Kepada saya, Islam Diajarkan secara Keliru - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
06/07/2003

Eep Saefulloh Fatah: Kepada saya, Islam Diajarkan secara Keliru

Oleh Redaksi

Sosialisasi agama pada taraf yang sangat sederhana selalu menekankan etika ketakutan (ethics of fear) ketimbang etika harapan (ethics of hope). Ketundukan
dibangun di atas pondasi ketakutan seorang hamba kepada Khaliqnya. Seolah
kebesaran Tuhan ditentukan oleh semakin kecilnya manusia dan semakin horornya
kosmos metafisik yang mengitari Tuhan.

Berikut wawancara dengan Eep Saefulloh
Fatah, pengamat politik dari Universitas Indonesia yang kini sedang menempuh
studi di Ohio State University (OSU), Amerika. Kebetulan Eep sekarang sedang
“mudik” selama 2 bulan. Dalam perbincangan dengan Ulil Abshar-Abdalla pada 3
Juli 2003, Eep juga memaparkan kontribusi Islam terhadap konsolidasi demokrasi
di Indonesia.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Kang Eep, Pemilu sebentar
lagi dan anda sudah lama belajar mengamati politik negara kita. Apakah Anda
melihat adanya keganjilan dalam hubungan antara agama dan politik, khususnya
pasca reformasi?

EEP SYAUFULLOH FATAH: Masa reformasi ini nampaknya membangkitkan kembali harapan sebagian kecil penganut agama (Islam) untuk menghubungkan secara sangat rapat antara agama dan politik,
khususnya antara Islam dan negara. Saya melihat, dalam batas tertentu ini
adalah setback atau langkah mundur dari agenda reformasi. Untungnya,
lima tahun reformasi membuktikan bahwa mereka yang mendorong langkah mundur itu
sebetulnya tidak signifikan kekuatannya, baik dari segi jumlah maupun dari sisi
kemampuan mengartikulasikan gagasan mereka.

ULIL: Bagaimana dengan agenda yang diperjuangkan partai-partai Islam?

Menurut saya, ketika kita menyebut “partai Islam”, ada ruang perdebatan di situ;
tentang benda apa ini gerangan. Yang saya tidak setuju adalah partai-partai
yang berorientasi untuk mendirikan negara Islam. Bahwa kemudian kalangan
tertentu membuat partai dan karena ketidakmampuan mendefinisikan diri sendiri,
lalu menggunakan nama Islam tanpa orientasi, sebetulnya itu masih bisa
ditolerir.

ULIL: Secara kategoris, anda seorang santri. Bagaimana menghubungkan antara kesantrian dengan cita-cita sosial politik yang Anda anggap sesuai dengan tuntutan ideal agama?

Saya merasa bersyukur tumbuh dan besar dalam sebuah keluarga yang memahami agama
tidak secara kaku; sebagai satu-satunya perlengkapan untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat. Ini rumusan yang saya buat sendiri. Saya tahu, ibu dan bapak
saya tidak pernah mengatakan itu. Saya bisa mengatakan begitu karena agama yang
diajarkan di rumah sebetulnya lebih banyak mengajarkan perihal etika, manual
tingkah laku, dan semacam basis moralitas ketika kita harus memosisikan dengan
diri sendiri dan masyarakat. Dengan begitu, saya tidak merasa pernah diajarkan
untuk melakukan formalisasi agama. Buat saya itu sesuatu yang patut saya
syukuri di kemudian hari.

ULIL: Sebenarnya bagaimana sih “perkenalan” pertama kali Anda dengan agama?

Perkenalan saya dengan agama dimulai sangat dini, sejak menginjak usia dua setengah tahun.
Saat itulah saya dikhitan. Dengan begitu, saya mendapat tambahan kewajiban yang
diberitakan oleh keluarga di sekitar saya. Tapi perkenalan saya lebih kongkrit
dengan agama, terjadi beberapa tahun setelah itu. Yaitu ketika saya mulai
diajak ayah untuk salat Jum’at berjamaah. Sebelum itu, saya juga pernah diajak,
tapi masih agak enggan.

Nah, mulailah saya berkenalan dengan agama sebagai sebuah otoritas baru yang cukup mengejutkan. Representasinya adalah sebuah masjid yang belum pernah saya masuki, kecuali
bermain di pelatarannya saja. Saya duduk di saf yang depan, berhadapan langsung
dengan mimbar, dengan karpet warna hijau dan khatib yang memegang tombak dengan
gagah. Tombak yang di pegang khatib masih dalam bentuk aslinya, tidak berganti
sejak masjid itu didirikan tahun 1937. Yang masih tersisa dari ingatan saya
soal itu adalah adanya sesuatu yang sakral yang sedang diperkenalkan pada saya.

ULIL: Apakah sekarang Anda punya evaluasi atas cara mengenalkan Islam yang dulu Anda pernah alami?

Saya merasa, Islam diajarkan kepada saya —jangan-jangan juga kepada orang lain—
secara keliru. Kekeliruan itu bisa jadi bertumpuk-tumpuk. Misalnya, Islam
diajarkan hanya sesuai dengan apa yang dipahami oleh mereka yang merasa punya
otoritas untuk mengajar saya ketika itu. Saya ingat, di saat salat Jum’at, para
khatib selalu menyampaikan hal-hal yang bernada ancaman atas siapapun; bahwa
hidup di dunia ini sebentar, dan setelah itu kita akan berhadapan dengan dua
pilihan: entah menjadi penghuni surga atau neraka! Kepada kami disampaikan
ancaman, jika kita keliru menjalankan hidup yang amat pendek ini, kita akan
menjadi penghuni neraka.

ULIL: Ada pengalaman traumatis dari perkenalan Anda dengan agama saat itu?

Komik! Pada waktu kecil, mulai berkembang komik-komik yang menggambarkan bagaimana
keadaan surga dan neraka. Ketika itu dada saya terasa sesak dan ketakutan
karena membaca dan melihat gambar-gambar komik itu. Komik itulah yang
menggambarkan betapa biadabnya siksaan yang akan kita terima di neraka kelak.

Komik itu sudah populer pada akhir tahun 1970-an. Ketika saya menjalani masa
kanak-kanak, komik-komik dalam bentuk yang sangat sederhana itu sudah beredar
di toko-toko. Dan itu menjadi bahan yang seolah-olah menggiurkan untuk dibaca.

Komik-komik ini menimbulkan horor dalam ingatan dalam konteks beragama. Memori saya, kalau
mengingat itu kembali akan terteror. Penggambaran di komik itu membuat jiwa
kanak-kanak saya menjadi sangat kecil, lalu berhadapan dengan Tuhan dengan rasa
takut yang sangat maksimal. Jadi, agama dan Tuhan dalam ingatan saya waktu
kecil, diajarkan sebagai suatu medium yang mengerikan. Karena rasa takut itu,
ketundukan harus dipelihara.

ULIL: Selain komik dan masjid, Adakah institusi lain yang justru merapatkan Anda dengan agama?

Ada.
Bukan hanya institusi masjid dan peribadatan saja bentuk pengalaman saya dengan
agama. Sejumlah institusi lain seperti sekolah di SD dan madrasah juga. Pagi
hari saya di SD dan sore di Ibtidaiyah. Ketika itu, saya juga belajar mengaji
selepas Maghrib. Seusai Subuh, saya juga sempat mengaji kitab kuning dari
seorang ustadz. Itu semua terjadi, masih di Cibarusah, kampung saya.

Ketika
berkenalan dengan sekolah, tidak ada perubahan mendasar dalam pengalaman agama
yang saya temukan di kelas-kelas. Perubahan mulai terasa ketika saya mulai
menduduki bangku SMP. Ketika itu saya semakin terdesak untuk menolak banyak hal
tentang pengajaran agama. Buat saya, apapun perihal agama mesti dijelaskan
secara tuntas. Sehingga, ketika saya melakukan suatu hal, saya menjadi yakin,
karena ada alasan di balik perilaku itu. Tidak semua aspek, tentu.

Nah,
saat itu saya bertanya tentang kiblat; soal boleh-tidaknya saya salat menghadap
arah kebalikan dari kiblat. Sebab, kalau bumi itu bulat tetap saja saya akan
menghadap ke Ka’bah kalaupun mesti menghadap ke timur saat salat. Guru agama di
SMP saya tidak bisa menjawab argumen saya. Dia bilang, “harus ke barat, tidak
boleh ke timur!”

ULIL: Setelah kuliah, refleksi
keagamaan Anda tentu berkembang. Padahal tahun 1980-an, kampus-kampus “sekuler”
disemarakkan oleh gerakan-gerakan keislaman (usrah). Apakah Anda juga ikut
terlibat?

Ya, saya ikut
terlibat dalam semaraknya kegiatan Islam di kampus. Secara tak sengaja saya
masuk dalam suatu organisasi. Tapi kemudian justru saya menjadi ketua umum
Forum Studi Islam (FSI) yang pertama di FISIP UI. Itupun sebetulnya hasil
pergulatan saya sebelumnya.

Ketika saya masuk UI
tahun 1987, kegiatan keislaman sangat semarak. Ketika itulah orang sedang
bangga-bangganya menempelkan stiker di mobil atau motor untuk menampilkan
identitas mereka. Kegiatan pengajian skala kecil, kultum di musalla juga
semarak. Situasi ini menciptakan “konflik” yang agak menggelikan. Yaitu antara
mereka yang aktif dalam usrah dengan kelompok yang berdiri di seberangnya dan
menganggap usrah sebagai perusak tatanan kehidupan kampus yang sudah dibangun
dalam tradisi yang panjang.

ULIL: “Konflik” itu ikut mempengaruhi kecenderungan Anda selaku aktivis kampus?

Oh,
ya. Di kelompok A, saya dianggap kelompok B, dan di kelompok B, saya justru
diidentifikasi sebagai kelompok A. Namun identifikasi diri saya yang paling
menonjol adalah sebagai “orang hijau”. Ketika konflik semakin memuncak, saya
justru menjadi semacam jalan keluar. Ketika itu, terjadi kebuntuan antarkedua
kelompok yang menginginkan terbentuknya sebuah organisasi baru yang bisa
mengorganisir kegiatan keislaman. Tapi, organisasi tersebut harus dipimpin
orang yang bisa berkomunikasi dengan dua pihak sekaligus.

ULIL: Menarik
sekali pengalaman Anda. Sekarang saya bertanya pada hal yang besar lagi,
bagaimana Anda melihat Islam di Indonesia? Apakah Islam punya kontribusi dalam
menguatkan demokratisasi?

Ada
bentuk-bentuk sumbangan Islam bagi demokratisasi, lebih-lebih kalau kita
mendengarkan disertasi kawan kita, Saiful Mujani (Ph.D di Ohio State University
dengan tajuk Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim
Participation in Post Suharto Era
: 2003, Red). Dia menemukan, pada kalangan
umat Islam di Indonesia, ternyata ada semacam kebudayaan politik yang
sebetulnya potensial menjadi basis persemaian demokrasi. Ada modal sosial (social
capital)
yang disiapkan Islam. Memang hanya sebatas itu saja. Jadi, ada
peran agama, sebagaimana peran variabel-variabel lain yang ikut membentuk
budaya politik di masyarakat kita agar masyarakat siap untuk masuk dalam dunia
demokrasi.

ULIL: Nah, budaya politik macam apa yang telah disumbangkan Islam, terutama dalam konteks Islam di Indonesia?

Lagi-lagi
saya dipengaruhi oleh Saiful Mujani untuk menjawab ini. Saya baru saja membaca
sebagian hasil risetnya. Misalnya saja, krisis yang dipandang sedang
berlangsung di Amerika sekarang adalah krisis paguyuban; orang tidak lagi
merasa menjadi bagian dari orang lain; orang semakin menyendiri, dan
ikatan-ikatan sosial semakin melemah. Ternyata, krisis itu tidak terjadi di
Indonesia. Menurut Saiful, nilai-nilai paguyuban di Indonesia ditanggulangi
pemeliharaannya oleh agama. Ada banyak perilaku sosial dalam masyarakat kita
yang dibantu oleh Islam agar masyarakat ikut merasa memilikinya. Jadi ada
semacam ikatan sosial yang terpelihara oleh agama.

ULIL: Artinya bila ikatan sosial
itu terpelihara, proses demokratisasi menjadi lebih dimudahkan?

Bukan.
Hasilnya bisa menjadi dua kemungkinan yang berbeda. Saya ambil contoh. Di
Cibarusah hingga hari ini masih terpelihara bentuk-bentuk paguyuban yang
berbasis agama. Di sana ada organisasi kematian untuk menangani orang mati yang
dalam Islam disebut sebagai kewajiban kolektif (fardlu kifayah). Ada
juga kegiatan pengajian yang terus-menerus, rutin dan berpuluh-puluh tahun
tetap memelihara ikatan sosial dalam masyarakat. Tapi persoalannya adalah:
ketika identitas kelompok terbentuk, dia bisa potensial menjadi positif dan
negatif sekaligus. Sumbangannya untuk demokrasi akan penting kalau ternyata
identitas yang ditanam dalam kelompok itu adalah identitas Islam yang
mengajarkan sikap toleran, hanif, inklusif dan lain-lain. Sebaliknya, jika
nilai-nilai Islam yang disebarkan berbasis pada eklusivitas, intoleransi dan sejenisnya,
maka akan kontraproduktif bagi demokrasi.

ULIL: Nampaknya, Anda cukup akrab
dengan istilah-istilah hanif, kalimatun sawa’ dan inklusif. Apakah Anda
seorang pembaca Cak Nur yang intensif?

Saya
bukan pembaca Cak Nur yang intensif. Tapi sebagian besar saya merasa terwadahi
oleh gagasan Cak Nur. Menurut saya, seperti itulah mestinya Islam yang
berkembang di Indonesia ke depan.

Tapi
sekarang ada gejala pembentukan opini publik soal Islam yang cenderung berbeda
dengan gagasan Cak Nur. Bicara soal Islam ialah bicara soal pemahaman keislaman
masyarakat secara umum. Kalau melihat fakta dari kelompok penentang gagasan
besar Cak Nur yang hanya menghasilkan kekuatan kecil, maka kesimpulan yang kita
buat sementara ini ialah: Islam moderat lebih tersebar di tengah masyarakat
ketimbang Islam galak. []

06/07/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (15)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Mas Adi, kalau agama tidak pernah diajarkan, lalu apa fungsinya nabi, rosul, wali, dan alim ulama? Adalah kewajiban beliau-beliau untuk mengajarkan agama kepada kita, dan adalah hak kita untuk menerima dan mengamalkan ajaran itu, atau menolaknya.

Dalam proses penerimaan/penolakan ini juga sangat terpengaruh oleh “kekuatan” Allah SWT dalam menggerakkan hati kita. Dialah yang berhak untuk menentukan apakah kita termasuk dalam hamba-Nya atau bukan. Jadi, kesimpulannya ada 3 komponen yang berperan penting dalam proses pembelajaran agama yang tidak bisa dihilangkan salah satunya: 1. Para pengajar agama, 2. Diri kita sendiri, 3. Kehendak Allah SWT. “Agama itu sakral. Kita harus mampu memisahahkan wilayah sakral dan profan dalam lingkup agama.” Kalimat ini juga cukup menggelitik hati saya. Betapa selama 13 abad, khilafah Islam berhasil menguasai hampir setengah dari bumi Allah. Apa gerangan yang terjadi dibalik kesuksesan Islam ini? Tentu saja penerapan Islam dalam segala aspek kehidupan. Disini, Islam bukan hanya sekedar agama seremonial belaka, tapi juga berisi aturan hidup baik secara individual, sosial, maupun bernegara, yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Hasilnya? Bayangkan, dalam kurun waktu 13 abad hanya terjadi sekitar 100-an tindak kejahatan, betapa manusia ketika itu bukan hanya berada dalam tingkatan kebudayaan tertinggi, tapi juga berakhlak mulia karena tunduk pada “aturan-aturan” Islam yang memang sempurna. Sekarang, selepas keruntuhan khilafah Islam, agama hanya dianggap sebagai seremonial “sakral” dan tidak diimplementasikan essensialnya dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya? Berapa ribu tindak kejahatan yang terjadi dalam setahun, contoh, di Indonesia saja? Jadi? Masih ragu terhadap penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan? Marilah kita kembali ke Islam secara kaaffah.
-----

Posted by Boby Juliyanto  on  05/15  at  08:05 PM

“.....Tak satupun manusia mampu mengajarkannya” Maaf! saya ingin bertanya “Anda seorang MUSLIM???” Ini penting!!!

Posted by Ibnu Solahudin  on  08/16  at  01:08 PM

Seperti sudah menjadi ‘common sense’ bahwa agama yang kita anut adalah proses hereditas yang diajarkan secara turun temurun. Begitu juga pengalaman saudara Eef Saefullah Fatah seperti yang ia tuturkan dalam dialog bersama saudara Ulil Abshar Abdalla.

Sepertinya juga benar, bahwa agama yang kita yakini, kita pahami dan hayati merupakan perwujudan yang kita terima melalui sebab eksternal, baik itu orangtua, sekolah, lingkungan, dsb.

Padahal sebenarnya kita tidak pernah diajarkan agama sama sekali. Agama yang kita terima melalui hereditas bukanlah agama itu sendiri, tetapi pemahaman agama yang menjadi ‘common sense’. Mengapa?

Agama inheren di dalam diri kita. Tidak seorang manusianpun mampu menghindar dari agama. Pembentukan pemahaman, penghayatan, dan tindakan keberagamaan kita merupakan hasil sosialisasi. Tentu itu bukan agama. Itu hanyalah ekspresi agama bersifat duniawi yang profan.

Agama itu sakral. Kita harus mampu memisahahkan wilayah sakral dan profan dalam lingkup agama. Agama yang ada dalam diri hanya bisa diapresiasi melalui dialog batin manusia dan agama yang inheren dalam dirinya. Tak satupun manusia mampu mengajarkannya. Dalam agama dan dirinya, manusia adalah pengajar tunggal keberagamaannya. Ia tak butuh pengaruh eksternal. Sosialisasi agama hanyalah pengantar untuk bekal pemahaman agama. Namun keberagamaan tercerap secara alami. Manusia tidak bisa mengajarkan agama.

Oleh karena itu, kita sesungguhnya tidak pernah diajarkan agama!

Posted by Adi Bunardi  on  01/11  at  11:01 AM

Assalamu’alaikum,

Saya bersyukur bahwa guru ngaji saya yang ndeso dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah mampu menjadikan saya sampai saat ini bisa membaca Alqur’an meskipun tidak sampai menguasai bahasa Arab.

Saya bersyukur karena orang tua saya yang telah menunjukkan sebuah agama yang benar dan lurus, sehingga sampai saya berkeluarga saya merasa kehidupan keagamaan saya telah menjamin kebahagiaan di Dunia dan di Akherat nanti.

Saya merasa bersyukur diberitahu ayah saya tentang kondisi surga dan neraka, sehingga jelas sekali saya akan memilih surga untuk tempat hidup saya di akhir jaman nanti.

Saya bersyukur karena orang tua saya mengajarkan agar menikah dengan yang se-iman dengan saya. Dan sekarang saya telah mendapatkan Istri yang muslimah dan berjilbab lagi.

Saya bersyukur orang tua saya dan juga guru ngaji saya yang ndeso mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang damai, anti kekerasan dan sangat-sangat toleran. Bahkan guru ngaji saya yang ndeso itu malah mengatakan “Sangatlah aneh agama lain mengajarkan toleransi kepada Islam” Mudah-mudahan beliau selalu mendapatkan rahmat-Nya.

Dan sekarang saya bersyukur untuk selalu menjaga agar tidak menyakiti orang lain apapun agamanya, saya berteman dengan semua orang dengan baik dan menerima perbedaan.

So, saya pikir tidak ada yang salah apa-apa yang telah diajarkan oleh Orang Tua saya dan Guru Saya. Saya merasa ajaran Isalam adalah benar, karena mengajarkan saya untuk tidak menyakiti orang lain.

Jadi mengapa kita tidak menyukurinya, mengapa semakin modern jaman semakin melihat Islam selalu salah....

Kepada teman-temanku non muslim, Anda tidak usah gelisah kalau kami umat Islam mengatakan bahwa agama kami adalah yang paling benar, karena andapun berhak mengatakan hal yang sama terhadap agama anda. Ini berkaitan dengan keyakinan, dan kalau anda tidak melakukannya hanya karena ingin dilihat sebaga agama yang sangat toleran, ya itu juga pilihan anda.

Yang penting saya dan juga Anda ingin hidup berdampingan dengan baik membangun bangsa dan negara ini.

Semoga Allah selalu merahmati kita semua.

Wassalam,

Muhammad DF

Posted by Muhammad DF  on  09/13  at  07:09 PM

Kita harus sadar pola pikir yang berbeda-beda dan penafsiran ajaran agama yang keliru. Bagaimana mungkin membakar rumah atau membunuh manusia harus memangngil nama Tuhan “Allah hu Akbar” Salah apa itu Tuhan????

Cobalah kita selalu berpikiran positif. Sebab masuk Sorga/Nerkaa tidak ada satupun manusia dimuka bumi yang menjamin kita akan ke sana hanya Tuhan yang Tahu.

Posted by Charles Manurung  on  09/12  at  09:09 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq