Konsep Ijma’ sebagai Partisipasi Otonom
Halaman Muka
Up

 

Kolom
23/04/2004

Konsep Ijma’ sebagai Partisipasi Otonom

Oleh Zuhairi Misrawi

Konsep ijma’ dalam tradisi Islam sebenarnya bisa dikatakan sebagai konsep revolusioner. Di sini, ijma’ sebagai akumulasi hasil ijtihad sebenarnya menjadi langkah positif untuk mematangkan fungsi agama sebagai sumber moral dan etik untuk menggugah kesadaran kolektif yang lebih bersifat antroposentris. Banyak sekali persoalan kemanusiaan yang semestinya dijawab dengan semangat ijma’.

Tulisan ini juga dimuat di harian Media Indonesia, 23 April 2004

“BARANG SIAPA berpendapat sesuai dengan pandangan kebanyakan komunitas muslim, sesungguhnya ia telah menunaikan konsensus. Sebaliknya, barang siapa bertolak belakang dengan pandangan kebanyakan komunitas muslim, sesungguhnya ia telah melanggar konsensus. Kelalaian hanya terjadi dalam keterpecahan dalam mencapai konsensus. Sedangkan konsensus tidak akan melahirkan kelalain terhadap makna Alquran, sunnah dan analogi”.

Itulah pandangan Imam al-Syafi’i dalam mognum opus-nya, al-Risalah perihal pentingya ijma’ (konsensus) dalam mengambil sebuah kesimpulan hukum. Yang menjadi kata kunci dalam ijma’ adalah keterlibatan sebagian besar para ahli dan cerdik cendekia untuk menetapkan sebuah kedudukan hukum yang nantinya akan dijadikan acuan bersama. Dalam konsep ijma’, sebuah hukum tidak ditentukan oleh otoritas politik, melainkan dimiliki oleh wakil-wakil masyarakat, yaitu mereka yang memiliki keahlian dan kepakaran dalam masalah keagamaan.

Konsep ijma’ dalam tradisi Islam sebenarnya bisa dikatakan sebagai konsep revolusioner. Betapa tidak, sebab sumber-sumber hukum yang sebelumnya hanya mengacu kepada Alquran dan sunnah, lalu dalam perjalanan sejarahnya, membuktikan bahwa terdapat otoritas selain Alquran dan Sunnah, yaitu ijma’. Ijma’ telah memberikan ruang bagi penemuan makna autentik yang bersumber dari konsensus. Salah satu unsur terpenting dalam ijma’ adalah penalaran.

Hemat saya, pandangan seperti ini tidak asal-asalan, tetapi mempunyai landasan normatif yang sangat kuat, yaitu hadis nabi yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal. Tatkala ia diutus Nabi Muhammad saw. ke Yaman, ia bertanya kepada Rasulullah perihal metode pengambilan sebuah hukum. Rasulullah memberikan tiga resep sekaligus, yaitu Alquran, sunnah dan ijtihad.

Tersedianya ijtihad sebagai mekanisme pengambilan keputusan hukum merupakan langkah progresif. Ijtihad menjadi pintu masuk untuk menjawab pelbagai persoalan keumatan yang semakin pelik, terutama masalah-masalah aktual yang belum tersentuh oleh teks-teks keagamaan. Tentu saja, ijtihad yang dimaksud harus mempertimbangkan kapabilitas dan akseptabilitas. Maksudnya, tidak sembarang ijtihad.

Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, mengimani perlunya nalar untuk menghidupkan ruh kepekaan agama dalam menyoroti masalah-masalah aktual. Bahkan, ia menyebut seorang yang berijtihad, bila produk ijtihadnya salah sekalipun, jauh lebih baik ketimbang sikap ikut-ikutan (taqlid), kendatipun produk ikut-ikutan tersebut benar. Ia, yakin betul, perlunya nalar untuk mendesain wajah agama agar menjadi aktual dan kontekstual. Kehadiran nalar, setidaknya menghadirkan kesadaran baru akan eksistensi manusia sebagai makhluk yang berakal.

Di sini, ijma’ sebagai akumulasi hasil ijtihad sebenarnya menjadi langkah positif untuk mematangkan fungsi agama sebagai sumber moral dan etik untuk menggugah kesadaran kolektif yang lebih bersifat antroposentris. Banyak sekali persoalan kemanusiaan yang semestinya dijawab dengan semangat ijma’.

*****

Dalam kaitannya dengan transisi demokrasi yang sedang kita songsong bersama, ijma’ bisa dimaknai lebih mendasar guna mematangkan perilaku demokratis, yaitu mewujudkan sikap politik yang betul-betul partisipatif. Partisipasi yang dimaksud tidak hanya bersifat klise, melainkan sebuah partisipasi yang subtansialistik, yang senantiasa mencerminkan kemaslahatan bersama. Di sini, ijma’ bisa dijadikan salah satu mekanisme untuk mendewasakan partisipasi politik.

Ada beberapa hal yang sangat mendasar dalam ijma’ sebagai paradigma partisipasi. Mahmud Syaltut, mantan Grant Syaikh al-Azhar dalam al-Islam, Aqidah wa Syariah menulis empat hal yang sangat mendasar dalam ijma’. Pertama, konsep keterwakilan dalam ijma’ didasari pada kompetensi dan kapabilitas. Dalam konsep ijma’, keahlian dan kepakaran merupakan hal yang mendasar. Syaltut menyebutkan, bahwa orang yang akan terlibat dalam ijma’ harus mempunyai kemampuan dalam analisis dan sintesa (al-ilmam bisawail al-bahst wa al-nadhar). Jikalau dalam masalah keagamaan harus mengetahui ilmu linguistik, ruh, dan kaidah-kaidah syariat, maka dalam masalah politik, seorang yang akan menjadi wakil rakyat harus mempunyai kemampuan dalam menganalisis masalah-masalah sosial kemasyarakatan, lalu mendiagnosis dan mencari solusinya. Di sini keterwakilan bukan cek kosong, melainkan sebuah kapabilitas yang maksimal.

Kedua, konsep keterwakilan dalam ijma’ harus mempertimbangkan keterwakilan wilayah (tu’raf buldanuhum al-muntasyirah fi al-aqalim). Dalam ranah demokrasi, perimbangan wilayah menjadi penting, sehingga tidak ada monopoli pusat atas daerah. Salah satu hal yang penting dalam demokrasi adalah desentralisasi. Ijma’ pun memperhatikan aspek desentralisasi, sehingga sebuah produksi hukum tidak merupakan monopoli pusat. Dalam ijma’, aspek wilayah menjadi penting untuk menjangkau wilayah yang lebih luas serta menjaga perimbangan.

Ketiga, konsep keterwakilan dalam ijma’ meniscayakan sebuah penguasaan atas setiap masalah secara komprehensif (an yu’rafa ra’yu kulli wahidin minhum). Sekelompok yang akan mengambil ijma’ sejatinya turun ke lapangan secara langsung dan mengetahui persoalan sedetail-detailnya. Partisipasi dalam demokrasi pun mewajibkan agar wakil-wakil rakyat dapat memotret persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat secara komprehensif, sehingga dapat menghasilkan solusi yang dapat menjangkau kemaslahatan umum. Di sini, sejatinya hubungan antara wakil rakyat dan rakyat bersifat langsung, sehingga kesimpulan dan keputusan yang akan diambil betul-betul menyentuh jantung persoalan yang dihadapi rakyat pada umumnya.

Keempat, konsep keterwakilan dalam ijma’ mengandaikan adanya konsensus yang nantinya akan dijadilan acuan bersama (ittifaquhum jami’an fiha ‘ala ra’yin wahidin). Konsensus merupakan puncak dari partisipasi, yang memastikan adanya sebuah kesimpulan untuk dijadikan acuan dalam melakukan sebuah perubahan. Sedapat mungkin, konsensus menjadi langkah awal membangun sebuah tatanan baru yang adil dan beradab.

Di sini, sebenarnya ijma’ dalam tradisi fikih memberikan inspirasi bagi terwujudnya partisipasi yang ideal, yaitu partisipasi yang kualitatif, representatif dan komprehensif, sehingga dengan demikian partisipasi masyarakat dapat mendorong terciptanya perubahan yang bersifat radikal.

*****

Partisipasi merupakan jantung dari demokrasi. Semakin baik kualitas partisipasi, maka demokrasi akan semakin baik pula. Menurut Samuel P Huntington dan Nelson terdapat dua model partisipasi, yaitu patisipasi yang bersifat otonom (autonomous participation) dan partisipasi yang dikerahkan (mobilized participation). Partisipasi yang bersifat otonom jauh lebih baik, karena lahir dari pengorbanan dan kesukarelaan masyarakat untuk terlibat langsung dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Sedangkan partisipasi yang dikerahkan hanya membawa kepentingan segelintir elite politik.

Karena itu, konsep ijma’ semestinya dapat mendorong terbentuknya partisipasi yang bersifat otonom. Ijma’ sebagai salah satu mekanisme kultural yang berbasis keagamaan sejatinya dapat menumbuhkan partisipasi otonom yang pada akhirnya dapat menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang. Ijma’ pada zaman Imam Syafi’i memang digunakan untuk masalah-masalah ritual keagamaan. Namun, di era demokrasi, ijma’ harus memberi makna plus untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

Dalam Pemilu 2004, yang sebagian besar para pemilih adalah kalangan muslim, sejatinya mereka dapat menjadikan pemilu sebagai kontrak sosial yang paling maksimal. Perlu mencari mekanisme-mekanisme kultural yang tersedia dalam tradisi klasik guna mendongkrak kesadaran atas pentingnya partisipasi yang bersifat otonom dan langsung. Apalagi pemilu 2004 adalah pemilu pertama yang dilaksanakan secara langsung, pemilih tidak lagi memilih gambar, tetapi memilih langsung wakil-wakil mereka, baik di parlemen maupun di pemerintahan. Karena itu, kita mesti berpartisipasi secara otonom untuk mewujudkan demokrasi yang sejati.***

Zuhairi Misrawi, Penulis Kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

23/04/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq