Islam Liberal, Keberagamaan Pasca-Politisasi Agama - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
26/04/2002

Islam Liberal, Keberagamaan Pasca-Politisasi Agama

Oleh Redaksi

Politisasi agama membuat ajaran agama akan terpangkas dari nilainya yang universal. Ajaran agama ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi temporal, lokal, atau sektarian. Agama menjadi alat kepentingan sekelompok manusia tertentu, entah itu segelintir elite penguasa, kelompok oposisi, atau kaum agamawan sendiri.

Dari Kompas, 26 April 2002

Oleh Abd A’la

DARI wacana fundamentalisme yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini, ada semacam keengganan, terutama dari kelompok yang mendukung fundamentalisme, untuk mengaitkannya secara eksplisit dengan politisasi agama. Padahal, dalam realitas historis, aspek politik merupakan faktor dominan yang mengantarkan para penganut agama ke dalam keberagamaan yang fundamentalistik.

Dalam perspektif historis dan sosiologis, politisasi agama berkembang saat suatu komunitas agama tertentu mengalami proses marjinalisasi dalam kehidupan yang terus berubah. Ketidakmampuan merespons kehidupan, membuat mereka meneguhkan identitas dirinya melalui simbol dan atribut keagamaan. Melalui peneguhan itu, mereka membedakan diri dari kelompok lain. Pada saat sama, mereka akan merasa memiliki semacam energi baru untuk melawan kelompok atau umat yang selama ini dituding sebagai penyebab ketidakberdayaan mereka.

Selain itu, kondisi semacam itu juga bisa terjadi ketika rezim penguasa ingin melanggengkan kekuasaannya sehingga mencari legitimasinya pada agama. Dengan legitimasi agama, kekuasaan yang dipegangnya dimanifestasikan sebagai titah ilahi yang tidak boleh diganggu gugat, serta harus dipatuhi secara mutlak.

Politisasi agama membuat ajaran agama akan terpangkas dari nilainya yang universal. Ajaran agama ditundukkan ke dalam kepentingan yang berdimensi temporal, lokal, atau sektarian. Agama menjadi alat kepentingan sekelompok manusia tertentu, entah itu segelintir elite penguasa, kelompok oposisi, atau kaum agamawan sendiri. Masing-masing menjadikan agama sekadar ajaran yang bersifat reaktif guna meneguhkan ambisi, kepentingan, dan untuk memberangus perbedaan, serta melawan segala sesuatu yang dianggap bertentangan atau berbeda dengan pandangan atau dan kepentingan mereka.

Pada dataran itu, politisasi agama dan kekerasan sering bersinggungan sepanjang sejarah yang dilaluinya. Naifnya, gerakan fundamentalis sering terperosok ke dalam simplifikasi agama itu. Kenyataan seperti ini membuat umat beragama yang ingin meletakkan agama pada fungsinya yang hakiki merasa prihatin. Sebab, hal itu tidak lebih dari sakralisasi sesuatu yang profan; dan karena itu perlu dicari solusi yang lebih manusiawi sekaligus memiliki pijakan teologis yang dapat dipertanggungjawabkan.

***
MENGHINDARI reduksi agama itu, sekularisasi menjadi signifikan untuk diangkat. Tentunya yang dimaksudkan di sini adalah sekularisasi sebagai proses sosial, bukan sebagai ideologi. Meminjam ungkapan Cassanova (1994), sekularisasi sebagai proses sosial adalah konseptualisasi dalam proses modernisasi sosial yang berbentuk diferensiasi wilayah sekular dari institusi keagamaan. Sebagai proses sosial, konsep itu tidak mendukung terjadinya kemunduran kepercayaan dan praktik keagamaan, dan tidak menolerir terjadinya marjinalisasi agama ke wilayah yang bersifat privat. Justru melalui sekularisasi seperti itu, agama harus mengalami proses deprivatisasi dan penguatan nilai-nilainya yang substansial di tengah masyarakat.

Berdasarkan sekularisasi semacam itu, politik (dan aspek-aspek sejenis yang bersifat sekular) disikapi sebagai persoalan duniawi yang tidak dapat dilepaskan dari perubahan dan kehidupan yang terus berkembang. Dimensi kehidupan itu tidak dapat dianggap sakral sehingga disamakan dengan aspek keimanan dan sejenisnya. Demikian pula, aspek itu merupakan persoalan yang dinamis sehingga harus dibedakan dengan keyakinan dan ritual-ritual keagamaan yang tidak akan pernah mengalami perubahan sampai kapan pun.

Sekularisasi mensyaratkan dimensi kehidupan sekular yang harus dibedakan dari nilai-nilai agama yang sakral, tetapi pada saat yang sama kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus memiliki interdependensi kukuh. Agama dijadikan nilai-nilai sebagai dasar pijakan bagi persoalan kehidupan yang dinamis: politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pendidikan. Agama bukan dogma mati yang kaku. Ia harus menampakkan viability sepanjang sejarah dan dalam berbagai tempat. Kondisi ini hanya mungkin terjadi saat agama dipahami sebagai sekumpulan nilai-nilai universal dan holistik yang dapat menjawab segala kebutuhan manusia yang beragam dalam setiap ruang dan waktu. Agama lalu hadir sebagai pedoman utuh dan universal.

***
DALAM perspektif Islam, salah satu titik labuh untuk menangkap ajaran yang relatif utuh sekaligus bersifat nisbi, terletak pada Islam liberal. Kondisi ini tercipta karena Islam liberal-seperti dibuktikan penelitian Binder (1988)-memandang, meski bahasa Al Quran adalah wahyu, makna dan esensi wahyu bukanlah hal yang bersifat verbal. Makna wahyu tidak terbatas pada kata-kata yang terungkap dalam Al Quran. Karena itu, Kitab Suci ini dituntut dipahami melalui usaha yang didasarkan kata-kata, sekaligus dapat melampauinya sehingga menemukan arti yang sebenarnya.

Pendekatan semacam itu telah melahirkan minimal tiga pola pandang yang liberalis. Kurzman (1999) mencandranya dalam bentuk liberal sharia, silent sharia, dan interpreted sharia. Pola pandang pertama melihat Al Quran dan praktik umat Islam awal sebagai sumber ajaran yang memiliki posisi liberal. Dengan demikian, sumber ajaran itu akan mengalami kontekstualisasi yang tidak pernah diam. Pendapat kedua menyatakan, syariah tidak membicarakan semua permasalahan. Ada suatu persoalan tertentu yang tidak disentuhnya. Kenyataan ini bukan karena wahyu tidak lengkap, namun karena hal itu diserahkan kepada usaha penemuan manusia. Pendapat ketiga menyikapi penafsiran terhadap wahyu sebagai hasil usaha manusia yang dapat salah dan keliru; karena itu pluralitas merupakan kemestian.

Meski berbeda dalam penekanan, ketiganya memiliki benang merah yang tajam. Karakteristik yang paling tampak dari liberal Islam seperti itu adalah model pemahamannya yang eksegesis. Kelompok ini berupaya untuk meletakkan Al Quran dalam pemahaman utuh, sekaligus menyikapinya dalam interpretasi yang bersifat historis. Kenyataan ini menuntut kaum Muslim untuk selalu melakukan rekonstruksi keberagamaan mereka dari saat ke saat. Sebab, sebagai hasil pemahaman, suatu keberagamaan tidak akan pernah menjadi kebenaran absolut yang dapat disamakan dengan sumber ajaran Islam itu sendiri. Hal itu membuat Islam liberal tidak akan pernah mengklaim bahwa pemahaman yang ditawarkan adalah satu-satunya kebenaran. Meski demikian, setiap interpretasi selalu diupayakan untuk selalu diletakkan di atas nilai-nilai dan makna universal wahyu.

Paradigma liberal itu amat signifikan diperhatikan karena ia akan menghindarkan umat dari reduksi agama guna kepentingan-kepentingan sesaat dan manipulasi kelompok. Sebab, selain dianggap menundukkan Islam ke wilayah profan, hal itu juga diyakini akan memotong Islam dari nilai-nilainya yang substansial. Bagi Islam liberal, kepentingan-kepentingan tertentu tidak akan pernah dicari legitimasinya pada agama karena hal itu hanya akan membawa kepada eksploitasi agama. Demikian pula, politik-dan dimensi kehidupan sekular yang lain-akan disikapi sebagai sesuatu yang sekular yang tidak pernah disakralkan setingkat agama. Namun, pada saat yang sama, nilai-nilai Islam substansial harus mencerahkan kehidupan, termasuk politik, sehingga kehidupan benar-benar akan bermakna.

Pola keberagamaan semacam itu akhirnya akan menumbuhkan pluralisme. Menurut Binder dan Kurzman, liberal Islam amat menghargai keragaman pendapat terhadap suatu pendapat atau suatu penafsiran, sebagaimana aliran ini amat mendukung multi-religious co-existence, termasuk kerukunan serta kerja sama umat manusia dalam keragamannya masing-masing. Model ini akan membuat agama Islam terhindar dari bentuk-bentuk keberangan agama, yang dilihat dari sisi manapun merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran hakiki agama. Justru yang ingin diantar dan dikembangkan Islam liberal adalah agama perdamaian yang dampak positifnya bukan hanya dapat dinikmati kelompok umat Islam semata, tetapi oleh seluruh umat manusia serta seluruh alam dan seisinya.

***
TERLEPAS dari setuju atau tidak atas paparan itu, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa Islam-sama dengan agama-agama lain-bertujuan untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Pada sisi ini umat Islam, bersama umat-umat lain, perlu menunjukkan kepada dunia sikap dan komitmen itu, serta merealisasikannya dalam kehidupan konkret. Sebab Tuhan tidak pernah menilai manusia dari sisi simbol dan retorika, apalagi klaim-klaim sepihak. Justru yang dinilai Tuhan adalah hal yang bersifat praksis; membumikan nilai-nilai agama ke dalam kesejarahan umat. Tanpa itu, kita mungkin tidak berhak lagi sebagai umat beragama dan kekasih Tuhan, zat yang amat mencintai keadilan, kederajatan, dan kepengasihan. Bahkan, bisa jadi kita (na`uzubillah) adalah orang-orang yang menjadikan Tuhan sebagai budak yang diperintah sesuka hati kita.

Konkretnya, keberagamaan yang perlu dikembangkan pascafundamentalisme adalah keberagamaan yang sarat dengan nuansa liberalisme. Melalui keberagamaan ini, kedamaian diharapkan membumi secara kukuh di jagad raya. Namun, bersamaan dengan itu, segala kondisi yang favorable perlu pula dikembangkan. Misalnya, pendidikan sebagai pengembangan wawasan dan pembentukan moralitas perlu diarahkan kepada suasana yang lebih dialogis sehingga melahirkan manusia-manusia yang lebih santun; bukan generasi-generasi baru yang lebih beringas. Demikian pula, suatu tatanan dunia yang lebih adil perlu menjadi kepedulian seluruh pemimpin bangsa dunia. Sebab, ketimpangan yang terjadi saat ini merupakan salah satu faktor utama penyebab berkembangnya kekerasan dalam beragam bentuknya, termasuk kekerasan atas nama agama melalui politisasi agama dan seumpamanya.[]

Abd A’la. Pemerhati sosial-keagamaan.

26/04/2002 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq