Kebebasan Itu Bukanlah Hadiah - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
25/05/2003

Dr. Nono Anwar Makarim: Kebebasan Itu Bukanlah Hadiah

Oleh Redaksi

Rezim antikebebasan kini tidak lagi didominasi aparatus negara. Di tengah mengendornya kewibawaan negara pasca-runtuhnya Soeharto, sebagian masyarakat merayakannya secara salah kaprah, yakni mendaulat dirinya sebagai rezim sensor atas elemen masyarakat lainnya. Neraca kebebasan setahun terakhir ini makin carut marut dan terlihat murung manakala ada sebagian masyarakat yang bertindak seolah bagaikan polisi, jaksa dan hakim sekaligus.

Rezim antikebebasan kini tidak lagi didominasi aparatus negara. Di tengah mengendornya kewibawaan negara pasca-runtuhnya Soeharto, sebagian masyarakat merayakannya secara salah kaprah, yakni mendaulat dirinya sebagai rezim sensor atas elemen masyarakat lainnya. Neraca kebebasan setahun terakhir ini makin carut marut dan terlihat murung manakala ada sebagian masyarakat yang bertindak seolah bagaikan polisi, jaksa dan hakim sekaligus. Untuk itulah, pada 20 Mei 2003, Yayasan Aksara yang dipimpin Nono Anwar Makarim mengorganisir pawai kebebasan untuk mereview urgensi kebebasan. Berikut petikan wawancaranya dengan Ulil Abshar-Abdalla pada 22 Mei 2003:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Bagaimana neraca kebebasan satu tahun ini?

NONO ANWAR MAKARIM: Kebebasan selalu pasang surut, sesuai tingkat kesadaran masyarakat. Pada saat masyarakat engah atas kebebasan yang terancam, engah saja belum cukup. Ini karena masih dalam proses berpikir. Seharusnya kita bicara, lalu mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman atas kebebasan itu.

Jadi, kalau masyarakat merespon dengan sikap di atas, sadar kebebasan yang terbatas, berbicara soal kebebasan, dan bertindak mengatasi hambatannya, maka kebebasan akan menjadi pasang dengan sendirinya. Sebab, kebebasan itu bukan sesuatu yang diberikan atau sebuah hadiah. Dia harus kita perjuangkan, dipelihara dan dipertahankan.

ULIL: Bagaimana realitas masyarakat dalam merespon isu kebebasan?

NONO: Yang saya perhatikan, di masyarakat masih saja terdapat pandangan yang mengangap bahwa bila kebebasan seseorang atau sekelompok orang dibatasi, itu tidak menjadi soal, sepanjang belum menimpa dirinya. Ini merupakan akibat atomisme yang ada pada masyarakat.

Artinya, masyarakat Indonesia pada hakikatnya sangat individualistik. Itu bertentangan sekali dengan etos atau retorika yang selalu digembor-gemborkan, seperti “gotong royong,” “tenggang rasa” dan lain-lain. Yang terjadi adalah: “kalau saya tidak membela kepentingan pribadi saya, maka takkan ada yang membela kepentingan saya itu”.

Filosofi itu tampak dalam kasus antri yang tidak tertib. Seolah ada ungkapan, “kalau saya tidak mengurusi diri sendiri, tidak ada yang akan mengurusi diri saya, dan saya mungkin tidak dapat sama sekali”. Padahal, mestinya pepatah itu ada sambungannya: “kalau saya hanya mengejar kepentingan diri saya sendiri, siapa saya?! Atau, what kind of human person am I?

ULIL: Pada saat masyarakat belum peduli, apa alasan Anda menyuarakan masalah kebebasan itu?

NONO: Mereka belum peduli sebelum kebebasan mereka yang terlanggar, dikebiri dan dilangkahi. Memang, saat ini saya belum terkena atau dilanggar kebebasan saya. Akan tetapi, suatu ketika, saya pasti terkena, dan itu telah terbukti dalam sejarah.

Dulu tahun 1960-an, saya berpolemik sengit dengan surat kabar yang tak bersahabat dengan surat kabar saya. Ketika itu, saya menjadi pimpinan redaksi harian Kami. Surat kabar yang berlawanan dengan kita, Soeloeh Indonesia (Soelindo), punya PNI. Polemiknya saat itu soal ideologi, soal inkonsistensi dan lain-lain. Suatu saat, Soelindo tidak terbit. Rupanya, dibredel penguasa. Saya masih ingat, saat itu penguasa yang menjadi komandan daerah Jakarta, ialah Amir Mahmud.

Sebagai reaksi atas pembredelan itu, saya turunkan satu seri editorial yang barangkali kalau ditinjau di zaman sekarang, agak keterlaluan kerasnya. Ketika itu saya memang masih darah muda, belum beristeri dan tak ada risiko apa-apa. Saya dipanggil seorang penguasa yang kekuasaannya luar biasa: Ali Murtopo, dari operasi khusus (opsus).

Saya dipanggil ke jalan Raden Saleh. Saya meninggalkan pesan: “kalau sampai pukul 19.00 malam saya belum pulang, beritahu ibu saya keberadaan saya. Tapi jangan buat dia khawatir.” Tapi rupanya, ketika saya datang, ada suguhan teh. Artinya, pertemuan ini “bersahabat.” Saya masuk dalam sebuah ruangan yang gelap, dan dari belakang meja, dalam suasana hening, tiba-tiba timbul suara: “Teman-teman kamu bingung. Musuhmu kami matikan, kok kamu mencak-mencak?”

Musuh itu koran Soelindo tadi. Memang masyarakat luas cukup tahu polemik kita. Saya lalu menjelaskan duduk perkaranya kepada Jenderal Ali Murtopo yang “sayang” sama saya. Saya katakan: “Pak, apa yang sekarang terjadi pada musuh saya, besok pagi bisa saja terjadi atas kawan saya. Lusa, itu bisa terjadi pada saya”. Kebebasan itu genusnya selalu sama; apakah dia terkena pada orang lain atau diri saya. Dia sama, bila terkurangi atas orang lain, dia akan mengurangi saya juga.

ULIL: Artinya, kalangan yang kebebasannya tidak diberangus sekalipun, mestinya peduli terhadap isu-isu kebebasan?

NONO: Enam tahun kemudian, sejak peristiwa tersebut, ramalan saya persis menjadi kenyataan. Saya terkena sendiri. Harian Kami dibredel.

ULIL: Kasus apa saja, dalam satu tahun terakhir, yang bisa dianggap sebagai ancaman kebebasan terbesar?

NONO: Yang saya amati pertama, yaitu munculnya kekerasan dari permukaan dunia bawah tanah (premanisme) terhadap pemimpin redaksi dan redaktur majalah Tempo. Ini saya anggap luar biasa, karena untuk pertama kalinya, underworld Indonesia melakukan penyerangan di dunia terbuka. Yang kedua, adalah apa yang bung Ulil Abshar-Abdalla alami (Forum Ulama Umat Islam [FUUI], Bandung menjatuhkan fatwa mati pada Ulil karena kasus artikel “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Red). Saya melihat adanya persamaan dalam hal fatwa matinya antara kasus Anda dan Salman Rushdi. Dulu, seorang pengarang yang memenangkan hadiah sastra (Salman Rushdi), dijatuhi fatwa mati oleh Imam Khomeini. Dan sekarang, dalam konteks Indonesia, Anda korbannya, bung Ulil.

Dalam pikiran saya, bagi mereka yang betul-betul percaya (true believer) atas fatwa mati itu dan penganut fanatik orang yang menjatuhkan fatwa mati, bisa saja dia melaksanakan fatwa itu. Mestinya, pemerintah atau aparat yang melihat itu, melakukan tindak pengamanan atau peneguran. Tapi itu tak terjadi. Karena kenyataan itu, kedua kasus ini jadi luar biasa. Kedua-duanya mempunyai dampak publik yang dahsyat.

ULIL: Apa dampaknya itu, menurut Anda?

NONO: Bahwa suatu kekuatan yang tidak punya legitimasi kekuasaan, tanpa proses hukum apapun, bisa menjatuhkan hukuman mati. Itu luar biasa, menurut saya. Betul, mereka seakan memperoleh legitimasi agama. Tapi itu juga tidak sesuai dengan apa yang kita setujui bersama: sebuah konsensus bernegara. Dalam konsensus bernegara itu, ada undang-undang dasarnya, hukumnya, dan lain-lain. Nah, mereka ini keluar dari itu. Kasus ini, menurut saya, merupakan tantangan langsung atas kehidupan bernegara.

ULIL: Acapkali mereka yang terbiasa dikekang sudah ciut nyalinya sebelum memperjuangkan kebebasan?

NONO: Ketakutan orang itulah yang menjadi tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang ingin mengancam kebebasan itu. Saya anjurkan agar secara psikologis, secara batin, kita dapat mengatasi ketakutan itu.

Sebagai manusia biasa, kalau saya merasa terancam, maka tiba-tiba –entah refleks atau hasil pemikiran— saya justru melawan. Sikap itulah yang ingin saya anjurkan pada semua orang. Melawan bisa dalam bahasa yang halus, kasar, bahkan menggunakan eufemisme. Kalau bisa, jangan menggunakan eufemisme.

ULIL: Meski sudah reformasi, masih ada saja hal-hal yang tak bisa kita bicarakan secara bebas. Misalnya sejarah pemberontakan PKI tahun 1965. Sebagai mantan aktivis mahasiswa era 1966, bagaimana tanggapan Anda?

NONO: Beberapa bulan yang lalu, dalam sebuah ceramah umum di ruang Japan Foundation, saya katakan, kalau ingatan kita tidak dibuka, dan tidak diperbincangkan apa yang terjadi pada tahun 1965, maka kita akan cacat terus. Sebab apa? Kita berarti tidak berani menghadapi masa lalu kita.

ULIL: Selain itu, ada beberapa pemikiran agama yang masih tabu untuk dibincangkan secara publik.

NONO: Saya menganjurkan untuk mencari pelarian dalam bahasa. Kalau kita mengungkapkannya secara tulus dan ikhlas, dan dalam bahasa yang santun, saya kira, tak ada satu orang pun yang akan memprotes itu.

ULIL: Dari beberapa kasus yang Anda kemukakan tadi, nampaknya ancaman kebebasan lebih banyak bersumber dari masyarakat ketimbang negara. Apa begitu?

NONO: Betul. Dalam keadaan suatu kekuasaan (negara) lemah, senantiasa ada elemen-elemen lain yang ingin memaksakan kekuasaannya atas individu maupun kelompok lain. Itu adalah dampak kelemahan tatanan negara kita sendiri.

ULIL: Kebebasan pers, menurut sebagian pihak, dianggap kebablasan. Menurut Anda?

NONO: Jawaban saya sederhana saja. Jalurnya sudah ada, yaitu undang-undang pokok pers. Kalau ada pelanggaran, ada hak jawab. Kalau tidak puas dengan hak jawab, bisa mengadu ke pengadilan. Di situlah letaknya suatu tatanan kenegaraan, yaitu ada suatu konsensus. Konsensus itu, betapapun cacatnya, sudah tertuang dalam dasar-dasar negara dan dalam undang-undang. Itu semua ada aturan mainnya. Kalau itu dilanggar, maka keadaan negara menjadi goncang. Kalau kebebasan pers dianggap kebablasan, mestinya berimbas pada kesinambungan negara.

ULIL: Mungkin sebagian orang merasa bahwa aturan main itu belum ditegakkan, sehingga perlu mengambil jalan pintas.

NONO: Jalan pintas itu akan selalu meninggalkan kesenjangan. Dan kalau terlalu sering mengambil jalan pintas, --sejarah bangsa kita adalah sejarah kesenjangan (gap)--, sehingga perkembangannya tidak akan berada pada proses yang wajar. Kalau prosesnya tak wajar, maka kemundurannya juga akan gampang sekali.

Kita jadi tidak bisa membangun fondasi yang kokoh sehingga rumah kita bisa ambruk. Bagi orang yang tidak puas dengan tatanan yang ada, maka ajukan saja ke pengadilan. Kalau juga masih tidak puas, konsensusnya yang mesti kita ubah. Kalau begitu pilihannya, kita harus membuat koalisi besar, mengorbankan waktu, mengorbankan kemapanan kita, untuk sama-sama memikirkan dan menjuangkan perubahan.

ULIL: Bagaimana dampak polemik dalam memajukan kebebasan?

NONO: Polemik itu penting. Akan tetapi yang saya rasakan, masing-masing pihak yang terlibat dalam polemik sudah mengambil posisi yang mati. Mereka bertujuan untuk membela posisi masing-masing. Tak ada harga tawar. Tentu itu boleh-boleh saja. Akan tetapi, kalau polemik terjadi, tentu akan ada hakimnya. Nah, hakimnya adalah masyarakat luas. Tak apa-apa, saya mendukung yang berpendapat bahwa polemik adalah perlu.

ULIL: Terakhir, perdebatan kasus Inul, apakah akan meninggikan atau memerosotkan kualitas polemik dalam era kebebasan?

NONO: Saya suka semboyan yang sering saya gunakan untuk mengundang orang untuk selalu ingat akan terancamnya sisi kebebasan kita. Kebebasan itu bagi saya seperti gas. Dia ada atau tidak ada. Kalau ada, dia mengisi seluruh tabung, tidak bisa dibatas-batasi ke kanan, ke kiri. Yang membatasinya adalah konsensus nasional. Apa itu? Undang-undang.

Sekarang ini, muncul juga perdebatan tentang rancangan undang-undang (RUU) Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Bagi saya, secara refleks itu berarti tudingan atas kaum laki-laki yang liar nafsunya. Laki-laki dinilai masih pada taraf binatang yang tidak mampu mengendalikan nafsu sendiri.

Tudingan itu bukan hanya atas kebinatangan laki-laki, tapi juga terhadap kegagalan agama itu sendiri. Fungsi utama agama, sebagaimana saya terima di madrasah dulunya, adalah untuk memperhalus budi pekerti manusia. Kalau itu tidak terjadi, bagaimana jadinya kita ini? Jadi RUU itu bisa jadi berupa pengakuan, bahwa agama gagal memperhalus budi pekerti manusia. Manusia tetap beringas, bernafsu dan berkobar-kobar. []

25/05/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq