Ketika Negara Mengintervensi Agama - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
19/02/2004

Ketika Negara Mengintervensi Agama

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Sekiranya RUU KUB jadi diundangkan, maka sejumlah orang yang memiliki pemikiran yang berada di luar pemikiran dominan mainstream akan bernasib sial, karena mereka bisa-bisa mendapatkan sanksi pidana. Perselisihan tafsir atas agama selalu berakhir dengan eks-komunikasi, penghancuran, dan pembunuhan. Luar biasa mengerikan. Padahal, bertafsir dan berijtihad bukanlah tindak kriminal yang harus dipidanakan. Jika ini terjadi, maka kita telah kembali ke abad pertengahan. Adalah Khalifah al-Qadir yang pernah melakukan inkuisisi terhadap orang-orang yang berada di luar cetak biru ideologi Mu’tazilah, ideologi yang telah menjadi pilihan negara Abbasiyah saat lampau. Sejarah mencatat, Abdullah bin Khabab, Abu Manshur al-Hallaj, Ahmad ibn Hanbal, Ibnu Rusyd, merupakan deretan orang yang menjadi korban dari kesewenang- wenangan negara hegemonik.

19/02/2004 11:36 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Mengutip penyair Wiji Thukul yang sampai saat ini masih terhitung sebagai orang yang (di)hilang(kan):

Hanya satu kata:  Lawan!

Jelas, Muslim harus membela hak-hak Bahai, Sikh, Karuhun, dan kepercayaan-kepercayaan lain yang ada di bumi ini, bukan hanya di Indonesia. Lobi siapakah yang punya ide nyusun RUU gila ini? Kok bisa sinting begitu jadi anggota parlemen? Ah, satu kata tidak cukup, perlu banyak kata:

Lawan! Lawan! Lawan! Lawan! Lawan! Aniaya! Aniaya! Aniaya! Orang merampok Allah dari Hak-Nya!

Salam, Bram.

#1. Dikirim oleh Bramantyo Prijosusilo  pada  27/02   07:02 PM

RUU KUB bersumber dari pendangkalan

Saya cenderung menganggap bahwa RUU Kerukunan Antarumat Beragama (KUB) sebagai intervensi berlebihan oleh negara terhadap urusan agama. Saya kira, komunitas dari masyarakat sipil memiliki hak mutlak untuk mengurusi keberagamaannya. Jika semua dicampuri kekuasaan negara –apalagi penguasanya memiliki wawasan ekslusif dan berorientasi komunal-- kendati berniat baik, tapi hasilnya bisa tidak baik. Kita musti bertindak secara tepat dalam segala hal, bukan bertindak baik. Karena baik buruk itu relatif sifatnya. Rencana penerapan RUU ini sungguh sangat tidak tepat dan tidak masuk akal. Kerukunan umat beragama seharusnya bertumpu pada inisiatif masyarakat, bukan karena ada undang-undangnya. Pembodohan kolektif dan perbudakan (slavery) oleh belenggu institusionalized ignorance demikian ini harus segera disingkirkan dari muka bumi manapun.

Saya juga tidak yakin dalam keadaan sekarang ini jika UU tersebut akan membawa kerukunan, karena justru agama menjadi objek dari negara. Lha masa iya soal menyalami orang yang merayakan Natal harus diatur oleh UU. Khan lucu, iya tokh? Masa soal beragama --yang menurut saya agama itu urusan privat, bukan urusan publik-- juga harus diatur oleh negara. Orang-orang di negeri ini tidak perlu lagi berpindahan agama, karena esensi semua agama itu tiada beda. Yang dibutuhkan saat ini adalah pemahaman agama-agama. Kita butuh penghayatan & pengamalan ajaran-ajaran agama secara konkret dalam ranah praksis sosial. Selama ini kita ribut saja soal kulit luar atau baju agama yang tak pernah selesai, dan memang tidak akan pernah selesai sampai kapanpun. Akibatnya keputusasaan sekelompok pelaku agama yang literalis utopian tak sungkan-sungkan melakukan teror dan brutalisme atas nama agama. Agama yang seharusnya mendamaikan, mencerahkan, dan mengembangkan cinta kasih sesama, kini justru telah bermetamorfosis menjadi semacam monster haus darah.

Saya tak dapat membayangkan, betapa bencana besar akan menimpa negeri ini, jika para pelaku agama berwawasan ekslusif dan sempit memimpin negara dan mengurusi soal-soal keagamaan.  Kita tak butuhkan paham-paham atau agama-agama baru. Kita tak butuhkan penguasa atau pemimpin berwawasan kerdil seperti itu. Pembuatan Rancangan undang-undang kerukunan umat beragama ini justru akan memperuncing pertentangan antar agama dalam masyarakat sehingga jauh dari kerukunan yang menjadi keinginan masyarakat. Tampaknya RUU ini seperti sengaja diciptakan, untuk memancing pertentangan antar umat beragama. Saya berharap, umat beragama jangan sampai terpancing lagi dengan upaya-upaya adu domba masyarakat sipil semacam ini.

Dugaan saya, bahwa memang ada usaha untuk semakin memperparah konflik dengan melegalisasi berbagai UU yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Minoritas agama tampak dianaktirikan di negeri ini. Diskriminasi seperti ini sudah tak layak jaman. Ini dilakukan secara terbuka katanya demi penegakan syariah Islamiah. Ide penegakan Syariah Islam selama ini berjalan tidak melihat kenyataan di masyarakat yang pluralis dan heterogen. Praktiknya sendiri tidak pernah sejalan dengan ide penegakan Syariah, lebih banyak untuk hal-hal yang kontra-produktif. Saya tak anti syariah, namun syariah macam mana yang ditegakkan? Syariah yang sudah kadaluwarsa lebih baik ditinggalkan sama sekali. Hukum-hukum Barat yang selalu mengikuti perkembangan jaman patut dikaji. Hukum-hukum Islam harus diinterpretasi kembali. Kompilasi hukum Islam yang ada ini saya anggap sangat konservatif dan musti direvisi. Jika hukum-hukum Barat memang bertujuan sama dengan syariah agama, mengapa tidak kita gunakan? Sikap apriori umat Islam terhadap gagasan-gagasan dari Barat atau darimanapun di luar pemahamannya, patut disayangkan. Inilah penyebab kemunduran umat Islam, selalu memandang dan menganggap penting siapa penggagas dan bukan apa yang digagas. Menutup diri dan tidak mau mendengar dan mengapresiasi pendapat orang lain yang berbeda. Ternyata semuanya itu bersumber dari pendangkalan atas agama atau paham.

Apabila kerukunan umat beragama terancam, maka yang harus ditegakkan adalah hukum, dengan menindak segala pelanggar yang melawan hukum, bukan mengatur setiap agama dengan UU Kerukunan Umat Beragama. Saya dapat mencontohkan konflik yang masih terus membara sekarang ini seperti di Poso. Semenjak bulan Oktober 2003, masyarakat baik yang beragama Islam maupun Kristen mengalami opresi dan represi dari aparat bertubi-tubi. Di pihak lain, rakyat kedua agama itu bertahan dan menunjukkan komitmen kedua agama tersebut terhadap penandatangan Malino. Perdamaian Malino tidak hanya ditandatangani oleh rakyat kedua agama tersebut, tapi juga oleh parat TNI dan kepolisian sebagai aparat negara.

Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa siapapun yang memancing, dan terlibat dalam upaya konflik dan kerusuhan adalah kriminal. Dalam banyak bukti sampai akhir ini telah ditemukan oknum-oknum aparat keamanan sebagai provokator bahkan terlibat dalam kerusuhan, oleh karena itu negara, khususnya TNI dan kepolisian sebagai lembaga yang ikut menandatangani perdamaian Malino harus konsekuen bertanggung jawab menangkap semua aparat yang terlibat dalam setiap provokasi dan kerusuhan.[]

#2. Dikirim oleh Arief Rahman  pada  06/03   09:03 AM

Asslamualaikum Wr. Wb.

Dalam RUU ini didahului dengan sebuah draft akademik yang terdiri dari sepuluh pokok, yaitu: 1. Tata tertib penyiaran agama, 2. Pengaturan tenaga dan bantuan asing, 3. Penyelenggaraan hari-hari besar keagamaan, 4. Persyaratan pendirian dan penggunaan tempat ibadah umum keagamaan, 5. Kebebasan beragama dan menjalankan ibadah/ritual agama, 6. Kebebasan mengikuti pendidikan agama, 7. Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, 8. Tata tertib pemakaman, 9. Penodaan dan penghinaan agama, 10. Penyalahgunaan agama untuk mengganggu ketertiban masyarakat dan atau tertib NKRI.

Secara garis besar RUU KUB ini muncul karena asumsi dari Depag bahwa seringnya terjadi konflik dan cekcok di negara Indonesia yang dipicu oleh persoalan tentang agama. Konflik ini lahir dari adanya truth claim -klaim kebenaran- terhadap agamanya masing-masing yang merupakan sumber dari ketidakrukunan antar umat beragama.

Disisi lain perlu kita perhatikan bahwa masalah agama dan keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing. Hal ini ditegaskan dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusai (DUHAM) pasal 18: Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan pikiran, hati nurani (conscience) dan agama, yang mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan, baik sendiri maupun kelompok bersama dengan orang lain dan baik di tempat tersendiri maupun di tempat umum, untuk menyatakan agama dan kepercayaannya itu dalam pengajaran, tindakan (practice), peribadatan, dan pelaksanaan (observance).

Akan tetapi justru sangat ironi jika negara seperti Indonesia -yang katanya menjunjung HAM- ini mensahkan RUU KUB dan tidak memperhatikan salah satu pasal DUHAM di atas maka sudah jelas kita bisa judge Indonesia sebagai negara yang melanggar HAM.

Sekian, terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

#3. Dikirim oleh A. Siswanto  pada  08/03   01:03 PM

Tidak menghormati hak-hak kaum Bahai, Sikh, karuhun dan kepercayaan-kepercayaan lain bagi saya adalah suatu kekeliruan. Namun, akan lebih keliru lagi apabila kita membiarkan mereka dalam dunianya sendiri, tidak kita kasih dakwah dan pencerahan. Juga sudah menjadi tugas kita sebagai penyelamat dunia akhirat bagi seluruh manusia, menghancurkan semua pandangan yang berbeda dengan kita. Saya setuju kalau RUU Kebebasan Beragama dicabut, dan digantikan dengan RUU Islam versi Liberal, tapi yang bagaimana, dan apa jaminannya?
-----

#4. Dikirim oleh Lukevery Purwasasmita  pada  18/03   08:03 AM

Saya pikir agama adalah urusan rohani. Urusan rohani manusia yang bersangkutan dengan Tuhan.

Kayaknya daripada ngurusin urusan orang lain ( apalagi urusan yang seperti ini ) mending lihat rohani sendirilah....apakah sudah siap hidup di akherat nanti dengan sempurna....?

Mending berdoa yuk...menata kesempurnaan untuk rohani kita.....

kindly regards
huda

#5. Dikirim oleh nurul huda  pada  05/02   11:46 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq