyak orang bersetuju terhadap gagasan Islam liberal, tapi mereka tidak berani terus terang dan bersuara ke publik karena khawatir mengalami stigma yang sama dengan JIL. Saya mengenal beberapa orang bahkan kiai NU yang menyetujui gagasan-gagasan JIL, tapi mereka tidak berani angkat suara karena takut akan ancaman marginalisasi bahkan ekskomunikasi di dalam NU sendiri.

Kedua, keputusan para kiai NU dengan menyatakan sesatnya JIL, pada hemat saya, sungguh amat musykil terutama jika dilihat dari kelaziman dan kebiasaan NU ketika mengomentari dan menyikapi aliran-aliran yang dipandang menyimpang oleh sebagian orang. Telah lama NU dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki pandangan dan sikap yang moderat, tidak ekstrem, tidak mudah patah arang, dan sebagainya. Ketika dahulu pada tahun 1980-an banyak kalangan termasuk MUI dan Muhammadiyah melarang salah satu sekte Islam yang datang dari Malaysia--kalau tidak salah bernama Ahmadiyah--untuk tumbuh di Indonesia, maka NU membelanya. Bukan hanya itu, bacaan-bacaan dzikir dan wiridnya pun tidak diperkenankan, dilarang. Bahkan, MUI Pusat sempatkan mengusulkan pada pemerintah untuk melarangnya secara resmi. NU melalui ketua umumnya KH Abdurrahman Wahid mengambil sikap yang tegas bahwa negara dan pemerintah tidak punya otoritas untuk melarang praktek peribadatan suatu agama apapun. Setelah ditelaah secara seksama oleh para kiai NU, maka wirid-wirid sekte itu dinyatakan tidak masalah.

Ketiga, sesungguhnya banyak sekali akar-akar liberalisme atau progresifisme pemikiran Islam yang dapat dicari dari tradisi pesantren. Sebagai orang yang lama berada di pesantren, saya misalnya menemukan beberapa indikator perihal liberalisme dan progresifisme pemikiran itu. [a] berhilah di dalam fikih banyak dilakukan para kiai NU. Orang-orang seperti Kiai Ali Maksum, Kiai As’ad memiliki pandangan-pandangan keagamaan yang progresif. Penerimaan para kiai NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas merupakan cerminan dari liberalisme itu. Keberanian Kiai Sahal untuk membenarkan tindakan lokalisasi pelacuran merupakan bukti lain dari progresifisme pemikiran keislaman di dalam NU. Kiai As’ad adalah orang yang berani tidak menyembelih hewan kurban paha hari-hari tasyriq sekalipun fikih Islam dengan tegas menyatakan perihal diharuskannya menyembelih binatang kurban tersebut pada hari-hari itu. al-Qur`an sendiri, sebagaimana dikemukakan Cak Nur, memiliki watak yang dan karakteristik yang liberal-progresif. Di saat kebencian antar umat beragama demikian memuncak, maka al-Qur`an datang dengan memperbolehkan nikah beda agama. Ketika poligami dipraktekkan tanpa batas, maka al-Qur`an datang dengan membatasi jumlah perempuan yang boleh dinikahi, 4 orang perempuan. [c] Para Nabi dan Rasul sendiri sesungguhnya adalah deretan orang-orang yang liberal. Mereka menentang monotoni dan status quo. Di tengah masyarakat, mereka mendapatkan banyak caci maki karena pandangan-pandangannya yang melawan arus, mendobrak, dsb.

Apa yang dilakukan oleh teman-teman dari Jaringan Islam Liberal sesungguhnya tak lebih dari sekedar menafsir ulang sejumlah ayat dalam al-Qur`an, itu pun hanya terbatas pada bidang-bidang mu’amalah. Karena menyangkut bidang ibadah mahdah-ritualistik seperti shalat, puasa, dan sebagainya, maka dalam pandangan JIL tidak ada ruang untuk berijtihad. Berijtihad mengenai penting dan tidaknya shalat tidak banyak gunanya bagi upaya transformasi sosial. JIL tidak punya pandangan bahwa shalat, puasa, dan lain-lain tidak wajib. Dengan ini cukup jelas bahwa JIL tidak bertanggung jawab terhadap orang yang meninggalkan shalat yang kemudian menyandarkan diri pada JIL. Sekali lagi, aktivitas ijtihad di dalam JIL hanya dimungkinkan menyangkut bidang-bidang mu’amalah. Padahal kalau kita membaca buku-buku fikih keislaman klasik, maka kita akan mudah menjumpai penjelasan tentang keberanian para ahli fikih untuk menciptakan “syari’at-syari’at Islam yang baru” yang terkait dengan bidang atau ritus peribadatan. Contoh, Nabi tidak pernah melakukan shalat nishfu Sya’ban, tapi orang seperti al-Ghazali--sebagaimana dijelaskan al-Zabidy di dalam Ithaf al-Sadah al-Muttaqien--berani menetapkan bahwa shalat nishfu sya’ban adalah sunnah untuk dilakukan. Jadi, para ulama telah berfikir dan bergerak di luar kapasitasnya dengan mencitakan syari’at baru. 

Islam liberal tetap mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam, seperti yang banyak diungkap oleh al-Qur`an. Prinsip-prinsip dasar itu berupa keadilan, kesetaraan gender, kemaslahatan, kasih sayang, penegakan HAM, dan sebagainya. Ibnul Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa setiap syari’at yang berseberangan dengan prinsip-prinsip itu, maka ia tidak valid sebagai sebuah syari’at. Prinsip-prinsip itu bersifat abadi, eternal, lintas batas. Sementara ayat-ayat al-Qur`an yang membicarakan mekanisme pelaksanaan dari nilai-nilai tersebut, maka ia berstatus dzanny, ad hoc, sementara sehingga dimungkinkan untuk selalu dimodifikasi bahkan diamandemen dengan menggunakan nalar maqashid al-syari’ah itu. Jika hal-hal yang universal di dalam al-Qur`an disebut dengan ushul al-Qur`an, maka hal-hal yang partikular di sebut sebagai fushul al-Qur`an atau fiqh al-Qur`an.

Jadi, tidak benar kalau dikatakan bahwa JIL tidak mengacu pada al-Qur`an di dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran keislamannya. Ideal-ideal moral al-Qur`an selalu menjadi rujukan ketika ijtihad hendak dilakukan. Bahkan al-Qur`an sendiri pada masanya adalah mendukung progresifisme pemikiran dan tindakan. Al-Qur`an adalah liberal dan progresif. Jika demikian halnya, maka orang yang menyatakan Islam liberal adalah sesat, jangan-jangan mereka sendiri yang sesat. Al-Qur`an dengan tegas mengatakan, “ínna rabbaka huwa yafshilu baynahum yam al-qiyamah fiyma kanu fihi yakhtalifun” [sesungguhnya Tuhanmu yang akan memberikan kata putus di hari kiamat nanti menyangkut hal-hal yang diperselisihkan di kalangan mereka]. Manusia tidak punya wewenang untuk memvonis pikiran seseorang, karena Tuhan yang akan memutuskannya.

DR. Ahmad Rofik

Ketika muktamar NU di Solo kemarin, seperti telah disampaikan Mas Abd Moqsith Ghazali, memang muncul gerakan untuk menumbangkan para pemikir Islam Liberal yang dimotori oleh sebagian para kiai NU. Mereka mengharamkan anak-anak atau orang-orang NU yang berpaham liberal untuk menjadi pengurus NU, mulai dari tingkat ranting hingga pusat termasuk di badan-badan otonom. Pada hemat saya, fatwa tersebut terasa sangat kuat nuansa politisnya. Kebanyakan anak-anak atau orang-orang NU liberal adalah kubu Gus Dur atau Gus-Durian yang ingin mendapat kesempatan untuk menjadi pejabat elit NU. Yang menarik adalah ternyata fatwa pengharaman Islam liberal masuk dalam pejabat struktural NU tidak mendapat respon signifikan. Terbukti, kandidat Ketua Umum PBNU, Masdar Farid Mas’udi, yang dikenal sebagai penggerak Islam liberal, mantan Katib dan PLH Ketua Umum PBNU, tetap mendapat suara signifikan hingga proses pemilihan batas kedua berlangsung. Bahwa pada akhirnya Kang Masdar kalah dalam pemungutan suara yang kedua tersebut, saya melihat bahwa faktor penyebab kegagalannya untuk meraih posisi NU 1 (analog dengan istilah RI 1 dan RI 2), bukanlah semata-mata karena liberalnya, tapi banyak faktor lain yang menentukan.

Saya hendak menyatakan bahwa latar belakang kemunculan Islam liberal antara lain adalah mengupayakan tersebarnya Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dan saya kira untuk kepentingan itu, tidak ada orang yang menolaknya. Akan tetapi, dalam pandangan sebagian elit-elit NU telah terjadi semacam distorsi-distorsi pemahaman dan di dalam pemaknaan terhadap agama juga ada kepentingan yang melatar belakanginya. Mengapa? Karena sejak awal atau paling tidak pasca hijrah dari Mekah ke Madinah ini, Islam tentu sangat atau bahkan boleh dikatakan tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Nabi Muhammad di samping sebagai pemimpin agama juga sebagai pemimpin politik. Negara dan agama bersatu padu di satu tangan. Hanya Ali Abdurraziq yang menyatakan bahwa negara dan agama itu hanya tuntutan sosial saja, dan bukan perintah agama. Gara-gara pernyataannya ini, ia mendapat hukuman mungkin cercaan dari sebagian masyarakat. Ini juga mungkin yang dialami oleh Kang Masdar dan Kang Muqsith. Kang Moqsith tadi bilang bahwa menyangkut urusan ibadah mahdlah tidak ada persoalan. Itu sudah selesai, kita tinggal menerima begitu saja. Tapi, dalam urusan politik itu adalah wilayah manusia.

Akan tetapi, pemahaman yang meletakkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin itu kemudian kehilangan gairahnya dan berubah menjadi agama yang menakutkan, penuh kekerasan, penindasan, dan tidak memanusiakan manusia. Jadi masalah kekerasan yang muncul. Lalu kelompok liberal ini melakukan advokasi untuk menghadirkan Islam yang humanis, santun, egaliter, inklusif, dan humanis. Ini misalnya yang dapat kita tangkap dari buku “fikih lintas agama” yang ditulis oleh tim penulis Paramadina. Dalam pengantar buku ini banyak ditemukan kegelisahan-kegelisahan intelektual ketika menyoroti formulasi ajaran fikih. Bahwa fikih pada awalnya dibangun jelas dipengaruhi ruang dan waktu. Mereka menganggap bahwa fikih yang ada hingga sampai saat ini mempunyai dilema-dilema yang musti dipecahkan.

Mas Moqsith tadi bilang bahwa menyatakan “sesatnya Islam liberal” sama dengan menyatakan bahwa al-Qur`an itu sesat. Karena al-Qur`an di dalam pandangannya adalah liberal. Ini satu pernyataan yang luar biasa. Tolong wartawan menulis pernyataan ini secara tebal, ditambah cetak miring bahwa ini statement kiai Islam liberal atau ulama Islam liberal. Dan jangan lupa ditulis riwayat hidup Mas Moqsith bahwa ia dari pesantren sejak kecil sampai tua. Karena gudangnya Islam liberal itu dari pesantren. Saya kira tidak ada yang punya nyali dan keberanian kalau tidak punya basis keilmuan yang cukup matang, tidak memahami kitab kuning, tidak memahami ilmu nahwu-sharaf. Kalau tidak memiliki ilmu-ilmu itu, maka siapapun tidak akan ke jenjang Islam liberal. Kalau toh dipaksakan naik, maka setengah main saja itu sudah ketakutan.

Akan tetapi, saya tidak cukup memahami mengapa di perguruan-perguruan tinggi yang sekuler justeru muncul gerakan fundamentalis yang eksklusif. Sementara di perguruan-perguruan yang mahasiswanya dari pesantren malah tumbuh subur Islam liberal. Tetapi sampai hari ini saya masih menganggap banyak kesalahpahaman. Kalau benar apa yang tadi dikatakan Kang Muqsith bahwa Islam liberal itu tidak sama dengan anti shalat. Tidak merekomendasikan anti zakat, anti puasa, dan anti haji. Tetapi mungkin bergerak pada wilayah-wilayah yang berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Kalau di situ persoalannya sebenarnya in ya tidak ada masalah.

Hanya barangkali tadi ketika umpamanya bersentuhan dengan persoalan-persoalan warisan yang secara tekstual, secara manshush itu ada ayatnya. Misalnya dalam surat al-Nisa ayat 11; yushikumullah fi awladikum liz dzakari mitslu hadzin untsayain. Kemudian dalam soal kesaksian dalam surat al-Baqarah ayat 282; wastasyhidu syahidaini min rijalikum faillam yakuna rojulaini farojulun wamroatani. Hal-hal semacam ini saya kira memang bagi sementara ulama yang memahami bahwa ayat-ayat tersebut termasuk ayat-ayat yang qath’iyah, maka tentu pendapat yang ditulis oleh kawan-kawan dari Islam liberal menjadi suatu persoalan. Kemudian juga menyangkut soal perkawaninan antar agama yang kalau dalam surat al-Ma`idah yang dibolehkan kawin dengan yang beragama lain tapi masih masuk dalam kategori ahli kitab, itu pun ketika yang ahli kitab itu perempuan. Sementara laki-lakinya muslim. Satu saat saya pernah ditanya; Pak kalau yang sebaliknya bagaimana? Laki-lakinya itu non muslim perempuannya muslimah? Bahkan dia menjamin bahwa si perempuan ini tidak akan pindah agama. Apa kira-kira perkawinannya bisa diluluskan dan hukumnya bagaimana? Sah atau tidak? Karena saya tidak bisa jawab nanti barangkali Kang Moqsith bisa menjawabnya.

Tapi persoalan hukum memang bukan persoalan hitam putih saja. Ada wilayah yang abu-abu. Tetapi kira-kira jawaban yang akan diberikan Kang Moqsith, kita sudah tahu pasti; itu akan dibolehkan. Dan sudah ada contohnya, sudah ada konvensinya. Seorang pemikir besar yang di Jakarta--saya kira diomongkan juga tidak apa-apa karena ini sudah menjadi informasi umum. Cak Nur (Prof DR. Nurcholish Madjid) punya puteri yang ketika sekolah di Amerika Serikat kawin dengan laki-laki keturunan Yahudi dari Rusia. Sekarang sudah masuk Islam. Ini luar biasa. Cuma pesoalannya hal semacam ini kalau nanti bisa diidentifikasi meminjam bahasa ushul fiqh itu ada istiqra’i. Kalau kasus-kasus semacam ini terkumpul banyak, mungkin nanti akan bisa merubah ayat ketentuan perkawinan campuran yang sampai sekarang ini secara manshush dinyatakan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, sehingga bisa dibalik: perempuan Muslimah menikah dengan laki-laki ahli kitab. Atau mungkin paling tidak mansukh bil wadh’i. Jadi lafal itu diamandemen dan bahkan kalau cerita itu benar menjadi sesuatu yang luar biasa. Jadi pertanyaan tadi bahwa saya menjamin tidak akan pindah keagama lain tetapi justru suami saya yang akan pindah ke Islam, itu sangat menarik.

Kalau misalnya kita mengatakan tidak diperbolehkan, itu menjadi naif apalagi kita ambil contoh ini. Jangan-jangan dia akan masuk sorga lebih dulu daripada kiai-kiai yang mengeluarkan fatwa Islam liberal itu sesat. Barangkali begitu. Bisa jadi. Karena itu hemat saya jika para ulama NU mengeluarkan fatwa tentang sesatnya Islam liberal harus diletakkan dalam konteks apa fatwa itu. Jika fatwa itu motivasinya umpama adalah kepentingan politis, maka tentu sangat disesalkan. Karena fatwa apapun jika muatan kepentingannya adalah politis, maka efektivitasnya menjadi kontroversial atau tidak bisa diterima dengan sepenuh hati. Dan ini juga telah terbukti dalam jangka pendek. Di arena muktamar saja sudah tampak bahwa fatwa ini tidak mendapat respon yang menggembirakan. Lebih konkrit dalam susunan lengkap kepengurusan PBNU ternyata tokoh-tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh NU liberal tetap diakomodasi di dalam struktur kepengurusan.

Tentu saja jika mereka dimasukkan juga karena pertimbangan politis yakni kepentingan Islam atau rekonsiliasi. Jadi masih ada pemisahan antara qaul ulama dengan mazhabnya. Mazhabnya itu masih ada yang berbeda. Karena itu dalam perspektif akademis sebenarnya yang terpenting adalah apakah liberalisasi pemahaman atau penafsiran-penafsiran teks alquran dan sunah itu dibangun atas dasar basis metodologi yang cukup atau tidak. Tadi saya senang Mas Muqsith menyinggung bahwa ulama kita kalau dicermati dengan ushul fiqh itu juga banyak yang liberal. Tinggal pengukurannya liberal itu apa? Parameternya seperti apa? Meskipun lagi-lagi ketika terbentur dengan ayat-ayat yang secara sharih, secara lafdzi pernyataannya seperti itu ketika ingin dirubah, ini menjadi satu persoalan. Meskipun kita menyadari bahwa rumusan ayat-ayat itu sebagai qath’i atau dzanni, itu yang merumuskan ulama juga.

Kalau menjaga batas atau menujukkan batas-batas wilayah antara syari’ah dan fiqh, maka itu satu persoalan yang sangat serius. Ketika ayat itu diturunkan berarti sudah ada upaya Tuhan paling tidak menyesuaikan dengan bahasa manusia. Belum lagi ketika kemudian harus dipahami, harus dilaksanakan, dan sebagainya. Jika dalam penafsiran liberal tersebut disemangati dengan basis metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara ontologis maupun secara epistemologis, “keberanian ijtihad” dan formulasi pemahaman yang liberal demikian tidak bisa dibendung dan mereka akan tetap bertambah dalam sejarahnya sendiri. Karena secara sosiologis masyarakat mengalami perubahan-perubahan meskipun terkadang tidak mudah dipengaruhi dan dihitung dengan deret waktu. Tawaran metodologis dengan bermazhab secara manhaji setelah berpuluh-puluh tahun bermazhab secara qauly di tubuh NU adalah langkah maju meskipun tidak cukup syarat untuk dikatakan sebagai liberal. NU sendiri melalui Munas Lampung sudah menetapkan langkah bahwa pada tataran warga NU belum bisa atau bahkan secara diam-diam tidak menerima dan tidak melaksanakan keputusan Munas. Ini persoalannya menjadi lain. Keterbatasan informasi dan pemahaman juga menjadi faktor terhambatnya sosialisasi yang dapat menyebabkan adanya resistensi itu. 

Persoalannya sekarang adalah apakah Islam liberal memang sesat? Boleh jadi para ulama NU memiliki pertimbangan dan riset tertentu untuk melakukan vonis demikian. Bagi saya, memahami atau bahkan beragama Islam secara teologis ada muatan penundukan diri. Artinya apa? Ketika seseorang baik secara keturunan atau secara akademis inteletual itu memilih Islam maka konsekuensinya dia mengikuti ajaran Islam. Soal pemahaman ide-idenya ini menjadi hak asasi setiap orang untuk memahami dan memformulasikan. Kalau kita meminjam al-Ghazali--ini kan berbicara NU juga--ilmu itu ada yang dibolehkan, ada yang tidak dibolehkan. Tidak dibolehkan itu karena membawa akibat buruk bagi orang lain. Tapi bagi kawan-kawan Islam liberal itu diyakini sebagai satu pilihan untuk memahami yang benar, sehingga tidak ada orang lain yang bisa mengangkat atau membatasi karena itu haknya. Apalagi kalau sudah dikatakan seperti itu. Al-Qur`an sendiri liberal.

Seseorang memahami agamanya adalah hak. Namun juga ada orang yang menuntut perlunya kualifikasi tertentu untuk memahami agamanya. Kadang-kadang ini menyangkut person juga. Kalau saya membaca Kiai Sahal itu liberal juga. Sama liberalnya Umar bin Khattab. Ketika tidak menerapkan potong tangan, ketika tidak memberi zakat pada muallaf. Itu kan sebenarnya liberal. Tetapi tadi saya senang betul ketika Mas Moqsith mengklarifikasi bahwa Islam liberal tidak melakukan ijtihad pada bidang-bidang ibadah mahdah. Islam liberal tidak identik dengan orang tidak salat, tidak puasa, dan sebagainya.

Sumanto al-Qurthuby

Teman-teman sekalian. Saya sebetulnya agak risih bicara soal Islam liberal. Saya mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para kiai NU kemarin dengan berfatwa tentang sesatnya Islam liberal, saya kira lebih kepada pertimbangan yang sangat emosional, bukan pertimbangan intelektual. Saya kira, sekali lagi, itu pertimbangan yang sangat emosional dan sesaat. Bukan didasarkan kepada satu kajian yang sangat komprehensif dan akurat mengenai ide-ide yang dirumuskan oleh Islam liberal. Jadi karena mereka melihat kata liberal itu mereka sudah ketakutan. Seolah-olah Islam yang dibawa oleh Islam liberal ini kemudian Islam yang tidak memiliki batasan yang sangat jelas. Islam yang dikembangkan dengan tanpa nilai, tanpa etik, tanpa moral. Islam yang sembarangan. Tapi kata liberal ini memang mengalami fase yang kurang lebih sama dengan kata oportunis, dengan kontekstual, dengan kata sayap kiri sayap kanan. Maksudnya kurang lebih sama, jelek di mata masyarakat kita.

Kata apa sih liberal itu?  Anda bisa saja bikin Islam spiral dalam pengertian ada kontinuitas sejarah, nyambung. Ada Islam sekuler, bikin Islam seluler, misalnya. Pada waktu Mubes warga NU di Cirebon, ada seorang kiai berapi-api ngomong; tidak usah memakai kata liberal. Islam ya Islam. Tidak usah ada Islam sekuler, Islam liberal. Islam ya Islam. Islam ya Islam Padahal, kita berhak untuk memberikan nama apa; fundamentalis kah, konservatif kah, terserah. Bebas. Kita bikin free market idea (pasar bebas ide). Setiap orang bisa bertransaksi untuk jual beli. Anda boleh menerima, boleh menolak, boleh memberi, boleh mengasingkan. Tapi fatwa haram itu sangat emosional dan sangat tendensius menurut saya. Saya yakin seyakin-yakinnya kalau sebagian kiai yang memfatwakan sesatnya itu, sebetulnya kurang begitu memahami apa itu Islam liberal. Mereka telah terprovokasi oleh pidato Pak Hasyim Muzadi pada saat pembukaan Muktamar di Solo. 

Pada saat Pak Hasyim bilang yang intinya adalah tidak akan mengikuti Islam liberal yang suka menghalalkan segala cara. Islam liberal itu menghalalkan segala hal. Itu saya kira sangat menyederhanakan persoalan dan sangat ngawur omongan itu. Saya katakan sangat ngawur, mosok orangnya seperti Pak Muqsith ini dianggap menghalalkan segala hal. Omongan ngawur itu. Kalau Islam itu menghalalkan segala hal, apa ada Jaringan Islam Liberal yang menghalalkan babi? Saya kira tidak ada. Baru ada hanya saya. Kalau pun babi itu diharamkan bukan berarti kita melawan kehendak alquran tapi berusaha menafsirkan kembali apa itu kata hinzir dalam al-Qur`an. Apakah betul kata hinzir dalam al-Qur`an yang diharamkan memakannya babi itu. Atau hinzir itu sebenarnya memiliki makna lain? Mungkin binatang bercula yang kayak drakula atau apa. Bagi saya tidak rasional kalau babi bisa hidup di gurun padang pasir arab yang seperti itu. Jangan-jangan makhluk luar angkasa yang aneh itu. Ini kan hanya persoalan interpretasi.

Nanti mungkin Pak Muqsith bisa menjelaskan betulkah hinzir itu artinya babi. Apakah keharaman babi itu? Karena babi membahayakan, mengandung cacing pita, bisa mati, atau apa. Orang kristen yang makan daging babi gemuk-gemuk, sehat. Saya yang tidak makan daging babi kurus kayak begini. Bagaimana menjelaskan yang seperti ini. Islam liberal yang dikembangkan sebatas melontarkan gagasan-gagasan. Silahkan direspon. Tidak ada yang buruk. Semuanya bebas untuk mengambil ide. Ini persoalan ide yang mana setiap orang bisa menerapkan transaksi ide.

Saya berpendapat, fatwa itu semata-mata karena faktor emosional dan belum mengerti apa sebenarnya itu Islam liberal. Mereka menganggap semua yang berpikiran aneh itu JIL. Itu kan lucu. Padahal banyak sekali anak muda NU terutama yang anti terhadap JIL. Bahkan mereka yang ada di JIL anti terhadap JIL. Jadi ada faksi di dalam faksi. Ada kamar di dalam kamar. Saya kira kiai ngerti apa itu kamar di dalam kamar. Saya tidak mengerti semua disamakan. Dan yang aneh adalah gerakan JIL, kelompok-kelompok ini dianggap mendukung Gus Dur dan mendukung Masdar. Aneh. Kami tidak ada hubungannya dengan Masdar dan Gus Dur.
Bahkan kalau kami menegaskan kalau kami menyetujui Gus Dur karena kami berpendapat bahwa baik Hasyim dan Gus Dur sama jeleknya dalam memimpin NU. Tetapi orang luar berpendapat bahwa gerakan JIL ini adalah gerakan dibelakang Gus Dur. Kita ketawa-ketawa. Kita sendiri itu berkelahi dengan sesama pemain antara kubu Yogya, JIL, dan lain-lain. Banyak faksi tapi tidak ketemu. Kalau mereka bilang kita dibelakang Gus Dur dan Masdar, tidak benar itu. Itu saya kira omongan-omongan yang diperngaruhi oleh logika dan cara pikir binari; kalau tidak saya adalah kamu. Kalau tidak laki-laki adalah perempuan. Padahal ada banci, waria, bencong. Tidak semua lawan dari laki-laki adalah perempuan dan tidak semua lawan dari hitam itu putih. Lawan dari hitam adalah tidak hitam dan lawan dari putih adalah tidak putih. Karena ada coklat dengan coklat, ada merah. Jadi mereka menolak Hasyim dan mendukung Gus Dur. Itu salah. Saya menegaskan bukan berarti saya mendukung Gus Dur. Saya tidak mendukung siapa-siapa karena saya tidak punya suara. Sudahlah kalau semakin lama saya bicara semakin ngawur.

Penanya I

Dalam muktamar NU yang baru-baru ini kita ikuti bersama, sekelompok ulama menyatakan bahwa orang-orang Islam liberal diharamkan untuk menjadi pengurus NU baik secara lembaga maupun lainnya. Pertanyaan saya kepada Bapak Muqsith bagaimana Anda selaku seseorang Islam liberal menyikapi hal tersebut? Dan juga kepada Bapak Sumanto, bagaimana anda menyikapi hal tersebut selaku penerus Islam liberal? Bapak Rafiq, bagaimana pendapat anda mengenai hal tersebut dan tadi yang dijelaskan oleh Bapak Muqsith bahwa al-Qur`an adalah liberal maka menyesatkan JIL berarti menyesatkan al-Qur`an. Bagaimana pendapat Anda tentang apa yang diucapkan Bapak Moqsith? Dan juga bagaimana pendapat dari fatwa-fatwa ulama NU tersebut?

Penanya II

Menarik apa yang dikemukakan oleh para pembicara. Cuma saya menyayangkan bahwa diskusi ini hanya menampilkan Islam liberal dari satu perspektif, karena para pembicaranya saya yakin orang-orang yang secara afirmatif setuju dengan gagasan liberal di dalam Islam sendiri. Akan lebih baik kalau misalnya ada pembicara yang menentang Islam liberal. Misalkan dari ulama NU sendiri yang memberlakukan fatwa. Saya kira ulama di Jawa Tengah juga ada. Kemudian ada organisasi lain yang kurang setuju dengan Islam liberal sehingga diskusinya lebih menarik. Tetapi satu hal, saya sendiri termasuk orang yang sepakat bahwa Islam sediri itu harus dikontektualisasikan dan direaktualisasi.

Cuma permasalahannya mengapa ada fatwa ulama NU yang menyatakan sesat Islam liberal. Saya kira, itu karena kurangnya dialog antara Islam liberal dengan ulama sendiri. Misalnya kemarin waktu di muktamar NU sebenarnya harus ada dialog sebelum ada fatwa untuk melarang aktivis JIL duduk di kepengurusan NU. Ada dialog dengan JIL yang menyatakan pemikiran liberal sehingga ada kesepahaman pemikiran dan ada pengertian yang selama ini disalahpersepsikan oleh ulama, ulama NU khususnya.

Tapi adalah kecenderungan Islam liberal saat ini untuk menempatkan rasio di atas segalanya sehingga difatwakan sesat itu. Segala hal dikontektualisasikan dan direaktualisasikan kemudian dinilai secara rasional. Kalau secara rasional itu memungkinkan ya boleh. Mengapa tidak. Padahal agama sendiri tidak selalu rasional. Itu mungkin yang pertama. Yang kedua, saya mengkritik Islam liberal karena selama ini hanya berkutat masih pada permasalahan-permasalahan bersifat muamalah. Misalnya tentang kawin antar agama, kemudian jilbab, dan sebagainya. Saya kira tidak sesempit masalah itu saja yang perlu kita reaktualisasikan dan kontekstualisasikan. Bagaimana, misalnya, permasalahan masyarakat yang harus kita hadapi saat ini. Misalnya masalah illegal loging, masalah suap, dan sebagainya yang saya kira nantinya bisa bermanfaat sehingga tidak hanya pada kemakmuran Islam. Itu kritik yang bisa diberikan kepada Islam liberal.

DR Ahmad Rofik

Tadi sebenarnya sudah saya jelaskan bahwa munculnya gerakan Islam liberal ini sebagai sesuatu yang bersifat alami. Ini suatu bentuk kegelisahan intelektual ketika mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an. Kalau misalnya kita meminjam Abdullahi Ahmad Na’im, ayat-ayat madaniyah yang sifat diskriminatif itu kemudian harus dinaskh dengan ayat-ayat makiyah yang egaliter, yang humanis, dan sebagainya. Bahkan mungkin pada persoalan tertentu seperti hukuman mati pada saat dikeluarkan ada pergeseran makna. Kalau pelaku kesalahan itu langsung dihukum mati, berarti dia tidak punya kesempatan untuk memperbaiki diri. Sementara ajaran Islam itu dengan konsep rahmatan lil alamin harusnya membuka ruang pada seseorang yang melakukan kesalahan agar bisa memperbaiki dirinya.

Begitu juga apa yang dilakukan oleh sejumlah aliran di dalam teologi. Kalau ini tidak diselesaikan secara tuntas ini menjadi persoalan. Oleh karena itu kalau saya melihatnya secara alamiah. Wajar saja kalau para kiai memvonis yang fatwanya ini sesat sebagai bagian dari katakanlah dinamika atau dialektika pemikiran dan jadi sudah sejak dulu seperti itu. Menurut saya tidak perlu dirisaukan. Anggap saja seperti itu. Maka diperlukanah pertemuan semacam ini untuk berbincang-bincang tentang masalah ini. Tetapi kemudian pertemuan ini jangan hanya dianggap sebagai pertemuan intelectual exercise. Ada beberapa hal yang dikembangkan oleh JIL yang belum diketahui. Itu persoalannya. Jadi tadi kalau sudah didapatkan sebenarnya komunikasi menjadi cair.Tidak usah mengklaim, menghakimi, dan sebagainya. Tetapi secara sosiologis proses dan fenomena semacam itu wajar saja. Jadi tidak perlu dihawatirkan.
Harapan saya, apa yang dikatakan oleh Mas Muqsith, misalnya, bagaimana sebenarnya formulasi Islam yang ditawarkan secara lengkap, secara menyeluruh menurut perspektif Islam liberal. Sehingga orang nanti bisa menilai dari Islam liberal yang benar itu seperti ini. Tidak yang bersifat ubudiyah atau ibadah mahdloh. Mungkin yang bersifat kemasyarakatan. Selama ini kesalahpahaman banyak muncul. Tetapi kalau pun gerakan ini terus mengkristal sampai tahun 2010, maka orang akan tahu ini loh kitab sucinya Islam mazhab liberal. Umpamanya nanti ada buku putihnya, karena perubahan ruang dan waktu juga akan bisa berubah lagi. Kalau secara normatif selama ini kita bicara Islam itu sudah sempurna sebagai garis-garis yang sifatnya umum, tetapi dalam detil-detil secara kemasyarakatan tentu akan mengalami perubahan-perubahan.

Abd Moqsith Ghazali

Ada beberapa hal yang perlu saya komentari. Pertama, mengenai penolakan para kiai NU terhadap Islam liberal. Penolakan para kiai itu, benar yang dibilang oleh Sumanto tadi, tidak selalu dilandaskan pada tashawur, pengetahuan yang utuh dan memadadi mengenai apa itu Jaringan Islam liberal. Orang seringkali mengaburkan antara Jaringan Islam Liberal sebagai sebuah institusi dengan gerakan pemikiran Islam liberal sebagai gerakan kultural. Kita tahu bahwa Jaringan Islam Liberal secara kelembagaan itu baru berumur 4 tahun pada bulan maret yang akan datang. Jadi sangat muda sekali. Dan isi di dalam institusi Jaringan Islam Liberal itu tidak sepenuhnya NU. Itu harus dicamkan. Di situ juga ada orang-orang Muhammadiyah, ada orang HMI, ada orang PMII, dan sebagainya.

Jadi tidak satu warna sebenarnya secara kelembagaan. Mungkin yang NU, hanya saya dan Mas Ulil, walau ada beberapa teman yang secara kultural itu bisa dikatakan sebagai NU. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa pemikiran-pemikiran liberal atau progresif di dalam Islam sesungguhnya telah muncul jauh sebelum berdirinya institusi Jaringan Islam liberal, dengan tokoh-tokohnya antara lain Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan lain-lain. Di lingkungan NU, gelombang pemikiran Islam progresif dimulai secara agak masif justeru oleh teman-teman muda NU di Yogyakarta yang bernaung di bawah LKiS. LKiS semenjak tahun 90-an awal adalah salah satu lembaga yang concern menerbitkan dan menerjemahkan buku-buku keislaman yang progresif, seperti terjemahan buku Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah; Kiri Islam oeh Hassan Hanafi, dan lain-ain. Begitu juga teman-teman NU Surabaya yang tergabung dalam LSAF yang menerjemahkan buku Mahmud Muhammad Taha dengan judul Syari’ah Demokratik. Sementara JIL secara kelembagaan itu baru berdiri pada tahun 2001 sebagai sebentuk reaksi atas semakin menjamurkan kelompok fundamentalis Islam di Indonesia. Sebagaimana lembaga-lembaga kajian yang lain, JIL juga memiliki perhatian utama untuk mensosialisasikan pemikiran keislaman yang progresif.

Bahwa ada titik temu yang mempersatukan pemikiran yang progresif di antara pelbagai lembaga tersebut, memang saya akui sendiri. Itu persis seperti yang kemarin ada tim idenpenden di Departemen Agama, yang mengeluarkan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang kemudian mengundang banyak kontroversi di lingkungan umat Islam. Beberapa teman wartawan bertanya apakah ada kaitannya dengan Jaringan Islam Liberal? Secara tegas saya katakan bahwa secara kelembagaan tidak ada kaitan apapun. Tapi bahwa ada kemiripan pandangan itu tentang kesetaraan dan keadilan gender, pluralisme, dan lain-lain, itu benar belaka. Ini berarti bahwa pikiran-pikiran progresif liberal itu bukanlah milik personal lembaga Jaringan Islam Liberal. Itu harus dipahami.

Kedua, yang dilarang oleh para kiai NU untuk masuk ke dalam institusi NU itu adalah orang yang berpaham Islam liberal. Itu juga patokannya tidak jelas. Karena di lingkungan anak-anak muda NU sendiri ada perbedaan pandangan, misalnya menyangkut al-Qur`an, al-Sunnah, tradisi atau adat istiadat, dan sebagainya. Itu beragam sekali. Saya dengan Ulil Abshar Abdalla mungkin tidak selalu seia-sekata menyangkut satu pokok pikiran tertentu. Jika Ulil menolak adanya konsep nasikh-mansukh, maka saya adalah orang yang menerima konsep itu. Jadi, sekali lagi tidak jelas, persis seperti tidak jelasnya rumusan Ahlu Sunah wal Jama’ah yang sampai sekarang belum ada blue print yang memadai.

Saya menjadi teringat ketika tahun 90-an awal di Surabaya diselenggarakan sebuah seminar tentang ahlu sunah wal jama’ah. Itu seminar sehari saat Kiai Imran Hamzah dan Kiai Wahid Zaini sebagai pengurus PWNU Jawa Timur. Seminar cukup alot dan panas di dalam mendefinisikan ahlu sunah wal jama’ah. Itu belum tuntas kemudian dilanjutkan di Situbondo, Malang, Probolinggo. Seminar berkali-kali dilakukan tapi belum juga menemukan definisi yang memadai apa itu ahlu sunah wal jama’ah. Ketika pertemuan di Islamic Centre Surabaya ada seorang kiai sepuh datang ke acara seminar, kebetulan panitia penerima tamunya adalah perempuan. Tiba-tiba kiai itu menulis sebuah surat dan dia segera pulang. Isi suratnya hal nanhnu min ahlu sunah wal jama’ah (apakah kami ini masih berada dalam ahlu sunah wal jama’ah). Ini karena yang menerima tamu itu adalah perempuan. Padahal di dalam forum itu para kiai NU semua. Begitu juga ketika mau masuk kepada definisi ahlu sunah wal jama’ah. Dengan nada berseloroh, ada seorang kiai menyerahkan rumusan defisini Aswaja pada kiai NU yang muda. Hanya dia berpesan, apapun definisinya terserah, yang penting Muhammadiyah tidak masuk dalam pengertian Aswaja itu.

Satu hal yang disepakati bahwa dalam bidang teologi, NU tetap mengacu pada pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Asy’ari dan Maturidi. Akan tetapi, sayangnya sebagian kiai tetap menyalahkan sejumlah aliran teologi di luar dua tokoh tersebut. Para tokoh NU seakan tetap mewarisi pertentangan ideologis mungkin juga politis antara Sunni dan Mu’tazilah. Tidak jarang di antara keduanya saling menyerang. Ketika saya di pesantren, saya kerap mendapatkan beberapa ungkapan cacian terhadap kelompok Mu’tazilah, seperti qalat al-mu’tazilah la’natullah ‘alaihim. Orang Mu’tazilah dikatakan sebagai tukang bid’ah. Di dalam kitab ‘Aqidah al-‘Awam terdapat ungkapan sebuah nadam, “waalihi washahbihi waman tabi’ sabila dinil haqqi ghairo mubtadi’. Yang dimaksud dengan mubtadi’ (ahli bid’ah) adalah mu’tazilah. Karena mu’tazilah dipandang sebagai ahli bid’ah. Padahal Tuhan sendiri adalah ahli bid’ah juga. Badi’us samawati wal ardli.

Sementara di dalam bidang tasawuf dikatakan bahwa NU mengacu pandangan sufistik Junaidi Al-Baghdadi dengan AlGhazali. Pertanyaannya, apa para kiai NU konsisten bermadzhab kepada keduanya. Ternyata tidak juga. Coba perhatikan pernyataan al-Ghazali di dalam kitab Ihya` ‘Ulum al-Din yang menyebutkan bahwa tauhid yang paling tinggi di dalam tasawuf persis seperti yang dirumuskan oleh Abu Mansur al-Hallaj. Al-Hallaj di dalam tradisi NU ditolak habis. Padahal al-Gahzali menerimanya. Ini tidak konsisten. Junaidi al-Baghdadi juga begitu. Konsep ittisal Junaid telah memberikan inspirasi bagi Ibnu ‘Arabi untuk merumuskan konsep wihdatul wujudnya.  Konsep ittishal Junaid ini dapat dibaca daam bukunya, Rasa`il al-Junaid. Apakah para kiai ketika merumuskan ini benar-benar memiliki pengetahuan yang utuh mengenai konsep tasawuf ke dua tokoh tersebut. Kalau saja mereka membaca surat-surat Junaidi al-Baghdadi, saya menduga kiai-kiai akan menoaknya.  Junaid sebenarnya berhaluan fasafi ketimbang khuuqi-‘amali.

Terkait dengan Jaringan Islam Liberal, lembaga ini telah memiliki manifesto menyangkut pokok-pokok pikiran Jaringan Islam Liberal. Itu nanti bisa dibuka di situs Islam liberal Ada 13 pokok pikiran yang dikemukakan. Salah satunya adalah bahwa Jaringan Islam Liberal akan mengembangkan aktivitas ijtihad di dalam bidang mu’amalah dan bukan di dalam bidang ubudiyah. Melakukan aktivitas ijtihad di dalam ibadah ritual tidak banyak gunanya. Apa, misalnya, gunanya mengubah shalat dzuhur dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat? Sementara pernikahan, ahwal sakhsiyah itu adalah bidang muamalah sehingga masih terbuka lebar aktivitas ijtihad di dalamnya.

Menyangkut pernikahan beda agama, misalnya, seperti yang disampaikan Pak Rafiq tadi. Berpikir secara tekstual saja pernikahan beda agama itu adalah boleh kalau laki-lakinya muslim sementara perempuannya adalah ahlul kitab. Bagaiman kalau perempuannya muslin kemudian laki-lakinya non muslim ahlul kitab? Boleh dengan 2 alasan. Alasan pertama adalah saya memakai kitab jurmiyah yang dipakai pesantren itu. Di dalam kitab jurmiyah itu ada kata-kata mim bab al-iktifa`. Contoh .thalabul ‘ilmi faridaton ‘ala kulli muslimin. Itu hadits yang shahih. Tidak dicantumkan wa muslimatin bukan berarti perempuan tidak wajib mencari ilmu. Tidak dicantumkan mim bab al-iktifa`. Contoh lain, sarabila takikumul harra wasarabila takikum ba’sakum bahwa fungsi pakaian adalah menjaga diri kita dari panas. Tidak dicantumkan dari dingin bukan berarti tidak perlu di situ min bab al-iktifa`. Yang dicantumkan di dalam al-Qur`an adalah bolehnya pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab, tidak dicantumkan sebaliknya, min bab al-iktifa`. Karena itu berlaku hukum sebaliknya. Ini kan ilmu pesantren, bukan ilmu-ilmu yang berkembang di dalam tradisi Barat.

Yang kedua, tidak ada dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Bagi saya, tidak ada dalil itu adalah dalil bagi boehnya pernikahan di antara mereka. Itu yang dimaksud dengan kaidah, ‘adam al-dalil huwa al-dalil. Kalau sudah tidak ada dalil al-Qur`an yang melarang, maka berarti sudah tidak ada dalil, sehingga pernikahan perempuan Musimah dengan laki-laki non-Muslim mesti diperbolehkan.

Sumanto al-Qurthuby

Saya bukan penerus Islam liberal. Tapi sindikat Islam liberal. Memang akhir-akhir ini terjadi proses yang sangat menguat tentang pandangan-pandangan yang bermuara pada konservatisme. Survey Freedom Istitute belum lama ini yang kemudian dilansir oleh Islam liberal juga menunjukkan bahwa pandangan-pandangan konservatif sangat menguat. Karena menguat maka sangat menguatirkan. Itu tidak cuma terjadi di lingkungan NU, tapi juga di Muhammadiyah. Jadi hampir nasibnya sama. Teman-teman yang bergelut di gagasan seperti ini kemudian mengalami diskriminasi. Saya hanya ingin mengatakan bahwa menurut saya gagasan-gagasan Islam liberal itu sesuatu yang harus dikemukakan karena berangkat dari beberapa asumsi dasar. Tidak cuma dalam ekonomi tetapi juga dalam politik, kebudayaan, dan lain-lain. Ini fakta yang mestinya harus kita cermati sebagai umat Islam. Dan Islam liberal saya kira mengambil bagian dari itu.

Kenapa umat Islam yang katanya umat yang terbaik ini tetapi nyatanya adalah bukan umat yang terbaik? Tetapi umat yang terburuk, saya tidak ngerti. Umat yang buruk dalam beberapa segi. Ekonominya bangkrut, intelektualitasnya amburadul, ilmu pengetahuannya hancur. Apalagi yang dibanggakan dari umat Islam ini? Demokrasinya morat-marit. Hampir tidak ada di negara-negara Islam yang demokrasinya itu tumbuh dengan benar-benar. Itu tidak ada. coba anda lihat, hampir semua negara yang berbasis Islam mengalami keterpurukan yang luar biasa dalam pelaksanaan demokrasi. Hampir semua negara-negara Islam itu adalah kerajaan yang otoriter dan negara yang tersulit dalam menerapkan prinsip-prinsip kenegaraaan. Anda lihat di negara-negara Islam tidak ada satu pun yang mengembangkan wacana demokrasi secara benar. Pertanyaannya adalah kenapa di Timur Tengah demokrasi tidak bisa muncul dengan baik? Kenapa di negara-negara Islam demokrasi tidak bisa tumbuh dengan baik?

Farid Zakaria memberikan satu abstraksi yang cukup menarik untuk kita cermati. Pertanyaan tadi dijawab dengan sederhana kenapa demokrasi tidak muncul di negara Islam karena para pimpinan negara-negara Arab itu bersikap otoriter, absolut, dan totaliter. Karena rakyat yang hidup di negara-negara kawasan Arab dan kawasan Islam di Timur Tengah itu tidak memiliki kontribusi apa pun pada negara. Tidak ada bayar pajak. Tidak ada karena rakyat tidak memberikan sesuatu kepada negara maka pimpinan negara tidak memberikan sesuatu kepada rakyat. Karena minyak yang demikian melimpah kemudian seenaknya sendiri dikelola oleh para elit-elit, para pimpinan itu. Yang paling banter mereka bikin adalah masjid dan musolla. Untuk apa musolla dibikin sementara rakyat dalam pengertian basis tidak memiliki partisipasi secara politik secara benar. Anda lihat di Saudi Arabia. Setiap orang mungkin memiliki istri dimana-mana. Persis seperti raja-raja Jawa pada masa dulu.

Salah satu negara yang diklaim sebagai sangat demokratis, mengembangkan konsep demokrasi itu adalah Mesir. Tapi itu adalah omong kosong. Mesir, menurut farid Zakaria, setiap tahun menerima dana hibah gratis dari Amerika sebenar 5 milyar dollar AS. Dan dia tiap tahun mendapat kurang lebih pemasukan 2,5 milyar dari pungutan-pungutan kontribusi dan lewat perusahaan swasta kapal-kapal asing yang masuk ke pelabuhan terusan Suez dipunguti retribusi. Hampir 2 milyar tiap tahun. Jadi ada kira-kira $7 milyar setiap tahun.

Di Turki dan Aljazair, demokrasi dikawal dengan tentara. Di Iran meski pun muncul seorang Khatami, tapi belum memiliki kontribusi yang cukup positif karena masih dominannya kelompok-kelompok ulama-ulama. Sementara Malaysia itu demokrasi pura-pura. Malaysia tidak memberikan ruang partisipasi sama sekali buat kelompok-kelompok oposan. Anwar Ibrahim dituduh sodomi kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Ia tidak diberi hak politik. Saya tidak yakin Anwar Ibrahim sodomi. Saya kira sangat politis yang seperti itu. Fakta keterpurukan di negara Islam inilah kemudian yang menyebabkan Islam liberal mau tidak mau harus memasuki wilayah itu. Kita harus bergerak untuk membangun umat Islam ini sehingga jargon-jargon Islam sebagai umat terbaik dan tertinggi itu bukan cuma omong kosong.

Repotnya lagi adalah sudah tahu kalau orang Arab seperti itu, orang Indonesia meniru-niru gaya orang arab. Pakai jenggot, pakai jubah. Dia tidak tahu kalau TKW banyak diperkosa di Arab. Saya tidak melarang teman-teman yang dengan sangat ketat berpakaian seperti itu. Yang saya tidak suka adalah memaksakan cara hidup itu pada orang lain. Kalau tidak melakukan berarti tidak Islam. Itu yang saya tentang. Saya tidak ambil pusing. Tetapi ketika mengatakan Anda harus berjubah dan berjenggot, karena kalau tidak berarti tidak mengikuti tradisi Nabi, karena tidak Islami. Saya tidak suka itu. Sombong sekali.

Islam saya kira harus ditangkap sebatas spiritnya saja, nilai-nilainya saja. Tetapi, kalau sudah sampai pada hal-hal yang partikular kita memiliki hak penuh untuk melakukan ijtihad. Kalau salah, mending dapat satu daripada tidak ijtihad tidak dapat apa-apa. Ijtihad itu walaupun dia salah di akhirat dapat satu. Besok akan saya usulkan ke Tuhan supaya ijtihadnya benar. Lebih baik kita berpikir daripada tidak.

Ini berkaitan dengan penanya yang kedua tadi, soal akal. Ini sangat penting. Karena quran ini turun pada manusia, bukan pada keledai. Partisipasi wahyu tidak bisa dibaca kalau tidak ada partisipasi akal. Maka akal sangat penting dan harus kita optimalkan. Dan saya kira salah satu kemunduran dari dunia Islam ini adalah karena menempatkan akal di bawah subordinasi wahyu yang demikian jauh. Akal ditempatkan di lorong-lorong sempit yang tidak memiliki ruang sama sekali untuk berpartisipasi dalam memberikan interpretasi terhadap wahyu.

Sebagai penutup saya ingin mengatakan bahwa apa yang dikatakan selama ini bahwa Islam liberal adalah Islam yang bebas, sporadis, Islam yang tidak memiliki nilai, Islam yang suka menghalalkan segala hal, adalah sangat-sangat bohong.

Penanya I

Saya mau menanggapi pernyataan bapak-bapak yang ada di depan yang mengatakan Islam liberal itu tidak mau dikatakan Islam yang menghalalkan segala cara. Tetapi dari pernyataan Bapak Moqsith mengatakan bahwa pernikahan seorang muslim laki-laki dan perempuan ahli kitab itu boleh. Sedangkan yang pernah saya baca, ada pernyaataan wala tankihu al-musyrikat hatta yu’minu. Itu jelas bahwa seorang laki-laki tidak boleh menikahi wanita yang belum beriman. Apa ahli kitab itu dikatakan cukup beriman sedangkan selanjutnya ada ayat di atas. Menurut saya, tadi kan ditafsirkan dengan kitab jurmiyah. Alquran bagi saya itu kedudukannya sudah cukup tinggi. Apakah bisa dari alquran kita tafsirkan dengan jurmiyah yang sifatnnya karangan manusia yang lebih rendah. Bisa saja mungkin kalau ada fatwa ulama yang mengatakan pandangan-pandangan seperti halnya dikatakan Bapak-Bapak yang di depan. Mungkin ada seperti contoh tadi. Tidak ada istilahnya berhati-hati dalam berijtihad dalam hal makan. Kalau ternyata babi itu dinyatakan halal, maka itu berarti memang tidak ada unsur kehati-hatian. Berarti bisa saja dikatakan menghalalkan segala cara.

Penanya II

Pada sidang Bahtsul Masa`il NU di muktamar Solo kemarin juga muncul keputusan untuk melarang warga NU menggunakan hermeneutika sebagai metode pembacaan teks. Pelarangan itu, menurut saya, merupakan kemunduran bagi NU. Ini PR kita ke depan. Memang gerakan Islam lagi bertiup ke kanan. Maka, harus ada yang mengimbanginya seperti yang dilakukan oleh teman-teman Islam liberal atau pun di aktivis yang sejalan dengan Islam liberal.

Menyikapi misalnya tentang hermeneutika itu. Karena bagi saya sebetulnya hermeneutika atau semiotika itu bukan metode baru. Ulama pun sudah banyak menggunakannya. Tapi kenapa kemudian saat bahsul masa`il itu diperdebatkan bahkan tidak boleh hermeneutik itu digunakan sebagai metode. Kira-kira bagaimana menyikapi itu karena menurut saya itu bahaya besar.

Abd Moqsith Ghazali

Bolehnya nikah beda agama itu bukan sesuatu yang baru. Memang ada tiga hal yang harus clear ketika kita bicara tentang nikah beda agama. Yang pertama adalah tentang konsep ahlul kitab. Yang kedua tentang konsep musyrik. Yang ketiga tentang konsep kafir. Di dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 jelas sekali tentang pernikahan laki-laki, pernikahan umat islam dengan orang kafir itu ditutup sama sekali. Wala tumsiku bi ‘Isham al-Kawafir. Sementara al-Baqarah ayat 221, wala tankuhi al-musyrikat…. wala tunkihu al-musyrikin. Tidak boleh umat Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan musyrik. Sementara ada ayat lain, QS al-Ma`idah ayat 5 yang memperbolehkan menikah dengan perempuan ahlul kitab. Wal al-muhshanatu minal ladzina utul kitaba min qoblikum. Apakah di sini ada paradoks antara mengharamkan pernikahan dengan orang kafir, orang musyrik, bolehnya menikah dengan ahlul kitab. Perlu kita maklumi bahwa al-Baqarah itu adalah surat yang pertama kali turun ketika Nabi berada di Madinah. Kemudian ayat berikutnya al-Mumtahanah ayat 10, baru kemudian yang terakhir turun al-Ma`idah ayat 5.

Sebagian ulama berpandangan bahwa ayat yang terakhir turun yang memperbolehkan menikah dengan ahlul kitab itu telah mentahsish, menspesifikasi dua ayat sebelumnya. Jadi boleh menikah dengan ahlul kitab, yang pada zaman dulu adalah yahudi dan nasrani. Ahlul kitab telah dikecualikan dari keumuman ayat kafir dan musyrik. Kalau di dalam ushul fiqh Syafi’ie, hal tersebut dikatakan sebagai tahshish, maka di dalam ushul fiqh Maliki dikatakan sebagai nasakh juz`iy. Pendapat ini dikemukakan oleh banyak ulama seperti Said bin Zubair, ikrima, Mujahid, dan sebagainya.

Ada pendapat lain yang menyatakan oleh karena ayat yang terakhir turun itu adalah ayat yang memperbolehkan nikah dengan ahlul kitab, maka ayat ini telah mengamandemen pelarangan menikah dengan orang kafir dan orang musyrik sebelumnya. Oleh karena yang terakhir ini punya otoritas untuk menganulir ketentuan yang ada sebelumnya. Dan tidak bisa berlaku hukum sebaliknya dua ayat yang sebelumnya akan menganulir hukum yang ada setelahnya. Itu yang dimaksud di dalam kaidah ushul fiqh la yajuzu taqadumum nasikh alal mansukh. Yang dinasakh itu selalu harus datang yang paling akhir. Jadi boleh. Pendapat ini dapat diketemukan penjelasannya di dalam tafir al-Thabary.

Yang kedua tentang hermeneutika. Memang saya ikut di dalam Bahtsul Masa`il Maudu’iyah dalam muktamar kemarin. Komisi ini waktu itu dipimpin oleh Dr. Said Agil Siraj dan Dr Mahasin. Sebagian peserta memang sudah curiga semenjak awal atas masuknya hermeneutika sebagai salah satu materi bahasan. Ada yang menyatakan bahwa ini adalah upaya meliberalkan NU. Di ujungnya hermeneutika memang harus ditolak. Agak seru memang. Hermeneutika dipandang sebagai ilmu Barat-Kristen. Hermeneutika kemudian dinyatakan tertolak, tapi takwil diterima. Takwil sebagai metode interpretasi terhadap teks-teks alquran. Padahal, kalau kita baca sejarah, sejarah liberalisme di dalam Islam dimulai dari aktivitas bertakwil itu, baik di dalam Sunni, Syi’ah, maupun Mu’tazilah.
Yang bikin saya gelisah sebagai anak muda adalah ketika kurang lebih 10 kiai di dalam forum tersebut mengusulkan untuk menghapus kata-kata “istinbat jama’i” dalam keputusan Munas NU Lampung, karena itu dianggap sebagai tindakan yang liberal dan terlalu berani. Saya melihat, generasi sekarang tampak agak paradoks dengan generasi Gus Dur, Gus Mus, Kiai Sahal yang dapat melahirkan keputusan Lampung itu. Jika generasi Gus Mus dkk tampak memiliki kedalaman ilmu dan kearifan, maka generasi sekarang terlihat politis, tidak memiliki kedalaman ilmu, dan sebagainya. Ini sebuah kemunduran. Para kiai muda NU sekarang banyak yang tampil sebagai broker politik ketimbang sebagai kiai yang alim, yang bergulat dengan ide-ide dan pemikiran. Mereka terlibat di dalam permainan politik praktis yang kotor sekalipun, tanpa mempertimbangkan aspek moralitas. Ini amat merisaukan. Ternyata kiai-kiai muda NU ini sudah mengalami keterputusan dengan pemikiran yang dilakukan oleh Gus Dur, Gus Mus, Kiai Sahal, Kiai Wahid Zaini, Kiai Imron Hamzah, dan lain-lain. Tahun 90 an awal telah ramai diskusi tentang perlunya memahami kitab kuning secara kontekstual. Itu yang memutuskan adalah generasi Kiai Wahid Zaini, Kiai Imran Hamzah. Sepeninggal kiai-kiai seperti ini memang arus pemikiran di Jawa Timur bergerak semakin konservatif.

Yang kedua semakin melemahnya penerapan ushul fikih sebagai metode pembacaan teks agama. Ushul fikih sebagai basis rasionalisme di dalam Islam semakin tidak aplikatif. Sejumlah kitab ushul fikih mungkin masih dihafal, tapi sudah tidak diimplementasikan tatkala menyelesaikan sejumlah persoalan fikih. Karena problem ini, saya kira pikiran-pikiran tidak berjalan demikian baik. Ini bagaimana caranya menggerakkan rasionalisme dalam NU dengan menggunakan perangkat metode ushul fikih.

Sebenarnya ketika menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur telah berhasil melakukan dinamisasi pemikiran Islam di lingkungan NU. Ia berhasil memasukkan isu pluralisme agama, demokrasi, kesetaraan gender, penegakan HAM ke dalam pesantren. Dan bagi Gus Dur sendiri, pikiran-pikiran seperti itu tidak bisa ditawar. Ia akan berjuang sekuat tenaga bahkan siap pasang badan bagi teman-teman muda NU yang melakukan gerakan pemikiran seperti itu. Ini yang membedakan antara kepemimpinan Gus Dur dan Hasyim Muzadi. Hasyim cenderung melakukan politisasi pemikiran. Ia akan cukup hati-hati mengambil isu. Ini mungkin karena ia bukan tumbuh sebagai seorang pemikir, melainkan lebih tampak sebagai seorang politisi. Pidato dia yang cenderung mendiskriminasikan pemikiran Islam liberal kiranya dapat dibaca melalui optik ini.

Berbeda dengan Gus Dur, dalam bidang pemikiran Hasyim akan melakukan akomodasi, tanpa keberpihakan, dan jangan-jangan dia jarang membaca buku. Ini terbukti dari ketidak-tahuan dia tentang pemikiran yang dikembangkan Islam liberal. Pernyataan dia bahwa Islam liberal adalah menghalalkan segala cara merupakan bukti untuk itu. Ini sebuah kekeliruan dari seorang Hasyim Muzadi. Karena ketidaktahuan dia, tidak ada tashawuryang memadai tentang apa yang dimaksud dengan liberalisme pemikiran. Di tangan Hasyim, arus pemikiran di dalam NU cenderung semakin ke kanan, konservatif. Untungnya, anak-anak muda NU terus mendesakkan pemikiran-pemikiran progresif ke dalam NU walau pada akhirnya tetap menjadi “anak haram”.

Tapi saya yakin, dalam waktu yang tidak terlalu lama kepemimpinan di NU akan jatuh ke tangan teman-teman muda NU yang progresif yang tersebar di pebagai daerah. Saya ketemu dengan sejumlah anak PMII di luar Jawa, seperti Samarinda, Banjarmasin, Mataram, yang memiliki pemikiran-pemikiran progresif. Mereka nanti yang akan menggantikan para kiai yang sudah udzur, maka bayangkan apa yang akan terjadi. []

27/03/2005 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (23)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

JALAN TERUS DAN PANTANG MUNDUR DENGAN FAHAM “JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)” !

1. Yang sesat adalah kearah perpecahan sesuai Al Mumi’nuun (23) ayat 53,54 (partai dan firqah agama-agama diseruh jagat).
2. Yang sesat adalah yang mengatakan tidak ada rasul lagi sesuai Al Mu’min (40) ayat 34.
3. Yang sesat adalah mereka yang tidak sudi agama dipersatukan sesuai An Nahl (16) ayat 93 didalam AGAMA ALLAH memenuhi An Nashr (110) ayat 1,2,3.
-Penyempurnaan dari agama disisi Allah adalah Islam menuju Agama Allah sesuai Ali Imran (3) ayat 19,81,82,83,85, Al Maidah (5) ayat 3, Al Hajj (22) ayat 78, Al Baqarah (2) ayat 208, An Nashr (110) ayat 1,2,3.
4 Banyak lagi hal-hal lainnya !

Jalannya sudah 100% benar, tinggal mencapai Allah menurunkan penggenapan HARI TAKWIL KEBENARAN KITAB yang wajib ditunggu-tunggu dan tidak melupakan sesuai Al A’raaf (7) ayat 52,53, dan HARI DATNGNYA ROH KEBENARAN sesuai Yohenes 16:112,13,14,15 di Indonesia pada awal millennium ke-3 masehi. 

Sudah ada alat pendukung lengkapnya untuk JIL yang tidak sesat, yaitu buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama yang penuh dengan hujah Allah, hujjah nabi Muhammad saw. dan hujjah kitab suci-Nya berjudul:

“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema
Penerbit: GOD-A CENTRE
Dengan BONUS: “SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)” berukuran 63x60 cm.

Tersedia ditoko-toko buku distributor tunggal:
P.T. BUKU KITAB
Telp. 021.78881850
Fax. 021.78881860

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tungal Agama millennium ke-3 masehi.

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  11/08  at  03:50 AM

karya - karya klasik muslim terdahulu sebenarnya sudah mendahuluhi pendapat JIL yang di anggap “ aneh”. hanya orang yang malas membaca saja yang menganggap bahwa ide yang dilontarkan JIL adalah “ kontroversial “ dan sejenisnya.

sejarah filsafat islam membuktikan pemikiran al-ghazali - ibn rusyd, ahmad bin hambal (yang dihukum karena debat tentang kemahlukan mushaf), ibn thufail, al - hallaj dan lain - lain adalah produk pertentangan “ tafsir “ teks wahyu, filsafat dan teologi.

ranah sosiologi dan politik menelurkan ibn khaldun, ibn bathutah, al - mawardi dan lain sebaginya adalah realitas ketersinggungan “ tafsir” teks wahyu, sosial dan politik.  perdebatan panjang fiqh membuahkan “ ijtihad “ baru yang berlawanan dengan madzhab empat. kita malas meneliti apakah kitab - kitab fiqh memang stagnan.. coba kita teliti dari mulai kitab safinah sampai madzahib al - arba`ah atau dengan kata lain dari kitab induk sampai mukhtasar sekalipun pasti ada yang berbeda pendapat tentang hukum.. apakah perbedaan itu bukan ijtihad? Imam Nawawi yang sudah sampai derajat Ijtihad namun tawadu` tidak mau dikatakan mujtahid tapi buku - buku karangannya melebihi imam syafi`i profesornya. pertanyaanya.. apa kitab yang sudah kita susun dan ijtihad baru kita apa? jangan - jangan sebuah artikel sudah kita katakan luar biasa? tapi boleh-lah demi “ penyegaran “ ?

semua adalah menuju “ tafsir “.. kita hanya berdebat di seputar “ tafsir”. tafsir apapun bersifat “ijtihadiyyah”.. kenyataan bahwa muslim hanya “ ngurusi “ tafsir sehingga produk “ kafir “ pun saya fikir hanya “ tafsir “ maka kita tidak perlu emosi,merasa sedih dan terhina hanya karena “ tafsir “.

logika “ tafsir “ adalah relatif sedangkan “ kebenaran tafsir “ hanya milik Allah SWT.. jadi siapa tahu apa yang “ kita “ tafsirkan “ benar “ dihadapan Allah SWT.. demikian halnya yang “ mereka “ tafsirkan “ benar “ juga dihadapan Allah SWT. disinilah teori orang nelayan “ branjang / jaring “ ikan menjadi titik “ pencarian kebenaran “.. pertanyaanya..mengapa sama - sama “ branjang / jaring “ kok saling menyalahkan dan “ mengkafirkan “?

lebih jauh lagi bahwa apa bedanya syetan dan manusia ? yang membedakan adalah moralitas yaitu “ ana khoirun minhu “ berarti siapa yang merasa “ tafsirnya “ lebih baik dari tafsir orang lain itulah syetan. dasyat bukan ?

memang JIL juga jangan bangga dan takjub dengan sesuatu yang baru.. bahasa jawanya “ sesuatu sing ngedap - ngedapi “ ciri orang yang terjajah ( colonialised ) adalah kaget terhadap sesuatu yang baru dan “ ngedap - ngedapi “.. kalau JIL masih punya watak colonialised seperti itu belajar dong teori postcolonial.. berarti juga JIL perlu didekati dan bahkan dideconstruksi karena masih terjebak dengan “ ke ajaiban “ pemikiran “ yang di “ anggap “ baru oleh JIL.. kemudian JIL juga menganggap teori yang JIL baru baca dan dapatkan adalah “ sesuatu “ yang “ wah “ dan “ ngedap - ngedapi “ padahal ya menurut saya “ biasa - biasa “ saja.. semuanya “ tafsir”.

kesimpulannya “ tafsir “ adalah realitas yang “ biasa “ cuma bagaimana cara mengkomunikasikan “ tafsir “ tersebut tidak menjadikan “ conflik “ dengan tafsir yang lain. saya kira JIL harus banyak belajar dan ngangsu kaweruh tentang cara mengkomunikasikan ide baru kepada Kyai - Kyai sepuh NU..Nah JIL harus belajar cara mengelola dan menciptakan Budaya bukan cara mengelola “ conflik “. ok.

saya percaya keilmuan komunitas JIL “ nyundul langit “ tapi bagaimana tidak “ kejeduk langit “ itu yang perlu juga dicari..

salam bagi kalian semua.. semangat kalian kami dengar dan baca di kepulauan terpencil karimunjawa jepara jawa tengah tapi jangan sampai kami tertawakan dari kepulauan terpencil karimunjawa..
-----

Posted by hisyam zamroni  on  03/17  at  08:03 PM

kitab turats bukan jaminan bahwa seseorang yang menamatkannya akan semakin memahami Islam secara benar. Syarat untuk berIslam secara benar adalah dengan mengamalkan Alquran dan Assunah sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW dan pemahaman para salafuhshalih, bukan berdasarkan kemampuan menguasai kitab kuning. Statement “pejabat” MUI itu juga mengesankan bahwa penguasaan sang pejabat MUI tentang Alquran masih sangat dangkal, jauh dari harapan kita tentang kapabilitasnya MUI. Bagaimana mungkin seorang pejabat MUI bisa beranggapan bahwa Alquran bisa diubah hanya berdasarkan realita-realita yang terjadi di masyakarat mengenai kawin beda agama.Citra NU yang selama ini dianggap cukup progresif akan hilang oleh pemikiran-pemikiran dogmatis dan pragmatis tadi. Saya bukan ahli agama, tapi saya rindu akan adanya kebebasan untuk berijtihad dalam menafsirkan hal-hal yang berhubungan dengan muamalah karena dengan berijtihad maka kita akan semakin dituntut untuk dapat mengembangkan rasionalitas berfikir yang tentu saja ditunjang dengan sumber yang memadai

Posted by arits  on  03/14  at  01:03 AM

semua menjadi salah kaprah, ketika kita berbeda pendapat dengan orang atau segolongan orang buru buru kita mengecap mereka dengan “SESAT” trus apa hak kita?, siapa yang menjamin yang kita percayai ini adalah"BENAR" sesuai dengan apa yang di inginkan oleh YANG MAHA KUASA. Ingat Muhammad SAW dulu juga di anggap sesat oleh kaumnya, dan kemudian oleh berjalannya waktu beliau bisa membuktikan kalau ajarannya memiliki sisi yang paling Ilmiah. Jadi jangan mudah memberi stempel SESAT kepada teman2 yang tidak sepahaman dengan kita

Posted by pahlawan Bertopeng  on  08/04  at  10:08 PM

Saya juga seorang pembaca Al Quran yang juga membaca Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Menurut saya sebaiknya tidak hanya umat muslim tapi juga umat kristen agar jangan memahami Injilnya dengan sangat sempit karena akan mengakibatkan penafsiran yang salah yang secara nyata2 tercantum dalam Injil. Misalnya, tentang incest-nya David dan Noah si pemabuk. Itu semua sebaiknya jangan dibaca dan kalau perlu dihapus pada Injil edisi berikutnya karena membuat pemahaman domba2 Yesus jadi berahlak rendah.

Posted by Abu Jahal  on  04/21  at  12:04 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq