Jurus-jurus Metodologis Melawan Pemuja Teks - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
05/01/2010

Jurus-jurus Metodologis Melawan Pemuja Teks Liputan Diskusi Buku Metodologi Studi Alquran

Oleh Hatim Gazali

Setiap penafsiran terhadap Alqur’an yang hanya berhenti pada teks, berarti telah menyembah teks itu sendiri. Ini penting disampaikan karena akhir-akhir ini banyak terjadi salah pengertian terhadap tafsir klasik, seperti pengertian hifdz al-dîn. Makna hifdz al-dîn dalam konsep al-Ghazali dan al-Juwaini adalah adanya larangan untuk keluar dari suatu agama. Akan tetapi, disini perlu ada pemaknaan baru dengan tetap meminjam bahasa lama. Karena itulah, saya sepakat memberikan pemaknaan baru terhadap hifdz al-dîn dengan kebebasan beragama. 

05/01/2010 18:01 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (31)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 2 halaman 1 2 >

Penafsiran tentu berdasarkan textual al-Qur’an, namun dalam menafsirkan juga harus memiliki ilmu-ilmu lain yang memadai.. Jika hanya mengandalkan logika saja, yang terjadi seperti yang dikatakan oleh penulis.. Kebebasan beragama.. bagi siapa? Ummat Islam? Jika untuk seluruh manusia (dalam arti ada yang masih belum mengenal Islam) memang manusia diberi kebebasan memilih.. namun saat hidayah telah datang, bukan lagi kebebasan beragama yang bisa diagung-agungkan..
Lantas bagaimana dengan surat Al-Kafiruun?

#1. Dikirim oleh Arip Ihsan Harahap  pada  08/01   10:50 AM

Di antara tanda2 mengagungkan Allah adalah mengagungkan ilmu n ulama/ahlinya (hadis). mengagungkan ulama saja bisa disebut sebagai bg dari mengAgungkan Allah, nah bagaimana kalau kita mengagungkan Kalam Allah (teks Alqur’an) tidak disebut sebagai mengAgungkan Allah..?

#2. Dikirim oleh sali hamdan  pada  15/01   01:43 AM

Kebebasan beragama saya simpulkan sebagai kebebasan untuk memanifestasikan keyakinan beragama. Misalnya, dalam Islam ada rukun Islam. Kebebasan yang saya pahami adalah saya bebas untuk berpuasa atau tidak berpuasa, dengan konsekuensi mendapatkan ancaman hukuman karena melakukan perbuatan dosa. Di sinilah makna kebebasan itu. Juga kebebasan itu adalah kebebasan untuk menafsirkan makna ayat-ayat al-qur’an di luar yang sudah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Karena apa? karena Allah SWT itu Mahakaya, Mahapencipta. Jika kita hanya berpegang pada tafsir-tafsir jaman dahulu, maka sama saja kita mengingkari ke-Mahakaya-an dan Mahapencipta-an Allah SWT. Dan ingat, melakukan penafsiran baru bukan berarti mengingkari penafsiran yang lama, tetapi memperkaya jumlah tafsiran yang telah ada.

#3. Dikirim oleh muhammad hakim  pada  20/01   02:24 AM

Di sinilah pentingnya, konteks. Pada saat itu diperlukan banyak Islam untuk berperang melawan musuh-musuh Islam; jadi lebih mirip dengan wajib militer. Dengan demikian, orang Islam yang keluar dari Islam pada saat itu sangat melemahkan pasukan Islam (desersi) dan karena ditakutkan akan menjadi pelopor bagi orang-orang Islam lainnya, hukuman mati pantas diberikan kepada orang-orang yang keluar dari Islam. Sekarang? Kalau ada orang yang keluar dari Islam, ya, silakan saja. Bahkan akan jauh lebih menguntungkan bagi umat manusia di muka bumi ini jika orang-orang yang keluar dari Islam di sekitar Kali Code yang kemudian mengikuti keyakinan Romo Mangun lebih bersih, lebih berwawasan lingkungan daripada mereka tetap dalam Islam sementara kondisi kehdiupan mereka dibiarkan menjadi salah satu “ciri” Islam. Jadi konteks kebebasan beragama Islam harus diberlakukan saat ini. Alangkah indahnya Bumi Nusantara ini jika “kali code” tumbuh di mana-mana.

#4. Dikirim oleh zulkifli harahap  pada  20/01   10:13 AM

Kebabasan agama saya lebih memaknai sebagai kebebasan memaknai teks agama bukan kebebasan memeluk agama. harus di bedakan antara teks itu sendiri dan tafsir dalam satu pihak. teks suci tafsir profan.

#5. Dikirim oleh Ali  pada  27/01   07:11 AM

Lihat orang dari lingkungan sekitarnya, jika seseorang bergaul dengan pembuat minyak wangi maka orang tersebut akan ikut wangi, dan jika orang tersebut bergaul dengan tukang terasi maka orang tersebut akan bau terasi. Berdasarkan statement narasumber diatas, narasumber lebih senang bergaul dengan orang berjiwa western tanpa melakukan kritik yang berarti, sehingga pemikiran narasumber lebih condong ke “western"an, seolah - olah orang yang berseberangan pendapat dengan narasumber hanyalah orang2 yang kaku, orang yang tidak menggunakan akalnya untuk digunakan menggali makna Al Qur’an. Diatas langit masih ada langit bung, jangan pernah menganggap remeh, orang yang berseberangan pendapat dengan anda, bukankah statement anda lebih sering terpatahkan, bahkan hanya oleh seorang bocah SMP.

#6. Dikirim oleh syamilbasayevsiregar  pada  28/01   05:13 PM

Perkataan: “Setiap penafsiran terhadap Alqur’an yang hanya berhenti pada teks, berarti telah menyembah teks itu sendiri” ini asalnya pemahaman Syi’ah Bathiniyah, dan kemudian dijadikan sebagai konsep “Hermeneutika”. Jadi perkataan di atas hanyalah tiruan daripada konsep Syi’ah Bathiniyah, hal ini telang diungkapkan secara ilmiah oleh Bapak DR.Kamaluddin Nurdin (dosen aqidah filsafat di universitas sains islam malaysia),,, simak 30/01/2010, Eramuslim.com

#7. Dikirim oleh marzuki rahman  pada  30/01   10:32 PM

Manusia itu makhluk unggulan Tuhan yang dibaiat menjadi khalifahnya dibumi,dia diberi kebebasan untuk berpikir yang diharapkan melahirkan konsep amal saleh. sementara lingkungan eksternal berubah begitu cepatnya akibat dari perkembangan teknologi informasi. Saya bertanya kepada pemuja teks agama: Dulu mana ada antara teks al-qur’an dengan realitas jahiliyah arab? Tentu Jahiliyah arab lebih dulu ada ketimbang teks al-qur’an kan ? Apakah sama antara realitas jahiliyah arab dengan konsep akhlakul karimah atau dalam bahasa modern disebut soft skill? Tidak samakan ? Kebenaran itu datangnya darimana saja, tapi yang jelas dari akal sehat dan hati yang bersih manusia, bisa di barat dan bisa di nusantara ini kan ? Tapi yang jelas Bangsa arab belum menjadi yang nomor satu bahkan ada indikasi kalah dengan saudara Cina kan? Sayang ajaran tekstual yang wahabi itu sebenarnya bukan wujud dari arabisasi, jelas tak akan mampu mencerahkan ummat manusia. Ada seorang siswa SMP disarankan memakai jilbab dengan imbalan diberi nilai 9 untuk mata pelajaran agama, dia dengan enteng menjawab jilbab bukan syarat utama masuk sorga pak guru, yang dinilai itu akhlaknya bukan pakaiannya sambil ngeloyor meninggalkan gurunya.

#8. Dikirim oleh Abdurrahman Chudlori  pada  07/02   12:23 PM

pembaharuan dalam tubuh islam selalu saja di anggap sebagai pola,carapikir dan gaya barat (western), ini selalu menjadi senjata beberapa saudara kita yg berseberangan pendapat ttg revitalisasi islam. tidak ada sesuatu yg baru yg bisa mereka sampaikan, cukup menyedihkan menurut saya, sebab tidak ada sebuah pembelaan argumen yg kuat yg dapat mematahkan argumen revivalis (mujadid) selama ini, kalau boleh saya membagi pengalaman debat saya dgn sodara kita yg dari HTI, tergambar jelas bahwa mereka hanya bermodalkan argumen emosi belaka, padahal di awal debat sudah saya katakan: `coba yakinkan saya`...dan debat itu tidak berakhir apa karena argumen mereka bahkan tidak mampu untuk menjawab permasalahan yg menjadi halangan untuk kaum muslimin sekarang ini

terbukti kalau pendekatan emosional saja tidak dapat menjadi solusi buat permasalahan muslimin sekarang, apalagi kalau saya lihat bukan saja solusi nya yg hanya bersifat emosional, tapi juga banyak sodara2 kita yg mempercayai dan memahami sesuatu tapi sangat miskin pengetahuannya tentang segala sesuatu yg mereka percayai dan pahami itu

pun masalah teks ini,seperti yg sudah2, banyak sodara2 kita yg kurang `mengetahui` bagai mana cara untuk mensikapinya. Teks agama, sebagai sebuah realita tentunya tidak terlepas dari faktor2 kesejarahan maupun agenda2 yg menyertainya, disinilah perlunya kita untuk berfikir secara jernih memilah2 apa yg memang menjadi dan mendasari tujuan sebuah teks

#9. Dikirim oleh firdaus  pada  09/02   12:15 PM

Jika memang kita sdh merasa tidak yakin dengan isi dan tafsir Al Quran lebih baik keluar dan mencari agama yang menurut keyakinanan kita lebih baik, daripada harus saling berdebat bersilangsengketa dan saling menyalahkan, diantara sesama penganut agama yang sama.
Apa yang sebetulnya kita cari dalam beragama!! kalau hanya untuk sekedar berdebat mari kita sama-sama berdebat nanti di neraka jahanam.

#10. Dikirim oleh ikhsan  pada  17/02   05:01 PM

perbedaan itu harus selalu ada. karena kebenaran bukan muncul hari ini(di surat annaba’ dijelaskan dengan perbedan pendapat ini). dan perlu ditekankan lagi bahwa kebenaran bukan suatu hal yang mutlak. agama merupakan sesuatu yang perlu diuji kebenarannya sehingga menelaah dan berfikir tentang agamanya itu sangatlah penting. didalam alqur’an juga dijelaskan bahwa alqur’an akan selalu ada sampai hari kiamat, bukan bentuknya ataupun bacaannya yang kekal tetapi kebenarannya atau pembuktiannya yang kekal yang akan mengiri keberadaan bumi ini sampai nanti.

#11. Dikirim oleh ikhul  pada  19/02   06:54 PM

akal manusia jauh sangat terbatas di banding dengan allah rasanya sangat sombong kalau merasa mampu mengakali ayat, teks sehingga artinga menjadi terbalik yang haram dijadikan halal dan yang halal jadi haram rasanya tidak ada ayat yang menghendaki bahwa yang cerdas itu mampu merubah makna sehingga tidak berbeda dengan dengan golongan yang menghedaki kehancuran meski selalu ditolak bahwa niatnya tidak seperti itu bisa dibayangkan apa yang akan terjadi beberapa abad mendatang bukan hanya agama islam tapi agama lain pun akan menjadi posil yang akan ada adalah pilsapat dan logika yang tapernah bertepi semua bernilai materi dan atheis astagfiruloh halaazim inikah tujuan membangun logika

#12. Dikirim oleh asep  pada  21/02   12:24 AM

Hifdz = menjaga/melindungi
Hifdz ad diin = menjaga/melindungi agama
ente orang JIL “katanya” agamamu Islam kan? Jaga dong agamamu, masa’ sih mau2nya pikiran ente disetir sama orientalis. Dimana kebebasan berpikirmu? Jangan jadi orang yang pikiran dan imannya dijajah orang kafir…
Dalam Islam ga ada tempat orang liberal. Agama lain itu sadar bahwa agama mereka isinya kepalsuan belaka, kitabnya aja diubah seenak perut. Mereka iri melihat Islam punya kebanggaan orisinalitas AlQuran dan syariatnya. Mereka ga punya kebanggaan, that’s way mereka berusaha menghancurkan Islam dari orang2nya sendiri. Menanamkan keraguan dengan tujuan supaya agama Islam terpuruk seperti mereka punya. Siapa yang mau menghancurkan AlQuran maka dia akan berhadapan dengan Yang Punya yaitu Allah SWT. Sebagaimana yang terjadi pada Kabah, tidak ada perlawanan apapun dari penduduk Mekkah tapi Alloh yang menjaganya.
Kami muslimin bertugas menjaga agama dengan ibadah dan muamalah, sedangkan penjagaan terhadap Al Quran adalah kekuasaan Alloh. Siapa yang memusuhi ajaran Nabi Ibrahim dan nabi Muhammad maka mereka adalah musuh Alloh, para malaikat, dan kaum muslim semuanya. Tidak ada tempat sembunyi.
Apapun makar yang dilakukan orang kafir, sesungguhnya Alloh sebaik2 pembuat makar. Bukankah tidak ada yg luput dr kematian? Mati syahid atau hidup mulia. Orang kafir? mereka takut mati. JIL? takut mati ga ya.....

#13. Dikirim oleh rabiah  pada  24/02   07:37 AM

keikhlasan dalam beragama akan memberikan ketenangan kepada penganutnya.kegagalan memahami agama dengan baik akan menatijahkan kecelaruan akal dan gagal memahami hakikat hidup. penulis cuba menayangkan bahawa dirinya dan pengikut setia JIL adalah para mujadid tetapi ternyata gagal mempengaruhi pemikir yang berakal jernih. penafsiran Hifz al-Din sebagai kebebasan beragama tidak menggambarkan anda faham terhadap apa yang dikritik. jika ilmu anda belum cukup sila studi dan lakukan research yang mencukupi untuk memahami perkara yang paling asas. petikan kata daripada Hasan Hanafi menampakkan kemunduran anda dalan menghujahkan fakta dan mencari sokongan (quotation) kerana dia itu bukanlah diterima dengan baik oleh kebanyakan muslim. studilah Islam dengan ikhlas untuk memahaminya sebetulnya. bukan studi itu untuk menunjukkan kehebatan diri atau merancukan pemikiran para muslim yang lemah akalnya. sekian wassalam

#14. Dikirim oleh saidi  pada  24/02   10:15 PM

Memang tidak salah para ulama dahulu memaknai “hifdzuddin” dengan menjaga agar tidak keluar dari agama (barisan Muhammad), tapi ketika masuk ke era globalisasi ada yang memaksanai sebagai “kebebasan beragama” itu sangat cerdas dan strategis dalam membangun masyarakat aman dan nyaman. Karena konversi agama tak memiliki nilai strategis bagi masyarakat sekarang, dsn justru dengan memelihara agar kebebasan beragama terjaga akan menjadi modal dasar masyarakat manusia membangun kehidupan yang berkeadilan dan berkeadaban. Bukan Nabi sudah mencontohkan mendakwahkan Islam dengan kredo tak ada paksaan dalam beragama? Wahai ummat Islam belajarlah dari kearifan Google, dia akan memberi informasi kepada siapa saja yang meminta pertolongan, tak perduli apa dia Islam atau ateis sekalipun. Itulah wujud karya akal manusia yang mengejawantahkan kebebasan, kebesaran dan keagungan Tuhan.

#15. Dikirim oleh abdurrahman chudlori  pada  04/03   07:51 PM

@all : benar-benar perdebatan tak ada ujung pangkalnya, di Katolik, ada otoritas tunggal untuk masalah keimanan yaitu gereja katolik dengan Paus-nya, sehingga umatnya tidak terombang ambingkan. Dalam tulisan ini sy jadi tahu ternyata anda benar2 sangat rumit dan perdebatan tak ada ujung pangkalnya dan tidak ada otoritas tunggalnya.

#16. Dikirim oleh Gusti Raden Mangunwijoyo  pada  04/03   11:13 PM

Dalam hal penafsiran penerapan hukum, saya teringat pada dialog antara Nabi Musa a.s dan seorang hamba Allah SWT (yang sering dirujuk sebagai Nabi Chidir), karena Allah SWT telah memerintahkan kepada Nabi Musa a.s untuk berguru kepadanya. Di dalam menafsirkan perbuatan “gurunya” itu, Nabi Musa a.s terheran-heran, karena standar penafsirannya bertentangan dengan sang guru. Dari ayat qur’an dalam surat al kahfi itu, kita tahu bahwa ada tiga perbuatan yang dipertanyakan oleh Nabi Musa a.s kepada gurunya. Yang menurut Nabi Musa a.s menyalahi hukum/tata aturan yang ada dalam pemahamannya. Termasuk waktu membunuh anak kecil. Musa a.s protes, tetapi gurunya mengatakan bahwa semoga Allah SWT menggantikan anak itu dengan yang lebih sholeh. Inilah contoh bahwa penafsiran tidak selalu tunggal. Dalam melihat kasus yang sama, bisa jadi muncul perbedaan penafsiran. Bahkan manusia sekelas Nabi Musa a.s pun penafsirannya dan penerapan pemahamannya ternyata masih belum tepat dalam ketiga kasus yang dijumpai dalam perjalanan bersama gurunya itu.

Lantas, salahkah tafsir yang berbeda? Ingatkah kita bahwa Bilal membaca qur’an menurut asbabun nuzulnya, bukan menurut urutannya? Kalau dianggap akal itu terbatas, lantas bagaimanakah penafsiran dari para ahli yang selalu dirujuk oleh mereka yang memuja tafsir tunggal? Bukankah akal para ustadz mereka juga terbatas? Mampukah akal makhluk (malaikat, rasul, nabi, wali, sahabat para rasul, ustadz, kiyai, ulama, dsb.) menafsirkan semua makna yang dimaksudkan oleh Allah SWT Sang Mahapencipta dalam setiap firmannya?

Sebenarnya apa yang ditulis oleh para anggota JIL bukanlah sebuah harga mati dalam penafsiran. Kita bisa menerimanya, atau bisa menolaknya. Tapi janganlah kita mencerca mereka. Karena kita tidak tahu siapa yang lebih mengena pada saat itu dengan makna yang terkandung dalam firman Allah SWT. Karena kalau hanya ada satu penafsiran, maka tidak akan ada berbagai macam buku tafsir, dan tidak akan ada berbagai macam madzhab. Mencarai kebenaran yang paling benar? Kalau menurut qur’an nanti di akhirat akan diberi tahu jawaban dari apa yang kita pertentangkan di dunia ini. Kalau saya lebih memilih mencari titik persamaannya. Masalah pertentangan, nanti saja Allah SWT yang memutuskannya. Wallahu a’lam.

#17. Dikirim oleh muhammad hakim  pada  06/03   02:08 AM

Memang banyak yang harus dikaji lagi, dengan pemahaman baru, seperti diskriminasi terhadap wanita dan hukum waris, selain hukum rajam yang jahiliyah.

#18. Dikirim oleh myra  pada  06/03   10:11 AM

umat masih berjuang dengan cucuran airmata untuk melanjutkan hidupnya sehari hari,terlalu banyak wacana yang sama sekali tidak menyentuh permasalahan umat,hanya perdebatan yang tdak ada ujung pangkal dan hanya pamer kecerdasan, opo gunane...........................

#19. Dikirim oleh nasir alhamdal  pada  07/03   11:31 AM

keinginan untuk membuat rakyat /marakat maju secara ekonomi dan teknologi adalah hak semua orang tapi semua itu ada aturan dan kaidah bukan karena napsu karena merasa diberi kelebihan kecerdasan dari yang lain dan agama itu memberi aturan dari ketiadaan aturan bukan membalikan lagi dari keberadaan aturan menjadi ketiadaan aturan karena memuja kecerdasan dan menggugat yang maha cerdas karena kalau tidak digugat takut tidak digolangkan dari bagian orang cerdas

#20. Dikirim oleh asep  pada  14/03   10:12 PM
Halaman 1 dari 2 halaman 1 2 >

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq