Islam, Hakikat Iman dan Cinta - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
25/10/2004

Islam, Hakikat Iman dan Cinta

Oleh Habibullah Bahwi

Selanjutnya, terkait dengan nama Islam sebagai citra simbolik sebuah agama. Abdul Karim Sorous, cendikiawan muslim kritis berkebangsaan Iran memilki pandangan bahwa; Islam yang lahir dengan membawa seperangkat ajaran dan nilai itu, pada hakikatnya merupakan bentuk simbolik dari pesan iman dan cinta, yang mana kedua-duanya berasal dari biji yang sama.

KETIKA ada seorang pemeluk agama bertanya tentang hakikiat agamanya. Jawaban bijak yang mungkin paling sederhana adalah iman dan cinta. Begitu juga, apabila yang bertanya itu kebetulan seorang muslim, dengan bertanya; apakah hakikat Islam itu sesungguhnya,? Maka, jawaban paling bijaknya pun tetap sama, yaitu iman dan cinta. Ini persis dalam semboyan yang diulang-ulang, bahwa Islam itu adalah rahmatan lil-alamin.

Lalu, apa artinya jawaban panjang lebar dan berbelit-belit tentang akidah (teologi), jurisprudensi Islam (fiqh) dan turats (tradisi), serta hal-hal lain yang terkait dengan Islam? Menurut saya, semua itu adalah instrumen formal yang serta-merta akan menyetai pola keimanan dan rasa cinta para pemeluknya. Segudang teori agama, beragam keping budaya dan setumpuk peradaban Islam, tidak lain hanyalah bentuk nyata (implementasi) dari kesatuan iman dan cinta tersebut.

Artinya, apapun yang telah dan akan diaktualisasikan oleh pemeluk Islam dalam bentuk kongkret, bisa dipahami sebagai ungkapan logis dari keimanan dan rasa cinta mereka. Boleh-boleh saja mereka mengungkapkan rasa cinta dan keimanannya itu dalam bentuk disiplin-disiplin fisik (ritual-ritual), dengan membangun komunitas-komunitas budaya, tradisi pemikiran, atau mendirikan sebuah peradaban yang tinggi dan hebat sekaligus. Bahkan, tidak ada larangan apapun yang mengharuskan mereka agar membatasi konstruksi pemahamannya dalam realitas iman dan cinta.

Lalu, mengapa terjadinya konflik-konflik internal antar golongan beragama, ataupun perang hebat antar pemeluk agama? Dalam konteks keberagamaan, bisa kita pahami sebagai bentuk klimaks dari perebutan simbol saja. Karena, boleh disepakati atau tidak, realitas simbol merupakan bagian kuat dari watak dasariyah manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Ernst Cassirer, bahwa “manusia itu adalah makhluk yang simbolik” (animal symbolicum).

Dengan simbol manusia mampu membentuk budayanya, mengungkapkan rasa melalui bentuk-bentuk. Ungkapan simbolis merupakan jalan menuju kebebasan yang berdaya cipta, dan “hidup yang menggunakan lambang-lambang berarti kebebasan sejati”. Demikian menurut Thomas Mann.

Dengan begitu, maka eksistensi nama-nama dari seluruh agama, sama artinya dengan simbol-simbol yang berdaya cipta tinggi. Ada yang namaya agama Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha dan seterusnya. Namun, kalau dari serentetan nama-nama itu, dalam konteks simbol kemudian muncul banyak dikotomi eksistensialis dalam kehidupan para pemeluknya, tentu merupakan hal yang wajar, sesuai dengan watak dasar manusianya yang bersifat simbolik. Bukan karena sifat agamanya.

Tapi, kenapa konflik antarummat beragama masih sering terjadi, apakah karena para pemeluk agama-agama itu tidak mengerti dengan realitas simbol? Jawabannya bisa saja, karena ada beragam citra atau kepentingan-kepentingan terselubung yang digantungkan di balik simbol-simbol itu, sehingga menyebabkan ia terseret kedalam serentetan tindak kekerasan dan penjajahan. Namun, kecenderungan semacam ini tidak akan berlaku di wilayah keimanan, cinta dan pemahaman para pemeluk agama.

Selanjutnya, terkait dengan nama Islam sebagai citra simbolik sebuah agama. Abdul Karim Sorous, cendikiawan muslim kritis berkebangsaan Iran memilki pandangan bahwa; Islam yang lahir dengan membawa seperangkat ajaran dan nilai itu, pada hakikatnya merupakan bentuk simbolik dari pesan iman dan cinta, yang mana kedua-duanya berasal dari biji yang sama.

Menurutnya, dalam struktur iman itu, antusiasme, cinta dan persaksian tumbuh saling berjalin. Setiap orang berhak untuk memuja, mencinta dan bersaksi dalam kesendiriannya. Dengan begitu, iman sangatlah bermusuhan dengan yang namanya kemusyrikan. Baginya, tidak ada hal yang lebih baik dari pemujaan, cinta dan persaksian bersama, sebagaimana tidak ada hal yang lebih buruk daripada pemujaan, cinta dan persaksian yang dipaksakan. Iman yang sejati menurutnya, adalah yang bergantung pada individualitas dan kebebasan, dan penolakan terhadap keduanya sama artinya dengan menolak arti iman yang sesungguhnya. “tidak ada pemaksaan dalam iman dan cinta”, ini bermakna bahwa tangan-tangan tirani tidak berhak menebar benih-benih keagamaan di ladang hati. Tidak ada dekrit raja atau fatwa nalar yang bisa melahirkan atau memperbanyak iman dan cinta.

Kita mungkin dapat menerima pandangan ini, karena secara jelas, memang telah menggambarkan nilai esensif dari agama. Tapi, bisakah kita menerima kalau Islam, Kristen ataupun Yahudi, hanya dianggap sebagai simbol belaka? Nah, pertanyaan inilah sebetulnya yang perlu kita jawab bersama-sama. Dengan kata lain, bisakah kita menghentikan pertikaian memperebutkan simbol-simbol itu, dan melangkah bersama-sama menuju realitas iman dan cinta yang sesungguhnya,?

Nama agama hanyalah simbol, sedangkan kalbu masyarakat beragama adalah iman dan cinta yang dipilih secara bebas, bukan karena paksaan dan penyesuaian. Nabi-nabi itu dipilih hanya untuk menyampaikan “pesan kasih sayang” Tuhan dalam bentuk wahyu. Mereka diperankan sebagai kekasih oleh Tuhan demi menarik hati orang-orang yang bersih dan bajik. Mukjizat yang diberikan kepada mereka dimaksudkan untuk “menundukkan” musuh-musuh Allah, bukan untuk “menakut-nakuti” hati manusia supaya beriman pada mereka. Jadi, para nabi itu pantas dipuja sebagai nabi dan kekasih, bukan sebagai Tuhan yang lepas dari kodrat kemanusiaannya.

Maka dari itu, eksistensi nama-nama agama sebagai sebuah simbol sangat tidak layak untuk kita pertentangkan, baik melalui ajang konflik ataupun dalam bentuk pemaksaan-pemaksaan lain. Sebab, keimanan dan cinta sebagai esensi dari agama adalah hak bebas yang bisa dipilih sendiri oleh masing-masing individu. Maka, setiap tindakan, apapun bentuknya, yang menghapus kebebasan dari keimanan dan cinta, pencerahan dan dinamisme dari pemahaman agama, adalah tindakan yang justeru membahayakan landasan dan makna masyarakat agama.

Memaksa setiap orang supaya beriman secara palsu; melumpuhkan pemikiran dengan indoktrinasi, propaganda dan intimidasi, menutup gerbang kritik, revisi dan modifikasi, agar semua orang tunduk patuh pada satu ideologi tunggal, pastilah tidak akan menciptakan masyarakat yang religius. Melainkan, ini justru akan mencetak masyarakat monolitik yang terteror, lumpuh, pasrah dan hipokrit. Bentuk masyarakat agama yang demikian bukanlah bentuk masyarakat yang dikehendaki Tuhan dan para nabi-Nya.

Dan sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan Jalaluddin Ar-Rumi, seorang pujangga sufi yang tidak pernah lelah berkelana demi keagungan iman dan cinta yang dipujanya. Ia pernah berkata kepada para pengikutnya, “Sambutlah iman dan cinta, pemusnah kemusyrikan yang luar biasa. Berikanlah air pada yang haus, berilah makan pada yang lapar dan bersujudlah atasnama iman dan cintamu demi Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dari rasa cinta-Nya. Ingatlah, bahwa kesombongan dan berulah munafik atas nama-Nya tidak akan pernah menolongmu menuju kemenangan dan perdamaian sejati.” Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amin…

25/10/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Pengagung agama universal.
Sungguh ini nonsen !
Buang kelaut aja !
Saya mau pastikan tak mungkin jahudi bisa menerima kristen dan sebaliknya,tak mungkin juga kristen mengakui Islam dan sebaliknya !
Justru pertenyangan itu ada karena iman dan cinta !Lalu iman n cinta yg mana mau anda ketengahkankan ?
Adakah jaman Nabi n Rasul yg berlalu tanpa perjuangan/perlawanan dengan kekerasan ?
Tidak ada !
Semua dilalui dengan ceceran keringat n darah !
Kenapa para Nabi n Rasul melakukan semua itu ?
Ya kembali ke permasalahan awal yaitu karena IMAN n CINTA.
Kekerasan/peperangan itu terjadi karena iman n cinta pada agamanya masing masing ?
Juga karena rasa cinta n sayang bagi yg diperangi.
Karena Cintanya dan Iman bahwa siksaan ahkirat tiada taranya n tiada kesudahannya,maka memerangi /membinasakan kaum zalim adalah lebih baik,karena berapalah sakitnya disiksa n dibunuh didunia jika dibanding dgn siksa diakhirat ?
Bahkan ada harapan siksa yg diterimanya di dunia dapat melepaskannya dari siksa akhirat.Bukankah itu manifestasi cinta sesungguhnya. ?
Bila ada mengagungkan semua agama itu benar,berarti juga anda mengatakan semua agama itu salah.Berarti pula semua Nabi/Rasul itu salah.Berarti pula Tuahan Yang Esa itu.
Ahk....kelaut ajalah kau boneng !

Posted by Polos  on  10/18  at  01:09 PM

Cinta adalah fitrah dan karunia yang tak terhingga yang diberikan oleh Allah kepada manusia. iman adalah satu bukti kecintaan kita kepada Sang Pemilik Kehidupan, sebagai ungkapan syukur kita atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. cinta adalah sesuatu yang dasar yang ada pada diri manusia, coba bayangkan kalo ada manusia yang tak punya cinta??? cinta tertinggi hanyalah untuk Allah dan Rasul-Nya.

Ada tiga hal, yang bila terdapat dalam diri manusia maka ia akan merasakan lezatnya iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cinta kepada selain keduanya, cinta dan benci karena-Nya, dan benci untuk kembali pada kekufuran…

wallahu a’lam bish shawab
-----

Posted by dian  on  03/31  at  01:04 AM

Mencintai Robb dengan segenap jiwa dan raga tidak akan membuat kita rugi,apalagi merasa sakit hati.Dimana kita dapatkan cinta sejati,cinta yang takkan terungkapkan.Ketenangan,kebahagiaan sangat terasa dijiwa meski ombak dan badai menerjang.Diri kita yang pasti masih belum merasa puas dengan apa yang kita dapat saat ini,begitu banyak protes,tuntutan kita pada Robb.Tapi coba kita pikirkan,pernakah Robb menolak hambanya yang salah dan ingin kembali dalam ridloNya?

Posted by arie  on  10/10  at  09:10 PM

Saya sangat setuju dengan tulisan saudara Habibullah Bahwi ini. Dan menurut pemahaman saya itulah sesungguhnya essensi agama-agama. Masalahnya adalah kita sering berselisih pendapat tentang jalan yang kita tuju. Karena berbeda jalan tentunya rambu-rambunya berbeda dan pengalamanpun berbeda, namun kalau sudah sampai di tempat tujuan saya yakin kita akan mengalami hal yang sama yaitu “kasih” (ar-rahman) yang merupakan perwujudan dari cinta tak bersyarat.

Pemahaman rambu-rambu di masing-masing jalan inipun berbeda-beda sesuai dengan kejernihan pikiran seseorang. Rambu-rambu ibarat air hujan sedangkan pikiran ibarat media dimana jatuhnya air hujan. Air hujan yang jatuh di sebuah mangkok yang bersih akan memiliki sifat air hujan yang murni. Namun bila air hujan jatuh di comberan maka air hujan akan terpengruh oleh sifat-sifat air comberan tersebut. Pada hal air hujannya sama.

Demikian pulalah pemahaman kita terhadap sebuah ajaran. Makin jernih pikiran kita maka pemahaman kita akan semakin dekat dengan kebenaran ajaran tersebut, namun bila pikiran kita dipenuhi dengan segala emosi, iri, dengki, dendam, dll, maka pemahamankita akan semakin jauh dari kebenaran sebuah ajaran.

Atau seperti kita melihat dunia umumnya melalui pikiran kita. Pikiran seperti kaca mata, jika menggunakan kaca mata hitam maka kecendrungannya kita melihat segala sesuatu menjadi hitam. Begitu pula jika kita memakai kaca mata merah maka segala sesuatu akan cenderung kelihatan merah. Jika menggunakan kaca mata bening maka segala sesuatu akan kelihatan apa adanya.

Mengucapkan kata Iman dan Cinta maupun Kasih adalah sangat mudah, seperti mengucapkan salah satu nama Tuhan. Kita nggak sadar bahwa kata Tuhan bukan berarti Tuhan. Seperti kata air tidak berarti air yang bisa mengilangkan dahaga kita. Atau daftar makanan tidak bisa menghilangkan lapar kita, yang bisa adalah makanan itu sendiri.

Semoga kita diberi kekuatan untuk mengubah apa yang bisa diubah, menerima apa yang tidak bisa diubah dan kemampuan untuk membedakannya.

Putu Kesuma

Posted by Putu Kesuma  on  11/19  at  01:11 AM

Cinta tidak sekedar kata-kata atau perasaan..  Cinta harus diungkapkan dalam perilaku.  Cinta berarti kesediaan untuk berkorbaan, kesediaan untuk patuh dan kesediaan untuk membahagiakan yang dicintainya.  Ungkapan cinta yang utama dari seorang hamba kepada kholiknya adalah dengan beribadah sesuai dengan syari’at NYa.

Posted by fajri ofeser  on  11/09  at  08:11 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq