Ketika Rumah Tuhan Jadi Kontroversi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
16/10/2005

Ketika Rumah Tuhan Jadi Kontroversi

Oleh Tedi Kholiludin

Polemik yang mengiringi pendirian “Rumah Tuhan” ini, hemat saya memang terlalu berkutat pada aras normativitas. Rumah ibadah yang menjadi polemik, selalu dimaknai sebagai suatu simbol keagamaan yang eksklusif, haram disentuh oleh kelompok agama lain. Yang terjadi kemudian, langkah ini telah mereduksi fungsi lain rumah ibadah ini sebagai jembatan perekat persaudaraan antar sesama manusia.

Islam dan Kristen merupakan dua agama yang hingga saat ini memiliki karakter ekspansionis. Wajar jika dalam banyak hal kedua agama ini seringkali berebut umat dan wilayah. Gambaran inilah yang tercermin ketika mereka merespon pemberlakuan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 01/BER/mdn-mag/1969 yang mengatur tentang pelaksanaan tugas aparatur pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama.

Kontroversi tersebut semakin meruncing karena tidak hanya melibatkan komunitas dua agama tersebut. Bahkan dalam intern umat Islam sendiri terjadi silang pendapat mengenai SKB ini. Tokoh seperti Gus Dur tentu saja menolak pemberlakuan SKB ini. Apalagi yang menyangkut perizinan mendirikan tempat ibadah. Menurut Gus Dur dalam sebuah wawancaranya di salah satu televisi swasta, Agama Kristen saat ini sudah mengalami banyak denominasi. Catatan yang diberikan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PWI), hingga saat ini ada sekitar 270 an lebih gereja yang telah mengalami denominasi.

Padahal satu gereja dengan gereja lainnya memiliki karakter yang berbeda. Wajar jika dalam prakteknya umat Kristiani akan datang ke gereja yang memiliki kesamaan “visi” dengan dirinya. Meski di dekat tempat tinggalnya ada gereja. Jadi persoalan pendirian rumah ibadat (gereja) lanjut Gus Dur, akan sangat tidak relevan jika dikaitkan dengan persyaratan yang ketat dari pemerintah seperti yang tertuang dalam SKB tersebut. Dalam praktiknya, kita bisa melihat bahwa ada Gereja yang berlabel Baptis, Bethel, Pantekosta dan ada juga Gereja Kristen Jawa (GKJ).

Praktek peribadatan yang mereka lakukan, meski memiliki substansi yang sama, tetapi tentu tidak bisa dipukul rata. Ini berbeda dengan agama lain semisal Islam. Komunitas muslim dari sekte manapun baik yang mayoritas ataupun minoritas bisa beribadah di mesjid tertentu.

Tetapi lontaran Gus Dur ini memantik reaksi dan mendapat tanggapan balik dari Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir (HT). Saking kuatnya tekanan dari ormas Islam tersebut agar SKB tetap diberlakukan, Franz Magnis Suseno dan beberapa pendeta lainnya terpaksa harus bertemu Ketua Front Pembela Islam, Habib Rizieq. Tujuannya, agar umat Katolik dan Kristen bisa melaksanakan ibadah dengan mendirikan gereja. Menurut Franz Magnis Suseno, SKB 1969 tidak memadai, diberlakukan secara diskriminatif dan tidak adil. Sebab syarat untuk membangun rumah ibadah memerlukan 40 keluarga. Karena syarat itu, gereja, khususnya, memerlukan waktu 10 hingga 20 tahun untuk dibangun, dan dirasakan sebagai hal yang mengada-ada.

Polemik yang mengiringi pendirian “Rumah Tuhan” ini, hemat saya memang terlalu berkutat pada aras normativitas. Rumah ibadah yang menjadi polemik, selalu dimaknai sebagai suatu simbol keagamaan yang eksklusif, haram disentuh oleh kelompok agama lain. Yang terjadi kemudian, langkah ini telah mereduksi fungsi lain rumah ibadah ini sebagai jembatan perekat persaudaraan antar sesama manusia.

Fungsi Sosial

Di daerah wisata Kaliurang Yogyakarta, ada sebuah rumah ibadah yang berbeda dengan rumah peribadatan lainnya. Jika rumah ibadah yang biasa kita kenal hanya diperuntukan untuk salah satu penganut agama, maka rumah ibadah ini bisa dipergunakan oleh masyarakat dari berbagai agama. Di daerah lain, tepatnya di kota Salatiga, Jawa Tengah, juga terdapat rumah ibadah dengan fungsi serupa. Bedanya di Salatiga rumah ibadah tersebut bisa dipakai, namun dengan jalan bergantian satu dengan lainnya. Lalu apa sebenarnya makna filosofis yang bisa kita tangkap dalam simbol rumah ibadah bersama tersebut?

Timbulnya kontroversi “Rumah Tuhan” menurut saya salah satunya dipicu oleh kegagalan pemerintah dalam mendefinisikan dan mencari maksud serta arti dari apa yang disebut rumah ibadah tersebut. Apalagi SKB yang dikeluarkan itu, miskin referensi dan tanpa pembacaan yang komprehensif terhadap kondisi masyarakat yang di daerah tertentu sudah sangat lama bergelut dengan keragaman.

Ide penyempurnaan SKB dengan pembentukan Forum Kerukunan umat beragama (FKUB) yang rencananya akan sampai ke tingkat desa, juga bisa menjadi bumerang. Menurut Moh Ma’ruf, Menteri Dalam Negeri forum ini nantinya akan membantu kepala daerah dalam pendirian tempat ibadah, sekaligus berharap bahwa kerukunan antaragama akan tercipta melauli forum ini.

Kejadian (pendirian FKUB) tersebut mengingatkan kita ketika tahun lalu, pemerintah melalui Departemen Agama membuat rancangan Undang-undang Kerukunan Umat Beragama. Saya berasumsi bahwa FKUB akan menjadi bumerang bagi pemerintah karena akan dianggap akan mengintervensi aturan untuk rukun. Yang terjadi nantinya umat beragama bukannya “rukun” tetapi “dirukunkan”, bukannya “tentram” tetapi “ditentramkan”.

Kerukunan pada nantinya bukan sebuah agenda bersama umat beragama yang merupakan internalisasi dari ajaran luhur agama, tetapi lebih sebagai realisasi program kerja pemerintah atau negara. Kita bisa melihat bahwa ada dua spirit yang berbeda meski sama-sama berlabel kerukunan. 

Padahal, institusi negara adalah institusi yang baru. Sebelum ada negara, agama dan manusia sudah ada. Kewajiban negara, adalah melayani hajat keberagamaan warga negaranya, seperti ketika negara melayani kebutuhan akan pendidikan, transportasi, komunikasi dan lainnya. Dalam kerangka inilah seharusnya kita menempatkan negara ketika berurusan dengan wilayah agama. Negara melayani agama, bukan mengatur agama. Kalaupun mungkin ada pengaturan maka hal tersebut tidak harus mencampuri urusan keagamaan. Dan prinsipnya negara harus memberi kebebasan sebebas-bebasnya kepada setiap individu.

Cermin kerukunan yang hadir sebagai sebuah proses internalisasi adalah apa yang dipraktekan oleh masyarakat Cigugur, Kuningan Jawa Barat. Penduduk di daerah yang terletak di lereng Gunung Ciremai ini disebut-sebut sebagai protipe masyarakat ideal. Mereka bisa hidup berdampingan meski di dalamnya ada banyak pemeluk agama. Tak hanya “agama-agama resmi”, di Cigugur juga terdapat banyak agama lokal. Mereka menjadi masyarakat yang rukun tanpa harus dirukunkan lagi oleh siapapun, termasuk pemerintah dan negara.

Dengan demikian, penanganan pemerintah terhadap persoalan keagamaan yang ada di negara kita paling tidak harus ada upaya untuk memilih strategi yang paling mendasar. Pertama, mewujudkan komunikasi yang partisipatif antarmasyarakat yang terlibat dalam konflik atau ketegangan. Caranya, membangun suasana para pihak yang berkepentingan untuk duduk berbicara dan berproses bersama secara bertahap satu sama lain agar tetap memegang komitmen dalam proses komunikasi yang terbuka.

Kedua, mengutamakan pihak yang paling dirugikan dalam praktik kehidupan sosial politik di masyarakat. Pilihan ini menjadi lebih penting lagi di tingkat kepentingannya jika diterapkan di daerah konflik. Ketiga, interaksi antaragama yang sudah berlangsung di tingkat lokal, penting untuk dilanjutkan. Tiga point itu sangat efektif dilakukan bila tidak ditekan atau diatur oleh negara. []

Tedi Kholiludin, Aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang

16/10/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Ass. Wr. Wb. Maaf kalau saya baru nanggapi… Saya terus terang merasa kasihan dengan saudara kita umat Kristiani. Mereka dikekang untuk mendirikan tempat beribadah yang bertujuan mencetak insan yang berahlak hanya karena kita menjadi mayoritas di negeri ini. Padahal di negara yang mayoritasnya beragama non muslim, umat kita malah dihargai dan dibantu dalam mendirikan masjid...apa kita tidak malu????? Terutama dengan FPI dan HT yang kerjaanya hanya ngrecoki umat beragama lain. Tolong dong hentikan sikap itu...kita harus malu karena Nabi Besar Muhammad yang kita muliakan tidak pernah melarang umat ahli kitab untuk beribadah...emang Habib Rizieq itu lebih mulia dari Junjungan kita???? Atau justru dia yang lebih sesat dari Ahmadiyah??? Yang berusaha untuk melebihi Nabi Besar dalam mengatur umatnya???? Coba FPI dan HT demo pendirian tempat hiburan yang menjamur… Pemerintah juga sama gebleknya...tempat ibadah dihalangi tapi operasional tempat maksiat seperti meteor Karaoke di Jl. Arjuna tetap dipelihara...atau emang ada setoran???? Saya juga bingung sama FPI dan HT...merazia tempat hiburan saat bulan Ramadhan aja tapi bulan lainnya malah adem ayem...emang cari setoran untuk mbayar THR pimpinannya ya??? Atau cuman ngingetin pemilik tempat hiburan untuk tetap setor donatur ke FPI dan HT??? Semoga tanggapan ini bisa membuka mata umat muslim di Indonesia bahwa kita tidak boleh takut dengan agama lian...asal kita bisa menunjukkan ahlak mulia seperti Nabi Besar kita...insyaallah...orang akan melihat Islam sebagai jalan yang terbaik...amin
-----

Posted by abu thalib  on  05/16  at  06:05 AM

Saya sepakat dengan mas teddy,kita lebih di sibukan dengan hal-hal yang sifatnya normativ atau simbolis,padahal kalau kita cermati dan hayati fungsi dari agama itu sendiri adalah membebaskan. Hemat saya saat ini yang terpenting adalah memberikan penyuluhan dan penjelasan kepada masyarakat tentang pluralisme, mungkin saat ini agenda semacam ini saya kira menjadi hal yang serius untuk kita pikirkan bersama, Masyarakat harus mulai menyadari akan fungsionalisasi agama yang ia peluk dan yakini.Bagaimana islam itu sendiri mengajarkan Tassamuh( saling menghargai atau toleransi).DAn hal ini kiranya umat islam harus betul-betul sadar akan keberadaan dirinya dan orang lain.Karena bagaimanapu secara ontologis kita memiliki kesamaaan dengan agama-agama yang lain. dimana Tuhan kita sama,yang maha pengasih dan penyayang, Tuhan semua Agama.Kalau Tuhan kita sama, menyembah Tuhan yang sama kenapa harus terjebak dalam tataran simbolis seperti rumah tempat ibadah,Ingat...bahwa Ka’bah,Gereja, masjid, wihara dan lain sebagainya itu bukanlah tujuan, melainkan hanya alat, alat menuju kearah yang Satu.Logikanya begini, kalau menuju kota Bandung bisa diditempuh dengan berbagai kendaraan kenapa harus rigid dengan persoalan itu, artinya apaapun kendaraan yang akan kita tumpangi tak ada masalah , yang pentig tujuannya menuju kota bandung.

Posted by Ida Wahyudi  on  10/23  at  01:10 AM

Ketika kita meyakini suatu ajaran memberi kita kebahagiaan dan percaya bahwa ajaran tersebut memberi keselamatan, maka amat sangat manusiawi apa bila kita menginginkan dan berusaha menyebarluaskan kebahagiaan yg kita rasakan, serta berbagi keselamatan dng yg lain.

Begitu juga umat islam dan atau umat kristen, masing-masing dari pemeluk umat tersebut berusaha menyebarkan agamnya dng harapan kebahagiaan dapat lebih banyak menyebar dan keselamatan jadi ‘lebih demokratis’ karena tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang, tapi dirasakan oleh lebih banyak orang.

Dan ini bukan cuma khas agama islam atau kristen, orang-orang dng agama budha, atau bahkan yg berideologi kapitalis, sosialis dan lain sebaginya. Juga kurang lebih punya dorongan yg sama untuk menyebarkan ajarannya masing-masing.

Termasuk JIL, dengan cara dan agendanya sendiri, juga berdakwah, ya kan?

Tujuan fundamental ini kadang jadi bias, ketika aksi dilapangan dijalankan. Cinta kasih yg (secara ideal) menyemangati tersebarnya keselamatan dan kebahgiaan (sering kali)diexpresikan dng kekerasan kata-kata atau bahkan perbuatan yg kasar, baik oleh para pelaku dakwah dan atau pewarta. Dan diperparah oleh adanya muatan-muatan lain yg tataranya lebih rendah seperti motif kekuasaan, materi, atau muatan hawa nafsu yg lain.

Ada sebuah pertanyaan besar ketika kita mempertanyakan kenapa ada diantara kita sibuk berdakwah, sibuk mengajak orang lain lebih memahami suatu ajaran.Bukankah Ini sebenarnya salah satu unsur manusia yg manusiawi. Ini adalah sebuah pangilan hidup, seperti kenapa ada yg mencintai dunia kesenian kemudian jadi seniman, mencintai dunia dagang kemudian jadi usahawan, dan seterusnya. Banyak diantara kita yg mencintai Tuhan, dan berkeinginan menyebarkan ajaran-ajaran Tuhan. Mengajak orang lain lebih dekat dngn tuhan, lebih menyelami kedamainan, mencoban mengerti keterbatasan manusia dihadapan kemutlakan kuasa Tuhan……

Ya, meski selalu ada muatan hawa nafsu dalam tiap tindakan manusia,pada tataran yg paling hewani, banyak ustad cabul, banyak pendeta munafik, dan sebagainya, tapi bukan berarti keberadaan para pendakwah dan pewarta adalah suatu yg absulut sampah dan tidak diperlukan.

Karena niat manusia hanya Allah dan manusia itu sendiri yg tahu, biarlah urusan itu diperbaiki di tingkat personal, maka, Menurut hemat saya, mungkin yg perlu dijaga bersama adalah aturan main cara berdakwah. Kita toh, pada dasarnya sama-sama tahu bahwa gerakan cultural dan gerakan structural adalah dua investasi yg sama-sama penting untuk kita lakukan bersama-sama. Toleransi ,misalnya, memang harus diperjuangkan lewat jalan cultural, tetapi sekaligus harus diperjuangkan lewat jalan structural, ya dng adanya peraturan entah Undang-undang, ataupun aturan yg lebih rendah dari pada itu. Relevansi omongan panjang lebar ini dengan artikel di atas adalah, investasi yg perlu, (atau malah sudah dilakukan)oleh teman-teman non muslim adalah berusaha dng sebaik-baiknya agar aturan yg dianggab merugikan agamanya direvisi dan diganti dng aturan yg baru. Disamping tetap melakukan kegiatan cultural seperti yg rajin dilakukan frans magnis suseno, JIL dan teman-teman yg lain.

ahh, sebenarnya kita kita sama-sama tahu, apa pun pilih agama kita, kekuasaan Tuhan toh tidak pernah berkurang atau bertambah. semoga berkah Allah untuk kita semua, amin

Posted by Dema Akhirul jatmiko  on  10/20  at  05:11 AM

</strong></strong>Perdebatan mengenai kontroversi rumah tuhan ini tampaknya lebih menarik apabila ditambahkan refferensi mengapa hari ini ka’bah hanya digunakan oleh umat Islam…

Padahal secara Historis yang mendirikan dan merawat ka’bah adalah bani adam, israil baru terakhir bani ismail..

Terima kasih..

Posted by Andika Rizki  on  10/17  at  08:10 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq