Islam dan Pornografi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Gagasan
02/07/2003

Islam dan Pornografi

Oleh Badarus Syamsi

Kaum Muslim harus mampu mengartikulasikan nilai-nilai etika Islam dalam kehidupan praksis-operasional, misalnya dalam bidang kesenian
- Jangan sampai Islam terkesan sebagai penjara bagi kreasi dan inovasi manusia, hanya karena penafsiran sebagian kaum Muslim

Tulisan ini kiranya hanya merupakan respon lepas dalam rangka ikut memarakkan suasana diskusi sosial mengenai pornografi.

Begitu ‘goyang ngebor’ Inul diklaim sebagai salah satu bentuk pornografi, masyarakatpun terpecah ke dalam dua argumen besar yakni yang mengecam goyangan Inul dan yang pro Inul dengan alasan bahwa hal itu adalah kreatifitas seni. Persoalan menjadi besar karena kemudian agama dibawa-bawa untuk mengatasi persoalan pornografi. Kontan dalam suatu wawancara, Inul mengatakan bahwa adalah merupakan kreatifitas dia dalam memunculkan ‘goyang ngebornya’. Inul juga tidak mau kalau menari harus memakai jilbab atau kerudung dan sebagainya.

Itulah sepetik fenomena mengenai Inul dan kisah pornografi. Ada dua hal yang patut untuk dicermati di sini. Pertama, bagi sebagian orang, jelas agama terkesan menjadi ‘penjara’ atau mungkin pengekang bagi kebebasannya. “Goyang ngebor itu kan sangat digemari masyarakat, kok kemudian ‘agama’ melarang dengan alasan pornografi”? tandas mereka ini. Kedua, bagi sebagian yang lain, hal-hal yang betentangan dengan ‘nilai-nilai’ agama, biasanya akan membawa pengaruh negatif bagi kehidupan sosial semisal judi, minuman keras, narkotika dan sebagainya, termasuk penampilan lekukan tubuh para penari panggung. Di sinilah maka agama perlu menjadi kontrol dalam kehidupan sosial.

Pertanyaan pentingnya, apakah wacana sosial yang berkembang akan cenderung mengikuti premis yang pertama, ataukah yang kedua? Perlu disadari bahwa agama memberikan kebebasan berkreasi kepada manusia, bukan saja untuk kebaikan, mau kafirpun agama mempersilahkan orang untuk memilih jalan hidupnya. Agama memberikan panduan-panduan etis kepada manusia dalam berkehidupan sosial agar segenap tindakannya tidak merugikan yang lain atau --- minimal --- tidak membawa dampak-dampak negatif tertentu. Namun demikian, persoalan besar yang menantang adalah sampai di mana nilai-nilai etis itu mampu ditelorkan dalam nilai-nilai kehidupan praksis keseharian? More good lagi jika hal itu banyak diminati orang. Dalam kenyataannya, suguhan seni-seni bernuansa agama hanya menarik bagi sebagian orang. Bisakah mereka --- yang menentang pornografi --- menciptakan suatu kesenian rakyat yang dapat mengalahkan ‘goyang negebor’ Inul?

Amat sedikit orang yang mau merenungkannya. Kebuntuan dalam menyuguhkan seni-seni kerakyatan sebagai artikulasi nilai-nilai etis agama, akan mengesankan banyak orang bahwa agama selalu dan hanya menjadi Red Light (lampu merah) bagi kreatifitas manusia. So di sinilah tugas sosial kaum agamawan, ceramahnya jangan hanya di masjid-masjid doong!, cobalah sekali-kali ikut menari dan menyanyi bersama rakyat bawah. Semuanya akan kelihatan, apa sih yang belum diberikan agama bagi pemenuhan kebutuhan seni masyarakat bawah? (Badarus Sy)

02/07/2003 | Gagasan | #

Komentar

Komentar Masuk (33)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Assalamu’alaikum wr.wb.

Bagi yang tidak setuju goyang Inul, ingatlah Allah SWT berfirman kepada Iblis yang intinya mengijinkan Iblis dan anak cucunya menggoda manusia.

Posted by muhammad hakim  on  11/05  at  01:44 PM

masih banyak kerjaan yang lain
enggak harus terkait dengan pornografi kan…

Posted by rohhimah nur fadhilah  on  11/04  at  04:00 PM

salam.
Saya memang kurang simpatik dan kurang “approve” tentang goyangnya inul, dan kesenian2 rakyat yang saya rasa bisa memicu bentuk2 pemikiran dan nafsu tertentu di benak penikmatnya. Tapi di sisi lain, saya setuju dengan saudara Muhammad Hakim di komentar #29. Saya rasa metode dakwah yang dilaksanakan di Indonesia ini sudah ketinggalan jaman. Setiap kali kita mengikuti pengajian, seolah2 kita hanya mendengarkan “kalimat itu lagi”, “dalil itu lagi”, dsb. Kesannya monoton dan tidak menggugah. Ayat2 dan dalil2 itu sudah digunakan dalam ribuan dakwah di sana-sini. Dan sejauh mana itu membawa hasil? Dengan masih banyaknya peminat goyang ngebor Inul, ini berarti hasilnya bisa dibilang sangat minim. Dan ironisnya, cara2 yg kurang berhasil itu masih kita gunakan terus dalam berdakwah.
Sejauh pengamatan saya, dakwah itu lebih banyak yg bersifat 1 arah, top-down. Sifatnya “mengajarkan”, dan biasanya diikuti dengan sikap hormat umat terhadap pendakwah (yg terkadang penghormatannya berlebihan). Jarang sekali, dalam suatu pengajian, seorang pendakwah mendapat kritik atas apa yang dia sampaikan. Sebenarnya akan lebih sehat jika dakwah itu bersifat dua arah, menjadi sebuah diskusi. Saya rasa suatu gagasan hasil sebuah diskusi akan lebih mudah diserap dan diterima, karena segala keberatan dan kritik umat telah disampaikan, sehingga mereka bukan hanya mendapat petunjuk buta, tapi mereka juga memahami aspek2 yg lebih luas dari kajian itu.
Jika ulama merasa gagal menuntun umatnya keluar dari pornografi, saya rasa sudah saatnya untuk introspeksi diri. Seperti kata Saudara Muhammad Hakim, “dakwah itu bukan sekedar memberitahu bahwa di ayat ini ada disebutkan begini, di hadits ini ada disebutkan begitu”. Ulama harus bisa menggumulkan ayat2 dan dalil2 dengan realita kehidupan keseharian, sehingga tak ada lagi dinding pembatas antara dalil dengan kenyataan hidup. Jika umat menerima ajaran2 itu sebagai kenyataan hidup, dgn segala kebaikannya, saya rasa tak perlu dipaksa, mereka akan mengamalkannya.

Posted by harwan  on  05/12  at  06:31 AM

bismillah
salam

kebebasan merupakan hal yang besar.’kebebasan merupakan salah satu pengakuan kita akan adanya Tuhan yang maha Esa.’cuman kebebasan yang bermoral dalam situasi yang tercipta dari kondisi itu harus dicermati semoga tdak menjadi hal yang tabu.’tapi lebih suatu kreatif yang membangun..wassalam

Posted by mady  on  03/07  at  05:41 PM

Solusinya gampang. Dakwahnya digencarkan dan tolong jangan dakwah pakai maki-maki (misal ustadz bajinganlah, kyai ini gobloklah, dangkal pengetahuanlah, dsb) gak menunjukkan akhlak Islam dakwah seperti itu. Saya kalau ada yang dakwah seperti itu, mending ditinggal tidur. Biarin dianya bilang saya gak menghargai Islam karena gak dengerin dakwahnya. (Lha, dia sendiri ngaku dakwahkan Islam tapi ngomongnya pake maki-maki).

Berikutnya, bikinlah kreasi seni yang bisa tandingi goyang Inul. Masalah lobby tayangan teve, usaha dong. Kalau gak bisa, bikin teve sendiri dong. Gak punya dana? ya dihimpun dong. Dikira mungkin dakwa itu hanya ngomong, keluarin segudang ayat beserta tafsirnya, terus manusia akan ngikutin kita? Kalau dakwah hanya segitu, gak bakalan Rasulullah susah payah butuh waktu 13 tahun untuk menanamkan keimanan dalam diri segelintir pengikutnya di kota Makkah, dan 10 tahun menegakkan aturan Islam di Madinah. (mungkin cuma butuh waktu satu dua jam pidato). Ingatlah, bangsa ini belum sempurna pemahamannya terhadap Islam. (jangankan bangsa Indonesia, bangsa Arab saja gak semuanya menjalankan ajaran Islam seperti yang dikehendaki Rasulullah SAW). Ya, itulah kenyataan. Tapi apa kita harus menyerah dengan kenyataan?

Dakwah emang sulit, dan di situ dilihat nilai perjuangannya. Allah SWT sendiri berfirman, tugas Rasul adalah mengajak manusia untuk taat padaNya. Masalah yang ikut berapa orang, banyak atau sedikit, bukan urusan Rasul. (Katanya sih Nabi Nuh aja yang ratusan tahun berdakwah hanya dapat pengikut 40 orang). Lha, ini koq yang mengaku pengikut rasul baru dakwah beberapa tahun saja koq sudah ngeluh sana sini. Maki sana maki sini. Mencap orang tua yang lebih dulu belajar Islam dengan dangkal pemahaman. (bukannya itu sikap kesombongan? dan bukankah kesombongan itu sama dengan syirik kecil? terus kalau udah punya sifat begini apa masih pantas untuk berkoar sebagai pengikut Islam sejati? Malulah pada Allah SWT, bukan pada manusia atas sikap begitu). Itu artinya belum saatnya Allah SWT memberi hidayah kepada semua orang yang didakwahi. Kalau penggemar pornografi masih banyak, itu artinya perlu lebih giat lagi berdakwah. Perlu lebih giat lagi mengajak. Dan dakwah itu bukan sekedar memberitahu bahwa di ayat ini ada disebutkan begini, di hadits ini ada disebutkan begitu. Banyak aspeknya, ada psikologis, sosial, keuangan, struktur, keterampilan berorasi, pengetahuan budaya dan sosial masyarakat, politik yang berkembang dalam masyarakat, dsb.

Kalau Rasulullah dengan dibantu Jibril dan para sahabatnya yang hebat-hebat serta petunjuk Allah SWT perlu 23 tahun untuk menegakkan Islam di tanah Arab sana (Makkah dan Madinah, luas kota Madinah jaman itu kira-kira sama dengan luas masjid Nabawi sekarang), gimana dengan para da’i jaman sekarang di negeri seluas Indonesia ini dengan penduduk berjuta kali lipat penduduk Makkah dan Madinah di jaman Rasulullah...? mungkin perlu waktu 100 kali lipat.

Saran saya teruslah berdakwah, semoga dengan dakwah yang kesekian juta kalinya itu, akhirnya Allah SWT menjadi ridho, dan membukakan pintu hati semua rakyat Indonesia untuk menerima dan melaksanakan ajaran Islam dengan benar. Misalnya, kalau Ahmadiyah dianggap murtad, ya ajaklah kembali ke jalan yang benar. Bukannya membakar masjid, mengeroyok pengikutnya dan sebagainya. (Padahal Ahmadiyah yang mengagungkan Mirza Gulam Ahmad itu hanya sebagian saja. Ingat ada 2 Ahmadiyah, Qadiyan dan Lahore. Juga Ahmadiyah banyak menyebarkan Islam di Inggris dan Eropa Barat.)

Posted by muhammad hakim  on  01/20  at  10:59 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq