JIL Sering Disalahpahami Daripada Dimengerti - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
18/04/2006

JIL Sering Disalahpahami Daripada Dimengerti

Oleh Umdah El-Baroroh

Paham fundamentalisme ini selalu berlawanan dengan gagasan pembaruan dan liberalisme. Karena fundamentalisme menolak adanya otonomi manusia. “Yang ada hanyalah otonomi dan hak Tuhan”, ucap Tolleng. “Maka tidak jarang aliran ini selalu menolak sistem negara demokratik.” “Demokrasi bagi mereka bukanlah bagian syariah Tuhan.

“Meski umur Jaringan Islam Liberal telah berjalan lima tahun, tapi JIL masih sering disalahpahami dari pada dimengerti. Bahkan tak jarang ide-ide JIL juga dianggap berbahaya.” Demikian papar salah seorang anggota DPD, Ichsan Loulembah pada diskusi Ulang Tahun JIL 22/4 lalu. Anggapan seperti ini menurut anggota Indonesian Institute ini, karena JIL mengkristalkan sekaligus mengikat diskursus tentang pembaruan Islam yang berkembang sejak 70-an tentang Islam dan demokrasi, Islam dan hak-hak perempuan, Islam dan kebebasan individu, Islam dan sekularisme, Islam dan pluralisme, ke dalam satu kata, yaitu liberal. Istilah itu bagi sebagian orang dianggap berbahaya dan mengancam. “Sehingga keberadaan JIL harus diwaspadai”, sambungnya.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rahman Tolleng, mantan aktivis Forum Demokrasi, dan Nirwan Dewanto, sastrawan dan editor jurnal Kalam yang hadir sebagai nara sumber pada diskusi yang bertema “Pembaruan Islam di Indonesia: Pandangan Akademisi dan LSM”. Keduanya menganggap bahwa tema yang menjadi konsentasi JIL sebenarnya merupakan perdebatan klasik yang telah diangkat oleh para pembaharu muslim Indonesia. Polemik tentang negara Islam, sekularisme atau pluralisme sudah muncul sejak tahun 30-an hingga 70-an. Bedanya Jaringan Islam Liberal sekarang ini lebih lantang untuk menyuarakannya.

“Perdebatan tentang negara sekuler dan hubungan agama dengan negara, sudah ramai diperbincangkan oleh Sukarno, Natsir, maupun Agus Salim”, jelas Tolleng. Namun demikian hingga sekarang perdebatan itu dinilai Tolleng belum final. Tak disangkal perdebatan semacam itu sempat menimbulkan polarisasi yang tajam di masyarakat. Karena perdebatan tersebut hanya berkutat pada Islam dan nasionalisme. “Tapi ketika JIL muncul, polarisasi itu menjadi berkurang”, ucapnya menilai. “Karena JIL mampu merubah peta serta isu perdebatan tersebut dan masuk dengan cara yang lebih halus”, tambahnya.

Kemampuan itu bagi Nirwan berangkat dari latar belakang aktivis JIL yang rata-rata berbasiskan pesantren salaf. Menurutnya lingkungan pesantren adalah lingkungan transnasional. “Karena pesantren memungkinkan para santri untuk mengkaji Islam dari sumber aslinya, yaitu Arab.” Dalam lingkungan yang tradisional itu mereka mempelajari fiqh, ushul fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Selain itu pesantren juga sebagai lingkungan solidaritas yang memungkinkan para santri memahami umat dan menerima tradisi lokal. “Tapi pada kesempatan yang sama mereka juga mengikuti perkembangan dunia modern”, tegas Nirwan. “Persentuhan antara modernitas dan lingkungan tradisional pesantren semacam inilah yang membuat teman-teman pesantren menjadi liberal”, tandasnya.

Fenomena di atas menurut Nirwan tak diketemukan selain di lingkungan pesantren. Namun anggapan Nirwan dinilai oleh Saiful Mujani, direktur Lembaga Survei Indonesia, yang memberikan tanggapannya pada sesi tanya jawab, sebagai idealisasi pesantren yang berlebihan. Pasalnya, fenomena pesantren sekarang justru sebaliknya. Dalam beberapa hal, pesantren menjadi semacam wadah untuk mereproduksi gagasan mainstrem yang berlawanan dengan rasionalisme. Dengan nada kelakar, lebih lanjut Mujani berasumsi bahwa para aktivis JIL ini adalah anak haram pesantren.

Menanggapi asumsi Mujani, Nirwan mengusulkan adanya pembaharuan sistem pendidikan pesantren agar tetap mampu untuk berinteraksi dengan dunia modern.

Terlepas dari persoalan pesantren, tema pembaruan agama di Indonesia dinilai oleh ketiga pembicara mutlak dibutuhkan. Pasalnya, fenomena fundamentalisme agama itu semakin menggejala di Indoenesia. Paham fundamentalisme ini selalu berlawanan dengan gagasan pembaruan dan liberalisme. Karena fundamentalisme menolak adanya otonomi manusia. “Yang ada hanyalah otonomi dan hak Tuhan”, ucap Tolleng. “Maka tidak jarang aliran ini selalu menolak sistem negara demokratik.” “Demokrasi bagi mereka bukanlah bagian syariah Tuhan. “Demokrasi hanyalah bikinan manusia”, paparnya menirukan argumen kaum fundamentalis.

Meskipun Tolleng setuju dengan pendapat JIL yang mengakui otonomi manusia, tapi ia tak bisa menampik bahwa pandangan fundamentalislah yang menjadi paham mainstream. “Pengaruh mainstream ini bukan saja terasa pada masyarakat beragama, tapi pelan-pelan juga sudah memengaruhi sikap legislasi dalam memunculkna undang-undang”, tegasnya. Sederet Undang-Undang ia sebut dalam menunjukkan fenomena itu. “UU Aceh, UU Sisdiknas, UU Perkawinan, dan yang terbaru RUU APP adalah buktinya.”

Anehnya lagi pansus pengesahan RUU APP ini diketuai oleh partai demokrat, partai sekuler milik SBY. Keanehan ini semakin sulit dijelaskan oleh Tolleng ketika dihubungkan dengan hasil pemilu ‘55, ‘99, hingga ‘04. Hasil pemilu tersebut menurutnya telah mengokohkan wacana sekularisme di Indonesia. “Tapi nyatanya Indonesia adalah benar apa yang dikatakan oleh almarhum Munawir Syadzali, Indonesia bukanlah negara sekuler, tapi bukan pula negara teokrasi.” “Yang tepat, Indonesia adalah negara sekuler yang pelan-pelan dirasuki oleh syariat Islam.” “Contradictio in terminis”, tegasnya yang disambut tepuk tangan hadirin. Sayangnya fenomena ini bagi sebagian politisi dianggap remeh dan tak mengkhawatirkan, timpal Ichsan. Sehingga munculnya gairah syariatisasi itu ditangkap oleh politisi sebagai cara merespon konstituen partai semata.

Di sinilah dibutuhkan komunikasi yang baik antara pembaharu agama dengan publik. Dalam penilaian Nirwan, gerakan pembaruan sebagaimana yang diusung oleh JIL dan kawan-kawan belum bisa menjalin komunikasi yang baik dengan publik. Akibatnya pencapaian pembaruan Islam di Indonesia tidak berbanding lurus dengan sikap keberagamaan publik. Karena sikap keberagamaan publik mengarah pada ritualisme yang semakin kuat.

“Oleh karenanya JIL sudah saatnya memikirkan cara komunikasi dengan publik yang semakin baik.” “Ibarat orang jualan, sebuah ideologi tidaklah penting.” “Yang penting adalah bagaimana kita bisa menyampaikan gagasan kita dengan baik sehingga bisa laku”, kelakarnya.[]

18/04/2006 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

JIl memang tidak mempunyai ketegasan, plinplan. JIL penganutnya kebanyakan Islam tapi apanya menyimpang sekali. Bersifat liberal. Kalau JIL memang baik seharusnya jangan menjelek-jelekkan Islam radikal, karena Islam tuh bersaudara. Ingat, bung Ulil, ideologi itu penting, karena sebagai landasan asas pemikiran kita. JIL kalau kamu memang sadar pasti kamu mengerti apa hukum jika sesama muslim mengolok-olok saudara muslim yang lain. Padahal umat Islam adalah satu tubuh. Camkan itu!
-----

Posted by alexjoyo  on  05/13  at  03:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq