Kekenyalan Syariat - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
16/08/2004

Kekenyalan Syariat

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Berbarengan dengan surutnya konstalasi politik mutakhir Indonesia, surut pula perbincangan dan kontroversi seputar syariat Islam. Namun, bukan berarti ia hilang, melainkan bergeser ke tingkat yang lebih lokal, provinsi, kabupaten, dan instansi-instansi negara yang lebih kecil.

Berbarengan dengan surutnya konstalasi politik mutakhir Indonesia, surut pula perbincangan dan kontroversi seputar syariat Islam. Namun, bukan berarti ia hilang, melainkan bergeser ke tingkat yang lebih lokal, provinsi, kabupaten, dan instansi-instansi negara yang lebih kecil. Meski kontroversi seputar isu ini pada akhirnya terbukti hanya sebagai komoditas politik, sebagian kalangan masih yakin peran formalisasi syariat Islam sebagai nostrum bagi penyelesaian semua persoalan di negeri ini. Oleh kalangan ini, syariat Islam dipahami sebagai hukum yang tak akan pernah aus karena hujan dan tak lekang karena panas. Sakralisasi dan idealisasi terhadap model syariat klasik menjadi langgam dominan dalam benak para tokoh fundamentalis ortodoks Islam.

Tentu tidak akan ada masalah jika implementasi syariat Islam bersendikan prinsip-prinsip utama Islam, seperti keadilan, persamaan, kemaslahatan, kesejahteraan, dan hikmah-kebijaksanaan. Penerapan syariat Islam cukup problematis jika hanya memuat daftar hukum-hukum syariat zaman lampau yang belum tentu cocok untuk diterapkan di Indonesia, seperti ketentuan aurat yang strict, perempuan tidak boleh bekerja di dunia publik, dan sebagainya. Dalam ranah itu, penerapan syariat Islam lebih bersifat simbolis ketimbang substantif. Imbasnya, syariat Islam bertiup pada upaya memperkecil universalitas Islam. Eksperimentasi formalisasi syariat Islam yang sedang berlangsung di Aceh, dan beberapa daerah lain, merupakan etalase telanjang dari simplifikasi dan pembanalan tersebut. Dari penerapan syariat yang demikian, yang akan menjadi korban pokoknya, di samping perempuan, adalah warga negara non-Muslim. Non-Muslim cukup rentan terhadap ketidakadilan dan diskrimnasi, mulai dari diskriminasi teologis hingga eks-komunikasi sosial.

Model syariat yang demikian, alih-alih hendak menyelesaikan masalah, justru merupakan problem yang juga harus dipecahkan. Dalam konteks Indonesia, betapa banyak perempuan-perempuan yang selama ini bekerja di ranah publik akan di-PHK karena dalam syariat klasik konvensional-Timur Tengah, tidak dibolehkan keluar rumah tanpa mahram, dan tidak diperkenankan keluar malam. Non-Muslim, apalagi ketika divonis secara sepihak sebagai kafir harbiy (non-Muslim yang memusihi Islam), akan mendapat ancaman penafian bahkan pembumihangusan.

Pada hemat saya, syariat harus segera dikembalikan pada posisinya awalnya sebagai jalan (wasilah-sarana) yang dhanniy (relatif), bukan sebagai tujuan (ghayat) yang qath’iy (pasti). Sebagai jalan, syariat tidak bisa tunggal. Ibnu ‘Aqil yang dikutip Thabari pernah mengatakan al-din wâhid was syari’ah mukhtalifah (agama itu tunggal, sementara syariat sangat beragam). Maka, sebagai sarana untuk mengantarkan umat manusia kepada tujuan keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, penegakan hak asasi manusia (termasuk hak asasi perempuan), maka syariat Islam akan mengambil pola dan coraknya yang beragam.

Dengan keberagamannya, syariat tidak bisa ditunggalkan untuk kemudian diformalisasi dalam bentuk perundang-undangan. Jalan penunggalan dan formalisasi syariat bukan hanya akan bertentangan dengan watak dasar syariat yang kenyal dan relatif, melainkan juga akan membunuh kehadiran syariat-syariat lain yang divergen pada format dan mekanismenya. Konon, Imam Malik pernah menolak permintaan seorang Khalifah untuk menjadikan karya monumentalnya, al-Muwaththa`, sebagai kitab undang-undang yang mengikat seluruh warga. Kiranya, Imam Malik menyadari sepenuh hati bahwa, formalisasi al-Muwaththa` hanya akan memberangus karya-karya lain yang tidak sejalan dengannya. [Abdul Moqsith Ghazali]

16/08/2004 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (3)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Yang saya tangkap dari tulisan saudara tidak lain menggambarkan kekhawatiran jiwa anda sendiri apabila syariat Islam diterapakan dalam setiap sendi kehidupan ummat yang berujung pada sikap penolakan tanpa serve,apa lagi syariat Islam itu sampai di formalisasi dalam lembaga formal kenegaraan,sehingga pesan dari tulisan saudara sangat kentara sekali untuk membangun opini publik,bahwa Islam bukanlah solusi yang tepat dari permasalahan ummat.

Barang kali kekhawatiran anda itu wajar, para islampobia di seluruh bumi Allah ini mempunyai visi misi yang sama yaitu meghalang-halangi manusia kepada Allah.Dengan bermacam dalih sikap penolakan itu di bungkus dan di kemas sedemikian rupa,,mengatas namakan keadilan,kebebasan,demokrasi dll, yang kesemuanya bertujuan mencitra burukkan Islam di mata ummat.

Saya menggaris bawahi beberapa point dari tulisan saudara yang saya nilai “rancu”, saya sendiri tidak tahu apakah di sebabkan ketidak tahuan saudara tentang agama ini atau memeng ada unsur kesengajaan. 1.tuduhan saudara bahwa emplementasi syariat Islam tidak berjalan dengan bersendikan prinsif utama Islam,keadilan,persamaan,kesejahteraan,hanya karena menurut anda ketentuan hukum syariat Islam yang mengatur masalah aurat sangat strict,adanya larangan perempuan bekerja di ruang publik,diskriminasi perempuan,larangan wanita keluar rumah tanpa muhrim,intimidasi dan ketidak adilan terhadap non muslim.

Anda sendiri saya yakin sangat mengerti apa itu agama.Agama adalah aturan dan hukum dalam seluruh aspek kehidupan orang yang beragama,ketika anda dengan ikhlas memeluk Islam sebagai agama yang anda yakini,tentunya anda juga sadar untuk di tuntut patuh dan tunduk,menerima konsekwensi dari hukum agama itu.

Fenomena menutup ‘aurat bagi laki-laki dan wanita,merupakan bagian dari aturan agama itu sendiri,yang di sikapi bukan dengan hawa nafsu tapi dengan landasan ke-imanan.Dengan ke-imanan lah semua aturan dan hukum agama bisa diterima,bukan kah para wanita “shahabiyah” dahulu ketika perintah menutup aurat dan berhijab turun mereka langsung mengoyak bagian pakaian yang berlebih dan menutupi kepala mereka tanpa protes dan tanya..kenapa dan mengapa!! tanpa ada sidikitpun rasa keterpaksaan apa lagi diskriminasi,ini karena di sikapi dengan kepatuhan dan ke-imanan.

Islam memandang wanita sesuai dengan kodrat kewanitaanya,bukan sebagai laki-laki,secara fisik sangat jelas terlihat perbedaan itu,maka sangat wajar secara tugas dan fungsionalnya terdapat perbedaan antara laki-laki dan wanita.Laki-laki sebagai pelindung,pengayom dan pemimpin dalam rumah tangga,berkewajiban memenuhi dan mencari nafkah keluarga.Secara normal yang tampil di hadapan publik adalah laki-laki,tapi bukan berararti Islam melarang wanita untuk tampil dalam ruang publik asalkan memperhatikan aturan-aturan syar’i semisal menutup aurat,menjaga pandangan,dll.

Larangan wanita keluar tanpa muhrim dalam syariat Islam dan literatul fikih islam adalah bukti kepedulian syariat terhadap wanita itu sendiri,untuk menjaga dan melindungi wanita dari hal yang tidak di ingin kan yang besar kemungkinan terjadi apa bila wanita itu keluar tanpa seorang laki-laki(muhrim).Namun dalam hal ini para ulama berbeda sudut pandang dalam hal larangan wanita keluar tanpa muhrim melihat jarak berpergian dan ‘urf yang berlaku.Sebagian ulama membolehkan wanita keluar tanpa muhrim di sekitar rumah tempat tinggalnya,misalnya kepasar,tugas mengajar,atau keperluan lainya yang tidak memerlukan pengawasan seorang muhrim dan aman dari fitnah dan tentunya juga memperhatikan batasan-batasan syar’i.Sebagian ulama yang lain juga membolehkan wanita keluar rumah tanpa muhrim walaupun itu untuk jarak yang jauh(safar)misalnya menunaikan ibadah haji,ulama yang mewakili pendapat ini adalah Imam Malik,Syafi’i dan ‘Auza’i walaupun mereka berbeda pendapat dalam syarat pembolehannya.diantara syarat bolehnya wanita berpergian untuk haji tanpa muhrim: -adanya orang yang di percaya diantara rombongan baik laki-laki maupun wanita,dan minimal wanita yang “tsiqoh"adalah tiga orang. -Hajinya adalah haji wajib begitu juga umrah-nya,atau wajib karena nazar. -kondisi yang aman dan tidak terjadi pitnah.

2.Tuduhan saudara bahwa non muslim menjadi lahan ke-tidak adilan dan intimidasi apa bila syariat Islam di di formalisasikan adalah tuduhan yang tidak benar dan mendistorsi fakta sejarah.

Semenjak Daulah Islamiyah bediri di Madinah untuk pertama kalinya yang memakai hukum dan perundang-undangan Al-Quran dan Sunnah An-Nabawiyah dan di teruskan masa kepemimpinan Khalifatur Rasyidiin,daulah Ummayyah,Abbasiah,sampai terakhir kekhalifahan Turki Utsmani yang ambruk oleh konspirasi yahudi tahun 1924,Islam tidak pernah melakukan penindasan apapun terhadap non muslim.Sampai dalam peperangan sekalipun Islam melarang membunuh para wanita anak-anak para rahib(pendeta yang beribadah di gereja) orang tua yang tak mampu,melarang merusak tempat-tempat peribadatan,tumbuh-tumbuhan,dan hewan.

Dalam memperlakukan non muslim,Islam mempunyai methode tersendiri yang cukup handal, “kafir dzimmih"adalah komonitas non muslim yang hidup di bawah naungan negara Islam yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan muslim lainnya,mereka berhak mendapat perlindungan dan kebebasan dalam menjalankan ritual agama mereka,mereka di wajibkan membayar pajak (jizyah)sebagai imbalan atas perlindungan negara,mana kala non muslim masuk islam secara otomatis kewajiban pajak gugur dengan sendirinya.Bukankan Rasul pernah mengatakan:"Apabila orang-orang muslim telah menerima jizyah(pajak) maka ketahuilah bahwa mereka mempunyai hak sebagai mana hak seorang muslim dan apa yang ada pada mereka adalah hak amereka sendiri”.Imam Ali juga mengatakan:’sesungguhnya kewajiban jizyah non muslim supaya dara mereka seperti darah muslim dan harta mereka seperti harta muslim”.Sedangkan kafir harbi adalah kafir yang wajib di perangi karena mereka menentang hukum Allah dan menggangu ketenangan muslimin,apa bila mereka menggangu ketenangan muslimim dan menginjak-injak martabat dan kedaulatan sebuah negara islam,mereka wajib di perangi.

Lantas saya ingin bertanya,apakah ini yang saudara katakan ketidak adilan ??saudara pasti tahu benar bagaimana yang terjadi tat kala sebuah peradaban besar selain islam memimpin dunia?peristiwa penghancuran Islam di baghdat oleh kaum mongol(tartar).penyembelihan ribuan muslimin di palestina ketika penaklukan palestina oleh kaum salibis?.penghancuran kekhalifahan islam di turki? Bagaimana Amerika serikat menghancurkan negara yang berdaulat seperti Iraq,memperlakukan tawanan perang?.Hal yang sama yang tidak pernah terjadi dalam rentang sejarah peradaban Islam yang panjang,karena Islam adalah “Rahmatan Lil ‘Alamin”.

3. Perkataan Ibnu Aqil :"Ad-Din wahid was sya-ri’ah mukhtalifah”,maksudnya bukan yang seperti anda pahami,Saya yakin bahwa ungkapannya itu menggambarkan keutuhan inti ajaran dari semua agama samawi yaitu untuk mentauhidkan Allah dengan semata-mata menjaadi kan-Nya sebagai Tuhan yang esa tidak mensekutukan-Nya dengan apapun.Semenjak Nabi Adam AS sampai ke nabi Muhammad SAW inti ajaran samawi itu tidak akan pernah berubah,tapi dalam masalah tekhnis dan mekanisme syariat berbeda-beda sesuai dengan kondisi ummat tertentu.

4. Penolakan Imam Malik untuk menjadikan kitab monumentalnya “Al-muwatta” sebagai kitab undang-undang resmi negara.hal itu di dasari atas pamahaman beliau yang tidak menginginkan fiqih sebagai sebuah proses ijtihadi harus mati dan terhenti di karenakan adanya kewajiban untuk mengikut satu pemahaman fiqih,karena fiqh adalah hasil dari pemahaman dari teks Quran dan Sunnah,dan tentunya hasil pemahaman itu berbeda dan bervariasi sesuai dengan kapasitas dan otoritas ilmu yang di miliki. Mungkin juga Imam Malik merasa berat menanggung tanggung jawab ummat karena kitabnya di jadikan undang-undang negara.

Kiranya tanggapan saya ini dapat memberikan pencerahan bagi saya dan anda sekalian,kebenaran hanya datang dari Allah semata.

Suharmaadi Assumi jl.menteng no 3 A Medan
-----

Posted by Suharmadi Assumi  on  08/22  at  11:08 AM

emang al-muwattha’ kitab suci, tentu pasti tetap ada masalah jika syariat islam dilaksanakan, emang tanpa syariat islam ga banyak masalah. kalau ga mau ada masalah mending ke surga aja

Posted by cherryaugusta  on  08/21  at  09:09 PM

Setelah saya membaca tulisan saudara, saya koq ada pandangan lain. Kalau memang penulis pernah membaca mengenai pemerintahan yang didasarkan pada aturan Ilam seperti masa Nabi, Kulafaur Rashidin, Andalus, Turki dan juga Bagdad. Aakah memang wanita, non-muslim adalah second class?

Mngkin saudara penulis ingin menyatakan bila syariat islam di tegakkan akan ada second cass seperti wanita, non-Muslim dan lain-lain

Saya melihat saudara sebagai seorang muslim yang takut dengan syariat anda sendiri, kalau diterapkan. Boleh dikata anda adalah seorang Islam yang Islampobia dan saya menyayangkan hal itu.

Saudara, tulisan saudara adalah baik, boleh jadi karena itu merupakan pandangan dari diri anda sendiri, mungkin juga pandangan obyektif anda dan tulisan saudara bisa dijadikan filter ataupun coacing and support bagi daerah yang mau menegakkan Syariat Islam sehingga bisa di pandang adil untuk semua. Tapi kita tidak perlu phobia tehadap Syariat Islam karena sebagai seorang muslim kita harus berpandangan bahwa Islam adalah “RAHMATAN LIL ALAMIN”. Dan dalam Islam itu ada Syariat dan itu di terapkan pada masyarakat, itu juga merupakan Rahmat, Salam.

Posted by ahmad liem  on  08/19  at  09:08 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq