Halal, Tapi Tuhan Tidak Suka - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
06/10/2010

Halal, Tapi Tuhan Tidak Suka

Oleh Taufik Damas

Pindah agama hampir sama dengan kasus perceraian (suami-istri) dalam rumah tangga. Ia merupakan perbuatan halal, tapi Tuhan tidak suka karena akan melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan. Setiap umat bergama lebih diharapkan mampu melihat dan memperdalam (mempertegas) nilai-nilai humanistik yang ada dalam agamanya masing-masing, sekaligus mengeliminasi doktrin-doktrin yang tidak sesuai dengan semangat kemanusiaan.

Beberapa hari belakangan ini media massa, khususnya infotainment, memberitakan tentang kasus pindah agama beberapa artis Indonesia. Sebut saja nama Pinkan Mambo dan Rianti Cartwright yang sempat diisukan telah pindah agama karena pernikahan mereka dengan pasangan beda agama. Lepas dari benar atau tidaknya berita tersebut, wacana nikah pasangan beda agama menjadi relevan untuk dibahas kembali.

Memilih agama, pada dasarnya, adalah hak setiap individu. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama sesuai dengan kehendak dan keyakinan masing-masing. Islam menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (lâ ikrâha fî ad-dîn) karena setiap orang dipersilakan memilih dan menjalankan agama berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama.

Thaha Jabir Ulwani, Direktur International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Amerika Serikat, menyatakan bahwa sejatinya tidak ada sanksi duniawi terhadap orang yang pindah agama. Ia menyatakan hal ini karena Al-Quran tidak pernah memaksa manusia dalam menentukan agama yang ingin dianut. Selain itu, Nabi Muhammad pun tidak pernah memberikan sanksi kepada orang-orang yang keluar dari Islam. Sanksi duniawi terhadap mereka yang pindah agama merupakan produk ulama fikih di kemudian hari dan lebih karena alasan politik dan keamanan (Lâ Ikrâha fî ad-Dîn, Shourouk Dauliyah & IIIT [Mesir]). 

Dalam konteks pluralisme, semua agama mengajarkan nilai-nilai baik yang harus dijalankan oleh umatnya masing-masing. Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa dalam agama terdapat perbedaan doktrin yang tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan tersebut harus dipahami sebagai bagian dari hak individu setiap pemeluk agama. Mempertentangkan perbedaan yang ada hanya akan melahirkan sikap permusuhan yang merugikan semua pihak. Tugas para pemeluk agama adalah menegaskan pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan kesamaan yang dapat diterima oleh semua pihak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan pandangan pluralistik ini pula pindah agama menjadi sikap yang tidak relevan. Secara sosial, perubahan agama seseorang tidak hanya menyangkut kepentingan pribadi. Banyak faktor yang ikut terpengaruh oleh sikap pindah agama: keluarga, masyarakat, bahkan komunitas agama yang ditinggalkan. Walau tidak dengan kata-kata, pindah agama adalah tohokan paling keras bagi sebuah agama yang ditinggalkan oleh pemeluknya. Tokoh-tokoh agama merasa terpukul jika umatnya melakukan tindakan pindah agama. Karena itulah, pindah agama bukan solusi terbaik bagi umat untuk menyelesaikan problem sosial-teologis-ideologis yang mereka hadapi. 

Pindah agama hampir sama dengan kasus perceraian (suami-istri) dalam rumah tangga. Ia merupakan perbuatan halal, tapi Tuhan tidak suka karena akan melahirkan hal-hal yang tidak diinginkan.  Setiap umat beragama lebih diharapkan mampu melihat dan memperdalam (mempertegas) nilai-nilai humanistik yang ada dalam agamanya masing-masing, sekaligus mengeliminasi doktrin-doktrin yang tidak sesuai dengan semangat kemanusiaan. 

Pindah Agama Karena Pernikahan

Akibat tidak ada undang undang yang memperbolehkan pasangan nikah beda agama di Indonesia, maka setiap pasangan harus menjadi pemeluk satu agama yang sama agar pernikahan mereka dapat pengakuan sah di mata negara.  UU Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
UU ini sebenarnya tidak melarang pernikahan pasangan beda agama. UU ini hanya menyatakan bahwa pernikahan dinyatakan sah jika pernikahan itu sah di mata agama. Pernikahan beda agama akan dianggap sah oleh negara jika dianggap sah oleh agama masing-masing.

Para ulama Islam memilik pandangan yang tidak seragam dalam hal ini. Ada pendapat yang menyatakan pernikahan pasangan beda agama tidak boleh (haram) secara mutlak. Seorang muslim, laki-laki atau perempuan, tidak boleh menikah dengan pasangan yang beda agama. Pendapat yang lain menyatakan bahwa seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan perempuan Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), dan tidak sebaliknya. Namun, pada kenyataannya, seorang muslim lak-laki pun tidak boleh menikah dengan perempuan beda agama demi menjaga kemaslahatan. Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 7:3, umat Nasrani juga dilarang untuk menikah dengan pasangan beda agama. Berbagai pendapat ini semestinya dapat ditinjau ulang agar lebih sesuai dengan kenyataan yang terjadi di masa kini.

Salah satu latar belakang orang pindah agama adalah kasih-sayang (cinta) yang kemudian ditindaklanjuti dalam institusi pernikahan. Realita yang ada menunjukkan bahwa tidak sedikit pasangan kekasih beda agama menjadi seagama demi melancarkan proses pernikahan mereka. Alasan paling mendasar adalah setiap agama “belum” memberikan legitimasi bagi pernikahan beda agama. Maka, terjadilah konversi salah satu pasangan yang sulit untuk dikatakan sebagai terdorong oleh kesadaran religiusitas individual. Dalam kasus seperti ini, pihak keluarga salah satu pasangan yang berpindah agama, tidak jarang harus merasa pasrah dan kalah. Lebih jauh dari itu, institusi pernikahan bisa jadi justru dipilih menjadi salah satu cara untuk mengajak orang lain pindah agama. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat toleransi dan pluralisme.

Untuk menyelesaikan problem seperti ini setiap agama dituntut untuk memberikan pintu legitimasi bagi pasangan beda agama agar tidak terjadi keterpaksaan pindah agama dalam pernikahan. Setiap agama harus mendorong umatnya pada nilai-nilai kebersamaan sambil mengesampingkan berbagai perbedaaan. Karena tujuan beragama tidak lain adalah menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera, tanpa ada pihak mana pun yang merasa terpaksa. Baik terpaksa memilih atau terpaksa meninggalkan:  lâ ikrâha fî ad-dîn (tidak ada paksaan dalam beragama).

06/10/2010 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (46)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

@ Mas Suroso : Miturut keyakinan saya, Tuhan memberi kehendak bebas kepada manusia untuk berbuat baik atawa jahat. Dengan catatan, manusia harus menanggung konsekwensi dari perbuatannya tsb. Perbuatan baik di mata Tuhan, tentu punya konsekwensi berbeda dengan perbuatan jahat.

Tuhan telah memberikan Firman-Nya bagi manusia. Namun Tuhan tidak memaksa manusia untuk mempercayai Firman-Nya tsb. Dan sekali lagi, manusia harus secara konsekwen menanggung akibat dari segala perbuatannya di dunia ini, KELAK JIKA SUDAH MENGHADAP TUHAN di akhir masa hidupnya di dunia.

Demikian juga dengan pindah agama, Tuhan tak akan menghalangi, hal itu diserahkan kepada kehendak bebas manusia. Kalo manusia menemukan adanya ketidakcocokan dengan agama yang sekarang dianutnya, Tuhan tak akan menghalangi manusia itu untuk pindah agama. Dan manusia itu sendirilah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan itu kepada Tuhan, bukan kepada sesama manusia lainnya.

Sesama manusia tak boleh saling menghakimi dalam soal iman-kepercayaan masing-masing.

Posted by Anton Isdarianto  on  10/25  at  07:29 AM

Suroso..darah halal ???..
Astaga..kayak nggak ada solusi lain selain manusia itu harus mati karena perbuatannya..
Saya yakin, enggak ada kesalahan yang tidak diampuni oleh Tuhan..

Posted by Wondo  on  10/25  at  12:27 AM

LUCU SUNGGUH LUCU......SEMUA MEMPEREBUTKAN TUHAN.........MALAHAN SAYA LIHAT BANYAK YYANG BERTINDAK SEPERTI TUHAN....AMAT BODOH TINDAKAN DEMIKIAN.......BRAVO JIL...VIVA JIL....JGN TAKUT LAWAN ORANG2 BODOH....TAK MASALAH HARI INI KITA DICERCA...SUATU SAAT AJARAN KITA DIPAKAI DITIAP MUSOLA......

Posted by rumi  on  10/23  at  07:26 PM

Setahu saya dalam islam 3 hal yang membuat seseorang darahnya halal yaitu Murtad, Zina, Membunuh. CMIIW.

Menurut saya pribadi jika Tuhan melarang pindah agama berarti Tuhan tidak bisa menghukum agama yang salah. Bagaimana mau pindah ke agama yang benar sedangkan Tuhan melarang. Akhirnya surga dan neraka pun diragukan eksistensinya.

Inilah agama, sebuah paradoks besar.

Posted by Suroso  on  10/23  at  12:20 AM

Kita harus memahami dalam artian tahu betul apa yang dimaksud dengan perceraian versi tuhan. Tidak mungkin tuhan memiliki standar ganda, sedangkan Dia Maha Bijaksana.

Ada kondisi tertentu dimana suatu perceraian itu menjadi suatu keniscayaan, suatu kebutuhan, suatu kewajiban. Apakah dalam kondisi yang demikian, Tuhan Yang Maha Bijaksana itu masih membencinya? Lagian sebelum perceraian terjadi, pasti ada campur tangan Tuhan sebagaimana dikatakan bahwa “Kita sebagai manusia hanya bisa berencana tetapi Tuhanlah yang menentukan”.

Posted by Orang Pintar Minum Tolak ANgin  on  10/21  at  12:51 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq