Kesalehan Ritual Tidak Menunjang Pertumbuhan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
07/08/2006

Ari A. Perdana: Kesalehan Ritual Tidak Menunjang Pertumbuhan

Oleh Redaksi

Doktrin-doktrin normatif agama dapat menghambat atau menunjang pertumbuhan ekonomi. Peranan institusi-institusi keagamaan dalam menyikapi sistem perekonomian juga sangat penting bagi perkembangan ekonomi. Bagaimana Ari A. Perdana, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS)

Doktrin-doktrin normatif agama dapat menghambat atau menunjang pertumbuhan ekonomi. Peranan institusi-institusi keagamaan dalam menyikapi sistem perekonomian juga sangat penting bagi perkembangan ekonomi. Bagaimana Ari A. Perdana, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang baru menyelesaikan master ekonomi di Kennedy School of Goverment, Harvard University, Amerika, menjelaskan soal itu? Berikut perbincangannya, dengan Novriantini dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (27/7) lalu.

JIL: Mas Ari, apakah ada hubungan antara sistem kepercayaan suatu agama dengan perkembangan ekonomi suatu bangsa?

ARI A. PRADANA: Dari kesimpulan akhir perdebatan soal itu, hubungannya belum begitu jelas. Memang ada klaim bahwa spiritualitas atau tingkat kesalehan itu bisa memengaruhi perilaku seseorang, sehingga muncul preposisi bahwa makin taat seseorang secara spiritual, ia akan mendapat berkah dan makin makmur. Lalu klaim itu secara makro diperluas dengan pernyataan bahwa negara yang lebih taat beragama akan lebih makmur. Tapi kalau kita lihat secara kritis, garis hubungan seperti itu tidak terlalu jelas. Memang, adakalanya kinerja ekonomi suatu negara ikut dipengaruhi oleh aspek-aspek spiritual atau institusi keagamaan, tapi lebih banyak lagi yang tidak.

Mari kita mulai dari hipotesis tentang adanya hubungan. Untuk melihat kemungkinan hubungan itu, ada beberapa cannel yang bisa digunakan. Cannel pertama adalah analisis atas etos kerja dan sistem budaya, seperti yang pernah dikemukakan Max Weber dalam Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Di situ dia mengemukakan argumen kebangkitan atau kinerja ekonomi negara-negara Protestan yang cukup bagus, paling tidak dalam satu periode sejarah tertentu. Kemungkinan kedua, melihatnya lewat institusi, baik institusi hukum, ekonomi, maupun politik dan budaya.

JIL: Analisis yang menggunakan saluranpertama tampaknya sangat populer di kalangan sosiolog. Karena itu, mereka berusaha mencari-cari analog etika Protestan dalam agama lain. Anda melihat cara seperti itu sudah jadi mitos?

Memang ada problem di situ, terutama kalau kita membandingkan kinerja ekonomi tingkat individual, regional, desa, atau wilayah tertentu, dengan di tingkat negara. Sebab di tingkat antarnegara, korelasinya justru membingungkan. Memang, negara-negara mayoritas Protestan seperti Jerman, Belanda, dan Inggris, dulu sempat mengalami fase perkembangan ekonomi yang pesat. Mereka mendominasi perekonomian dunia, setidaknya di abad ke-15 dan 16. Di saat yang sama, negara-negara Katolik seperti Spanyol, Portugal, dan Italia, yang lebih dulu memulai eksplorasi dan dominasinya di tingkat dunia, justru mandek dan menurun.

Karena itu, Weber coba menghubungkannya dengan kemungkinan adanya pengaruh etika kerja yang dikembangkan doktrin-doktrin Protestan. Tapi masalahnya, saat Weber memublikasikan tulisannya di awal abad ke-20, perekonomian negara-negara seperti Inggris dan Jerman, ternyata sedang turun, dan di saat yang sama, negara-negara latin Amerika yang mayoritas Katolik, justru sedang bangkit.

JIL: Anda ingin mengatakan bahwa analisis semacam Weber itu post factum dan tidak punya kekuatan untuk meramal masa depan?

Betul. Itu persis seperti kritik ekonom peraih hadiah Nobel, Amartya Sen: Weber mungkin betul ketika menjelaskan apa yang terjadi di belakang, tapi ketika menjeneralisasi, ia cukup lemah. Sebab, bagaimana kita bisa menjelaskan keajaiban performa ekonomi Asia Timur yang didominasi oleh Konfusianisme? Bagaimana juga menjelaskan keruntuhan Asia Timur pada saat-saat sesudahnya.

Juga bagaimana menjelaskan performa ekonomi India yang selama beberapa dekade pernah santer dengan sebut Hindu growth karena pertumbuhannya yang selalu 3 atau 4%, bisa bangkit dan tumbuh lebih baik di akhir 1990-an. Jadi, banyak faktor-faktor lain yang perlu dibahas, sehingga membuat analisis hubungan agama, spiritualitas, dan kinerja ekonomi itu menjadi sangat kabur.

JIL: Pada aspek kultural, ada pengandaian semakin saleh seseorang, semakin baik performa ekonomi suatu negara. Tapi kesalehan seperti apa yang positif dan suportif untuk pertumbuhan ekonomi?

Saya pernah menulis soal ini di sebuah harian Jakarta dengan mengutip penelitian profesor dari Harvard dan riset lainnya. Nah problemnya, kita justru tidak bisa mendefinisikan apa itu kesalehan. Untuk tujuan riset, tentunya ada saja keperluan untuk mengkuantifisir tingkat kesalehan. Karena itu, dalam survei-survei mengenai peringkat kesalehan di Amerika dan Eropa, ada pertanyaan soal frekuensi kedatangan ke Gereja, tingkat kepercayaan terhadap teori evolusi, dll,. Itu sebenarnya indikator-indikator yang tidak sempurna untuk menggambarkan tingkat kesalehan, tapi mungkin ada gunanya.

Riset-riset yang sebenarnya masih parsial itu menunjukkan bahwa tingkat kesalehan ritual itu, ternyata tidak berkorelasi secara positif terhadap tingkat kemakmuran seseorang. Tingkat kesalehan beritual sebuah negara, tidak berbanding lurus dengan tingkat kemakmuran negara itu. Penelitian seperti ini, sebenarnya juga saya kritik, karena pendefinisiannya yang arbiter, walau secara metodologi bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kalau temuan ini bisa dipercaya, tentu ia hanya menunjukkan soal korelasi atau keterhubunan. Kita belum bisa bicara soal kausalitas, bahwa A menyebabkan B, atau B menyebabkan A. Karena itu, kita harus berangkat lebih jauh lagi dari sekedar metodologi yang empiris.

JIL: Kalau bicara soal peran doktrin-doktrin Islam sebagai agama dominan di negeri ini, apa evaluasi Anda tentang keterkaitannya dengan etos kerja dan spirit wirausaha?

Perannya bisa ya dan tidak. Kalau kita melihat ke era kolonialisme Belanda di Indonesia, arus kapitalisme domestik yang kuat justru datang dari kalangan pedagang-pedagang muslim seperti Syarikat Islam (SI), dan kemudian, Muhamadiyah. Artinya, memang ada peranan positif doktrin-doktrin Islam di situ. Sampai sekarang, sebenarnya domestic enterpreneur itu sebagian masih dipegang kalangan enterpreneur Islam. Tapi tetap ada juga hal-hal doktrinal Islam yang bisa menghambat perkembangan dan pertumbuhan ekonomi.

Jadi, pada akhirnya tetap ada sisi positif dan negatif doktrin agama terhadap performa ekonomi, tapi korelasinya tidak bisa jelas. Sebab, salah satu cara memajukan perekonomian sebuah negara adalah bagaimana kemampuan negara tersebut melakukan inovasi di bidang teknologi. Tidak hanya soal teknologi, tapi juga bagaimana menciptkan sistem perekonomian dan produk hukum yang kondusif bagi perkembangan ekonomi. Nah, hal-hal tersebut mensyaratkan adanya iklim bebas yang kondisuf untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Iklim kondusif itu hanya bisa terjadi kalau kita menyiapkan basis kulturalnya, seperti tidak adanya monopoli atau hegemoni atas tafsir halal dan haram, salah dan benar.

Itu yang dulu pernah terjadi di masa jayanya peradaban Islam. Ketika Eropa berada dalam abad kegelapan, peradaban Islam maju secara saintifik. Yang mengembalikan ilmu pengetahuan zaman Plato dan Aristoteles itu kan para sarjana muslim. Tapi mengapa hal itu terhenti? Nah, saya rasa, salah satu faktor yang membuat agama potensial menghambat ekonomi juga adalah ketika agama menjadi dasar monopoli kebenaran demi menghambat kemajuan berpikir.

JIL: Nampaknya ada dua pola analisis di situ. Yang satu bersifat kultural, yang kedua institusional. Bagaimana yang kedua, Mas?

Teori yang kedua mengatakan bahwa agama mempengaruhi secara institusional. Misalnya, bagaimana agama, setidaknya yang dominan, membentuk sistem hukum, terutama hukum dagang. Kita tahu, di Islam itu aspek-aspek hukum dagangnya sudah cukup eksplisit. Aturan transaksi dan kepemilikan, tampaknya sudah ada. Kita juga bisa membandingkannya dengan Protestan dan Katolik di Abad Pertengahan. Dengan begitu muncul pertanyaan: mengapa ada fase di mana negara-negara Protestan bisa bangkit secara ekonomi.

Argumen sejarawan ekonomi yang pernah saya baca mengaitkannya dengan sistem hukum atau sistem institusi keagamaan yang saat itu mempengaruhi aturan tentang hak milik. Di negara-negara Protestan, karena tidak ada hirarki atau sistem kegerejaan yang punya otoritas untuk mendefinisikan property rich, bisanya lebih fleksibel dalam sistem ekonominya, dan dengan begitu, lebih kondusif bagi kapitalisme. Sementara negara-negara Katolik yang punya hirarki dan otoritas Gereja yang kuat, definisi tentang public goods, property rich, dll., membuat sistem kapitalisme kurang kondusif untuk berkembang.

Jadi, aspek perlindungan terhadap hak milik itu sangat penting dalam perkembangan ekonomi. Terlepas kita suka atau tidak akan kapitalisme, dalam kenyataannya, kapitalismelah yang sekarang menjadi sistem yang membentuk perekonomian dunia.

JIL: Tapi tak hanya institusi agama, negara pun kadang-kadang ikut mengambat berkembangnya aset-aset institusi keagamaan. Saya ingat, dulu Universitas al-Azhar, Mesir, punya kekayaan yang setara dengan negara. Tapi di tahun 1960-an, banyak aset-aset al-Azhar yang dinasionalisasi oleh Gamal Abdul Nasser. Kini, al-Azhar justru yang meminta anggaran kepada negara...

Untuk kasus Mesir, saya tak punya kompetensi memadai untuk menjelaskan. Tapi mungkin di situ ada tarik-menarik kekuatan politik antara institusi negara dan agama. Aspek nasionalisasinya itu merupakan isu ekonomi yang menarik. Kalau kita pakai argemen-argumen kiri untuk mengkritik kapitalisme, maka yang biasanya diajukan sebagai jawaban adalah nasionalisasi aset-aset swasta atau aset-aset yang dianggap punya pihak asing. Negaralah yang diperkuat untuk menguasai BUMN atau sektor-sektor publik.

Tapi menariknya, dalam isu itu, di Islam biasanya ada perdebatan apakah Islam lebih dekat ke kiri atau ke kanan. Tapi apapun itu, sebenarnya proteksi Islam terhadap property right justru sangat penting. Beberapa aspek kegiatan ekonomi, banyak sekali yang diatur sedemikian eksplisit dalam Islam. Tapi kadang ada juga sikap kontradiktif terhadap kapitalisme karena Islam diperhadapkan dengan kekuatan kapitalisme global. Karena itu, semangat untuk menjadi rival kapitalisme global diterjemahkan, misalnya, sebagai anjuran nasionalisasi aset-aset. Bagi saya, ini sebenarnya kontraduktif dengan perkembangan ekonomi. Dalam Islam, kepemilikan individu sebenarnya sangat diperhatikan.

JIL: Anda melihat posisi umat Islam aktual seperti apa dalam isu di atas?

Saya melihat, sebenarnya dalam aturan-aturan fikih Islam itu jelas ada penghargaan bahkan proteksi terhadap hak-hak pribadi. Dalam agama lain seperti Katolik, aturan seperti itu tidak ada atau tidak cukup tegas. Sehingga yang terjadi di Abad Pertengahan adalah: Gereja atau pemimpin agama memberikan definisi yang kabur tentang hak-hak kepemilikan individu.

Nah, argumen mengenai properti individu inilah yang sering saya pakai untuk menyanggah pendapat bahwa sistem ekonomi Islam tidak mengenal kepemilikan asing, atau aset-aset kekayaan yang besar itu harus diambil-alih negara. Artinya, ada fase di mana pendapat yang kontradiktif dengan semangat dan aturan-aturan Islam itu lebih dominan. Mungkin poin ini masih bisa kita perdebatkan. Tapi poin saya: di dalam Islam, aspek kepemilikan individu justru sangat dihargai, dan itu sebenarnya merupakan basis penting kapitalisme ekonomi.

JIL: Tapi dalam Islam ada juga hadis yang menegaskan terlarangnya penguasaan individual atas properti publik seperti air. Sekarang kita menyaksikan air bukan lagi milik umum. Ia sudah dimonopoli perusahaan besar yang diperjualbelikan. Apa komentat Anda?

Ya, memang sumber daya alam saat ini semakin langka, sehingga harus ada cara yang tepat untuk membuat air lebih steril untuk dikonsumsi. Ini sebenarnya soal kepraktisan saja, dan terkadang memang untuk menjawab kebutuhan. Sebab, walau air yang ada di perut bumi milik publik, tapi kan ada perbedaan antara air yang tetap berada di dalam tanah dengan air yang bisa dikonsumsi. Itu kan dua hal yang berbeda.

Yang jadi masalah adalah: ketika ia dimiliki sebuah perusahaan, seberapa jauh kualitasnya akan meningkat dan sejauh apa akses masyarakat terhadap air itu tidak terganggu. Karena itu, perlu juga aturan mengenai sumber daya air. Seandainya tidak ada aturan, mungkin yang terjadi adalah tragedy of common. Sebab, ketika semua orang menganggap setiap air gratis dan berlimpah adanya, maka akan terjadi konsumsi yang berlebihan.

JIL: Secara institusional, di Indonesia ada ormas-ormas keagamaan yang besar seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. Dengan jutaaan umat, tentu itu potensi yang besar untuk pemberdayaan ekonomi. Bayangkan kalau semua kopontren NU sukses. Bagaimana Anda melihat kontribusi institusi semacam itu dalam perekonomian Indonesia?

Potensinya bisa berkembang.. NU dan Muhamadiyah itu secara empiris pernah menjadi basis-basis usaha lewat koperasi dan jaringannya yang luas. Tapi tampaknya, kemajuannya masih bersifat individual atau kelompok. Pertanyaannya: bagaimana mentransformasi apa yang berhasil di tingkat individual atau kelompok itu menjadi keberhasilan NU atau Muhammadiyah secara luas di tingkat institusional dan nasional.

Karena itu, kita pada akhirnya terpaksa bicara soal institusi ekonomi dan sistem ekonomi. Kalau bicara soal sistem ekonomi, pertanyaannya adalah seberapa jauh nilai-nilai keagamaan yang dikembangkan di sana membentuk pandangan dan sistem alternatif untuk dijadikan sistem yang dominan. Tapi sayangnya, apa yang ada di agama bisanya bersifat normatif saja; soal baik dan buruk. Kita bisa bilang bahwa menabung itu baik, karena agama mengajarkan berhemat. Tapi bagi anak ekonomi yang tahu soal ekonomi makro, menabung merupakan lahan investasi yang sangat kecil.

Karena itu, yang penting bagaimana ajaran agama bisa merekonsiliasi pandangan-pandangan itu. Itu berarti mesti ada perkembangan pemikiran menuju tingkatan lebih lanjut: apakah pemerintah mesti menurunkan atau menaikkan pajak, menurunkan atau menaikkan suku bunga, dll. Jadi bukan lagi bicara halal-haramnya bunga. Kita tahu, perdebatan klasik antara pendekatan ekonomi dan agama adalah soal bunga. Dalam agama, bunga itu riba; sesuatu yang didapat bukan dari hasil kerja atau usaha. Okelah, kita setuju kalau riba dalam konteks itu sesuatu yang buruk. Tapi apakah bunga itu selalu equivalen dengan apa yang kita sebut riba?

Dalam teori ekonomi, ada konsep time of money yang juga dipertimbangan. Antara uang sekarang dengan uang masa mendatang, sudah terjadi opportunity lose (kesempatan yang hilang, seperti investasi yang lebih menguntungkan, Red). Belum lagi ditambah soal risiko meminjamkan atau memberikan kredit. Jadi, masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang harus digali lebih lanjut; seberapa berbeda atau saling melengkapi konsep-konsep dari teori-teori klasik dan neo-klasik ekonomi itu dengan ajaran agama yang bersifat normatif.

JIL: Karena ketidaknyamanan psikologis terhadap bunga, di Islam ada usaha-usaha menwujudkan sistem perbankan alternatif seperti bank syariah. Apa perbedaan mendasar sistem perbankan syariah dengan konvensional?

Sebetulnya, bunga itu sesuatu yang wajar. Kalau kita meminjamkan orang uang satu juta saat ini, lalu tetap dikembalikan satu juta dua tahun lagi, itu sesuatu yang tidak adil. Sebab ada devaluasi atau penurunan nilai mata uang yang kita pinjamkan seiring waktu. Mungkin tahun depan ada inflasi dan naiknya harga-harga. Tapi dalam ekonomi syariah, yang dijalankan bukan bunga, tapi sharing dari profit (keuntungan) atau lose (kerugian) yang bakal terjadi. Tapi pada akhirnya, yang membedakan keduanya, di sistem bunga nilainya sudah ditentukan dari awal, sedangkan di syariah bersifat fluktuatif dan tidak ditentukan sebelumnya. Tapi sistem kedua ini juga berisiko secara ekonomi.

JIL: Disamping soal ketidakpastian, saya kira masih ada soal aspek kepercayaan yang masih dipertaruhan dalam transaksi syariah...

Ya, itu tantangan bagi mereka yang ingin mengembangan perekonomian berbasis Islam. Apa yang Anda sebut aspek kepastian dan kepercayaan itu memang betul. Bagaimana orang bisa meminjamkan uang kalau dia tidak melihat sesuatu yang pasti. Sebenarnya apa yang dilaksanakan dalam perekonomian berbasis syariah, baik di Indonesia atau di negara lain yang jauh lebih dulu mempraktikkannya, sebenarnya masih tanda tanya: seberapa murnikah praktek itu mengikut prinsip-prinsip syariah.

Kita kenal, dalam transaksi syariah itu ada istilah mudlarabah, murabahah, dan musyarakah. Nah, mudharabah dan murabahah itu dikatakan konsep bagi hasil yang paling ideal dalam perspektif Islam. Kenyataannya, dari beberapa literatur yang saya baca, di Malaysia dan Kuwait sendiri, transaksi keduanya hanya sekitar 20-30% dari total transaksi syariah; saya belum punya data soal Indonesia. Yang mayoritas adalah musyarakah atau perkongsian yang oleh teoritisi maupun praktisi ekonomi syariah sendiri masih jadi semacam ganjalan. Jadi kalau kita melihat praktek ekonomi syariah, pertanyaannya: seberapa murni praktek ini dijalankan, dan seberapa mampu ia bertahan kalau yang murni itu benar-benar dijalankan.

Sebab, kalau kita melihat nisbah bagi hasil di perbankan syariah, sebenarnya tidak terlalu jauh dengan bank konvensional. Nisbah sebelum bagi hasil antara nasabah dan bank itu masih tidak jauh beda. Bahkan sekarang masih sekitar 9%. Teorinya, kalau memang pure profit dan lost sharing yang dijalankan, harusnya nisbah bagi hasil bank syariah itu lebih fluktuatif. Naik turunnya lebih besar dari pada di bank konvensional. Nyatanya tidak, dan itu terjadi di Turki, Pakistan, dan Kuwait.

JIL: Anda memprediksi perbankan syariah suatu saat juga bisa mengalami nasib yang sama kalau melakukan kesalahan yang sama dengan perbankan konvensional?

Ya. Kurangnya pengawasan, kalkulasi bisnis yang tidak bagus, dan faktor-faktor lain, bisa saja membuatnya bangkrut. Sebenarnya ada yang mengatakan bahwa sistem perbankan syariah bisa mengoreksi sistem konvensional. Karena dengan sistem bagi hasil, bank akan lebih hati-hati. Bank akan mencari nasabah benar-benar berdasarkan prospek bisnis, bukan berdasarkan kalkulasi bunga. Tapi argumen saya, bank syariah kini bisa menawarkan hal itu ketika skalanya masih kecil, kurang dari 5% dari total aset bank konvensional. Bayangan ketika dia sudah tumbuh besar. Perkiraan saya, dia akan terekspos juga dengan hal-hal yang sama dengan bank konvensional. Jadi kenapa bank syariah kini bisa menawarkan kehati-hatian, itu karena mereka masih kecil. []

07/08/2006 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya heran dengan beebrapa penanggap di atas, mereka baca dulu gak sih tuilsan wawancaranya? Mas Ari jelas mengatakan bahwa ia sendiri mengkritik penggunaan wacana kesalehan ritual yang dicirikan dengan ibadah ritual seperti frekuensi datang ke tempat ibadah, tingkat kepercayaan pada suatu konsep rasional, dsb. Yang bisa kita prediksikan dari kesalehan sosial adalah ketika setiap manusia pada dasarnya akan berbenturan dengan keadaan yang berada di luar jangkauannya (time and space), disitulah kemudian manusia mendeskripsikan berbagai bentuk kepercayaan seperti dewa, tuhan, dan mengapresiasikannya dalam bentuk ritual seperti sembahyang, pemujaan, ratapan-ratapan dan lainnya. Intervensi manusia terhadap manusia lain akan bentuk ritual yang bersifat private tersebut hanya akan menimbulkan konflik, apalagi kalau dibarengi dengan pemaksaan atas nama apapun. Beda halnya dengan kesalehan sosial yang melibatkan manusia dengan manusia, yang idealnya adalah perwujudan pula dari kesalehan ritualnya. Takut adalah salah satu sikap preventif dalam menghindari perbuatan berdampak negatif baik bagi dirinya, orang lain ataupun alam sekitar (win-win and win solution), dan takut melakukan perbuatan negatif seperti korupsi, curang dalam berdagang, memalsukan barang, dll, adalah salah satu sikap ritual yang universal, lintas suku, agama dan negara. Karenanya, kesalehan ritual yang baik berdampak pula dalam kesalehan sosial dan ekonomi, dimana transaksi sesungguhnya bukanlah kesempatan memperkaya diri namun bagian dari saling tolong. Salam.
-----

Posted by rwisnu  on  04/05  at  12:05 AM

Dalam tulisannya, saudara Ari menekankan bahwa kesalehan sosial adalah yang paling utama dalam menunjang pembangunan, sedangkan kesalehan ritual hanyalah bersifat marginal. Sebenarnya, hal ini tidak tepat. Karena hanya melihat dengan tolak ukur pragmatisme jangka pendek. Mungkin benar bahwa Kesalehan sosial itu sangat penting dan menunjang pembangunan, tetapi secara sporadis mengalienasi kesalehan individual/ritual adalah hal yang tidak benar. Alih-alih mengembangkan pembangunan, melaksanakan kesalehan sosial An-Sich justru akan menjadi bom waktu yang sudah dipicu mundur. Tetapi jika Kedua kesalehan itu diintegralisasikan maka akan terbentuk etos kerja yang bagus. tidak saja berorientasi hasil, tetapi juga proses. Jika ini dilakukan, maka akan tercipta pembangunan yang berlandaskan nilai profetik. Opini bahwa tingkat kesalehan ritual tidak terlalu mempengaruhi pembangunan ekonomi juga layak dipertanyakan. Sebuah study tentang perilaku ekonomi kaum Calvinis misalnya, dari sebagian besar mereka yang taat beribadah, kehidupan ekonominya lebih makmur daripada yang tidak. Dan jika pertanyaan selanjutnya yang dilontarkan adalah apakah hal ini dapat kita generalisasi untuk agama yang lain, maka jawabnya tentu saja ya. bahkan dalam konteks agama Islam, bentuk kesalehan ritual yang tidak meninggalkan kesalehan sosial lebih solid dan sempurna dari agama manapun

Posted by Ahmad Faizin Karimi  on  08/11  at  11:08 PM

Ukuran kesalehan tidak bisa seseorang yang menilai karena semua adalah hak Allah dan dalam hukum kausalitas dari kesalehan inilah bukan teori manusia yang bicara. Saya contohkan anda mengatakan kurang saleh apanya Taliban, Pakistan, dan Bangladesh, atau taruhlah anda ingin mengumpulkan bukti sebanyak mungkin untuk meyakinkan pendapat anda dengan mencari contoh negara yang lebih ekstrim lagi misal Sudan atau Somalia. Negara-negara tsb tertinggal secara makro ekonomi dibanding negara-negara ras kuning seperti Jepang, Cina dan Korea.

Melihat konklusi seperti ini memungkinkan ditemukannya banyak kesalahan parameter bahkan berakibat fatal. Karena kalau kita jujur kita selalu bicara kesalehan dari bentuk lahir dan itu sah-sah saja hanya tidak bisa dijadikan bukti yang cukup representative dan kuat. Ketiga Negara muslim yang anda sebutkan jelas jauh berbeda tingkat pertumbuhan ekonominya jika dibandingkan dengan lawannya karena dipicu pula dengan perbedaan yang mencolok dalam faktor politik dan keamanan. Suka atau tidak suka factor politik ini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara makro.

Bayangkan saja Taliban berapa kali harus jatuh bangun diterjang perang saudara, belum lagi dijadikan bulan-bulanan amerika dengan sejuta taktik liciknya mengeruk kekayaan alamnya dengan alasan demokrasi. Bangladesh yang sering tertimpa bencana alam belum lagi konflik internal, Pakistan masih berseteru dengan tetangganya India dan masih dikendalikan oleh amerika. Apakah negeri yang carut-marut karena perang dan masih mudah diadu domba bisa dibandingkan dengan Jepang atau Korea yang mempunyai karakter politik yang kuat? Kenapa anda tidak ambil pembanding semisal tetangga kita terdekat Brunei, mungkin anda lalu mengatakan di negeri itu penduduknya sedikit. Lalu bagaimana dengan Kuwait, UEA,Qatar? Kemudian anda akan mengatakannya lagi bahwa mereka mendapat warisan sumur-sumur minyak sejak terlahir didunia ini maka pantas mereka makmur. Tidak akan ada ujung pangkalnya jika factor lahiriah suatu Negara dijadikan parameter kemakmuran.

Maka jawaban untuk memakmurkan suatu bangsa khususnya Indonesia adalah berpedoman pada al-Qur’an Al-Karim, Kitab ini memberi banyak pelajaran yang luar biasa tidak hanya menyoal perekonomian saja bahkan mencakup segala aspek kehidupan. Seperti dalam firman Allah SWT. Artinya: Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS.7/96)

Tetapi apa kenyataannya dengan Negara kita. Untuk menangkap koruptor tingkat kelurahan saja susahnya luar biasa bagaimana mungkin untuk ke tingkat yang dekat dengan kekuasaan. Mereka itulah yang mendustakan ayat-ayat Allah sehingga bagaimana mungkin Allah mau menurunkan rahmat dan berkah dari langit dan bumi. Malah sebaliknya azab Allah yang turun hingga saat ini terasa sulit mengatakan kita sudah keluar dari krisis ekonomi.

Inilah hukum kausalitas yang tidak diyakini oleh agama selain Islam, dan secara transendental tidak bisa ditelusuri logika berfikir karena butuh keimanan yang kuat untuk meyakininya. Tatkala suatu penduduk disuatu negeri berikrar bahwa pedoman hidup mereka al-Qur’an, maka Allah meminta bukti nyata dari ikrar tersebut dan diturunkannya ujian berupa kenikmatan, namun kenikmatan dan kemakmuran ini mereka salah gunakan demi kepentingan segelintir orang dan tidak adanya rasa syukur dari mereka. Apakah mereka kita katakan orang saleh hanya karena factor generalitas umat ini adalah secara lahir muslim. Apakah orang-orang semacam ini dapat dikatakan mewakili umat Islam yang didambakan dalam al-Qur’an ataupun Hadist-hadist Nabi SAW sebagai umat terbaik? Tentu tidak bisa dikatakan demikian. Kalau kita mengatakan saat ini umat Islam adalah umat yang saleh dan bisa menjamin adanya kemakmuran, maka hal itu belum benar karena mereka masih bermain-main dengan al-Qur’an dan tidak mengamalkannya secara sempurna.

Beriman dan bertaqwa adalah berpegang teguh pada al-Qur’an Al-Karim dan tidaklah pribadi yang berpegang teguh padanya melainkan hanya orang-orang shaleh.

Posted by Abu Fatih  on  08/11  at  02:08 AM

Mas Fatih, Sebuah buku panduan haruslah sebuah buku yang memandu sepanjang masa. Jika kita menggunakan kemampuan akal/rasio untuk memotong postif dari negative maka kita memilikki pengetahuan yang lebih dari sang penulis/pengarang buku tsb. Dalam kasus ini menanyakan atau berkonsultasi dengan buku seperti itu adalah tidak perlu dan terlalu berlebihan. Jika kita tahu apa yang baik dan apa yang jelek menurut/secara naluri atau melalui kemampuan rasio/ pikiran kita, mengapa kita harus berpegang dan berkonsultasi dengan buku tersebut? Jika anda katakan tingkat kesalehan sebanding dengan kemakmuran, saya mau tanya kurang saleh bagaimana orang Taliban, Pakistan dan Bangladesh; apakah mereka makmur?? Lihat Jepang, Korea dan China mereka makmur, apakah mereka saleh dan takwa sesuai dengan konteks yang anda maksud??

Posted by Lylie  on  08/11  at  12:08 AM

Mas, intinya ekonomi itu apa sih? jual beli kan, bisa jasa maupun barang. Kapan ekonomi itu berputar? jika adanya demand, tanpa demand tidak ada istilahnya roda perekonomian. Saya pikir pijakannya mulai dari sini.

Sekarang kita lihat bagaimana Islam mengatur jual-beli, banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi guidance untuk masalah ini diantara yang paling kita pahami adalah surat Al-Mutaffifin. Ini sangat populer sekali karena menyangkut etika moral jual-beli bahkan langsung berhubungan dengan konteks spiritual yang secara transendental sulit ditelusuri melalui logika.

Jadi adalah amat sangat salah kalau tingkat kesalehan tidak sebanding dengan kemakmuran. Padahal Allah berulang kali mengancam hambanya yang berbuat curang dalam jual-beli.

Saya sharing pengalaman, bahwa di suatu pasar banyak sekali teori kapitaslis ataupun barat yang tidak jalan alias mentah. Buktinya pada saat banyaknya pedagang yang menghalalkan segala cara demi kemakmuran semata pada saat itu pula atau berselang beberapa waktu maka mereka jatuh bangkrut. lalu kenapa bisa bangkrut alias gulung tikar? teori ekonomi mana yang bisa menjawab fenomena ini?

Kita ini mayoritas Islam dengan berpegang pada Kitabullah al-Qur’an Al Karim dimana sudah lengkap diturunkan bagaimana etika jual beli bahwa dengan dilandasi kesalehan maka harta pun akan berkah dan negara ini pun akan makmur. (Al-A’raf 96). Intinya marilah kita bertaqwa dalam segala hal khususnya dalam berdagang dan berbisnis. Tanpa rasa taqwa maka sangat mustahil perekonomian akan tumbuh pesat.

Posted by Abu Fatih  on  08/09  at  08:08 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq