Islamisme, PKS, dan Representasi Politik Perempuan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
09/07/2006

Islamisme, PKS, dan Representasi Politik Perempuan

Oleh Burhanuddin

Partisipasi politik perempuan yang relatif tinggi di PKS, tidak diikuti representasi politik yang sepadan. Kuatnya pengaruh paham Islamic exceptionalism bahwa tempat yang layak bagi mar’ah al-shalihah (perempuan salehah) adalah rumah, segregasi seksual dalam ruang publik seperti tergambarkan dalam pembentukan Departemen Kewanitaan di DPP/DPW/DPC PKS, dan afirmasi positif para konstituen PKS atas agenda-agenda Islamis, diyakini sebagai penyebab rendahnya representasi politik perempuan di partai dakwah ini.

Islamisme adalah sebentuk keyakinan yang memosisikan Islam sebagai sistem kehidupan yang total dan integral dalam seluruh aras kehidupan, termasuk politik, sebagai subordinasi dari agama (Roy, 1993; Kramer, 1997; Monshipuri, 1998). Dalam konteks ini, meminjam istilah Gellner (1981: 1), “specificity” Islam dipahami sebagai blueprint atau cetak-biru dari sebuah tertib sosial. Dus, konsep al-diin wa al-daulah dan dakwah adalah password kaum Islamis untuk masuk ke dalam pelbagai aktivisme politik.

Akan tetapi, Islamisme tidaklah tunggal. International Crisis Group (ICG) membaginya dalam tiga model, yaitu gerakan politik Islamis (al-harakât al-islamiyya al-siyassiyya), gerakan misionaris Islamis (al-da’wa), dan kelompok Islamis jihadis. Meskipun Islamisme memiliki model, karakteristik, modus operandi, aktor, dan sistem organisasi yang beraneka ragam, Islamisme memiliki kultur politik yang seragam. Salah satu indikator yang biasa dipakai para sarjana untuk mengukur Islamisme adalah bagaimana mereka “memandang” dan memperlakukan perempuan. Inilah yang dipercaya dapat memicu sikap diskriminatif terhadap perempuan dalam ranah politik. 

Item-item yang menjelaskan kultur Islamis terhadap perempuan tersebut biasanya diderivasi dari pandangan tertentu atas konsepsi teologis Islam menyangkut halal-tidaknya perempuan menjadi pemimpin politik, boleh-tidaknya berpoligami, hak waris anak perempuan, boleh-tidaknya perempuan menjadi hakim, muhrim, dan lain-lain. Padahal, David Hill (1981: 168) menemukan urgensi kultur politik yang mendukung partisipasi dan representasi politik perempuan. Kultur politik yang tidak reseptif biasa disebut Page dan Cleland sebagai “fundamentalisme kultural” yang dipercaya sebagai hambatan utama bagi tampilnya perempuan dalam ruang publik.

Secara kuantitatif, Inglehart dan Norris (2003) mengafirmasinya dalam temuan trans-surveinya, bahwa negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim cenderung tidak egaliter terhadap perempuan, dan karenanya, menghalangi akses perempuan pada kekuasaan dan pembuatan keputusan.

Studi Kasus PKS

Saya akan menggunakan penjelasan teoretis di atas untuk melihat partisipasi dan representasi politik perempuan di PKS. Partai yang bersinar terang dalam Pemilu 2004 ini biasa dikelompokkan sebagai kelompok “Islamis moderat” (Collins, 2004; ICG, 2005). Disebut moderat, karena PKS menerima demokrasi dan bekerja dalam kerangka konstitusional dan non-kekerasan demi memperoleh simpati masyarakat. 

Kontribusi perempuan dalam mendongkrak suara partai ini sangat signifikan. Dengan memakai pembedaan kategoris Kaase dan Marsh (1979: 41) tentang partisipasi politik konvensional dan non-konvensional, terlihat betapa krusialnya peran perempuan dalam perjalanan politik PKS. Sensus BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa 51% penduduk Indonesia adalah perempuan. Bisa diasumsikan bahwa dari 84% voter turnout Pemilu 2004, perempuan mungkin saja sedikit lebih banyak ketimbang laki-laki. Setahu saya, KPU tidak menyediakan komposisi voter turnout berdasarkan gender karena adanya prinsip kerahasiaan dalam pemilu.

Data menunjukkan, PKS berhasil meningkatkan suara secara signifikan dari 1,4% dalam Pemilu 1999 menjadi 7,3% popular vote dalam Pemilu 2004. PKS berhasil merebut 45 kursi dari 500 kursi yang tersedia di parlemen pusat. Menurut Tifatul Sembiring, Presiden PKS, partainya memiliki 8,3 juta konstituen dan 500 ribu kader aktif di seluruh nusantara (Republika, 17/10/2004). Sedangkan, menurut Hidayat Nurwahid, mantan Presiden PKS, 57% dari kader aktif PKS adalah perempuan.

Secara konvensional, partisipasi politik kader perempuan PKS jelas tidak bisa dipungkiri, mengingat mereka tidak saja aktif di hari H pencoblosan, tapi juga berkampanye secara massif untuk menarik pemilih baru sesuai target yang ditentukan (Yusuf, 2003: 41). Meminjam bahasa Nursanita Nasution, anggota parlemen perempuan dari PKS, setiap kader perempuan sadar betapa krusialnya waktu lima menit di dalam bilik suara, dan karenanya mereka diniscayakan untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih partai dakwah ini (Media Indonesia, 5/2/2004).

Secara non-konvensional, kader perempuan PKS juga aktif melakukan mobilisasi konsensus dan aksi dalam pelbagai demonstrasi yang rajin digelar oleh partai. Sistem sel kaderisasi partai melalui usrah juga tidak bisa mengetepikan peran kader perempuan. Intinya, sebagaimana Hamas dan partai-partai Islamis di seantero jagat, PKS banyak berhutang budi kepada perempuan.

Lantas bagaimana PKS “menghargai” mereka? Bagaimana representasi perempuan dalam pembuatan keputusan di internal partai? Serta bagaimana pula perwakilan perempuan PKS di parlemen? Harus diakui, daftar caleg perempuan yang diajukan PKS dalam pemilu 2004 mencapai 40,3%, jauh melebihi kuota 30%. Namun hanya 10,41% caleg perempuannya yang melenggang ke Senayan. Prosentase yang kecil ini menempatkan PKS dalam satu kelompok dengan PPP (5,26%) dan PBB (0%) yang paling sedikit menyumbang komposisi anggota DPR dari jenis kelamin perempuan. Uniknya, ketiga partai ini adalah sama-sama Islamis.

Secara internal, hanya 4 perempuan yang menjadi pengurus DPP PKS dari total sekitar 56 pengurus. Itupun keempat-empatnya dikumpulkan di Departemen Kewanitaan. Majelis Syuro PKS yang powerful itu juga didominasi laki-laki. Setahu saya, hanya Aan Rohanah—yang nota bene istri tokoh penting di partai, KH Abdul Hasib Hasan—yang nongol di lembaga superbody itu. Komposisi perempuan di lembaga-lembaga internal partai seperti Dewan Syariah, Majelis Pertimbangan Partai, Dewan Pakar, pengurus DPW-DPW, dan lain-lain tidak jauh beda alias rata-rata representasi mereka di bawah 10%.

Representasi yang minim ini akan semakin berkurang jika kita pakai parameter kaum feminis yang tidak hanya menuntut aktivis untuk “standing for”, tapi (lebih daripada itu) juga harus “acting for” perempuan sebagai sebuah kelompok sosial. Anggota DPR dari PKS, Yoyoh Yusroh, yang aktif menggalang dukungan bagi lolosnya RUU APP misalnya, jelas tidak bisa disebut “perempuan” menurut kategori di atas, meski secara hakiki dia perempuan.

Demikianlah, partisipasi politik perempuan yang relatif tinggi di PKS, tidak diikuti representasi politik yang sepadan. Kuatnya pengaruh paham Islamic exceptionalism bahwa tempat yang layak bagi mar’ah al-shalihah (perempuan salehah) adalah rumah, segregasi seksual dalam ruang publik seperti tergambarkan dalam pembentukan Departemen Kewanitaan di DPP/DPW/DPC PKS, dan afirmasi positif para konstituen PKS atas agenda-agenda Islamis, diyakini sebagai penyebab rendahnya representasi politik perempuan di partai dakwah ini.

Survei PPIM, Freedom Institute dan JIL (2004) menyatakan bahwa 7 dari 10 responden yang mengaku konstituen yang terpilih secara random mendukung agenda-agenda Islamis, termasuk yang tidak ramah terhadap perempuan. Jadi, rendahnya representasi politik perempuan di PKS tidak lebih merupakan potret dari menguatnya kultur Islamis di kalangan konstituennya sendiri. []

09/07/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

PKS, dengan strategi dakwahya,menuai barisan massa yang cukup fantastis sehingga mengancam eksistensi partai2 besar yang lebih dulu dapat rangking.kemenangan kader pks dalam beberapa pilkada semakin menunjukkan kekuatannya ditingkatan basis daerah.namun apa sebenarnya orientasi pks?terus terang saya non parpol, tapi adik laki2 saya setelah masuk pks,kok jadi berjenggot dan celananya diatas mata kaki (congklang)?

Posted by noerma  on  02/23  at  02:22 PM

Subhanallah, baru saja saya mau menulis tentang hal yang hampir sama dengan Mas tentang hal yang sama. Eh, sudah didahulukan. Yang mau saya tulis sederhana, tentang janji politik PKS saat MUkernas di Makassar yang menyatakan menyiapkan 200 kader perempuan untuk posisi legislatif dalam rangka memenuhi 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Namun, apakah kedua ratus perempuan ini benar-benar kader yang siap atau hanya untuk memenuhi syarat politik saja? Dan apakah kader-kader perempuan yang siap ini benar-benar mengerti permasalahan perempuan dan siap memperjuangkannya? Karena hanya langkah yang sia-sia saja jika terdapat 200 kader perempuan yang tidak berperspektif perempuan. Bukankah tujuan dari keterwakilan 30% adalah mewakili “suara hati” para perempuan. Sebagai partai politik yang sudah muali besar, setidaknya PKS mulai melihat semuanya dari segala sisi.

Posted by Pipit  on  01/10  at  09:28 AM

memang asyik dalam beropini dan beretorika,…
tapi lebih asyik dalam beramal nyata.

karena pikiran manusia yang terbatas, maka suatu saat akan datang masa jenuh juga. dimana manusia rindu akan Tuhannya.

eiiits, jangan lupa.
kita tidak tahu sampai kapan kita hidup di dunia.
buat hidup ini bermakna dan tidak sia-sia.

Semoga Allah memberi anda petunjuk.

Posted by toni  on  12/13  at  09:19 AM

Saudaraku semuanya semoga diberi rahmat dan hidayahnya, sehingga dapat bersama-sama berjuang dengan tauladan yang baik. Sehingga ummat dan bangsa ini dapat bangkit dari keterpurukan. Tingkatkan Taqwa, Akhlak dan ukhuwah sesama kita. Agar Allah SWT berkenan melindungi kita, keluarga dan sahabat dari api neraka.
-----

Posted by Asabila  on  04/05  at  10:04 AM

burhanuddin sang penulis artikel dan bung andi kenapa harus berpusing ria menghadapi permasalahan ini disatu sisi burhanuddin terkesan anti PKS secara tidak langsung kalau melihat dari bahasa yang dipaparkan sedangkan bagi bung andi terkesan terkesan pro terhadap PKS jadi terkesan agak kurang objektiv, yang memiliki argumentasi dan analisa yang tinggi malah tidak memberikan solusi (jun). no comment!!!

Posted by ahmad  on  01/17  at  09:01 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq