Fenomena Korupsi di Departemen Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
27/06/2005

Haji vs. Koruptor Agamis Fenomena Korupsi di Departemen Agama

Oleh Zaki Mubarok

Di departemen yang dikelola para santri-istilah yang merujuk pada Snouck Hurgrounje- justru bermunculan borok-borok peradaban, korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai santri atau orang yang sangat paham dengan setiap pojok agama, harusnya mereka mampu menjadi garda depan dalam memerangi KKN. Ini terkait dengan kaidah ushul fiqh “tasharruful imam manuuthun bil mashlahah” yang berarti kebijakan dan performance pemerintah haruslah selalu mengacu kepada pemenuhan kemaslahatan rakyat.

Animo masyarakat terhadap ibadah haji di Indonesia demikian tinggi. Ibadah haji merupakan salah satu bentuk ritual “super sakral” dan “bergengsi”. Karenanya, ibadah ini hanya dikhususkan bagi muslim yang mampu, baik dari segi finansial, kesehatan fisik dan mental dan persyaratan njlimet lainnya. Masyarakat kelas menengah ke bawah harus menyisihkan rupiah demi rupiah dari pendapatannya demi sebuah “cita-cita suci”, menjalankan rukun Islam kelima. Konon, jika seseorang telah melaksanakan ibadah haji, maka keislamannya akan sempurna.

Rupanya, apa yang diucapkan Peter L. Berger-sosiolog agama kenamaan- tiga puluh enam tahun lalu dalam bukunya yang berjudul A Rumor of Angels: Modern Society and the Rediscovery of the Supernatura” yang menjelaskan tentang kehadiran (kembali) “spirit ketuhanan” dalam dunia sekuler ini mendapatkan momentumya di Indonesia. Roda dunia sekarang ini sedang menggelinding menuju sakralisasi yang penuh keimanan.

Sakralisasi dunia hadir kembali sebagai lawan modernitas yang diyakini membawa sejumlah konsekuensi yang bersifat sekuler, yakni merosotnya agama sebagai orientasi nilai dalam kehidupan social. Modernitas juga mensponsori eksorsisme metafisis-istilah Ulil Abshar-Abdalla- atau pengusiran “roh agama” dari dunia. Sehingga manusia akan mampu membangun sebuah tatanan hidup yang oleh seorang penulis Kristen, Harvey Cox disebut sebagai “kota sekuler” (secular city), kota yang bersih dari campur tangan tuhan.

Di sini terlihat dengan semakin derasnya arus modernitas tersebut, justru semakin menguatkan arus religiofikasi, menghadirkan kembali “spirit ketuhanan”, klenik, sebagaimana ditegaskan kembali oleh Peter L. Berger dengan istilah “desekularisasi dunia”. Maka, tidak terlalu mengherankan jika setiap tahun jumlah peminat ibadah haji tetap pada rating yang tinggi.

Dan fenomena ini, sebagaimana diungkapkan Peter L. Berger diatas, benar-benar ditangkap dan dimanfaatkan betul oleh pemerintah untuk “melayani” niat suci masyarakat untuk menjalankan rukun Islam ini. Singkatnya, pemerintah menurunkan Kementrian Agama dengan kepanjangantangannya yaitu Departemen Agama Cq. Dirjen Haji untuk menangani “perjalanan suci” nan berresiko ini.

Dalam lanskap politik, ibadah ini diartikan sebagai “ibadah politik”. Karena ibadah ini juga menguras banyak birokrasi politis yang melelahkan dari persiapan sampai pelaksanaannya. Ini sebagai konsekuensi logis ibadah haji yang dijalankan di negara tetangga, Arab Saudi, yang mempunyai “aturan main” dan menuntut kepatuhan bagi setiap tamu selama menjalankan ibadah haji. Seorang muslim tidak bisa nyelonong dan seenaknya sendiri dalam urusan haji.

***

Di departemen yang dikelola para santri-istilah yang merujuk pada Snouck Hurgrounje- justru bermunculan borok-borok peradaban, korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagai santri atau orang yang sangat paham dengan setiap pojok agama, harusnya mereka mampu menjadi garda depan dalam memerangi KKN. Ini terkait dengan kaidah ushul fiqh “tasharruful imam manuuthun bil mashlahah” yang berarti kebijakan dan performance pemerintah haruslah selalu mengacu kepada pemenuhan kemaslahatan rakyat.

Tapi apa mau dikata, kaidah ini hanya menyentuh pada tataran wacana saja. Agama, yang merupakan media di mana rakyat disatukan secara intuitif di satu kawasan justru dimanfaatkan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan rekanan. Dengan mobilisasi yang sistemis, oknum di Depag berhasil menuai untung yang sangat besar dari prosesi ibadah haji. Ironis tentunya, di saat sebagian besar masyarakat menggalakkan kampanye anti KKN, justru di lembaga ini segala urusan yang berkaitan dengan haji diproyekkan dengan jalan yang bathil, bi ghoiri haqqin. Walhasil, korupsi menjadi pekerjaan reguler yang tersistematis.

Korupsi, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai “ghulul”, pada dasarnya adalah menyalahgunakan uang negara, uang publik atau tegasnya uang rakyat, untuk kepentingan pribadi, secara tanpa hak, bi ghairi haqqin. Pemerintahan yang baik (good governence) dalam pandangan Islam adalah pemerintahan yang mampu memenuhi hak-hak segenap warga dan menegakkan keadilan di antara mereka. Simaklah perintah tuhan dalam sebuah firman-Nya, “Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanat kepada yang berhak, dan apabila kalian memerintah maka memerintahlah dengan dan untuk keadilan.”

Pertanyaannya, kemana semangat penegakan keadilan? Padahal apa yang dinamakan sebagai penegakan keadilan diatas telah mendapat pembenaran teologis yang berarti juga membawa konsekuensi pada pembebanan sanksi agama. Di sinilah penegasan tesis bahwa kualitas keagamaan yang diselingkuhkan dengan sistem kekuasaan akan menginvestasikan kecenderungan untuk korup, sebagaimana ucapan Lord Acton, power tend to corrupt terbukti. Ketika kekuasaan tergenggam, maka agama hanya sebatas penegas dari kejahatan yang dilakukan.

***

Di negara-negara Islam-negara yang mencampuradukkan agama dengan sistem kekuasaan- tingkat kejahatan publik yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat cenderung lebih besar dibandingkan dengan negara-negara sekuler. Rakyat tidak mendapat hak-haknya secara proporsional. Jika ada kebijakan yang menyentuh rakyat, itupun hanya untuk menjalankan politik restitusi yang tetap tidak berpihak pada rakyat. Pengalaman di Arab dan Timur Tengah cukuplah sebagai pembelajaran bagi kita.

Indonesia, meskipun bukan negara Islam, namun dengan kuantitas pemeluknya yang sangat besar melebihi pemeluk agam lain menjadikannya akrab dengan nuansa keislaman yang cenderung otoritarian, parsial dan membelenggu. Ini tercermin dari sikap pemimpin yang selalu mengatasnamakan Islam untuk melanggengkan kekuasaan berikut mengeruk keuntungan bagi pribadi dan golongannya.

Di negara yang sekuler dan benar-benar memahami pemenuhan hak rakyat sebagai perintah suci dari tuhan yang harus dijalankan, tingkat korupsi dapat diminimalisir sedemikian rupa. Ini terkait dengan kesadaran keagamaan yang menempatkan “dosa sosial” lebih berbahaya daripada dosa individual yang diakibatkan pelanggaran terhadap praktek-praktek ritual.

Pun dengan pemerintahan yang ada. Tidak ada intervensi dari pemerintah dalam hal ritual. “Otoritas apapun"-dalam bahasa Masdar F. Masudi- tidak berhak mencampuri urusan ritual-privat. Sehingga kecenderungan untuk melakukan penipuan dan korupsi terhadap uang rakyat dalam persoalan ritual dapat dihindari. Bandingkan dengan Indonesia. Persoalan ibadah ritual, laiknya haji dan yang bersifat privat sedemikian diintervensi. Hasilnya, uang negara yang merupakan uang rakyat dari surplus pengelolaan ibadah haji dan sekaligus akan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat dilarikan ke pos-pos yang jauh dari pemenuhan kebutuhan rakyat.

Ibadah haji memang sebuah pekerjaan yang menuntut kerja birokratis yang hanya bisa dijalankan pemerintah, karena menyangkut hubungan dengan negara lain. Dalam tataran praksis, cukuplah pemerintah memperlakukan ibadah haji sebagai sebuah perjalanan biasa laiknya melancong dari satu negara ke negara lain.[]

Zaki Mubarok, Sekretaris Redaksi Jurnal JUSTISIA Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

27/06/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

agama mempunyai multi fungsi bagi seseorang, seperti penyejuk, pedoman hidup, jalan penebus dosa, bahkan juga komodity politik, komodity ekonomi, komodity budaya, dan sebagainya. Harapan yang berlebihan terhadap peranan agama, kadang-kadang menumpulkan peran agama dalam kehidupan. Harapan yang berlebihan ini, mengakibatkan kita tidak dapat melihat apa yang kita hadapi apa adanya, tertutup oleh harapan yang terlalu besar. Penubuhan agama dalam bentuk kyai, organisasi agama, departemen agama dan sejenisnya, adalah bukan agama dalam artian yang suci dan benar. Kita harus lebih cermat mencermati fenomena agama tersebut. Karena tidak cermatnya memandang fenomena agama ini, mengakibatkan agama kurang atau tidak bermanfaat dalam pemberantasan korupsi.
-----

Posted by mohzahid  on  03/26  at  09:03 PM

Mas zaki, tampaknya tulisan anda benar adanya. namun ini bukan persoalan baru. fenomena korupsi tampaknya dilakukan oleh berbagai kelompok apakah dia kiri atau kanan, religius konservatif atau religius liberal, punya agama atan tidak punya agama, sekular atau tidak, intelektual atau orang bodoh,dan lain lain jika kita mau menyebut semua lawan kawan dalam relasi sosial. kalaupun tidak mungkin cuma masalah kesempatan saja....Namun demikian dimuatnya tulisan anda oleh sebuah media yang mengaku liberal, dan tentunya diakses oleh orang yang mengaku liberal, sangat baik. tentunya ini sebagai kampanye anti-korupsi dilingkungan islam liberal. saya pikir ini jauh lebih baik dari pada anda atau JIL beradu mulut dengan kawan-kawan yg lebih konservatif. Liberal punya sisi baik, dan konservatifpun juga punya sisi baik. JIL harus berupaya mencari titik temu dengan kelompok tersebut apa2 yg bisa diperbincangkan. yang tidak bisa biar menjadi urusan masing2

Posted by guswandi  on  07/06  at  03:07 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq