Islam Indonesia Kini: Moderat Keluar, Ekstrem di Dalam? - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
11/08/2008

Islam Indonesia Kini: Moderat Keluar, Ekstrem di Dalam?

Oleh Novriantoni Kahar

Kini tengoklah, betapa absurdnya klaim kita tentang moderasi Islam. Dalam kasus Ahmadiyah, intimidasi sistematis yang dilakukan kelompok-kelompok Islam baru ini bukan hanya tidak dapat dibendung, tapi dalam beberapa hal seperti dibiarkan dan mendapat dukungan moral-teologis dari beberapa eleman internal Muhammadiyah dan NU. Hanya beberapa figur penting seperti Gus Dur dan Syafii Ma’arif yang turun gunung dan bertarung menentang bentuk-bentuk intoleransi yang makin menggejala.

Seorang diplomat Indonesia pernah menulis tentang citra apa dari Indonesia yang kini mereka jual dalam dunia diplomasi. Menurutnya, ada tiga “citra unggulan” yang mereka “pasarkan” kepada dunia yang ingin menyimak sesuatu tentang Indonesia. Pertama, Indonesia adalah negara demokrasi dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Indonesia masuk tiga besar, selain India dan Amerika. Kedua, mayoritas Muslim Indonesia berpandangan Islam yang moderat, tidak dikuasai kalangan ekstremis. Distingsi moderat-ekstremis ini dianggap penting untuk membedakan Indonesia dengan kawasan dunia Islam lainnya. Ketiga, selain demokratis dan moderat, Indonesia juga negeri yang pluralis dari segi apapun.

Itulah tiga citra Indonesia yang menjadi modal dasar Indonesia dalam berdiplomasi dengan dunia luar. Dan tampaknya, bukan hanya kalangan diplomat yang menjajakan ketiga citra itu. Dua wakil organisasi Islam terbesar di Indonesia yang dianggap moderat, pun tak ketinggalan dalam promosi citra Islam moderat ini ke dunia luar. Dalam rangka ini, beberapa waktu lalu Muhammadiyah menyelenggarakan World Peace Forum II, sementara Nahdlatul Ulama (NU) baru saja menggelar International Conference of Islamic Scholars (ICIS).

Kita pantas bangga dengan citra Islam Indonesia yang menjadi keuntungan strategis dalam berdiplomasi dengan dunia luar itu. Yang terabaikan oleh banyak pihak, tidak terkecuali organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan NU adalah: (1) citra tidak selamanya sesuai dengan fakta dan realita; (2) citra tersebut tidak datang atau terberi dengan sendirinya. Ia merupakan bentukan dari pergulatan sejarah panjang Islam di Indonesia; (3) sejalan dengan dua poin sebelumnya, citra tersebut tentu dapat berubah sewaktu-waktu, terutama kalau kita tidak waspada dan senantiasa mendekatkannya dengan realita.

Rentannya Citra Moderasi

Tentang poin pertama, kini kita dapat melihat betapa rapuh dan rentannya citra Indonesia sebagai negeri meyoritas Muslim yang demokratis, moderat dan pluralis itu untuk bergeser. Arus reformasi tidak hanya mengantarkan Indonesia ke jajaran negara-negara demokratis di dunia, tapi juga mengubah peta pergerakan dan corak Islam. Sejak reformasi bergulir, konfigurasi lama tentang Islam Indonesia yang biasa kita anggap didominasi dua menara kembar moderasi Islam Indonesia (Muhammadiyah dan NU), kini mulai bergeser.

Beberapa gerakan Islam baru muncul dan tampil lebih garang dari Muhammadiyah dan NU. Dan tak jarang, pada tingkat wacana dan aksi, mereka tampil lebih nyaring dan leading daripada Muhammadiyah dan NU. Sementara sibuk menjual citra moderasi Islam, bahkan menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar, Muhammadiyah dan NU tak jarang alpa untuk berperan aktif dalam merawat dan menguatkan jaringan dan institusi-insitusi penyangga moderasi Islam itu. Bahkan, dalam beberapa kasus, wacana dan aksi yang dikembangkan keduanya idem dito atau hanya reaksi terhadap genderang yang ditabuh kalangan yang tidak bisa disebut moderat.

Jika ini terus terjadi, dan ini poin kedua, tidak mustahil dalam beberapa tahun ke depan terjadi pergeseran citra. Kita tahu, fakta moderasi Islam itu dibentuk oleh pergulatan sejarah Islam Indonesia yang cukup panjang. Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi Islam yang sudah malang-melintang dalam memperjuangkan bentuk-bentuk moderasi Islam, baik lewat institusi pendidikan yang mereka kelola maupun kiprah sosial-politik-keagamaan yang mereka mainkan. Karena itu, kedua organisasi ini dapat disebut sebagai dua institusi civil society yang amat penting bagi proses moderasi negeri ini.

Dan di belahan dunia Muslim manapun, kita nyaris tidak menemukan organisasi sosial-keagamaan yang begitu besar, moderat, tua, dan mengakar di kalangan masyarakat sebagaimana Muhammadiyah dan NU. Karena itu, ketangguhan kedua aset berharga ini dalam menjaga citra moderasi Islam Indonesia tetap tidak dapat dipandang sebelah mata. Namun, ketika kedua organisasi ini tidak menjalankan fungsi pendidikan dan sosialnya dengan semestinya, bukan mustahil peran-peran tersebut akan direbut oleh mereka yang tidak peduli dengan proyek moderasi Islam di Indonesia.

Kini tengoklah, betapa absurdnya klaim kita tentang moderasi Islam. Dalam kasus Ahmadiyah, intimidasi sistematis yang dilakukan kelompok-kelompok Islam baru ini bukan hanya tidak dapat dibendung, tapi dalam beberapa hal seperti dibiarkan dan mendapat dukungan moral-teologis dari beberapa eleman internal Muhammadiyah dan NU. Hanya beberapa figur penting seperti Gus Dur dan Syafii Ma’arif yang turun gunung dan bertarung menentang bentuk-bentuk intoleransi yang makin menggejala. Akibatnya, setelah SKB moderat tentang Ahmadiyah keluar, mereka masih menuntut Keputusan Presiden untuk pembubaran Ahmadiyah. Mereka telah diberi hati, tapi masih meminta jantung.

Perlu Mengambil Langkah

Dan sayangnya, tidak ada teriakan ”cukup!” baik oleh pemerintah maupun ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU terhadap ekspresi intoleransi agama, baik terhadap Ahmadiyah maupun lainnya. Saya kira, kini sudah tiba saatnya untuk melakukan langkah-langkah strategis guna menghentikan proses ekstremisme Islam di Indonesia. Telah banyak bukti bahwa kearifan dalam menuntaskan persoalan-persoalan keagamaan sudah berganti dengan kericuhan. Aksi gebuk massa telah menjadi cara terfavorit dalam merespons isu agama dan gosip murahan sekalipun.

Jejaring sosial yang bermusyawarah dan bermufakat seakan tiada lagi berguna. Pekik stigmatisasi terhadap suatu kelompok (aliran/kelompok sesat, proyek Kristenisasi, atau cap-cap lainnya) sudah cukup untuk menggerakkan massa untuk bertindak. Hancurkan dulu, urusan belakangan. Ini persis seperti taktik kuno sepakbola Inggris, kick and rush (tendang, lalu lari).

Jika taktik yang tidak elok dan tak bertanggungjawab ini terus berjalan dan sering tidak diproses secara hukum, lama-lama kita akan melihat kekerasan menjadi proyek dan semacam karir. Itu pastilah akan merusak sendi-sendi harmoni sosial yang berkesesuaian dengan Indonesia yang demokratis, moderat, dan pluralis. Saya kira, semua kita berkepentingan untuk merawat, mengawetkan, dan mendekatkan citra Indonesia yang demokratis, moderat, dan pluralis itu dengan realita. Jika tidak, bukan hanya orang lain yang tertipu karena membeli citra yang salah, namun kita pun akan terkena getah-getahnya. []

11/08/2008 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (35)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Kalau kita mengaku sebagai orang yang beragama dan kemudian meyakini bahwa membunuh atau menyakiti manusia lainnya adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. Terus apa gunanya beragama untuk kemanusiaan? Karena ada banyak orang yang Ateis malah sangat manusiawi. Apakah ini sebuah kemunduran bagi orang dalam menyakini agama? Mestinya kan orang beragama “harus” lebih manusiawi daripada dengan Ateis. Tapi kok malah kebalikannya.

salam

Toyo

Posted by Toyo  on  08/16  at  05:47 PM

ada suatu prilaku dalam memahami suatu ajaran, hendaknya dimulai dari hal hal yang sangat kecil tetapi memiliki makna yang sangatlah dalam, dalam ajaran Agama Islam Surat Al-Fatihah hanya kepada engkaulah (Ya Allah) kami menyembah dan hanya kepada engkau (ya Allah) meminta pertolongan, dan ayat berikutnya, tiada terkecuali selain engkua (Allah) kami tempat meminta.
dalam memahami ayat terkadang hanya di lafazkan bisa, tetapi dalam pelaksanaan sangatlah bertolak belakang dengan apa yang rutin kita lakukan, masih ada perilaku meminta tolong selain kepada Allah, baghkan ada yang berikhtiar dengan jalan yang sangat dimurka Allah yaitu Syirik. Akibat pemikiran animisme inilah banyaknya kelompok manusia berperilaku seperti layaknya perilaku selain golongan manusia

Posted by Hendra  on  04/14  at  05:57 AM

kita ini manusia, nyang nyipta Tuhan, kok main bunuh aja. Apa bener lo-lo nyang paling bener di dunia ini, terus main bunuh sama orang nyang lo anggep salah ato lo anggep nggak sama. bagi aku, orang yang gaya mikirnya gitu udah gila.

Posted by inyong  on  01/03  at  11:36 AM

Lucu ya. Lama kelamaan orang Indonesia bukan jadi moderen, tapi mungkin malah seperti yang diumpamakan dalam al Qur’an yaitu seperti “anak-anak ber uban”, sudah pada tua tapi masih keukeuh menjalankan ajaran yang diberikan saat masih di taman kanak-kanak. Sudah tua pemahamannya tidak berkembang sejalan dengan bertambahnya umur dan pengalaman indera lahir. Atau mungkin seperti perumpamaan lain dalam Al Qur’an “Seperti kuda beban menggotong Kitab melenguh kesana kemari”, Dengan ria kesana kesini cuma ribut menyakiti hati orang lain bukannya melaksanakan kedalam dirinya sendiri tanpa pamrih dan gaduh, eta mah usil namina.
Bukankah Islam agama akal? Katanya....dalilnya “tidak wajib beragama bagi yang tidak berakal”. Bukankah banyak ayat dalam Al Qur’an yang ujung-ujungnya berbunyi;”.....kecuali bagi mereka yang berakal/ mau berfikir......”
Bagi saya yang ilmunya dangkal ya nalar/akal sehat saja saya kedepankan. Mana mungkin saya dengan sengaja mau disuruh menyakiti perasaan/membunuh manusia lain (walaupun dia seorang Achmadiyah atau agama lain) yang diciptakan Allah padahal kita (manusia dengan akalnya) tidak mampu menciptakan mahluk tersebut. Kecuali memang mereka yang tidak mau berfikir. He he he.

Posted by Sri Hadijoyo  on  11/29  at  02:34 PM

ahmadiyah harus di bubarkan krn telah menodai ajaran islam.mereka mengakui nabi palsu.di jaman Rosulluloh dulu,nabi palsu dan pengikutnya yg tdk mau bertobat adalah penggal.ini soal aqidah ngk ad toleransi ap yg di tuntunkan dan diajarkhan harus bisa di interplantasi dlm khidupan sehari hari. islam agama cinta damai tapi siapa yg menodai ajaran agama islam halal darahnya.

Posted by AREK  on  11/28  at  02:47 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq