Fenomenologi Ramadan - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
09/10/2006

Fenomenologi Ramadan

Oleh Novriantoni

Ramadan juga menjadi momentum penertiban pedagang kaki lima yang berupaya mengais rezeki di bulan yang konon penuh berkah ini. Gejala ini sangat berbeda dengan di beberapa negara Arab yang mampu menghadirkan Ramadan sebagai bulan penuh berkah dan makna bagi masyarakat tak berpunya.

09/10/2006 22:22 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (11)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Assalamualaikum Wr. Wb.

Trus terang sebagai muslim saya bingung. Di Jakarta (penduduknya mayoritas muslim yang berusaha mencari berkah) kebanyakan kelakuannya malah seperti ini :

1. Menjelang buka puasa, di jalan2 kayak orang kalap yg gak bisa menahan diri, bisa dilihat dari cara mengemudi, antrean di supermarket atau restaurant. gak ada sedikitpun yg mau ngalah. 2. Masjid penuh sesak??? hari biasa kemana aja??? 3. Pengeluaran rumah tangga malah lebih besar 4. Masih ada kejadian kekerasan. Untung tahun ini ga ada ormas islam yg sweeping. Setau saya, basic puasa itu “PENGENDALIAN DIRI”. trus terang, saya gak heran org islam di indonesia disebut orang barbar.

Waalaikumussalam Wr. Wb.

#1. Dikirim oleh Prihadi D. N  pada  10/10   01:11 AM

Setuju. Konsumtif semakin menjadi? Itu akibat wabah Kapitalisme yang dimainkan pelaku bisnis & media. Suara-suara apa yang selalu muncul menyambut Ramadan? Dari taun ke taun selalu sama: bagi-bagi hadiah, diskon belanja , pulsa gratis, mudik heboh, konser heboh, dll yang dibungkus dgn wajah religi. Mereka menghadirkan Ramadan bukan sebagai bulan Puasa tetapi sebagai Hari Raya ‘LEBARan’. Kita pun disibukkan dgn persiapan lebaran (mudik, parsel, bingkisan2, baju-baru, mobil baru, masak-masakan, & even2), bukannya sibuk tadarus atau tarawih misalnya. Mungkin itulah penyebab kenapa kebutuhan justru semakin meningkat. Logikanya, makan cuma 2x buka & sahur, jika setelah buka langsung tarawih & tadarus, lalu dilanjut dgn sholat malam sampai sahur, lalu subuh ikut kultum, sudah barang tentu kebutuhan Jasmani akan jauh berkurang. Mungkin ini kenapa orang jawa menyebut Lebaran, dari kata ‘lebar’ yang artinya hancur atau bubar…

#2. Dikirim oleh priyogo  pada  14/10   03:10 PM

menurut saya bukan hanya ketiga hal tersebut diatas saja yang menjadi fenomenologi ramadhan. masih ada lagi beberapa fenomena yang dapat kita temui di bulan suci ini, antara lain kemunafikan massal yang semakin menjadi-jadi. dengan alih-alih menyambut dan menghormati bulan puasa, dengan seketika banyak orang-orang yang tampil dengan Islami. mulai dari cara berpakaian sampai mengadakan perhelatan yang memakan biaya jutaan rupiah, seperti buka puasa bersama di kantor-kantor, hotel, atau restoran-restoran mewah. ketika bulan ramadhan datang, dengan seketika masjid dan langgar penuh sesak dengan orang-orang yang ingin beribadah, padahal diluar bulan suci ini bisa jadi orang-orang yang beribadah tersebut sama sekali tidak melakukan “kebiasaan baru” mereka ini. ini bisa kita lihat, bahwa hanya di bulan puasa ini masjid dan langgar penuh. kesesakkan itupun semakin melonggar seiring berakhirnya bulan suci ini. ini atrinya apa? masih banyak umat Islam yang tidak konsisten dengan keyakinannya, bahkan bisa jadi menjurus pada kemunafikan. hal ini bisa terjadi pada siapa saja, mungkin saya, mungkin juga anda. teater ramadhan ini masih berlanjut dengan bermainnya kamu kapitalis yang memanfaatkan bulan suci ini untuk meraup keuntungan. lihat saja berapa banyak tayangan bernuansa Islami yang muncul di bulan puasa ini. semangat Islam yang hadir di bulah maghfirah ini dimanfaatkan oleh para pemegang modal untuk meraup untuk dari iklan dengan menayangkan lebih banyak lagi sinetron-sinetron yang bernuansa Islam. para pemainnya pun tidak luput dari aroma kemunafikan. lihat saja, secara tiba-tiba kita melihat artis idola kita memakai jilbab, kerudung, kopiah, sorban, memelihara janggut, dan lain-lain. padahal di luar bulan suci, mereka sama sekali tidak seperti itu. gejala apa ini ? apalagi kalau bukan kemunafikan. itu semua dilakukan hanya untuk memeriahkan bulan puasa ini, namun sama sekali bukan dengan misi dakwah tapi berujung pada satu kata, yaitu profit. baik itu oleh para artisnya, production housenya, sampai stasiun televisi yang menayangkannya. dengan begitu Semangat ibadah Islampun telah di bajak dan dijadikan alat untuk mengejar keuntungan. untuk itu janganlah kita mengisi bulan puasa ini hanya dengan ibadah yang sifatnya ritual formalistik saja. baik di bulan ramadhan atau tidak, kita harus bisa menggali dan mendapatkan substansi dari ibadah kita. tentunya kita tidak ingin bulan ramadhan yang penuh berkah ini menjadi bulan yang penuh kemunafikan, bulan pura-pura, dan bulan yang penuh dengan ibadah yang semu.

wassalam.

#3. Dikirim oleh rio rizalino  pada  15/10   09:11 PM

Ya.... inlah gambaran dari bangsaku yang begitu beringas… masalah ini bukan saja harta benda yang lenyap akan tetapi nyawa pun sudah ada yang hilang ... gambaran yang seperti inilah yang mengingatkan kita pada 30 tahun yang lalu ketika bangsa kita masih di kuasai oleh kaum meliteristik dan sekarang ini bukannya hilang dari peredaran peraturan2 yang otoriter sangat banyak menyelengsarakan rakyat kecil.

Banyak alasan yang dikatakan oleh petugas SATPOL PP yang dimi segelintir orang yang ingin menguasai lahan yang telah dihuni oleh pedagang selama puluhan tahun mereka rela menunjang,memukul bahkan menikam kaum2 kecil lemah yang tak berdaya. Semalam aku melihat televisi yang mengisahkan tentang seorang PKL yang bisa naik haji karena berdagang di salah satu PKL yang digusur… saya sangat teriris hati karena masih banyak lagi pedagang2 yang mengais rezeki di sana yang mungkin untuk melaksanakan ibadah haji juga…

#4. Dikirim oleh hendra setiawan  pada  17/10   03:11 AM

Rasanya kita patut malu...Jumlah oorang Islam di negara kita paling banyak, tapi perilaku kita sebagai individu, masyarakat, maupun bangsa masih menyedihkan. Bulan Ramadhan ternyata tidak akan serta-merta mengubah perilaku menjadi lebih baik. Pasti negara kita juga masih akan menyandang predikat ter-korup..masyarakat kita juga masih brengsek.. lihat saja di jalan.

Memang sih ada perubahan seperti tiba-tiba masjid dan mushola menjadi ramai..tapi bukankah setiap ibadah punya dimensi sosial? Apa gunanya ibadah kalo tidak berdampak lebih baik ke orang lain dan masyarakat? Kenapa ini terjadi menurut saya karena ibadah baru dimaknai buat diri sendiri. Kita merasa sudah masuk surga asal sudah sholat secukupnya, puasa sekedarnya, zakat serelanya… perkara kita nyerobot antrian orang lain, memaki-maki pembantu, memaki-maki orang di jalan, kita pikir gak ada hubungannya dengan ibadah.

Yah...lagi-lagi kita memang ber-islam..tapi islam kita masih tertinggal di dalam mushola atau masjid..itu pun kalo kita pernah ke sana di luar Ramadhan...paling banter ya islam kita tertinggal di kolom “Agama” yang ada di KTP di saku celana kita....

#5. Dikirim oleh Mas Jito  pada  17/10   03:11 AM

jadi org bo yaa biasa2 aja yang sesuai dengan ajaran islam

#6. Dikirim oleh deden  pada  20/10   06:11 AM

Assalamualaikum

Setiap menghadapi bulan ramadhan, aku selalu cemas, disamping aku harus menahan lapar (lahir and bathin), aku harus mempersiapkan uang paling sedikit 20 juta, anak-dan emaknya pengen segala baru, bayar pembantu enam bulan plus hadiah lebaran komplit, persiapan mempersiapkan hidangan lebaran ditambah 5 hari pasca idulfitri, membantu adik-adik, memberi hadiah lebaran pada pegawai, tukang parkir, tukang koran, penjaga makam keluarga,dan banyak lagi seperti taraweh, sedekah, jakat. Semua uang rasanya hanya liwat dompetku, mungkin karena aku dianggap mampu (amien). Tahun demi tahun terulang lagi, tapi di sisi lain perasaan spiritual terasa kosong tidak ada kemajuan karena engga tau apa yang dituju, mau ngikuti contoh nabi, jauh panggang dari api. Apakah aku mengharapkan masuk surga, itupun aku tidak mengerti, masalahnya referencenya hanyalah katanya-katanya. Yang kuhadapi adalah dunia penuh kepalsuan, munafik, kemiskinan, ketidaktahuan, semua dibungkus oleh ambisi politik pribadi. Hanyalah di JIL ini aku merasa dapat kepuasan lahir dan bathin, terbuka dan jujur dalam memberikan informasi, yang salahnya kenapa orang lain membecinya. Entahlah ???

Wassalam

H. Bebey

#7. Dikirim oleh H. Bebey  pada  20/10   07:11 PM

Zainal A Hidayat, dalam kolom di Kompas “Mengikis Komersialisasi Ramadhan” (3 Okt), mengutip “Indonesian Consumers 2004” yang menunjukkan bahwa konsumsi makanan justru meningkat selama bulan puasa.
-----

#8. Dikirim oleh ayu utami  pada  22/10   12:10 AM

hmm. emang bener tuh semua…
kita memang patut prihatin dengan kondisi yang terjadi di bangsa kita tercinta ini..
tapi,,
obyektif aja ya, aku baca tulisan ini kok rasanya ada yang janggal ya, sepertinya penulis emang sebelumnya udah menilai masalah ini dengan sudut pandang yang sangat subyektif, sehingga yang muncul adalah penyudutan bulan ramadhan itu sendiri, sedangkan kritik yang ditujukan kepada umat muslim yang salah kaprah dalam menjalankan ibadah di Bulan Ramadhan menjadi kabur. Di sini terlihat bahwa penulis sebelumnya sudah sinis terhadap Bulan Ramadhan dan Islam itu sendiri.
Dalam tulisan itu penulis gak berusaha menyeimbangkan porsi kebaikan Ramadhan yang dijalankan masyarakat di Indonesia. Bagi orang yang sudah antipati dengan Islam sepertinya tulisan - tulisan seperti ini dan tulisan - tulisan JIL yang lain ini sangat membantu dalam hal dorongan moril “perjuangan” mereka untuk menjatuhkan Islam.
Tapi saya yakin dan percaya usaha JIL, FFI, dan semua organisasi yang antipati terhadap Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam tidak akan pernah berhasil dengan gemilang kecuali pada orang-orang dengan akidah tanggung....
yaaaahhhhh.....
terus berjuang aja dech…
inget bro…
dunia ini cuma sementara.

Aku

#9. Dikirim oleh van morrison  pada  04/09   10:07 PM

yang terjadi di bulan ramadhan ini adalah larangan warung makan buka di siang hari. Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah bukan berarti menghilangkan hak hidup orang? Untuk menjaga kesucian ramadhan apakah harus demikian? mohon komentarnya

#10. Dikirim oleh edy  pada  08/09   09:41 AM

Al Baqaraq :187
Diperbolehkan bagimu, dalam MALAM PUASA, untuk MENDEKATI ISTRI2MU. Mereka adalah pakaianmu dan kamu adalah pakaian mereka. Allah tahu apa yang kau lakukan secara rahasia diantara kamu; tapi Dia mengampuni padamu dan memaafkanmu; jadi sekarang berhubunganlah dengan mereka, dan ikutlah apa yang Allah telah takdirkan bagimu, dan makan dan minum, sampai tampak bagimu benang putih dari benang hitam yakni sinar fajar; lalu tuntaskan puasamu sampai malam tiba; tapi jangan berhubungan dengan istri2mu ketika kau sedang mendekatkan diri (dengan Allah) di mesjid. Inilah aturan2 (yang ditetapkan Allah): karenanya turutilah. Demikianlah Allah menerangkan Tanda2Nya kepada manusia: agar mereka belajar mengekang diri.

Sunaan Abu Dawud: Buku 13, Nomer 2380:
Dikisahkan oleh AISHA, Ummul Mu’minin:
Sang Nabi BIASA MENCIUMKU DAN MENGHISAP LIDAHKU ketika  aku SEDANG PUASA.

Sahih Bukhari: Volume 3, Book 31, Number 149:
Dikisahkan oleh ‘Aisha:
Sang Nabi BIASA MENCIUM DAN MEMELUK (ISTRI2NYA) KETIKA DIA SEDANG PUASA, dan dia punya kemampuan untuk mengontrol nafsu berahinya lebih hebat dari siapapun diantara kamu. Jabir berkata, “Orang yang batal karena setelah melihat (istrinya) harus menuntaskan puasanya.”

Sahih Bukhari: Volume 1, Buku 6, Nomer 319:
Dikisahkan oleh ZAINAB BINT ABI SALAMA:
“Sang Nabi biasa MENCIUMKU SAAT DIA PUASA. Sang Nabi dan aku biasa mandi Janaba (mandi wajib) dari SATU baskom.”

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu SURI TELADAN YANG BAIK bagimu (yaitu) BAGI ORANG YANG MENGHARAP (rahmat) Allah Swt dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (swt) . Al Ahzab : 21

#11. Dikirim oleh rombek  pada  14/10   06:10 AM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq