Gugatan Amina atas Tafsir dan Fikih Maskulin - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
08/04/2005

Gugatan Amina atas Tafsir dan Fikih Maskulin

Oleh Ahmad Musthofa Haroen

Diakui atau tidak, fakta membuktikan bahwa kewenangan dalam menafsirkan teks-teks suci pada tataran praksis secara eksklusif dikuasai oleh kaum laki-laki. Maka wajar biala ada semacam absolutisme ijtihad di sini. Secara logis dan naluriah pula, kenyataan ini ikut menginfiltasi sejumlah teks yang sedianya diperuntukkan bagi feminitas wanita dengan susupan-susupan subyektif dari pandangan maskulin si mufassir. Pengalaman laki-laki kemudian dipaksakan untuk memahami kewanitaan.

Jumat, 18 Maret 2005. 100 orang laki-laki dan perempuan menyelenggarakan ritual agama yang revolusioner di sebuah gereja Anglikan, The Synod house of The Cathedral of St. John The Divine, di kota New York, Amerika serikat. Gereja itu menjadi saksi bisu prosesi ibadah yang dalam Islam dikenal sebagai salat Jumat. Yang bertindak selaku imam sekaligus khatib salat itu adalah seorang profesor ternama dari Virginia Commonweath University, Dr. Amina Wadud Muhsin. Amina dikenal sebagai muslimah feminis Afro-Amerika. Konon kata berita, motif utama pelaksanaan ibadah unik ini adalah upaya kesetaraan gender; tema lama yang sampai sekarang masih tetap hangat diperdebatkan.

Tentu fenomena ini memicu banyak respons dari pihak-pihak yang merasa gerah dan marah. Ulama sekaligus Grand Syekh al-Azhaz di Mesir, Muhammad Sayyid al-Thanthawi mengajukan keberatan atas aksi Wadud, dan diikuti pula oleh ulama-ulama lain. Tapi bagi mereka yang sependapat dengan Amina, langkah serupa mungkin tak lama lagi akan diikuti.

Secara pribadi, saya pernah berbincang-bincang dengan Dr. Amina dalam sebuah workshop di Virginia, setahun yang lalu. Dari situ saya punya kesan pribadi. Dilihat dari fisik dan tutur kata, orang yang sempat bertatap muka dengannya akan yakin bahwa beliau merupakan salah satu prototipe muslimah dengan unsur feminitas yang sangat teruji. Kedalaman dan kegetolan beliau dalam menimba pengetahuan agama—khususnya menyangkut bidang tafsir—sudah tidak disangsikan lagi.

Sebagai feminis muslimah yang sejati, Amina dengan penuh kesadaran selalu mencoba mendobrak dominasi laki-laki dalam segala hal yang menyangkut Islam; agama yang konon membawa misi keadilan dan kesetaraan. Dobarakan itu pertama-tama ditujukan pada bidang tafsir dan fikih yang selama ini diyakini telah memberikan porsi begitu besar pada suara kaum laki-laki. Sementara untuk suara kaum perempuan, kalaupun ada, jelas tidak sebanding dan nyaris tak terdengar gaungnya.

Kuatnya kesan dominasi budaya patriarkhi yang melekat pada berbagai khazanah ilmu-ilmu keislaman (khususnya tafsir dan fikih) telah menginspirasikan Amina untuk berpendapat bahwa obyektivitas sebuah metode penafsiran tidak pernah bisa mencapai level yang absolut. Subyektivitas seorang mufassir (baca: laki-laki) selalu ada dan tak jarang lebih dominan di dalam muatan tafsir atau fikihnya.

Diakui atau tidak, fakta membuktikan bahwa kewenangan dalam menafsirkan teks-teks suci pada tataran praksis secara eksklusif dikuasai oleh kaum laki-laki. Maka wajar biala ada semacam absolutisme ijtihad di sini. Secara logis dan naluriah pula, kenyataan ini ikut menginfiltasi sejumlah teks yang sedianya diperuntukkan bagi feminitas wanita dengan susupan-susupan subyektif dari pandangan maskulin si mufassir. Pengalaman laki-laki kemudian dipaksakan untuk memahami kewanitaan. Inilah sedikit dari banyak hal yang ditentang Amina. Baginya, kehangatan dan kelezatan aroma semangkuk sup akan hilang seketika jika muncul tangan usil yang sengaja mencampurnya dengan air sabun berbusa.

Celakanya, metode penafsiran semacam ini sudah terlembagakan selama berabad-abad. Epistemologi yang pada awalnya hanya merupakan sebuah varian dalam memahami agama, karena begitu mengakarnya, kemudian hari malah menjadi (dijadikan) kebenaran yang mutlak, bahkan sering dianggap transenden dengan tingkat-tingkat sakralisasi yang luar biasa.

Pada titik-titik inilah, generasi muslim sekarang yang sebagian besar adalah muqallidîn atau pembebek saja, tidak punya kemampuan yang cukup untuk membedakan antara ‘penafsiran’ dengan ‘yang ditafsiri’ itu sendiri. Produk akal manusia hasil kerja metodologi dan epistemologi tertentu disejajarkan dengan teks-teks suci yang sering disebut kalam Ilahi. Adalah sebuah kemustahilan, sampai kapanpun, jika absolutisme ke-Tuhan-an ataupun segala hal yang memancar atau beremanasi dari-Nya disetarakan dengan makhluk dalam pelbagai derajat hirarkinya. Perilaku-perilaku semacam ini dapat saja dikategorikan sebagai kemusyrikan berpikir, atau yang bisa saya sebut sebagai syirik intelektual.

Semua produk pemikiran keislaman yang terbukukan dan dipatenkan hingga kini oleh sebagian orang pada kitab-kitab turats, tak lepas dari bias masculino-centris. Di era di mana kita hidup dalam era keterbukaan dan kesetaraan, upaya-upaya untuk meneruskan tradisi patriarkhi dalam berijtihad masih saja berlangsung. Perjuangan kaum minoritas yang menuntut hak-hak kaum hawa dalam beragama selalu dihadang atas nama Tuhan. Sistem penafsiran dan pemahaman teks-teks keagamaan yang kemudian dikodifikasikan sebagai sistem hukum dan way of life di kalangan umat Islam terasa begitu gentle. Inilah yang sering diistilahkan sebagai fikih dan tafsir maskulin atas agama. Artinya, sudah terjadi semacam operasi kelamin atas ayat-ayat suci.

Patriarkhi Sebagai Warisan Peradaban

Di sini kita akan menengok sejarah dominasi laki-laki dalam lingkup sosio-historis, dan kemiripan budaya berbagai peradaban. Dari sini bisa ditelusuri, sejauh mana peradaban Islam sebagai sebuah produk budaya, mewarisi hal yang sama. Sebagai manusia yang hidup pada abad dua puluh satu, semua orang di berbagai belahan dunia berhak malu. Sebab, nenek-moyang mereka (anchestor) ternyata tidak lebih baik dari pada binatang dalam soal pemuasan nafsu. Banyak praktik-praktik sejarah yang jelas-jelas tidak berpihak dan membela perempuan dalam soal ini. Status perempuan sebagai manusia yang lebih dari sebagai objek pemuasan nafsu seringkali dilucuti dan ditelanjangi.

Berbagai peradaban besar seperti Persia, Eropa, Asia Barat, Athena, Yunani, Romawi Kuno, hingga kerajaan-kerajaan Islam (ingat bahwa istilah hareem sangat identik dengan peradaban Islam) yang selama ini diklaim sebagai peradaban tertinggi, semuanya mengesahkan praktik-praktik poligini. Saya sengaja tidak memakai istilah poligami, sebab istilah poligini lebih mewakili ketertindasan perempuan dibanding poligami yang cakupannya lebih luas dan lebih umum. Di bidang-bidang kehidupan yang lain pun perempuan tidak punya peran yang berarti. Satu-satunya peran perempuan yang sering ditonjolkan secara berlebihan adalah fungsinya sebagai alat reproduksi sekaligus pemuas syahwat semata. Hanya Cleopatra atau Ratu Balqis saja yang bisa dijadikan pengecualian dalam konteks ini. Namun jelas, mereka berdua sama sekali tidak bisa menjadi representasi yang memuaskan tentang bagaimana sesungguhnya martabat dan posisi wanita pada zaman dahulu.

Dominasi laki-laki dalam segala hal yang kita dapati pada peradaban-peradaban tertinggi tersebut menjadi sesuatu yang tak terbantahkan lagi. Budaya ini kemudian menjadi semacam kemiripan yang bisa ditemukan di mana-mana. Kemiripan ini, sebagian besar timbul disebabkan karena adanya semangat untuk mewarisi dan mengimitasi berbagai aspek kebudayaan dari satu peradaban ke peradaban yang lain.

Contoh yang paling nyata adalah jatuhnya Konstantinopel dibawah ekspansi Dinasti ‘Utsmani. Saat itu, Sultan Muhammad II (Al-Fatih) begitu terpesona dengan gemerlap kebudayaan Byzantium. Keterpesonaan itu kemudian ditindaklanjuti dengan tetap menjaga dan melestarikan beberapa kebiasaan Kaisar Konstantin. Salah satunya melalui koleksi dayang atau selir dalam paviliun khusus. Dari sini pulalah, istilah hareem menjadi sangat populer.

Contoh kecil ini mampu menjadi refleksi sekaligus bukti bahwa sistem patriarkhi sebagai salah satu aspek budaya sama sekali tidak berakar pada konsep-konsep agama yang dogmatis. Kemiripan-kemiripan yang sudah saya singgung di atas, secara gamblang merupakan hasil dari apa yang sering dinamakan sebagai daya karsa, karya dan cipta manusia sebagai insan yang berpikir dan bertindak. Adalah sebuah kemustahilan jika hal ini dianggap merupakan ajaran Tuhan yang turun dari langit. Dalam hal ini, kita bisa memakai pemahaman terbalik. Logikanya, andai budaya patriarkhi adalah bagian dari transcendental teachings dan merupakan sebuah dogma dalam Islam, maka sejarah seharusnya mencatat lain. Wanita bisa jadi lebih menindas dan dominan ketimbang laki-laki sebelum Islam datang.

Nah, dalam fase yang lebih belakangan, konstruk budaya yang patriarkhi tersebut mempunyai cakupan yang semakin luas. Kejayaan Abassiyah dan Andalusia yang merupakan lahan subur perkembangan ijtihad-ijtihad di berbagai pemikiran keagamaan, tetap saja melanggengkan budaya tersebut. Tokoh-tokoh pemikir besar yang sampai sekarang banyak disebut dan dikutip jasa intelektualnya, jelas-jelas didominasi nama-nama kaum laki-laki. Suara minor (kaum hawa) nyaris tidak terdengar.

Gebrakan Amina Wadud

Dr. Amina Wadud Muhsin, dengan segenap keberaniannya mencoba menggugat dominasi itu. Menggugat bukan berarti mencoba membalikkan keadaan, melainkan hanya usaha mewujudkan kesetaraan dan memosisikan keberpihakan Islam dalam soal gender secara proporsional. “Saya hanya bermaksud membuat interpretasi Alqur’an yang di dalamnya terkandung pengalaman-pengalaman perempuan, tanpa stereotipe yang telah lama dibuatkan oleh kerangka interpretasi kaum laki-laki,” tulisanya dalam sebuah artikel.

Prinsip tersebut dijadikan starting point oleh Dr. Amina dalam melakukan berbagai kajian keagamaan dalam kapasitasnya sebagai seorang akademisi. Gebrakan dalam bentuk penyelenggaraan salat Jumat yang kontroversial itu, dalam konteks ini hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan upaya penggugatan itu.

Secara pribadi, saya sendiri nyaris yakin bahwa kisah Ummu Waraqah merupakan dasar pijakan oleh Dr. Amina dalam gebrakannya. Dalam kitab Bulûghul Marâm karya al-Hâfidz Ibnu Hajar al-Asqalanî diceritakan bahwa Nabi telah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam salat bagi penghuni rumahnya. Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud, dan Ibnu Khuzaimah menegaskan bahwa statusnya adalah sahih. Dalam bagian lain pada kitab yang sama juga disebutkan soal larangan perempuan menjadi imam salat. Hadis itu diriwayatkan Ibnu Majah dari Jabir. Hanya saja, status hadis kedua ini dinyatakan wâhin atau dla’îf.

Kasus salah Jumat Dr. Amina telah memunculkan guncangan besar dalam jagat keagamaan. Semua orang boleh menganggapnya berlebihan, tapi Amina tetaplah orang dengan pendirian yang kokoh. Ia ingin menunjukkan pada dunia dengan cara menyentaknya, bahwa suara perempuan pun seharusnya didengar dan diperhatikan. Dengan kontroversi dan derasnya respons yang muncul dari kasus tersebut, mungkin dia berharap diskusi-diskusi soal hak-hak kaum perempuan bisa dibahas secara luas dan mendalam oleh para pemikir dan pihak-pihak yang mau membuka mata dan hatinya. Ini bukanlah bid’ah belaka, melainkan sebuah upaya cerdas untuk mengembalikan kesucian agama dari jamahan tangan-tangan yang kurang bertanggung jawab dalam soal agama.

Untuk itu, keberanian Bu Amina semestinya kita apresiasi dengan baik. Sudah saatnya kita mengembalikan Islam sebagai agama pembebas, agama keadilan, dan agama yang menghormati manusia sebagai manusia. []

08/04/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Secara pribadi saya mengamati pemahaman pemeluk Islam di kalangan masyarakat dunia melihat seperti kata pelawat di Televisi bahwa Islam hidup dan tumbuh di Ujung karam itulah sebagian pendapat mereka.

Opini dan kesadaran yang harus dibangun melihat tindakan Dr. Amina, walaupun orang menganggap prototipe muslimah itu bukan berarti kebenaran secara universal. Tetapi menurut hemat saya ini adalah sebuah percobaan kejahatan dalam rangka mencari reunifikasi dan interpolasi saman agar terjadi keadilan dalam berbuat dan berpendapat. Islam agama Ilahiyah yang telah menetapkan bahwa sorga ada pada telapak kaki seorang Ibu” betapa hinanya laki-laki dari pernyataan ini, hal lain dalam berbagai hadist dinyatakan dalam hal yang sama pada anak, seorang ibu dengan kekuatan 3 : 1 dalam melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan olehnya di bandingkan dengan seorang Bapak, dari segi tanggung jawab berbangsa dan bernegara ajaran islam telah menegaskan bahwa apabila suatu komunitas, bangsa ingin maju maka hargailah wanita.

Apa yang diinginkan oleh Dr. Amina adalah susupan subyektif terhadap sebuah keadilan pada pradigma yang semu, sebab menciptakan sesuatu yang berhadap-hadapan dengan fitra agama dan kemanusiaan itu sendiri dan melahirkan noda negatif bahwa islam tidak berpihak pada kaum hawa.

Sekali lagi saya mengatakan tidak akan pernah ada agama selain Islam yang mengakui bahwa sorga ada di telapak kaki ibu.

Dominasi laki-laki di segala sektor pada sejumlah peradaban bukan karena kepintarannya tetapi tidak lain adalah sebuah keseimbangan antara kekuatan fisik dan keinginan berbuat. Di sisi inilah banyak perempuan dianggap tidak diperlakukan secara adil tanpa dapat memaknai akan arti keadilan itu sendiri.

terima kasih
-----

Posted by Ir. Awaluddin D. Mappuji  on  05/06  at  10:06 PM

Gebrakan kaum feminis memang dahsyat. salut buat para aktivis feminisme yang mau mendobrak tradisi keagamaan pada era kontemporer ini. tafsir-tafsir yang bias gender mulai dikritik kembali dengan semangat egaliter islam.

Tetapi mengapa yang dikritik oleh kaum feminis hanya masalah-masalah sepele belaka. hanya masalah simbol. mengapa harus dipermasalahkan masalah imam sholat harus laki-laki. mengapa harus mempermasalahkan perempuan boleh bercampur-baur dengan pria dalam ibadah shalat jumat.apakah dengan berubahnya hal-hal itu bisa diyakinkan kaum wantita tidak dinjak-injak kaum pria. kritikan kaum feminis harusnya ditujukan kepada para pemilik modal yang menjadikan wanita sebagai komoditi. yang menjadikan wanita sebagai sesuatu yang dapat meningkatkan penjualan produk. kritik kaum feminis harus ditujukan kepada masyarakat yang selalu mendiskreditkan kaum wanita dalam hal seksualitas. kritik kaum feminis harus ditujikan kepada kelompok yang diuntungkan dengan adanya praktek prostitusi,perdagangan wanita, industri film porno dan seabreg kelompok yag nyata diuntungkan dengan pengekspoitasian kaum wanita. terlepas dari itu semua, gerakan feminisme telah memberikan warna lain dalam perkembangan dunia. wanita sudah tau apa hak mereka dan mereka sudah bisa menuntut apa yang tidak bisa mereka tuntut sebelumnya. Wassalam

Posted by Moch Faisal  on  04/19  at  07:05 PM

KONTROVERSI IMAM PEREMPUAN BAGI LAKI-LAKI (Kasus Amina Wadud di New York Amerika) Oleh: Susanto

Keberadaan Amina Wadud sebagai salah satu feminis kenamaan, sering menjadi bahan perbincangan banyak kalangan. Bukan hanya gagasan-gagasannya yang genuine (cemerlang) tentang pola relasi laki-laki dengan perempuan, namun pada tingkat perilaku sosial-keagamaan pun terkadang berani berbeda secara diametral. Sepertihalnya Jum’at pekan lalu, 18 Maret 2005, beliau memimpin shalat Jum’at yang diikuti sekitar 100 jamaah yang diikuti laki-laki dan perempuan. Sebagian besar wanita mengenakan jilbab dan jubah sebagian lain berpakaian biasa. Sepertiga dari 100 orang yang mengikuti shalat jum’at itu adalah laki-laki. Shalat diselenggarakan di sebuah gereja Anglikan di New York. Peristiwa ini termasuk paling kontroversial sepanjang jatuh bangunnya sejarah dunia wacana pemikiran keislaman. Sejarah wacana fiqh Islam tentang perempuan menjadi imam bagi laki-laki seakan telah mutlak dan tertutup rapat oleh upaya pembaharuan cara memahami nash yang mengarah pada sebuah hasil berbeda dengan yang selama ini diyakini. Ini tergolong sebagai salah satu persoalan yang cukup rentan di kalangan masyarakat muslim dunia termasuk Indonesia. Karena perbedaan pemahaman dalam memahami nash, bukan tidak mungkin akan mendatangkan pengkafiran terhadap orang yang mencoba untuk hal itu. Alasannya perempuan hanyalah berhak menjadi imam bagi makmum perempuan.  Alasan normatif yang dijadikan argumen ketidakbolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki adalah teks al-Rijal Qawwamuuna ala an-nisa’ dan hadits riwayat dua orang mukharrij yaitu Ibnu Majah dan al-Baihaqi. Namun bukan berarti tidak ada hadits yang membolehkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Teks Hadits terakhir ini juga diriwayatkan oleh dua orang mukharrij yaitu Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal.

Hadits Yang dijadikan Argumen Ketidak-absah-an Perempuan Menjadi Imam Bagi Laki-laki

a. Hadits Riwayat Ibnu Majah Terjemahannya: Ibnu Majah (berkata), Muhammad bin Abdullah bin Numair menyampaikan kepada kami, (bahwa) al-Walid bin Bukair Abu Janab (Khabbab) menyampaikan kepada kami, (bahwa) Abdullah bin Muhammad al-‘Adwi menyampaikan kepadaku, (riwayat) dari ‘Ali bin Zaid dari Sa’id bin al-Musayab, dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Rasulullah SAW memberikan khutbah kepada kami seraya bersabda: “Wahai Manusia bertaubatlah kepada Allah sebelum kalian meninggal dunia, dan bersegeralah mengerjakan amal shalih sebelum kamu semua sibuk. Jalinlah komunikasi dengan Tuhan dengan memperbanyak dzikir, dan banyak bersadaqah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan, niscaya Allah akan memberikan rizki, akan menolong dan akan melindungimu. Ingatlah bahwa Allah telah mewajibkan shalat Jum’at pada tempat, hari, bulan dan tahun ini sampai hari kiamat. Barang siapa meninggalkannya pada masaku atau setelah aku meninggal dunia, sedangkan ada imam yang adil atau tidak adil, menganggap enteng atau meningkarinya, maka Allah tidak akan melindungi dan tidak akan memberikan berkah. Ingatlah, tidak ada shalat, tidak ada zakat, tidak ada haji, tidak shaum, dan tidak ada kebaikan sampai ia bertaubat. Barang siapa bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya. Ingatlah, janganlah menjadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki. Janganlah menjadikan orang Arab sebagai imam bagi orang yang berhijrah dan janganlah orang yang berdosa menjadi imam bagi orang mu’min kecuali kekuasaan memaksanya dengan ancaman pedang dan cemeti”. 

b.  Hadits Riwayat al-Baihaqi

Terjemahnya: Al-Baihaqi (berkata), Abu al-Husain bin Basyran al-‘Adli menyampaikan kepada kami, (bahwa) Abu Ja’far Muhammad bin Umar al-Bakhtari menyampaikan kepada kami, (bahwa) Muhammad bin Abdu al-Muluk al-Daqiqi menyampaikan kepada kami, (bahwa) Yazid bin Harun menyampaikan kepada kami (bahwa) Fudail bin Marzuk menyampaikan kepada kami, (bahwa) al-Walid bin Bukair menyampaikan kepadaku, (bahwa) Abdullah bin Muhammad menyampaikan kepadaku (riwayat) dari ‘Ali bin Zaid, dari Sa’id bin al-Musayab, dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar: “Wahai manusia bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah ‘Aza Wajalla sebelum kamu meninggal dunia, dengan bersegeralah mengerjakan amal shalih. Jalinlah komunikasi antara kamu dengan tuhanmu dengan memperbanyak dzikir dan shadaqah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Niscaya Allah akan memberi pahala dan memberikan rizki kepadamu. Ketauhilah bahwa Allah ‘Aza Wajalla telah mewajibkan shalat Jum’at kepadamu pada tempat, bulan, dan tahun ini sampai hari kiamat. Barang siapa meninggalkannya pada masaku atau setelah aku meninggal dunia dengan mengingkarinya atau menganggap enteng sedangkan ada imam yang adil atau tidak adil, maka Allah tidak akan melindunginya. Ingatlah tidak ada keberkahan, tidak ada shalat, tidak ada wudhu, tidak ada zakat,tidak ada haji, dan tidak ada witir kecuali dia taubat. Barang siapa bertaubat niscaya Allah akan menerima taubatnya. Ingatlah, janganlah menjadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki dan janganlah orang Arab menjadi imam bagi orang yang berhijrah, dan janganlah orang yang berdosa menjadi imam bagi orang yang beriman kecuali kekuasaan memaksanya dengan ancaman pedang dan cemeti.

Hadits Yang Dijadikan Argumentasi Keabsahan Perempuan Menjadi Imam Bagi Laki-Laki

a. Hadits Riwayat Abu Dawud Abu Dawud (berkata), Utsman Ibnu Syaibah menyampaikan kepada kami, (bahwa) Waki’ bin al-Jarh menyampaikan kepada kami, (bahwa) al-Walid bin Abdullah bin Juma’i menceritakan kepada kami, dia berkata kakekku dan Abdu al-Rahman bin Naufal al-Anshari telah menyampaikan kepadaku, (riwayat) dari Umi Waraqah binti Naufal bahwasanya Nabi Saw. Pada waktu perang Badar (mengunjunginya). Umi Waraqah berkata: “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk mengikuti perang bersamamu agar aku dapat merasakan sakit sebagaimana engkau merasakannya. Selain itu, supaya Allah memberikan predikat Syahadah”. Rasululah berkata: “Tinggalah engkau di rumah, karena Allah telah memberimu predikat al-Syahadah”. Ia berkata, Umi Waraqah disebut sebagai Syahidah . Umi Waraqah (adalah) ahli al-Qur’an, kemudian Nabi SAW menjadikan seorang muadzin beradzan untuk Umi Waraqah. Kemudian Umi Waraqah melaksanakan shalat malam bersama hamba sahaya (bisa laki-laki dan bisa seorang perempuan) yang membunuhnya dengan membekap menggunakan beludru sutra. Kedua pembantunya lari setelah berhasil membunuhnya. Pada pagi hari Umar mengumumkan, barang siapa yang menemukan kedua pembantu tersebut, untuk melaporkannya. Setelah kedua pembantu tersebut ditemukan, mereka berdua kemudian disalib. Merekalah orang yang pertama yang dikenakan hukum salib di Madinah.

b. Hadits Riwayat Ahmad bin Hambal Abdullah (berkata), (bahwa) ayahku menyampaikan kepadaku, (bahwa) Abu Nuaim menyampaikan kepada kami, dia berkata, (bahwa) al-Walid menyampaikan kepada kami, (riwayat) dari Umi Waraqah binti Abdullah bin al-Hirtsi al-Anshari yang telah memahami al-Qur’an (ahli al-Qur’an) dan Nabi SAW., telah memerintah dia (Umi Waraqah) untuk menjadi imam bagi anggota keluarganya dan menjadikan seorang muadzin baginya.

Berdasarkan hadits yang dijadikan argumentasi tentang boleh tidaknya seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki, dapat dikatakan bahwa dasar hukum keduanya tidaklah menduduki posisi yang kuat. Karena berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap hadits tersebut didapati kedua hadits tersebut ternyata dhaif (lemah). Hanya saja tingkat ke-dhaif-an hadits yang dijadikan argumentasi ketidakbolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki kualitasnya lebih dhaif (lemah) dibandingkan ke-dhaif-an hadits yang dijadikan argumentasi bolehnya perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Sebagaimana telah diketahui bahwa bila ada dua dasar hukum yang berbeda dijadikan argumen ketika menetapkan hukum dalam satu masalah, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk dijadikan sebagai solusinya. Pertama mengkompromikan kedua nash tersebut dengan benar. Apabila cara pertama tidak dimungkinkan, maka mengutamakan salah satunya (tarjih). Dan apabila cara kedua juga tidak memungkinkan maka harus dicari asbab al-wurud-nya (latar belakang munculnya hadits). Apabila cara ketiga juga tidak dapat dilakukan, maka dibiarkan apa adanya (tawakuf).  Dalam hal ini cara pertama tidak mungkin dilakukan karena tidak ada indikasi yang dapat dijadikan alasan pengkompromiannya. Begitu juga dengan cara yang ketiga, karena kedua hadits tersebut tidak diketahui asbab al-wurud-nya. Yang mungkin dilakukan adalah cara ke dua yakni men-tarjih (mencari yang lebih kuat) salah satunya. Yakni men-tarjih dari segi sanad yang terdapat dalam hadits tersebut. Telah dikatakan di atas bahwa hadits yang dijadikan argumentasi dalam menetapkan hukum perempuan tdak boleh menjadi imam bagi laki-laki mempunyai banyak cacat baik kredibilitas periwayatnya maupun dari persambungan sanadnya. Sedangkan hadits yang dijadikan argumen kebolehannya hanya mempunyai kekurangan dari satu orang periwayatnya yang dipandang majhul.  Di samping itu, hadits tentang keabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki diriwayatkan juga oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitabnya, Shahih Ibnu Khuzaimah dan diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak-nya. dipandang sebagai hadits hasan (oleh Ibnu Khuzaimah w.311 H). Sementara hadits yang dijadikan argumentasi ketidakabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki dipandang dhaif sanadnya oleh al-Baihaqi. Dengan demikian kedua hadits di atas memberikan dukungan terhadap hadits yang dijadikan argumentasi keabsahan perempuan menjadi imam bagi laki-laki. Sehingga derajat hadits dhaif dari hadits Abu Dawud dan Ibnu majah yang diteliti, peringkatnya naik menjadi hadits hasan ligairihi. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi laki-laki selama mempunyai kapasitas keilmuan yang mencukupi untuk dapat dijadikan sebagai imam shalat. Alasan lain yang dapat dikemukakan bahwa hadits-hadits tentang siapakah yang berhak menjadi imam tidak membicarakan tentang jenis kelamin yang menjadi ketentuan seseorang dapat dijadikan sebagai imam shalat. Dalam hadits-hadits tersebut dinyatakan bahwa yang paling utama menjadi imam adalah orang yang paling baik bacaan al-Qur’annya atau orang yang paling memahami al-Qur’an dan seterusnya sampai kepada orang yang paling tua usianya apabila komunitas orang yang akan melaksanakan shalat berjamaah tersebut mempunyai kapasitas intelektual yang sama dalam bidang agama.

Kasus Amina Wadud Menurut hemat kami, secara hukum laki-laki maupun perempuan dapat menjadi imam shalat baik makmumnya laki-laki maupun perempuan. Perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki dapat dilakukan, dengan syarat memiliki kualifikasi untuk menjadi imam yaitu muslim, baligh, berakal, bacaan al-Qur’annya fasih, sebagaimana syarat yang berlaku bagi imam laki-laki.  Karena kebolehan Umi Waraqah yang menjadi imam bagi makmum laki-laki di era Rasulullah, memiliki kapasitas yang mumpuni. Disamping bacaannya fasih, tidak menyalahi makraj, ia hafal al-Qur’an. Sementara yang menjadi pertanyaan, bagaimana tentang kapasitas Amina Wadud ?. Kalau memang memiliki kapasitas tentu secara syara’(hukum) adalah boleh begitu pun menjadi khotib dalam shalat jum’at. Alasan kebolehan menjadi imam ini, berdasarkan hadits di atas dimana antara hadits yang membolehkan dan melarang perempuaan menjadi imam bagi makmum laki-laki ternyata sekalipun kedua versi tersebut lemah, namun hadits yang dijadikan argumentasi larangan perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki lebih lemah dibandingkan hadits yang membolehkan. Tidak hanya berhenti di situ, bagaimana dengan shalat Amina Wadud yang dilakukan di Gereja ?. Problemnya menurut kami, bukan syah atau tidak syah, shalat di Gereja. Karena hadits dikatakan kullu ardhin masjidun yang artinya semua bumi Allah (di manapun berada) adalah masjid. Sehingga nash tidak mengharuskan shalat di Masjid, di Surau, bahkan di rumah atau di tempat lain. Dalam ilmu fiqh, yang menjadi syarat multak untuk menjalankan ibadah adalah suci, badannya, pakaiannya, dan tempatnya, tidak ada syarat mutlak harus beribadah di tempat tertentu misalnya; di masjid, surau, sungai, di jalan maupun hanya dirumah saja. Sekalipun di Masjid, namun tidak suci dari najis, tentu shalatnya tidak syah, karena suci adalah bagian dari syarat syahnya shalat. Pembicaraan nash yang berkaitan dengan Masjid, biasanya dihubungkan dengan masalah pahala, dimana bila seseorang melakukan ibadah di Masjid, akan mendapat pahala lebih banyak dibandingkan di rumah saja. Sementara problem yang dilakukan oleh Amina Wadud, adalah terletak pada problem etika-beragama dan Budaya. Gereja adalah simbol dan tempat ibadah yang diagung-agungkan oleh ummat Kristen. Karena demikian adanya, tentu umat agama lain seharusnya tidak melakukan di tempat ibadah agama lain. Begitu pun Masjid bagi umat Islam. Tidak sepantasnya bagi pemeluk agama lain melakukan hal yang sama di masjid, apalagi melakukan khutbah. Khutbah (pidato keagamaan) baik di Islam maupun di agama lain, tentu menjelaskan dan mengajak secara primordial dan privat (masalah internal keagamaan) tentang isu-isu dan pesan agamanya.  Oleh karena itu, menurut hemat kami model pamahaman atau intrpretasi terhadap teks-teks keagamaan yang muncul di sejumlah agama-agama besar dunia pasti akan terus muncul. Karena hal ini, akan bersamaan dengan perkembangan pola pikir dan budaya manusia. Termasuk di dalam Islam sendiri, kontroversi tafsir keagamaan antara yang terpaku secara literal (makna bahasa) teks nash, dengan pemahaman yang kontekstual (interpretasi teks yang disesuaikan dengan kondisinya) rupanya akan menjadi perbincangan menarik baik kalangan pemerhati, peneliti dan pemeluk agama Islam sendiri.  Namun dalam praktek keagamaan di Indonesia , sekalipun kita memiliki maksud dan tujuan menegakkan kesetaraan dan keadilan, tentu harus mempertimbangkan arus pandang pemahaman dan etika budaya masyarakat Indonesia yang multi kultur dan multi interpretasi terhadap teks keagamaan. Sehingga upaya pembaharuan pemikiran dan pemahaman keagamaan tidak mengundang kontroversi yang berlebihan di tingkat masyarakat luas.  Adanya perbedaan tafsir, sebagai manusia yang harus memegangi etika tentunya, tidak sepantasnya saling menyalahkan di antara yang berbeda pandangan, karena mereka memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Tapi upaya mencari yang lebih benar, valid dan bisa dipertanggungjawabkan adalah harus dilakukan sebagai manusia yang telah dikaruniai potensi akal. Karena memanfaatkan akal merupakan ciri dari hamba yang selalu syukur terhadap nikmat yang telah ada pada semua hamba di muka bumi. Wallahu A’lam

<div align="center">***</div> Susanto adalah Asisten Staf Ahli Menteri Bidang Agama pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Ketua Bidang Kajian dan Penelitian el-Kahfi

Posted by susanto  on  04/19  at  07:04 PM

Salah satu fungsi Islam adalah sebagai rahmatan lil’alamin, yakni menjadi rahmat bagi alam semesta. Pemaknaan dari sifat tersebut adalah Islam merupakan agama bagi umatnya tanpa memandang jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan, mengajarkan dan mentransformasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial keagamaannya. Namun, sayangnya tatanan adiluhung tersebut “dikacaukan” oleh sistem budaya yang dibentuk umat Islam sendiri. Bagaimanapun pergumulan historisitas umat Islam dalam menginterpretasikan ajaran agama tidaklah bebas dari berbagai kepentingan. Oleh karenanya, setiap produk interpretasi seseorang (mazhab) pasti menyimpan kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam konteks ini, kaum laki-laki lebih mempunyai posisi dominan dari perempuan. Akses-akses politik dan ilmu pengetahuan kaum perempuan sengaja dipangkas demi mendukung tatanan budaya yang telah mapan yakni sistem patriarkhi.

Dalam sistem ini, kaum perempuan telah diposisikan sebagai mahluk kelas dua yang tidak layak menempati posisi penting dalam struktur masyarakat (termasuk agama). Padahal tidak dapat dipungkiri, bahwa terdapat beberapa perempuan yang mempunyai kapasitas lebih tinggi dari laki-laki, baik itu luasnya pengaruh politik maupun keilmuan.

Gebrakan yang dilakukan Dr. Amina Wadud Muhsin, menurut hemat kami tidak hanya sebatas gugatan biasa terhadap sistem ritual keagamaan dalam Islam. Lebih dari itu, Amina ingin mendobrak hegemoni kaum maskulin dalam kehidupan sosial masyarakat. Sesuatu yang ingin dijelaskan oleh Amina bahwa bukan saatnya lagi kaum perempuan dilihat dengan sebelah mata.

Ach. Baidowi Amiruddin/Yogyakarta

Posted by Ach. Baidowi Amiruddin  on  04/10  at  08:04 PM

Saya tidak bermaksud berdebat mengenai isi dari tulisan ini karena para tokoh-tokoh JIL memang ahli dalam memaparkan analisa tentang fenomena yang muncul dalam dunia Islam, saking ahlinya saya sendiri sering kebingungan.

Namun bila dilihat dari jumlah artikel di website ini (ada tiga artikel) terkait dengan ulah Aminah Wadud di Amerika serikat, timbul pertanyaan : koq..JIL terlalu antusias menyorotinya?? Tangapan seperti biasa selalu mempertanyakan kembali tafsir-tafsir Al Qur’an yang terkait dan memunculkan pemikiran baru yang keluar dari ‘pakem’ yang sudah ada tentang persamaan gender dan emansipasi wanita dalam ajaran Islam.

Dari beberapa tulisan dan wawancara terhadap tokoh-tokoh JIL sebelumnya terlihat bahwa semangat yang mendasari gerakan JIL adalah nilai-nilai yang hidup di dunia Barat tentang demokrasi, kebebasan berpikir, kesamaan gender dan emansipasi wanita yang dianggap telah berhasil memajukan masyarakat Barat dalam semua bidang kehidupan, sebaliknya dari sisi lain kemandegan umat Islam terjadi karena tidak mau menelaah dan mengadopsi nilai-nilai Barat tersebut, malah kemudian lari kepada pola pikir yang sempit dan sering menyentuh kekerasan. Demikian kira-kira dasar dari gerakan JIL ini.

Seharusnya kita bisa bertanya mendalami fenomena Aminah Wadud ini dengan beberapa pertanyaan sederhana :

1. Ketika Aminah Wadud memimpin shalat Jum’at di gereja Anglikan di Amerika Serikat, kita bisa bertanya bagaimana dengan gereja itu sendiri, apakah selama berdirinya (dilihat dari modelnya pasti umur gereja tsb sudah ratusan tahun) pernah ada perempuan jadi pastor atau pendeta disana?

2. Lebih luas lagi, apakah dalam sejarah gereja ada wanita pernah jadi Uskup, Kardinal atau bahkan Paus?

3. Dalam Injil juga termuat peraturan bahwa kaum wanita harus menutup kepala dan tidak boleh berbicara dalam gereja,

Kita tidak pernah mendengar adanya gerakan ‘Kristen Liberal’ yang mempermasalahkan hal tersebut, termasuk dengan model menafsirkan kembali Injil dan peraturan-peraturan gereja, jadi ternyata kaum Barat sendiri yang didasari oleh iman Kristen tidak begitu ‘menggebu-gebu’ dalam mempermasalahkan ketidak setaraan gender ini.

Agak aneh memang ketika kelompok JIL terlihat ‘sangat bersemangat’ melakukan pembelaan terhadap Aminah Wadud yang dinilai telah memperjuangkan kesamaan gender dalam dunia Islam padahal masyarakat Barat sendiri yang mengilhami JIL soal ini sama sekali tidak terlihat bereaksi terhadap FAKTA bahwa kehidupan gereja mereka juga penuh dengan ketidak setaraan tersebut.

Posted by Arda Chandra  on  04/08  at  02:04 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq