Islam Menjadi Keras karena Politik kekuasaan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
05/01/2006

Diskusi Terorisme Dan Masa Depan Islam Islam Menjadi Keras karena Politik kekuasaan

Oleh Zufriendi

Pemahaman mereka yang konservatif inilah yang melahirkan radikalisme (dalam arti gerakan). Mereka mempunyai agenda politik dan pemahaman yang tinggi terhadap perkembangan dunia Islam terkini.

Pada tanggal 27 Desember 2005 diselenggarakan diskusi panel dengan tema “Terorisme Dan Masa Depan Islam” yang berlangsung di Aula UIKA Bogor. Acara yang sejatinya manghadirkan 4 pembicara ini, hanya dihadiri 3 orang pembicara. Pembicara utama dari MUI tidak dapat hadir yaitu Ma’ruf Amin dikarenakan sesuatu hal.

Tampil sebagai pembicara pertama Maemunah Sa’diyah. Dalam pemaparan kurang lebih 15 menit, Dosen UIKA ini menyampaikan 3 asumsi mengapa terorisme terjadi. Pertama, beliau mengatakan bahwa terdapat konspirasi besar yang ingin menghancurkan islam dari dalam. Kedua, terdapat teks-teks dalam Al-Quran dan hadis yang dijadikan sandaran atau boleh dikatakan menganjurkan umat Islam untuk melakukan kekerasan. Dan ketiga, sesuai kapasitasnya sebagai Dosen PAI UIKA, beliau melihat ada yang salah dalam proses pendidikan kita sehingga berpeluang melahirkan agen-agen teroris. Muncul pertanyaan, benarkah sistem pendidikan Islam telah melahirkan terorisme?

Itulah salah satu pertanyaan kritis Dosen UIKA ini dalam diskusi Lingkar Studi Agama dan Kemanusiaan (LISAN) yang bekerjasama dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat UIKA, Yayasan TIFA dan Jaringan Islam Liberal (JIL). Lebih dari itu, beliau menegaskan bahwa tidak ada materi sedikitpun dari kurikulum pendidikan nasional yang mengarahkan peserta didik kearah terorisme. Tetapi, bagaimana dengan kurikulum pendidikan pesantren, sayangnya beliau tidak menjelaskan.

Jika dilihat dari tujuannya, pendidikan tidak memungkinkan melahirkan terorisme, karena tujuan pendidikan pada intinya adalah penghambaan totalitas kepada Allah SWT. Begitu halnya dengan materi pendidikan baik dalam jenjang pendidikan umum maupun agama, hampir semuanya tidak ditemukan materi-materi yang berpotensi melahirkan teroris. Namun permasalahan utamanya menurutnya terlelak pada proses pembelajaran. Berbicara proses pembelajaran di dalamnya berbicara metodologi, lamanya belajar dll. Metodologi yang dilakukan selama ini, menurutnya, lebih kepada kognitif minded bukan implementatif minded, sehingga aspek afeksi dari nilai-nilai agama nyaris tidak tersentuh ditambah lagi dengan waktu belajar agama yang sangat singkat. Hal inilah yang mungkin menjadi celah bagi masuknya pengaruh-pengaruh yang mengatasnamakan Islam tanpa mengalami proses filterisasi terlebih dahulu.

Diskusi ini terasa semakin menarik ketika pembicara kedua, Syu’bah Asa menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, terorisme, dalam hal ini yang dilakukan dengan cara bom bunuh diri itu, walaupun tidak menguntungkan, ternyata pernah terjadi dalam sejarah Islam. Kelompok ini dikenal dengan sebutan kaum hasyasyin, sempalan dari sekelompok syiah batiniah. Kalau di barat, mereka menyebutnya the assasin (pembunuh), namun aliran ini tidak diakui sebagai aliran syiah yang benar.

Lantas, sejarah Islam mana yang membenarkan fenomena ini? Ternyata terdapat dalil yang mengatakan itu. Menurut sejarah, dulu ada seorang sahabat bersama Nabi berada di tepi medan tempur. Kemudian ia bertanya “ya Rasul, kalau aku pergi ke medan tempur dan aku gugur, apakah aku masuk surga?” Nabi menjawab, “Ya”. Lalu ia melompat ke kuda dan pergi ke pertempuran dan ia pun mati.

Lebih lanjut Syu’bah Asa mengatakan terdapat dua opsi mengenai cerita tersebut. Pertama, aksi yang dilakukan sahabat Nabi itu adalah bagian dari taktik bunuh diri saja sedangkan opsi yang kedua menyatakan “tidak demikian”, karena ia masih berpeluang untuk hidup. Lebih tegas lagi ia katakan bahwa, kalau masih berpeluang hidup, bukan bunuh diri namanya. “Aksi bom bunuh diri tidak ada pembenarannya dalam Islam, percaya sama saya”, katanya. Pertanyaannya kemudian, apakah fenomena bunuh diri seperti yang banyak terjadi di Palestina tersebut dapat dikatakan jihad? Bagaimana bunuh diri (sambil membunuh banyak orang lain) bisa dibenarkan dalam agama yang begitu menghargai hidup? Lihat Al-Qur,an surat 5:32. Nabi Muhammad juga mengajarkan bahwa barang siapa yang membunuh diri sendiri akan merasakan kesakitan pembunuhan itu terus menerus sampai hari kiamat.  Tetapi Yusuf Qordawi, ulama kenamaan yang banyak dibaca literaturnya, bisa menerima bom bunuh diri model Palestina dan memutuskannya sebagai bukan tindakan intihar (mencari mati) melainkan istisyhad (mencari syahid).  Namun Qordawi sebetulnya bisa menerima istisyhad model bom itu hanya untuk dipraktekkan di Israel sebagai bentuk balasan atas intimidasi terhadap warga Palestina. 

Syu’bah Asa berkeyakinan bahwa jumlah pelaku-pelaku terorisme ini sangat kecil. Namun beliau juga menegaskan bahwa sumber masalah mereka, akar-akarnya tak lain agama juga. Maka biarlah kalangan ulama yang memutuskan tindakan.

Lain halnya dengan pembicara ketiga, Abdul Moqsith Ghazali. Dia mengatakan bahwa terorisme menurut pemahaman para pelaku bom bunuh diri itu ada 2, yaitu terorisme Sayyi’ah dan Hasanah. Sayyi’ah menurut mereka adalah AS, karena AS telah membumihanguskan Afganistan dan Irak. Sedangkan hasanah adalah mereka. Artinya, terorisme yang baik, karena mereka memiliki argumen keagamaan yang kuat. Lantas, kenapa harus Indonesia yang menjadi target mereka?

MUI dalam hal ini menegaskan bahwa Indonesia adalah Darus Salam bukan Darul Harb (medan pertempuran). Lalu, bagaimana dengan pendapat para teroris itu? Mereka berpendapat bahwa Indonesia adalah Darul Harb. Lantas, bagaimana dengan korban yang nyatanya umat muslim juga menjadi korban. Menurut mereka, itu adalah konsekuensi sehingga umat muslim harus dikorbankan.

Moqsith juga menambahkan, Azahari dan kawan-kawan misalnya, mereka bukan orang-orang bodoh. Azahari yang bergelar doktor setidaknya memiliki standar berpikir rasional. Nah, pernyataan ini jelas berbeda dengan pernyataan Syu’bah Asa yang mengatakan mereka itu bodoh, gelar doktor tidak menjadi jaminan.

Lebih lanjut, Moqsith menekankan, yang harus dibahas adalah dari mana mereka mendapat pemahaman seperti itu? Menurut Moqsith, pemahaman ini mereka dapatkan sekembalinya mereka dari Afganistan. Mereka mengalami proses cuci otak yang teramat dahsyat, sehingga mereka yang dalam hal ini disebut-sebut sebagai kalangan fundamentalis radikal wajib hukumnya untuk melakukan terorisme dalam mencapai tujuannya. Pemahaman mereka yang konservatif inilah melahirkan radikalisme (dalam arti gerakan). Mereka mempunyai agenda politik dan pemahaman yang tinggi terhadap perkembangan dunia Islam terkini. Parahnya agenda tersebut seakan-akan harus diimplementasikan dalam bentuk kekerasan.

Namun ditegaskan olehnya bahwa tidak semua konservatisme melahirkan radikalisme. Pesantren adalah konservatif namun tidak punya agenda politik untuk membuat kekerasan atau bisa jadi karena pemahaman tentang perkembangan dunia Islam yang tidak mendalam. Sehingga dapat dipastikan sebetulnya bahwa konservatisme Pesantren tidak akan melahirkan radikalisme. Menurut Moqsith, terorisme Islam terjadi karena agenda politik dan ideologi.

Di samping itu juga, aktivis JIL ini menyampaikan, kesalahan mereka adalah ketika menterjemahkan pemahaman fundamental dalam islam. Mereka lebih mengedepankan syariat seperti potong tangan, pengharusan pemakaian jilbab, hukum rajam dll. Seharusnya yang dikedepankan adalah maqashidu al-syariat atau tujuan utama syariat.

Menilik akar kekerasan dalam Islam sebetulnya dapat dilihat dalam rentetan peperangan seperti perang Siffin, perang jamal dan perang antara kelompok Mu’tazilah dan Sunni. Pada kedua perang sebelumnya, perang Siffin dan Jamal terjadi lebih karena politik kekuasaan.  Sedangkan pada perang antara Mu’tazilah dan Sunni terjadi karena ideologi dan kesalahan penafsiran. Menurutnya yang harus ditolak adalah penggunaan cara kekerasan dalam penyebaram Islam. Baik yang bentuknya tidak dengan pengeboman seperti apa yang dilakukan terhadap Ahmadiyah apalagi dengan pengeboman, jelas keduanya tidak dapat dibenarkan dalam Islam.

Acara ini dihadiri lebih dari 100 orang yang berasal baik dari elemen kampus UIKA sendiri maupun umum. Syu’bah dan Moqsith berkeyakinan, Islam ke depan adalah Islam yang akan mengarah kepada Islam liberal karena umat Islam akan semakin sadar bahwa Indonesia adalah negara plural sehingga secara gradual akan mempengaruhi paradigma pemikiran yang selama ini sulit mencair.

Bagaimana dengan Maemunah Sa’diyah yang konon juga teman akrab Moqsith? Ternyata ia memiliki pendapat berbeda. Dia berpendapat bahwa Islam ke depan ialah bukan Islam liberal, Islam fundamentalis radikal atau apalah namanya, melainkan Islam saja. Artinya, Islam yang dibawa oleh Rasullullah.[]

05/01/2006 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Konsep “keras” dan “kekuasaan” harus diperjelas pengertiannya. Kalau Anda menggunakan terminologi “keras” dan “kekuasaan” dengan konsep Islam, sosialisme, teologi, matrialistisme dan hedonisme, jawabannya masing-masing berbeda. Jadi jangan asal melontarkan pengertian yang multi penafsiran.
-----

Posted by Hamonangan D  on  01/10  at  10:01 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq