Kepemimpinan Santri dan Dilema Kekuasaan - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
29/08/2008

Kepemimpinan Santri dan Dilema Kekuasaan

Oleh Agus Muhammad

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan. 

29/08/2008 17:16 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (12)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Muhammad, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali adalah ‘santri’2 yg sukses memimpin negaranya

bagemana santri2 di Indonesia? pengen sesukses mereka?

contohlah mereka!

#1. Dikirim oleh the fan  pada  19/09   10:10 AM

IDE2 JIL MEMANG MENCERAHKAN, DAN AKAN MENDAPATKAN KEPERCAYAAN DARI MASYARAKAT JIKA IDE2 DAN PEMIKIRAN YG BERKEMBANG JAUH SAAT INI BISA DIAPLIKASIKAN.YA HARUS DARI KALANGAN JIL SENDIRI YG PERTAMA.BIAR JADI USWATUX KHASANAH KATANYA..

#2. Dikirim oleh FARID  pada  21/09   05:48 AM

apa dampak dari kejadian tersebut?apakh indonesia akan seperti ini terus?bagaimana caranya agar bisa di atasi?

#3. Dikirim oleh dedi priyatno  pada  22/09   08:53 AM

semua aturan yang tertata rapi dalam kehidupan bisa melanceng dan berubah dengan signifikan, namun keberadaan dua golongan sekuler dan religius merupakan bentuk perbedaan yang tertakdir oleh keagunggan tuhan. dengan tujuan untuk menjadikan inspirasi dan persaingan agar supaya saling mencari titik temu yang mendekati kebenaran.

#4. Dikirim oleh solikhuddin  pada  23/09   09:16 AM

Menyimak tulisan pak agus muhammad tentang kepemimpinan santri, sebenarnya akar masalah yang di hadapi adalah disistem yang sedang diemban dan diperjuangkan oleh santri itu sendiri. Kita semua magfum bahwa sistem yang sedang berjalan diindonesia sekarang dan beberapa negara muslim lain adalah sitsem sekuler-kapitalis nah ini adalah biang kerok atas semua persolan umuat islam secara keseluruhan.  Seharusnya samua santri (yang memngaku beragama islam harus tunduk dan taat pada larangan dan yang dibolehkan oleh Allah SWT . Lalu apa yang harus dilakukan supaya kemenangan kaum muslimin tanpak, maka setiap pemimpin harus mempunyai satu pemikiran, perasaan dan perbuatan dengan yang dipimpim dan itu bisa terjadi jika syariah islam bisa di terapkan di muka bumi ini, wassalam

ahmad zhafran

#5. Dikirim oleh ahmad zhafran  pada  23/09   11:23 AM

Muhammad, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali adalah ‘santri’2 yg sukses memimpin negaranya - SETUJU BANGET!

Lalu setelah itu apa?
Zaman Umayyah dan seterusnya, apa mereka juga dapat dianggap instrumentasi dari Ummat Islam, atau cuma menjaga kepentingan keluarga/sekte mereka sendiri. (Seperti Arab Saudi???)

Islam sebagai sumber peradaban masa depan PASTI!, apakah harus diwujudkan dalam Negara Khilafah? yg muncul adalah wajah sangar Ummat Islam. Berapa banyak lagi darah yg akan tumpah?

#6. Dikirim oleh Habib Rozaq  pada  07/10   04:13 AM

Biarkanlah yang paham syariat dan tarekat berkembang asal tidak anarkis. Yang paham makrifat menjadi moderator yang bisa menjaga keseimbangan.

#7. Dikirim oleh Kiai Mbeling  pada  09/10   11:40 AM

In other words, you would like to implicitly say that the “kekuatan relijius” DON’T HAVE the capabilities necessary to play an integral and holistic role in the national leadership, and hence requires the other party, namely the “kekuatan sekuler” who you so conveniently associate with the possession of “capabilities”, to be there and fill in the gap.

I don’t really get your line of thinking that put a clear line of distinction between capabilities and its association with those “kekuatan sekuler” and morality and its association with the “kekuatan relijius”, and take this as something fixed, for granted, and hence arrive at a conclusion that those two “kekuatan”, “relijius” and “sekuler”, have to work side-by-side to form a viable national leadership.

What if we just inject that “capabilities” into those “kekuatan relijius”, so that we could have both required aspects in just one single “kekuatan”, and hence nullify the necessity, or in fact, any reason to give a room for “kekuatan sekuler” to exist. And exactly what kind of “capabilities” that you refer when you said “kekuatan sekuler dapat diandalkan dalam hal kapabilitas”? Aren’t those blockheads who run our national economy now are those seculars? And where have they brought us until now? Aren’t those who run our banks are mostly from that “sekuler” faction? And do you even know that it’s extremely difficult today to get LCs issued by our national banks to be accepted by international business community? So what is this capability that you’re talking about?

#8. Dikirim oleh gue  pada  11/10   04:50 PM

terkadang rasa pesismistis akan selalu muncul, dikarnakan tidak mempunyai integritas diri yang kuat, bukankah tuhan merindukan hambanya untuk selalu lebih baik menuju masa depan, saya yakin tatkala kita mempunyai rasa respontif terhadap hal apapun.semuanya dapat diselasaikan, tidak ada perbedaan diantara kita

#9. Dikirim oleh steva  pada  23/10   11:24 PM

kalo khilafah hanya akan menampilkan kesangaran islam itu dasarnya apa?dlm sejarah jelas tdk terbukti.dg khilafah justru dpt lebih memaksimalkan islam sbg rahmat semesta alam

#10. Dikirim oleh Ahmad yasin  pada  20/03   07:43 AM

Ketika itu, M. Natsir sangat prihatin dengan gerakan pembaruan Islam dan sekularisasi yang digerakkan oleh Nurcholish Madjid. Pada 3 Januari 1970, Nurcholish Madjid, yang ketika itu menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam dan juga proses Liberalisasi. Dalam makalahnya yang berjudul: “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, Nurcholish Madjid menyatakan:  “…pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang ini...” Untuk itu, menurut Nurcholish, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling kait-mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) ‘Gagasan mengenai kemajuan’ dan ‘Sikap Terbuka’.

Sebagai orang tua yang mengaku sangat berharap pada Nurcholish Madjid, Natsir akhirnya kecewa dengan gagasan dan gerakan sekularisasi tersebut. Pada 1 Juni 1972, dilakukan pertemuan tokoh-tokoh di kediaman M. Natsir.  Semula, pertemuan itu bukan untuk membahas fenomena gagasan Pembaharuan, tetapi akhirnya hal itu menjadi pembahasan pokok ketika Natsir mengungkapkan masalah tersebut. Meskipun mengaku sudah menganggap Nurcholish Madjid seperti “anak sendiri”, tetapi Natsir mengaku risau dengan hasrat gagasan Pembaharuan yang ingin “menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam.” (Lihat, Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim (Ciputat: Lingkaran Studi Indonesia, 1987)

#11. Dikirim oleh aaron  pada  14/05   03:52 PM

nice blog

#12. Dikirim oleh assasincreed  pada  11/06   11:33 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq