Kebanyakan Muslimah di Prancis tak Berjilbab - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
26/01/2004

Andree Feillard: Kebanyakan Muslimah di Prancis tak Berjilbab

Oleh Redaksi

Kebijakan pemerintah Prancis yang melarang penggunaan simbol-simbol agama di sekolahan negeri menuai kontroversi dan gelombang aksi yang luas di beberapa belahan dunia Islam, termasuk Indonesia. Padahal negara ini sudah lama menerapkan sekularisme dalam kebijakan publik warganya. Dengan menerapkan kebijakan itu, pemerintah Prancis berharap ada pembaruan di kalangan semua warga Prancis, baik yang imigran maupun yang pribumi.

Untuk mengetahui seputar kontroversi jilbab di Prancis dan kebijakan negara tersebut dalam hal keagamaan, Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Syafiq Hasyim (SH), Wakil Direktur International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) yang baru datang dari Paris untuk melihat secara langsung suasana di negara Menara Eiffel ini, dan Andree Feillard (AF), ahli Indonesia asal Prancis yang bekerja pada Centre National de la Recherche Scientifiquej dan penulis buku NU vis a vis Negara. Wawancara berlangsung hari Kamis (22/01/04) di Jakarta. 

ULIL ABSHAR ABDALLA: Mas Syafiq, bisa Anda ceritakan bagaimana pengamatan Anda tentang kontroversi jilbab di Prancis?

SH: Hal yang menarik yang bisa saya ungkapkan, mungkin ketika saya bertemu dengan beberapa orang komunitas muslim di sana. Mereka rata-rata tidak keberatan dengan penerapan UU pelarangan simbol-simbol agama itu. Bukan hanya jilbab, tapi termasuk di dalamnya simbol agama manapun, baik Kristen, Yahudi, maupun Islam. Di sana, saya bertemu dengan mufti besar di Marseille bernama Benceikh, kemudian juga bertemu asisten imam besar Masjid di Paris, Jalil Bubakar. Saya juga berkunjung di Lile, dan bertemu komunitas muslim di sana.

ULIL: Bagaimana komentar tokoh-tokoh Islam itu?

SH: Yang mereka katakan tidak hanya menyangkut soal jilbab, tapi juga yang berkaitan dengan problem laicite atau sekularisme. Bagi mereka, persoalan jilbab itu hanyalah persoalan kecil dan tidak usah dibesar-besarkan. Sebab bagi mereka jilbab bukan hal yang prinsip dalam Islam. Tentang sekularisme mereka mengatakan, umat Islam justru diuntungkan dengan sekularisme di sana.

ULIL: Anda bisa terangkan, apa yang dimaksud sekularisme di sini?

SH: Perlu kita ketahui, sekularisme di Prancis mungkin agak berbeda dengan sekularisme di tempat lain, baik di Inggris maupun di Amerika. Ada wilayah-wilayah di mana sekularisme dalam pengertian pemisahan agama dan negara sangat ketat dilaksanakan, seperti di rumah sakit dan di sekolah. Di situ orang tidak boleh membawa simbol agama apa saja. Hal ini dilakukan pemerintah Prancis untuk mendukung kebijakan yang mereka sebut sebagai integration system atau sistem integrasi, di mana komunitas agama tidak boleh hidup secara sendiri-sendiri, dan tidak dibolehkan menonjolkan simbol-simbol agama mereka. Artinya, mereka tidak diperkenankan mengukuhkan komunitarianisme. Jadi, mereka harus berbaur satu sama lain dalam konteks berbangsa.

ULIL: Tadi Anda menyebut sekularisme menguntungkan komunitas Islam di sana. Maksudnya?

SH: Itu dikarenakan mereka dipimpin oleh sistem hukum mayoritas yang mendukung sekularisme. Kalau mereka tidak menerima laicite atau sekularisme, ada kemungkinan masyarakat Prancis akan mengadopsi sistem hukum Katolik, karena agama mayoritas di sana adalah Katolik.

ULIL: Saya beralih ke Andree. Menurut Anda, apa dasar pemikiran pelarangan simbol-simbol agama di Prancis?

AF: Saya kira, untuk memahami dasar pemikiran pelarangan itu, kita mesti kembali kepada konteks Prancis yang sangat khusus, di mana Prancis mengalami banyak perang antar agama. Karena pengalaman pahit itu, di Prancis diterapkan pemisahan yang jelas antara agama dan negara sejak tahun 1905. Waktu itu, tidak ada imigran Islam sama sekali. Jadi waktu itu, yang terkena getah undang-undang pemisahan antara agama dan negara adalah Katolik. Dan ketika itu, kelompok minoritas yang ada di Prancis hanya mereka yang beragama Protestan dan Yahudi. Baru sejak tahun 1950-an berdatangan imigran dari negara muslim. Jadi pengalaman sekularisme ini memang sudah dilalui masyarakat Katolik, Protestan, dan Yahudi, untuk membantu pembauran antar kelompok-kelompok masyarakat. Itu yang pertama, yakni konteks sejarah yang berbeda dengan negara lain.

Kedua, di Prancis itu berbeda dengan di Amerika dan Inggris, kita tidak menganut sistem komunitarianisme. Dalam hal ini, kebijakan Prancis lebih banyak kesamaannya dengan Indonesia, di mana terdapat banyak kelompok masyarakat, dan ada semacam Pancasila untuk mempersatukan masyarakat yang berbeda-beda itu. Kita membutuhkan pembauran.

Di sini mesti diterangkan juga, bahwa pelarangan simbol-simbol agama seperti jilbab, salib, dan kippa Yahudi hanya diterapkan dalam sekolahan negeri dari SD sampai SMA. Sementara di perguruan tinggi dan di luar itu, mau memakai apa saja dibolehkan. Jadi saya kira, Pemerintah Prancis menginginkan agar masyarakat yang sangat majemuk, dengan imigran baru yang terkadang susah menyesuaikan diri dengan masyarakat yang serba asing bagi mereka, paling sedikit belajar menjadi satu dalam sekolah.

Jadi, andai saya mengajar di sekolah SMA, lalu melihat anak yang berjilbab, sementara saya orang Katolik, saya tidak perlu memberi nilai lain karena dia beragama Islam. Atau, agar anak-anak yang berkippa tidak enggan bergaul dengan anak yang berjilbab. Jadi kita menjadikan sekolah sebagai tempat pembauran, karena yang diperlukan dalam masyarakat majemuk adalah bagaimana anak-anak muda itu belajar untuk hidup rukun dan damai.

ULIL: Di Indonesia juga ada kebijakan pembauran etnis yang disebut dengan politik asimilasi. Orang Cina dianjurkan untuk tidak hidup di enclave-enclave yang terpisah. Apa seperti itu yang diinginkan Prancis?

AF: Ya saya kira hampir sama, meskipun Prancis menerapkannya di tempat yang lebih kecil daripada di Indonesia. Di Indonesia, orang Cina diperintahkan untuk mengganti nama.

ULIL: Apa orang Islam di sana tidak dianjurkan mengganti nama?

AF: Tidak ada. Tapi misalkan ada teman Amerika yang ingin menjadi orang Prancis, dia hanya ditawarkan untuk mengubah namanya kalau mau. Tapi, tidak ada keharusan untuk itu. Jadi Prancis itu banyak kesamaan dengan Indonesia. Saya kira, orang Inggris dan Amerika akan sulit mengerti persoalan Prancis, karena mereka menggunakan sistem yang sangat berbeda, sebagaimana Malaysia menerapkan sistem yang sangat berbeda dengan Indonesia. Di Malaysia, orang India, Melayu, dan Cina, hidup secara terpisah-pisah. Kita tidak akan pernah menerapkan sistem seperti itu, tetapi menerapkan sebaliknya (sistem integrasi).

ULIL: Tadi Anda mengatakan bahwa pemisahan agama dengan kehidupan publik di Prancis terkait dengan sejarah Prancis yang khas, dan itu berlaku untuk semua agama. Nah, sekarang ketika sejarah beragama di sana mulai beragam dengan datangnya imigran muslim, kenapa sejarah perang agama masih saja menghantui Prancis?

AF: Saya kira, kenangan pahit itu dalam bayangan orang Prancis masih ada dan membekas kuat. Tapi sebetulnya, dalam kehidupan yang praktis selama ini tidak pernah ada masalah dengan orang-orang yang berjilbab. Perlu diingat juga, sampai tahun 1991, di Indonesia larangan berjilbab di sekolah negeri masih berlaku. Tapi saya kira, di Prancis sekarang muncul masalah yang lebih baru, karena mencuatnya potensi ketegangan karena peristiwa-peristiwa di luar dunia yang ikut mempengaruhi hubungan antaragama di Prancis.

ULIL: Misalnya tragedi 11 September?

AF: Ya, tragedi 11 September ataupun konflik Palestina-Israel. Kita punya komunitas Yahudi yang cukup besar. Jangan lupa, Prancis adalah negeri yang memberi perlindungan kepada orang-orang yang tertindas dalam soal hak asasi manusia, termasuk Yahudi. Jadi, kita punya orang Yahudi yang terusir dari Mesir pada akhir tahun 1950-an dan mereka lalu datang ke Prancis. Jadi masyarakat kita sangat majemuk, dan untuk itu, peristiwa yang terjadi di luar Prancis, seperti 11 September, konflik Palestina-Israel, diharapkan tidak dibawa-bawa sampai ke sekolah. Mesti juga diingat, kemarin ada satu SMA Yahudi yang dibakar di Prancis. Sekarang sudah ada ketegangan antaragama yang dua tahun lalu tidak ada. Jadi ini satu fenomena baru.

ULIL: Andree, bagaimana mendudukkan hubungan antara sekularisme, demokrasi, dan kebebasan dalam mengekspresikan agama?

AF: Mesti diingat, di Prancis hubungan itu dapat dilihat di luar sekolah. Di luar sekolah, boleh mengekspresikan apa saja. Jadi, negara memberi pendidikan kepada anak-anak yang hidup di Prancis dengan nilai-nilai Prancis, dan dengan keutamaan pemikiran Prancis, yakni proteksi kepada anak-anak muslim supaya mendapat pendidikan yang setara, tanpa diskriminasi, dan agar guru-guru tidak membeda-bedakan antara anak muslim, Yahudi atau lainnya. Jadi, yang ada dalam pemikiran pemerintah adalah bagaimana memberi chance atau kesempatan yang persis sama bagi masyarakat imigran untuk mengecap pendidikan seperti anak-anak Prancis yang lain, tanpa diskriminasi, sekaligus mendidik mereka hidup dalam kedamaian. Itu yang utama.

Jadi, pemikiran ini tidak bisa dianggap anti demokrasi, karena kita punya masalah antarkomunitas yang mesti diatasi dengan pendidikan hidup berdampingan secara damai. Itu yang saya kira penting, dan kalau tidak ada masalah di luar, mungkin kebijakan ini juga tidak akan seperti itu.

ULIL: Anda bisa perkirakan berapa persen orang muslim di Prancis yang memakai jilbab?

AF: Statistiknya menunjukkan sekitar 80% perempuan Islam di Prancis tidak memakai jilbab. Jadi, yang memakai hanya 20%. Tadi Mas Syafiq Hasyim juga bercerita bahwa sebetulnya sebagian tokoh Islam di sana mengatakan bahwa persoalan jilbab bukanlah masalah prinsip dalam beragama di sana. Tapi, kalau ada yang bertanya itu soal kebudayaan atau bukan kebudayaan, Pemerintah Prancis tidak mengambil sikap. Apakah jilbab itu harus atau tidak, itu urusan agama. Tapi pemerintah juga bertanya kepada para pemimpin agama Islam di Prancis, dan mereka mengatakan bahwa persoalan itu tidak menjadi masalah, dan yang terpenting adalah bagaimana terjadinya integrasi antara anak-anak muslim di sana dengan masyarakat yang majemuk, sembari menganjurkan anak-anak tersebut untuk tidak berjilabab. Jadi, bagi mereka, itu bukan masalah yang fundamental seperti yang diceritakan Syafiq tadi. Saya juga tahu, persoalan keharusan dan ketidakharusan berjilbab itu adalah masalah interpretasi, dan memang ada orang yang memikirkan lain (berjilbab tidak wajib).

ULIL: Andree, seorang penulis di Arab bernama Adonis, pernah menulis kolom yang menaggapi kontroversi jilbab ini. Dia mengatakan bahwa di kalangan umat Islam kultus penampakan itu sangat menonjol. Jadi penampakan lahir itu menjadi sangat penting dalam beragama, bahkan sampai mengabaikan hal lain yang lebih prinsip. Tadi Anda menyebut kalau kebijakan Prancis itu juga bertujuan untuk melindungi anak-anak muslim supaya statusnya setara dengan orang Prancis sendiri. Nah, sejauh mana tujuan itu tercapai?

AF: Saya kira cukup tercapai, dalam artian banyak anak-anak muslim yang dapat menikmati sekolah negeri yang bermutu tinggi dan mereka kemudian dapat pekerjaan yang luar biasa di Prancis. Saya punya teman Prancis yang anaknya beragama Katolik dan akan menikah dengan orang Tunis beragama Islam. Mereka bertemu di sekolah Prancis yang tertinggi, jurusan politeknik, dan sudah bekerja di kantor perbankan penting di Paris. Sekarang mereka akan melangsungkan pernikahan, dan itu tidak menjadi masalah.

ULIL: Biasakah Anda membandingkan sistem pembauran di Prancis dengan di Amerika dan Ingggis. Di Inggris, ada banyak imigran dari Pakistan, Bangladesh, dan juga Afrika. Apa dampak perbedaan ini dalam kehidupan sehari-hari; apakah di Inggris orang Islam lebih terpisah sementara di Prancis lebih berbaur dengan masyarakat Prancis atau bagaimana?

AF: Ya, di Prancis jelas lebih berbaur. Kita selalu membandingkan antara sistem kita dengan sistem Inggris, sebagaimana orang Indonesia membandingkan sistem pembauran etnis dan agamanya dengan sistem Malaysia. Sistem Prancis lebih banyak seperti Indonesia, dan Malaysia lebih mirip dengan Inggris. Di siaran televisi Prancis, kita melihat bagaimana komentar mengenai masyarakat Pakistan di Inggris yang kurang berbaur dengan masyarakat Inggris sendiri. Mereka sangat terpisah, mendatangkan suami dari Pakistan langsung, dan mereka tidak mau bercampur dengan orang Inggris. Di Prancis, kondisinya tidak seperti itu dan jauh berbeda. Misalnya, orang Marokko sudah terbiasa dengan kebudayaan Prancis. Mereka relatif tidak terpisah dengan masyarakat Prancis sendiri. Jadi di sekolah pun tidak pernah ada pemikiran tentang siapa teman mereka; muslim atau Yahudi. Pokoknya mereka adalah sesama warga Prancis.[]

26/01/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (39)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Assalamualaikum wr.wb.

Sebelumnya MAAF,,apabila ada perkataan saya yang kurang berkenan bagi para pembaca.Saya tidak maksud menggurui,tetapi hanya sekedar menyatakan pendapat.Saya hanyalah manusia biasa yg tidak luput dari kesalahan dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Komentar saya,, Masalah kewajiban BerJilbab untuk wanita, saya kira sudah jelas di terangkan didalam Al-Quran..masalah pemakaian/batas2nya,cari sendiri dari berbagai sumber2 yang TERPERCAYA.jgn dari sembarang sumber,,klo baca buku liat2 dulu pengarangnya(biografinya,backgroundnya,dll) Bagi Anda-anda semua yang berpikir bahwa (tak berjilbab itu tidak apa2) Jelas,anda sudah bertentangan dengan apa yg ada didalam Al-Quran..dan ajaran Agama Islam.Klo ingin membahas/melihat Ayat-ayat di Al-quran,,jgn mencari yang sesuai dgn keinginan anda pribadi (Bukan disesuaikan dengan pikiran/keinginan, tapi pikiran dan keinginanlah yang harus disesuaikan dengan Al-Quran), Lihat dari banyaknya sudut pandang seperti(Hadisth, tafsir2,ilmu mantik,ilmu na’uw,ilmu tadjwid,ijhtihad,dll) Jika tetap kokoh ingin bertentangan dengan Al-Quran.. saya sarankan, anda untuk membuat kitab anda sendiri,, atau agama sendiri,,dan tolong jgn bawa-bawa nama “Islam” (sebagai EMBEL-EMBEL) Islam inilah,,Islam itulah,,A-ISLAM-B lah!!,A-B ISLAMlah!! karena bisa merusak Agama “Islam” itu sendiri

Mari kita menjadi “SATU”,,
ISLAM

Posted by Al-vurqan.A  on  03/25  at  12:47 AM

Apabila ada yang memiliki artikel mengenai Jilbab yang ditulis oleh Nurcholish Madjid, sudi kiranya untuk mengirimkan kepada saya melalui alamat email di atas. Kalau tidak salah, tulisannya pernah dimuat di majalah gatra atau tempo (?) sekitar tahun 1991-1992.

terimakasih sekali atas bantuannya.
-----

Posted by sasti astari  on  02/23  at  04:02 AM

membaca soal jilbab selalu menarik. Saya masih penasaran dengan istilah aurat. Kalau aurat= bagian yang merangsang..tentu saja sangat subjektif. Sebab ada saja lelaki yanghanya melihat wajah bisa terangsang, dalam hal demikian wanita harus menutup seluruh wajahnya. Saya suka sekali melihat wanita dengan berbagai model rambut, dan saya tidak bangkit birahi karena melihat rambut wanita ... adanya jilbab membuat saya selalu bertanya2 ... berdosakah saya bila tidak suka melihat wanita berjilbab terutama yang modelkerudung sampai menjulur ke pinggang?

Posted by metal abiz  on  09/22  at  02:09 PM

Saya pernah melihat situs porno produk Malaysia. Saya terkejut dan hampir tidak percaya ternyata wanita2x pelacur di sana banyak yg berjilbab. kalau anda tidak percaya anda buka http://www.google.com dan ketik di kolomnya “skandal melayu”. Ini bisa menjadi bukti nyata bahwa jilbab bukan jaminan wanita muslim itu suci.

Posted by Aswin  on  08/27  at  11:08 AM

gue justru salut sama perancis dengan melarang symbol symbol agama di tempat tempat umum ,karena ada alasan yang lebih dari sekedar itu .semenjak kasus wtc ada sesuatu yang akan di tunggangi dari sekdar jatuhnya wtc.kita sama sama tahulah kalo ada negara yang masih terperangkap dalam wacana post power syndroma.

Posted by lyulka  on  08/20  at  04:09 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq