Kita Butuh Fikih Baru - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
20/10/2003

Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer: Kita Butuh Fikih Baru

Oleh Redaksi

Sebagai negara yang pluralis, baik dari sudut etnis, bahasa, budaya, dan agama, Indonesia jelas membutuhkan rumusan fikih yang mempunyai visi dan wawasan yang pluralis. Untuk menanggapi kenyataan ini, baru-baru ini, Yayasan Paramadina sebuah lembaga yang dimotori Dr, Nurcholish Madjid dan berkecimpung dalam kajian keagamaan dan sosial, sedang mengembangkan dan merumuskan gagasan tentang fikih lintas agama yang dirampungkan dalam bentuk buku yang berjudul “Fiqih Lintas Agama”. Inilah buku pertama yang secara spesifik membahas soal fikih hubungan antar umat beragama di Indonesia.

Untuk mengetahui lebih detail tentang “Fikih Lintas Agama” tersebut, Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu mewawancarai Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, yang juga menjadi salah seorang tim perumus gagasan “fikih lintas agama” ini pada Kamis (17/10/03) lalu. Berikut petikannya:

NONG DAROL MAHMADA: Pak Kautsar, Anda dan kawan-kawan di Paramadina menggagas konsep fikih yang bernama “fikih lintas agama”. Apa yang dimaksud “fikih lintas agama” itu?

PROF. DR. KAUTSAR AZHARI NOER: “Fikih lintas agama” yang sedang digagas, bukan berarti semacam klinik fikih yang lintas agama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, atau apapun. Yang dimaksud adalah fikih Islam yang khusus membahas tentang hubungan antaragama. Di dalam konsep fikih ini dibahas tema-tema yang terkait langsung dengan hubungan antaragama. Misalnya dibahas soal perkawinan antaragama, doa bersama, mengucapkan salam kepada nonmuslim, menghadiri dan mengucapkan selamat Natal, dan persoalan-persoalan yang terkait langsung dengan hubungan umat Islam dengan umat agama-agama lain.

NONG: Apa pentingnya membahas tema-tema tersebut untuk konteks Indonesia sekarang?

KAUTSAR: Tema-tema itu tidak datang dengan sendirinya. Kita mengambilnya dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat kita sehari-hari. Kita sering menyaksikan --misalnya-- para pejabat menghadiri peringatan Natal dan mengucapkan selamat Natal. Pembawa acara di televisi pun umumnya tak sungkan mengucapkan selamat Natal. Kita secara ringan saja mengucapkan salam kepada nonmuslim, atau ada juga yang melakukan perkawinan beda agama.

Nah, semua itu merupakan persoalan-persoalan yang riil di masyarakat. Tapi sayangnya, belum ada fikih yang membicarakan persoalan tersebut secara agak tuntas. Kalaupun fikihnya ditemukan, dia hanya berbentuk fikih klasik yang belum tentu mampu memberi jawaban atas persoalan-persoalan kekinian yang riil di masyarakat yang bercorak pluralistis. Makanya kita butuh fikih baru. Saya melihat, fikih lama yang menurut saya cenderung eksklusif itu, tidak cocok lagi menanggapi tantangan-tantangan masyarakat kini, yang anggota-anggotanya sudah memiliki kesadaran akan pentinganya pluralisme. Jadi, kalau ada teologi pluralis, kita juga butuh fikih pluralis. Fikih yang eksklusif tidak akan cocok dengan teologi pluralis. Fikih yang cenderung eksklusif hanya cocok untuk teologi yang eksklusif. Jadi, memang ada pasangannya masing-masing.

NONG: Tadi Anda menyebut fikih klasik sudah membahas sebagian dari tema-tema fikih lintas agama, tapi visinya masih eksklusif. Bisa Anda lebih jelaskan lagi?

KAUTSAR: Hm, memang untuk sebagaian sudah ada (pembahasannya). Misalnya, soal kawin beda agama. Dalam soal itu, sudah ada dua pendapat. Pendapat yang mayoritas dan sangat populer memang mengharamkan nikah beda agama. Meski begitu, bukan berarti tidak ada pendapat yang membolehkan. Hanya saja, yang dominan kan yang mengharamkan. Itu satu contoh.

Nah, ada persoalan-persoalan lain seperti soal doa bersama, yang juga perlu dibahas. Saya tidak tahu, apakah pada zaman Nabi dulu, doa bersama punya preseden atau tidak. Sekarang, praktik itu sering dilakukan orang. Kalau kita lihat, yang melakukan itu justru tokoh-tokoh dari semua agama. Itu persoalan riil. Perlu ada jawaban konkret.

NONG: Anda sendiri mengartikan fikih seperti apa?

KAUTSAR: Fikih itu berarti pemahaman, kan?! Pemahaman yang dimaksud di sini, jelas pemahaman manusia. Dan dilihat dari sisi itu, jelas akan berbeda-beda dan sangat berkemungkinan untuk salah. Alqur’an memang tidak salah, tapi pemahaman kita tentang Alqur’an, pasti bisa salah. Fikih yang kita bikin itu memang bisa salah. Sesuatu yang kita anggap benar, bisa saja salah menutur perspektif Tuhan. Sebaliknya, apa yang kita anggap salah, bisa jadi itulah yang benar di mata Tuhan. Kita tidak tahu (rahasia Tuhan), kan?!

Untuk itu, kita tetap harus berusaha memahami Alqur’an dan Sunnah Nabi secara maksimal dan sesuai kemampuan kita. Tentu upaya itu dilakukan dengan metode-metode tertentu. Nah, bagi saya, ilmu fikih adalah ilmu tentang ibadah, muamalah dan tentang berbagai aturan agama yang dikonstruksi berdasar pemahaman manusia atas apa-apa yang diwahyukan Tuhan. Jadi karena besifat pemahaman, dia tidak mutlak.

NONG: Nah, apa yang baru dari produk fikih ini yang Anda rumuskan ini? Dan pendekatan apa yang Anda pakai untuk merumuskannya?

KAUTSAR: Dikatakan baru seratus persen, tentu tidak. Untuk soal pendekatan, kita selalu berpegang pada watak asli Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kedamaian. Watak asli Islam itu kan lebih mengutamakan kemaslahatan. Maka dari itu, untuk menetapkan sebuah produk hukum, yang harus diperhitungkan adalah: apakah produknya akan membawa kemaslahatan atau tidak. Jadi, ketetapan sebuah produk hukum selalu ditentukan oleh tujuan syariat. Itu metode atau pendekatan yang selalu kita pertimbangkan sebagai prinsip. Inilah yang membuat kita membolehkan do’a bersama atau mengucap salam kepada nonmuslim misalnya. Kalau dihitung-hitung, hal itu kan untuk kemaslahatan juga. Itu bisa mempererat persahabatan dan keakraban, selain untuk saling menghargai.

NONG: Dalam memproduk hukum fikih, tentu kita butuh dalil. Apakah ada dalil-dalil untuk kasus-kasus itu?

KAUTSAR: Tentu harus ada. Setiap muslim tentu berpedoman pada dalil Alqur’an dan Hadis. Hanya saja, pada titik ini kita perlu garisbawahi. Penafsiran tiap orang atas Alqur’an dan Hadis bisa berbeda-beda. Contohnya, penafsiran dan penyikapan terhadap dalil tekstual nikah beda agama. Kalimat “walmuhshanât minalladzîna û’tul kitâb” (QS., 5 : 5) misalnya ditafsirkan secara berbeda-beda. Selain dalil tekstual, kita juga berhadapan dengan dalil historis. Nabi sendiri menikah dengan seorang perempuan Kristen bernama Mariah Koptik (dari Mesir). Beliau juga sempat menikah dengan seorang perempuan Yahudi bernama Shafiyyah binti Huyay. Jadi, inilah perumpamaan dalil-dalil yang kita gunakan untuk menyikapi kasus nikah beda agama.

NONG: Tadi Anda sempat menyebut soal pertimbangan maslahat dalam menelorkan produk fikih. Bagaimana bila pertimbangan maslahat tadi bertentangan dengan teks-teks yang termuat dalam Alqur’an?

KAUTSAR: Ayat Alqur’an yang bersifat kontekstual seperti jatah harta rampasan perang di antara umat Islam, dalam Alqur’an diatur dengan sangat jelas. Tapi Umar bin Khattab tidak menggunakan ayat itu. Dalam kasus pemberian jatah rampasan perang di Khaibat tersebut, para tentara dan panglima perang waktu itu tidak menggunakan ayat Al-Anfâl. Jadi, ada kesan Umar melawan ayat Alqur’an. Di dalam kasus itu, konteks yang menjadi pertimbangan Umar adalah soal kemaslahatan. Pada masa itu, para tentara sudah cukup kaya raya, sementara banyak orang miskin yang lebih membutuhkannya. Jadi, pertimbangannya kala itu: lebih baik harta itu dibagikan kepada orang miskin. Pertimbangannya adalah soal kemaslahatan.

NONG: Artinya, sekalipun pertimbangan maslahat bersifat relatif, kandungan teks pun bisa jadi relatif juga?

KAUTSAR: Saya tidak mengatakan (kandungan) teks itu relatif. Tapi teks harus dipahami secara kontekstual (di dalam konteks tertentu). Dalam berbagai diskusi, kita sepakat akan kemestian membedakan antara tujuan dengan cara yang dikandung oleh teks-teks agama. Tujuan tidak boleh dirobah, sementara cara boleh. Prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan kemaslahatan, misalnya, tidak boleh diubah. Tapi apakah para tentara itu --dalam konteks ayat Al-Anfâl-- mendapat jatah harta rampasan perang atau tidak, itu menyangkut soal cara saja. Itu salah satu contoh.

Masih ada contoh lain yang perlu dikemukakan juga. Dalam Alqur’an surat 9 : 60 diterangkan bahwa para muallaf (orang yang baru masuk Islam, Red) itu mendapat bagian dari harta zakat. Umar justru tidak memberikan jatah mereka, karena konteksnya yang sudah berbeda. Di sini kita melihat, bukan berarti suatu ayat berubah, tapi cara memahami ayat yang mengalami pergeseran ke arah yang lebih kontekstual karena perbedaan konteks.

NONG: Tapi ada soal lain yang perlu dijelaskan yaitu perbedaan antara teks agama dan maslahat itu selalu potensial mengaburkan pemahaman. Bagaimana komentar Anda?

KAUTSAR: Di sini saya mau mengutip Abdul Moqsith Ghazali, pemikir muda dari NU. Menurutnya, kandungan Alqur’an itu perlu dibedakan. Ada ayat-ayat yang berkelas eksekutif dan ada ayat-ayat kelas ekonomi. Ayat yang berkelas eksekutif adalah ayat yang bersifat lintas batas. Ayat-ayat yang memerintahkan kita menegakkan keadilan dan persamaan termasuk ayat-ayat berkelas eksekutif. Sementara itu, ayat-ayat yang berkelas ekonomi, biasanya lebih berbicara tentang hal-hal yang bersifat teknis atau cara. Menurut saya, aturan-aturan dalam ayat yang berkelas ekonomi harus ditundukkan pada kebenaran yang diusung oleh ayat-ayat yang berkelas eksekutif tadi. Itu artinya, cara harus ditundukkan pada tujuan. Dalam Alqur’an itu selalu ada nuansa fikih. Itulah yang disebut sebagai fiqhul qur’ân. Jadi ketika Alqur’an berbicara soal tata cara sesuatu --tentang persoalan fikih, misalnya-- itulah cara Alqur’an dalam menafsirkan realitas. Nah, ini terkait dengan persoalan nikah beda agama dan lain sebagainya itu.

NONG: Nah, wilayah mana saja yang jadi concern fikih lintas agama: apakah hanya pada wilayah muamalah atau juga merambah wilayah ibadah?

KAUTSAR: Konsep fikih lintas agama yang kita garap ini bukan hanya membahas soal muamalah, tapi juga menyangkut persoalan ibadah. Misalnya bahasan soal doa bersama. Doa bersama itu dalam teknisnya bisa banyak bentuk. Misalnya, semua peserta yang berbeda-beda agamanya berdoa dengan dipimpin oleh seorang pendoa dan dibuatkan teksnya sedemikian rupa sehingga orang mudah mengamininya. Ada juga bentuk doa bersama antara agama. Artinya dalam suatu pertemuan itu, masing-masing kelompok agama berdoa menurut agamanya masing-masing. Yang muslim berdoa dengan cara Islam, sementara yang nonmuslim dengan cara mereka pula.

NONG: Nampaknya sekalipun yang dibahas soal ibadah, tapi fikih lintas agama ini membatasi diri pada persoalan ibadah yang terkait langsung dengan hubungan antar agama. Ya, wilayah muamalah juga, apa begitu?

KAUTSAR: Ya. Contohnya ritual doa bersama itu tadi. Saya tidak tahu, apakah menghadiri perayaan Natal bagi kalangan muslim yang diundang untuk itu termasuk dalam bidang ibadah atau muamalah. Tapi, mungkin di situ ada dimensi ritual ibadahnya, sekaligus dimensi muamalah. Kita sering melihat kasus seperti itu terjadi. Pejabat-pejabat kita tak keberatan untuk menghadiri perayaan Waisak, Natal, Nyepi dan hari-hari besar agama lainnya.

Nah, di sini kita perlu tegaskan; sekalipun membahas soal ibadah, kita tetap tidak akan mengubah atau menukar tata cara salat --misalnya-- atau ibadah lainnya. Sebagai seorang muslim, salat dan puasa tetap akan dijalankan seperti yang kita pahami; sebagaimana yang diajarkan Alqur’an dan praktik Nabi. Itu tidak akan diotak-atik. Kalau itu diubah, keislaman kita bisa menjadi hilang.

NONG: Intinya, ini semacam upaya untuk membangun hubungan harmonis antara kalangan muslim dengan nonmuslim?

KAUTSAR: Ya. Di dalam bukunya nanti akan ada judul kecil begini: membangun masyarakat inklusif dan pluralis. Jadi orientasinya jelas: membangun masyarakat yang mendambakan kedamaian. Dan memang, fikih yang kita rumuskan ini merupakan produk fikih yang --kalau bisa-- menjawab tantangan pluralitas yang ada. Sebab, realitas masyarakat kita memang sangat plural; terdiri dari beragam etnis, budaya dan agama. Karena itu, kita tergerak untuk membuat rumusan fikih yang bercorak pluralistis, sekaligus tidak bertentangan dengan tuntunan Alqur’an dan Sunnah.

Intinya, bagaimana Islam membuat peraturan-peraturan --baik dalam soal ibadah, maupun muamalah-- dalam kaitannya dengan hubungan Islam dengan agama lain. Ini memang tantangan pluralisme yang tidak mudah untuk ditanggapi. Dari sisi produknya, mungkin akan banyak pihak yang tidak setuju. Tapi, semangat yang ingin diperjuangkan, saya kira akan sangat penting nilainya.[]

20/10/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

ide soal fiqh baru memang baik, tapi menghadapi masalah konseptual yang tidak mudah. pertama, konsep fiqh (aturan hukum) itu adalah aturan tindakan praktis (apakah ini boleh atau tidak boleh dilakukan), argumentasi yang dibangun adalah dikaitkan dengan dalil (tekstual) dari sumber (hukum). dari sisi pengertian ini, pendapat pak azhari belum jelas dalam wawancara di atas (aku belum membaca bukunya, jadi aku bisa salah). dilihat dari pengertian awal di wawancara, fiqh dalah pemahaman, maka sudah ada orientasi memperbarui makna fiqh ke makna luas (dalam arti linguistik mengembalikan makna fiqh ke makna denotatifnya:pemahaman). tapi dilihat dari objek materi yang dibahasnya, seprti doa bersama, kawin campur, dll. maka arti fiqh dikembalikan ke makna konvensional (fiqh sebagai aturan hukum). dua-duanya mengandung asusmsi dan konsekuensi yang berbeda.

kedua, asumsi yang mendasari arti fiqh. fiqh dalam arti pemahaman umum (fiqh kabir) pernah dipakai imam hanafi. konteks penggunaannya belum dikaitkan dengan seperangkat ilmu keislaman yang muncul pada abad VII berupa (fiqh, tafsir, hadits, ushuluddin/ilmu kalam/tauhid, filsafat islam, tashawuf, tarikh). ilmu-ilmu ini memang berkembang belakangan, jadi pada jaman nabi juga belum ada pembedaan. fiqh artinya pemahaman soal islam secara umum. bagaimana dunia dipahami dan disikapi, adalah dengan tradisi. lalu tradisi tadi diklasifikasi pada masa sebelumnya, ada tradisi jalan mengerti secara kebahasaan (tafsir), mengerti secara tindakan (fiqh), alat-alat untuk mengerti bagaimana menyikapi tindakan (ushul fiqh), tradisi mengerti soal hakikat (filsafat), trdisi mengerti soal mitik (tasawuf).

fiqh dalam arti aturan tindakan (hukum) yang muncul belakangan (fiqh) di dasarkan atas minimal dua asumsi: 1) asumsi metodologis dan filosofis (artinya fiqh didasarkan atas ushul fiqh dan ushuluddin), misalnya dasar ilmu kalam suni beda fiqh dengan dengan syiah sebagai dasarnya. dua-duanya punya fiqh beda. 2) asumsi linguistik (artinya fiqh didasarkan atas teori bahasa tertentu). misalnya teori bahasa arab abad VII yang sudah mengenal konsep logika yunani (ada tradisi imam khalil, imam sibawaihi dan lain2) menghasilkan fiqh beda dengan model sebelumnya yang masih lebih tradisional, artinya langsung dari cara megneri turun menurun dari nabi Muhammad dan bangsa arab. 

kedua asumsi ini belum lagi dilihat dari konteks lebih luas, seperti disingun pak azhari. namun, yang ingin kuperlihatkan di sini, jaman sekarang spektrum ilmu sudah jauh lebih luas. era digital. cara memahami dunia dan sikap atas dunia sudah berbeda. ideologi yang mainstream juga berbeda dengan mainstream yang jadi tantangan jaman nabi dan imam besar. ini jaman posmo.

jadi, bagaimana fiqh kok menjadi tawaran ilmu mengenai tindakan pada saat ini? kecuali dengan menfigurasikan lagi ke dalam jenis pemahaman baru yang sarat dengan dialog interdisipliner seperti sekarang! tapi apa masih relevan untuk disebut lagi fiqh? 

tabik, wakhit
-----

Posted by wakhit hasim  on  10/24  at  01:10 AM

fikh yang baru yang akan kita buat tentunya akan mendatangkan beberapa kontroversi diantara para penganut agama yang sama sekali belum mengenal perubahan dan pembaharuan, apalagi yang berbau liberal dan yang lain sebagainya. bagaimana menurut tuan-tuan yang lebih tahu. karena saya hanyalah sebagai bagian dari mereka yang tidak tahu. terima kasih jika akan di buat suatu perubahan yang sangat sighnifikan, tapi tolong jangan menjadikan persatuan dan kesatuan umat jadi terpecah.

Posted by nopri harahap  on  09/09  at  10:10 AM

Menurut pendapat saya fikih lintas agama tidak perlu, karena islam telah mengaturnya dengan sempurna. dasar kita dengan umat lain adalah lakum dinukum waliyadin. jangan pernah karena kita dianggap sebagai seorang yang fundamentalis, teroris oleh bangsa yang justru teroris kita menjadi lemah terhadap akidah kita. Membuat fikih yang mengatur hubungan dalam beragama dengan umat lain. Dengan cara kita tidak menganggu umat lain untuk beribadah merupakan suatu penghormatan kepada umat lain. Mereka juga harus mengerti bukan kita yang harus selalu mengalah kepada umat lain. Kita selalu menganggap bahwa diri kita umat islam yang harus memperbaiki. |Apakah tidak pernah kita lihat kehidupan di masyarakat muslim yang dibawah kemiskinan ia terancdam akidah. |Kenapa kita tidak berpikir kesana?! Sungguh munafik jika kita umat islam yang sudah terjepit oleh lebel-lebel yang tidak pernah kita perbuat harus selalu mengakui kesalahan itu yang kita perbuat. Demikian tanggapan saya atas perhatian |Saudara diucapkan terima kasih.

Posted by Mbak Endah  on  11/10  at  07:12 AM

Menurut saya Fikih yang dibutuhkan adalah Fikih yang juga secara komprehensif mencakup dan menimbang perkembangan ilmu pengetahuan, seperti yang senantiasa di serukan oleh Al Quran. Ayat-ayat Allah di dalam alam semesta banyak yang terungkap oleh ilmu pengetahuan, dan perkembangan ilmu pengetahuan itu belum termaktub di dalam Fikih mazhab-mazhab populer. Misalnya, puasa di daerah kutub yang siang malamnya enam bulan enam bulan itu kapan saurnya dan kapan bukanya? Pengetahuan geografis seperti keadaan cuaca di daerah kutub, misalnya, tidak menjadi latarbelakang pengetahuan yang menjadi sumber Fikih dewasa ini. Banyak pengetahuan lain yang menyibak-nyibak misteri alam. Semua itu harus masuk Fikih. Bukan hanya masalah lintas agama. Salam, Bram

Posted by Bram Prijosusilo  on  11/08  at  09:11 PM

Untuk saudara Irfan, FYI, ada buku yang direlease oleh Yayasan Wakaf Paramadina yang berjudul Fikih Lintas Agama.  Dalam buku tersebut, ada jawaban dua pertanyaan anda.

Namun yang perlu dipertanyakan ke pengarang buku tersebut adalah “Mengapa tidak terdapat hukum ketika terjadi kasus-kasus khusus, seperti misalnya: 1.  upaya Kristenisasi

Apa hukumnya ketika kita mengetahui seseorang itu melakukan

upaya-upaya Kristenisasi?  Apakah kita masih memberikan toleransi? 2.  penghinaan terhadap agama melalui orang-orang Islam

Sudah sering kali terjadi, ketika seorang non Muslim yang memiliki

jabatan, melakukan tindak-tindak diskriminasi, misal:

- mempersulit acara-acara ibadah untuk Muslim

- mempermudah acara-acara ibadah untuk yang seagama dengan-

nya.”

Sekiranya pertanyaan tersebut juga terjawab, sehingga buku tersebut jadi lebih objektif dan seimbang.  Untuk aktifis JIL, anda mungkin bisa menjawabkan pertanyaan saya?!

Terima kasih.

Wassalam.

Posted by Permono, R.  on  11/07  at  03:12 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq