Hermeneutika Ayat-ayat Perang - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
22/09/2003

Hermeneutika Ayat-ayat Perang

Oleh Luqman Hakim, S.Fils.

Dalam kenyataannya, ayat-ayat perang meski bernuansa universal, tetapi ditulis untuk sekelompok pendengar di masa lampau (in illo tempore). Karena itulah, pemeluk agama apapun hendaknya bisa menangkap mana nilai-nilai universal dari perintah jihad dan perang.

Seraya mengelus-elus jenggotnya, Amrozi tersenyum manis menunjukkan ekspresi wajah tanpa dosa (cool calm, and over confident), ketika dia disidang dalam tragedi bom Legian-Bali, yang telah menewaskan sekitar 200 orang. Selama ini Amrozi dikenal sebagai the smiling suspect, sehingga membuat jengkel keluarga-keluarga korban. Yang ia bayangkan adalah surga yang dipenuhi bidadari cantik nan telanjang sebagai imbalan ‘memberantas kemaksiatan’ itu. Keyakinan bahwa apa yang ia lakukan merupakan jihad sekedar menguatkan pendapat bahwa terminologi jihad memang multi interpretable. Menurut J Habermas “Language is also a medium of domination and power”. Bahasa secara sepintas terlihat sebagai alat komunikasi yang bebas nilai dan hampa tendensi. Namun sebenarnya ia bukan hanya sekedar sistem tanda. Ia juga bisa berubah menjadi instrumen senjata politik akibat pemberian makna sepihak yang tercerabut dari makna ‘dasar’nya.

Selain kata jihad, dalam bahasa Arab dikenal juga kata qital: peperangan secara fisik, kata harb: perang diplomatis, kata ghazwah: ekspedisi militer yang dipimpin langsung Nabi, sariyah: perang yang dipimpin sahabat yang diangkat Nabi, qahr: penaklukan dan fath: pembebasan (Rumadi, 2002:61-67 dan N. Madjid, 2000: 233).

Ayat-ayat perang sudah mendarah daging kedalam bawah sadar fundamentalis, termasuk ayat yang dikutip secara tak utuh oleh Usamah bin Ladin (Tim Penerjemah Ababil Press, 2001:42):“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka” (Muhammad:4). Sedangkan hadis-hadis yang sahih dan terpercaya di antaranya tentang: Balasan bagi syahid adalah bidadari cantik, permata dan surga (Ahmad dan al-Turmudzi); Teguran Jibril terhadap Nabi untuk kembali mengangkat pedang dalam perang Ahzab (Bukhari).

Dalam kenyataannya, ayat-ayat perang meski bernuansa universal, tetapi ditulis untuk sekelompok pendengar di masa lampau (in illo tempore). Karena itulah, pemeluk agama apapun hendaknya bisa menangkap mana nilai-nilai universal dari perintah jihad dan perang.

Untuk memudahkan pengkategorian dan kronologi ayat-ayat perang, periodeisasi ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah bisa membantu dalam menangkap makna ayat-ayat tersebut. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat Makiyyah bersifat universal dan merupakan bentuk revolusi teologis (seperti: penumpasan berhala, paham-paham politeis dan antroposentris). Sedangkan ayat Madaniyah bernuansa sangat kontekstual dan lebih pada revolusi sosiologis

Interpretasi metaforis (ta’wil) dalam tradisi Islam seringkali dianggap sebagai lubang pelarian (loop hole) di bidang hukum bagi mereka yang kesadaran hukumnya lemah. Tetapi interpretasi semacam ini tidak semuanya buruk, karena pemahaman terhadap teks keagamaan dengan menggunakan akal secara luas berarti juga mempersempit wilayah-wilayah ghaib. Ta’wil juga memberikan kontribusi cukup besar dalam mencincang tubuh Islam.

Praktik ‘hermeneutika Islami’ sebenarnya telah dilakukan sejak lama oleh umat Islam, khususnya ketika menghadapi Alquran. Bukti dari hal tersebut adalah: (1) Kajian-kajian mengenai asbabunnuzul dan nasikh-mansukh, (2) Literatur-literatur tentang teori, aturan dan metode dalam bentuk ilmu tafsir.

Fazlur Rahman menganggap Alquran pada dasarnya adalah respon Ilahi melalui ingatan dan pikiran Nabi kepada situasi moral-sosial Arab pada waktu itu. Bagi Farid Esack, Alquran adalah sekumpulan firman Tuhan yang diturunkan sebagai wahyu untuk merespon tuntutan masyarakat masa Nabi selama 23 tahun. Sedangkan bagi Abu Zayd, teks Alquran itu berawal dari realitas, dimana bahasa dan budaya realitas tersebut terbentuklah konsepsi-konsepsinya dan ditengah pergerakannya dengan interaksi manusia terbaharuilah maknanya. Rupanya mereka masih ‘malu-malu’ untuk mengatakan bahwa sebenarnya sebagian kandungan nilai dalam Alquran merupakan respon Tuhan terhadap masyarakat pra-modern (untuk membedakannya dengan primitif). Sekalipun Alquran mempunyai aspek partikular yang bisa dilihat dari perspektif kesejarahannya -seperti halnya teks-teks lain-, ia juga memiliki seabrek nilai-nilai luhur-universal di dalamnya.

Teknologi percetakan di era modern, mendorong bahasa mental ditulis dalam bentuk bahasa tulis. Bahasa agama yang pada mulanya mengandalkan bahasa lisan kini diintervensi bahasa tulis yang menitik beratkan pada langue (abstraksi artikulasi bahasa pada tingkat sosial) ketimbang parole (ekspresi bahasa pada tingkat individu).

Aliran literalis seringkali mematok harga mati dalam setiap tafsirannya dan mengacuhkan tafsiran-tafsiran lain. Nietzsche menyindir kalangan literalis: “Kebenaran adalah sekumpulan metafor, metonim, dan antropomorfism; pendeknya sejumlah hubungan manusiawi yang secara puitik dan retorik telah diintensifkan, dimetamorfose dan dipuja sehingga setelah lama lantas dibakukan dalam kanon yang mengikat. Kebenaran yang ilusi-ilusinya dilupakan orang” (Sugiharto, 1996). Proses penundukan nalar dan realitas dipandang oleh kaum literalis sebagai keharusan keberimanan, menjaga kesucian teks. Kebenaran selalu diukur dengan (makna leksikal) teks, tidak ada kebenaran di luar teks.

Teks keagamaan sebenarnya dapat dilihat sebagai produk sejarah, karenanya tidak terlepas dari hukum-hukum sejarah. Kosakata Alquran dan secara keseluruhan bahasa Arab sangat dipengaruhi oleh sejarah pra-Islam. Kita bisa mengkategorikan beberapa pengaruh kosakata pada masa pra-Islam yang kemudian diresap dalam redaksi Alquran, yaitu : (1) Kosa kata Badui murni yang mewakili Weltanschuung Arab yang sangat kuno dan berkarakter sangat nomaden, (2) Kosa kata kelompok peagang, yang pada hakikatnya sangat terkait dengan kosakata Badui, sekalipun memiliki semangat yang berbeda, (3) kosakata Yahudi-Kristen yang hidup di tanah Arab (T. Izutsu, 1997). Seperti kata: Allah, Islam, Nabi, Iman, Kafir, sesungguhnya bukan kata baru karena sudah dikenal jauh sebelum Alquran diturunkan. Dari pelacakan semantik-historis ini, seharusnya kita bisa mengambil pelajaran, bahwa bahasa bukan saja sebagai alat berbicara dan berpikir, tetapi lebih penting lagi untuk mengonseptualisasikan dan menafsirkan dunia yang mengitarinya.

Barangkali alasan penafsiran yang konsisten itu dilakukan, agar kitab suci tidak dianggap bagaikan bunglon yang bisa berubah-ubah warna sesuai keinginan penafsir. Namun apakah tidak lebih baik apabila penafsirannya dikompromikan dengan kecenderungan budaya zaman ini.

Tokoh-tokoh seperti George W. Bush (AS), Slobodan Milosevic (Serbia), Benyamin Netanyahu, Ariel Sharon, Usamah, Saddam Husein (Irak) terkadang disambut aplaus yang meriah oleh sebagian umat dengan membeli kaos bergambar ‘ksatria’ yang mereka kagumi sekalipun jelas-jelas melakukan tindakan kekerasan. Ayat-ayat perang dengan mudah dieksploitasi oleh aktivis politik yang berniat memberi legitimasi sakral kepada tujuan-tujuan politis mereka. Karena agama mempunyai kemampuan untuk memberikan pahala moral kepada kekerasan, maka agama dapat menjadi kaki tangan politik yang mendominasi (M. Juergensmeyer, 1998). Oleh karenanya, perlu dilakukan usaha men’dekontruksi’ bahasa agama.

22/09/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

George Bush tampil cool, calm, confidence sambil mabuk menegak anggur putih, berkata sebentar lagi irak akan kita kuasai, dan Islam akan kita kebiri, korban sipil jatuh, justru itu yang kita cari dengan dalih yang tak tentu arahnya, disertai bukti-bukti yang tak pernah ada, opini publik, berita bohong, serta manipulasi laporan, maka pada akhirnya Amerika dapat menyerang Irak, disertai dengan bujukan iblis.

Dan inilah terorisme yang sesungguhnya, dan wajib hukumnya memerangi mereka di mana saja mereka berada, dan menuntut seluruh umat Islam untuk menegakan keadilan dan menentang sikap sewenang-wenang, dan sudah semestinya Islam liberal pun menentang Amerika habis-habisan. nyatanya..............nihil.

Jihad untuk memerangi mereka wajib hukumnya, dan ada baiknya islamlib tidak membuat opini yang mengaburkan makna jihad itu sendiri, dan ajaran islam berlaku hingga akhir zaman.

Di saat dunia dipenuhi dengan segala kamaksiatan dan pengkaburan opini di mana seseorang dapat memutar balikan fakta dengan seenaknya, dan ini adalah hasil dai penerapan sebuah hukum positif, dengan mengesampingkan hukum-hukum Allah.

Dan menurut siapa Amrozi bersalah, bisa jadi dia tengah difitnah, dan mengapa dia terseyum bisa jadi fitnah itu yang menyebabkan dia tersenyum, sekali lagimenurut siapa, Anda tidak akan pernah mengetahui kebenaran, karena kebenaran itu mutlak dari Allah, bisa jadi saya berkata anda adalah seorang wanita, adalah hal yang sah-sah saja, karena Anda belum pernah mengetahui tentang Anda. seperti apapun manusia mencoba untuk mengkaburkan hukum Allah, tidak akan membuat dirinya bisa terlepas dari hukum Allah. Dan ketahuilah sesungguhnya siksa Allah itu sangat keras.
-----

Posted by Riki Nuryadin  on  10/04  at  05:10 AM

Pengutipan ayat-ayat Qur’an yang bernuansa jihad sering disalahartikan oleh sebagian ummat Islam yang hanya memandang ayat-ayat tersebut secara tekstual saja. Dan hal tersebut menjadi pembenar atas tindakan teror yang mengatasnamakan ISlam. padahal Islam menurut asal katanya “damai”, “selamat” “sejahtera”. Jadi sebenarnya tindakan yang membuat teror bagi orang lain bertentangan dengan Islam itu sendiri. Bukankah Islam diperuntukkan bagi seluruh manusia? Jangan jhanya terjebak oleh formalisme islam. Islam bukan agama melainkan nilai-nilai yang harus diterpakan setiap orang dalam kehidupan. Ia adalah sistem yang mengatur kehidupan seluruh umat manusia buykan hanya sebatas orang yang menyatakan dirinya beragama islam.

Ummat Islam harus menebarkan salam bagi seluruh alam.  Lihatlah sholat kita selalu diakhiri dengan salam, yang maksudnya setiap aktivitas apapun salamlah yang akan kita tuju. Bukankah Allah mengajak kita ke darussalam? Wa allahu yad’u ila darussalam (QS.10:25). Maka dari itu menebarkan teror tidak pantas disebut sebagi muslim.

Posted by tarmidi  on  09/27  at  06:10 PM

Saya punya logika yang gampang saja tentang tulisan di atas. Kalau ada anggapan bahwa teks qur-an, yang sangat diyakini komunitas muslim merupakan kalamullah--bisa di-hermeneutika-kan (didekonstruksikan--dalam arti lain), maka akan jauh lebih-lebih-lebih sangat wajar apabila “teks-teks” yang ditulis penulis (yang notabene “kalam” manusia) akan juga lebih baik didekonstruksi saja.

Thanx.

Posted by ahmad fauzan  on  09/25  at  08:10 PM

----- mengintip milis tetangga -------

Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur’an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang zahir dari al-Qur’an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis in adalah adanya keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi’ah, sebagai “textus receptus.” Keinginan Muhammad Arkoun, misalnya, untuk men-"deconstruct" Mushaf Utsmani, adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah. Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah “both the Word of God and the word of Muhammad” adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Semua itu tidak menguntungkan kaum Muslimin, dan hanya menurunkan derajat validitas al-Qur’an seolah-olah sama dengan kitab yang lain. Sebenarnya memang ada kemungkinannya orang Kristen semakin maju dengan hermeneutika, tetapi kaum Muslimin hampir pasti akan mundur ke belakang dengan hermeneutika itu. Sepertimana bahasa Arab telah menjadi standar bahasa Hebrew dan bahasa-bahasa Semit yang lain, maka al-Qur’an semestinya juga menjadi benchmark bagi kitab suci yang lain, karena al-Qur’an adalah kitab suci yang terakhir dan yang authentic di antara kitab-kitab yang lain. Dengan perkataan lain, kajian al-Qur’an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir akhir-akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian al-Qur’an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri yang mempunyai muatan pandangan hidup berlainan dengan pandangan hidup Islam. Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary yang selama ini digunakan sudah cukup memadai untuk al-Qur’an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?

Posted by Caroline Anntonietta  on  09/25  at  09:10 AM

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Setiap agama memiliki kelompok radikal dan fundamentalis yang menafsir Kitab Suci-nya secara literal, terpotong-potong, dan sepihak. Sudah tiba saatnya kaum Muslimin saling menyadarkan satu sama lain mengenai kaidah-kaidah penafsiran yang salah. Tulisan Luqman Hakim ini adalah salah satu contoh yang baik.  Alqur’an harus ditafsir menurut konteks sosial di masanya dan membawa nilai-nilai kebenaran universal ke konteks masa kini, sambil menghargai nilai kemanusiaan dan kebudayaan setempat.  Orang Indonesia tidak harus menjadi orang Arab apalagi menjadi Arab primitif.  Bravo, Bang Luqman.

Wassalam, Bambang Kris

Posted by Bambang Kris  on  09/24  at  08:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq