Kesungguhan TPT MUI - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
11/12/2005

Kesungguhan TPT MUI

Oleh Hamid Basyaib

Ketika pemerintah meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk Tim Penanggulangan Terorisme (TPT), jelas yang dimaksud bukanlah agar tim itu menanggulangi terorisme secara fisik, misalnya menggerebek barak latihan atau menangkapi para tersangka teroris. Sebab, selain MUI pasti tak sanggup melakukannya, itu merupakan wewenang aparat keamanan.

11/12/2005 21:41 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Tulisan: 1. Kesungguhan TPT MUI Oleh Hamid Basyaib 2. “Agnostisisme” Intelektual Oleh Ulil Abshar-Abdalla 3. Persembahan untuk Cak Nur Oleh M. Hanifudin Mahfud 4. Pesantren Harus Pertahankan Jati Dirinya Lily Zakiyah Munir

Assalamualaikum

Tulisan tersebut di atas saling terkait mencerminkan idea cemerlang dalam harapan kehidupan baru di masyarakat Indonesia. Kalau kita menyimak tulisan di atas terutama wawancara ibu Lily maka apa yang diharapkan oleh Hamid B tentang fakta bahwa MUI bersedia menerima mandat tersebut, ini menunjukkan MUI sama-sama meyakini asumsi bahwa memang benar cikal-bakal aksi-aksi terorisme itu khususnya di Indonesia adalah ide atau ideologi yang bersumber dari ajaran agama yang didapatkan dari pesantren dan tentunya perkembangan pribadi sejak dilahirkan yang tertekan akibat kemiskinan orang tuanya.  Mengharapkan visi-missi lebih manusiawi yang harus diemban oleh ilmuwan yang berkecipung di belantara keagamaan agar mempunyai pijakan bijak sesuai dengan pengertian ilmuwan pada umumnya maka dengan demikian, syarat sebagai seorang sarjana di bidang agama dalam pengertian modern adalah dia harus “agnostik” secara intelektual (Ulil). Diharapkan kita akan berangkat menuju kemanusiaan yang universal dengan dasar suci, walaupun dengan jalan yang berbeda. Mereka tak boleh terikat oleh missi untuk “mendakwahkan” kebenaran ideologi tertentu saja, justru sebagai ilmuwan harus mengusahakan pertemuan perbedaan bermacam ideologi menjadikan outcome yang serasi, sebab Tuhan yang kita sama-sama sembah pada dasarnya hanyalah satu. Begitu mereka “pamrih terhadap ideologisnya” dan ini akan menyelinap ke dalam kerja kesarjanaan tanpa disadari, maka tidak bisa lain kecuali terjadi distorsi. Sebagai contoh informasi keindahan ”wisdom”, tercermin dalam buku ”salib dalam bulan sabit” merupakan suatu idea yang demikian cemerlang terungkap dalam tulisan menyejukan, walaupun si pengarang seorang pendeta.  Kemungkinan studi Islam di Indonesia berkembang lebih baik, dapat diharapkan karena para sarjana lulusan perguruan tinggi Islam telah berkembang dengan baik di sana-sini, mereka yang terlibat sebagian besar telah mampu bersikap “agnostik” dan berjarak dalam menghadapi bidang studinya, sehingga bisa membuka sejumlah horison kemanusiaan baru yang tumbuh bercampur dengan keanekaan ragam budaya nusantara, bukan dari kebudayaan arab yang selalu ingin dipaksakan. Tentunya masalah ini akan menghadapi tantangan berat dalam kehidupan di pesantren yang seharusnya para empunya menyadari dan membuka diri pada kaedah keilmuaan (baca tulisan Lyli ZM). Sehingga dunia pesantren tidak dikaitkan dengan terorisme, asalkan telah terjadi perubahan paradigma dari beberapa faktor internal dan eksternal pesantren, sebab hal ini pasti akan ikut mempengaruhi corak keberagamaan yang diajarkan dunia pesantren.  Pada saat ini, dalam kehidupan ilmu yang begitu berkembang pesat yang dapat dirasakan dalam cara kita hidup di dunia ini, maka tentunya kelemah peran kiai atau kepemimpinan pesantren yang selama ini dikenal independen, mandiri, dan tidak terkooptasi oleh kepentingan politik, ekonomi, ataupun ideologi di luar pesantren, bisa berakibar buruk bagi sebuah pesantren. Dulu, pesantren benar-benar bagaikan sebuah kerajaan kecil, sehingga para kiai mengikuti kehidupan rasul, contoh yang paling gampang adalah beristri lebih dari empat, sehingga hal ini ditiru oleh pengikutnya, sehingga perkembangan jumlah penduduk tidak terbendung lagi, akibatnya kueh yang harus dibagikan justru berkurang yang berakibatkan orang tua tidak sanggup lagi memberi makanan bergizi apalagi menyekolahkan anaknya pada perguruan yang baik. Akibatnya sekarang, banyak kepemimpinan pesantren sudah tidak jadi panutan lagi, dan masyarakat kadung punya banyak anak yang dipaksakan menjadi beban pemerintah. Sehingga secara keseluruhan, tanggungjawab mengubah corak kebudayaan dan keberagamaan masyarakat itu mau tidak mau diharapkan masih menjadi tanggung jawab pesantren, sehingga kita bersama-sama dapat bertanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan demikian pengalaman ibu Lily tidak lagi bertemu dengan corak keberagamaan di luar pesantren yang lebih bermasalah, seperti katanya pada bulan Ramadan kemarin, saat salat tarawih di mushala-mushala yang dekat rumah, dimana penceramahnya saat itu berbicara dengan semangatnya, sembari mengampayekan rasa kebencian pada kelompok tertentu, tidak akan ditemukan lagi. Dan jangan lupa dan tentunya yang terpenting adalah dalam cara mengomentari Cak Nur tidak miring, tapi seharusnya justru lebih wisdom, seperti dikemukakan oleh dua pembicara yang berkomentar miring yaitu Ust. Abu Zaid menyatakan Cak Nur tidak membuat pencerahan dalam dunia Islam tapi justru penggelapan. Kalau hal-hal tersebut tetap terjadi, maka janganlah berharap kita tidak dibawa ke dalam kondisi seperti di Afganistan (lihat film dengan judul OSAMA ). Di Indonesia, yang namanya santri itu besar di sebagian besar pesantren tanpa agenda politik apa-apa. Hidup di pesantren adalah untuk belajar agama 24 jam, dan terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar yang ada di dalamnya. Jadi, kuncinya sekarang: bagaimana hal seperti di Afganistan itu tidak terjadi di Indonesia.  Masih banyak pesantren yang tetap berjalan pada relnya yang “wisdom” sampai saat ini ditemukan di Indonesia. Di dalamnya, kita masih dapat menemukan komunitas yang sangat toleran dan mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan. Seperti di Jombang atau tempat-tempat lainnya, masih banyak sekali pesantren yang sangat-sangat toleran. Ada seorang pendeta Belanda yang pernah lama di Mesir—dapat berinteraksi secara wajar dengan kalangan pesantren. Suatu kali, dia menuliskan kenangan itu di dalam memoarnya: “Itulah hadiah terindah dalam hidupku”. Artinya, di sebuah kampung kecil itu, dia bisa hidup bersama dan saling memahami, sekalipun dalam perbedaan, dengan seorang kiai.  Semoga dengan banyaknya mahasiswa lulusan perguruan tinggi Islam, ditambah siraman kebudayaan Indonesia yang dikenal ramah, maka kehidupan beragama di Indonesia menjadi panutan dunia. (amien)

Wassalam

#1. Dikirim oleh H. Bebey  pada  14/12   07:12 PM

Assalamu’alaikum.

Menarik sekali menyimak opini JIL yang seakan menemukan momen yang tepat untuk bersuara keras lagi. Tetapi, jangan hanya membatasi diri pada konsep jihad ala teroris amatir itu. Pasalnya, sejarah kita belum lama ini mencatat bagaimana warga ormas Islam terbesar menyatakan jihad membela pimpinan ormasnya yang hendak dijatuhkan dari jabatan presiden.

Jadi, ajaran jihad dalam Islam sudah benar, tapi pengaruh budaya membuat sebagian umat mempicikkan diri bahwa jihad bisa dinyatakan hanya untuk membela kiainya, yang maaf, sebagai manusia juga punya salah. Bayangkan, jika ada dua kiai yang berseteru lalu memfatwakan jihad, bukannya ini lebih berbahaya?

#2. Dikirim oleh Harlis Kurniawan  pada  16/12   11:12 AM

Menarik, sepotong informasi dari seorang ulama Timur Tengah, diungkapkan bahwa pejabat tinggi Arab Saudi ditekan oleh pemerintah Amerika untuk mencairkan dana miliaran dolar bagi keperluan pendanaan aktifitas Abu Mus’ab al-Zarkawi dan Osama bin Laden beserta “ikhwan-ikhwannya” di berbagai belahan dunia.

Saya terkejut dan hampir tidak percaya. Tetapi ketika saya melihat aksi-aksi Zarkawi di Irak yang membunuhi orang-orang tak berdosa di masjid dan rumah sakit, saya jadi sangat percaya.

Itulah barangkali sinyalemen yang pernah disuarakan oleh Imam Khomeini, ada Islam Produk Amerika mau menandingi Islam Muhammadi! MUI harus mengkaji dengan cermat masalah ini.

Jangan-jangan di tubuh MUI juga sudah ada “faksi” Islam Amerika? CIA akan selalu bekerja memanfaatkan keluguan orang-orang alim dan membonceng ‘mujahidin’ yang dungu. Semoga Islam Muhammad mencerahkan kita semua. Rasionalitas cerdas akan memproteksi kita semua dari jebakan ‘mujahilin’, dengan pertolongan Tuhan Yang Maha Cerdas!

#3. Dikirim oleh Imam Muhammad Ali al-Jawad Mak  pada  29/12   02:13 AM

Seorang Anak Afghan berusia 9 thn menyaksikan Ayahnya ditembak tepat di Pelipis kanannya, menyaksikan jari-jari tangan kakaknya di potong pakai Bayonet terus ditembak sampai mati, serta menyaksikan Kakak perempuannya diperkosa secara bergantian oleh tentara-tentara musuh, dia menyaksikan itu semua didepan matanya, 3 thn kemudian anak ini membawa seperangkat BOM yang dilekatkan ke seluruh badannya, kemudian dia meledakkan dirinya di kamp mileter tentara musuhnya, apakah itu salah....? Di Palestine dan Irak banyak anak-anak yang kehilangan Orang tuanya, menyaksikan Pembunuhan terhadap saudara-saudaranya tampa alasan yang jelas, apakah salah pada suatu ketika ia meledakan dirinya ke fasilitas-fasiltas yang mendukung bagi tentara-tentara yang mebunuh ayahnya....? Teroris menurut Definisi “Mereka” adalah segala yang telah membuat kerusakan terhadap “asilitas-fasilats dan Tentara-tentara mereka....” Mana yang Salah Apakah Orang yang menyebabkan adanya Teroris ataukah Terorisnya Islam Mengajarkan Amar Mangruf Nahi Mungkar, Berani menyatakan yang benar dengan kebenaran dan menyatakan yang salah ya salah walupun itu akan membuat kesusahan bagi hidupnya...., OK Bos… Keimanan seorang Muslim dapat dilihat seberapa Ia berani Beramar mangruf dan bernahi mungkar, apakah dengan tangannya.....? dengan Lidahnya ataukah dengan Hatinya, sesungguhnya orang yang beramar mangruf dengan hatinya adalah selemah lemahnya Iman......., semoga kita tidak digolongkan kedalam golongan orang-orang yang lemah imannya.. Amiiiiiiin.... Wassalamm
-----

#4. Dikirim oleh Iwan Mertady  pada  12/07   08:08 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq