“Kristenisasi Bukan Ilusi” - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
26/05/2002

Pdt. Dr. Martin Sinaga: “Kristenisasi Bukan Ilusi”

Oleh Redaksi

Kristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama.

“Banyak orang Kristen yang justru mendangkalkan Injil. Mereka memperlakukan Injil sebagai sepotong kata yang bisa dipakai sebagai ajian simsalabim,” demikian otokritik Pdt. Dr. Martin Sinaga, dosen Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta. Tentu saja, kritiknya ini relevan untuk kaum muslimin yang acapkali melakukan generalisasi bahwa orang Kristen adalah monolitik dalam bersikap. Pdt. Martin yang juga aktivis Masyarakat Dialog Antar-agama (MADIA) ini juga mengulas sisik melik teologi agama-agama yang membuka peluang bagi umat beragama untuk saling menghampiri dalam sukacita, hikmah, kerelaan dan harapan.

Berikut ini petikan wawancara Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Pdt. Dr. Martin Sinaga yang juga aktif di International Conference for Relegion and Peace (ICRP). Penyunting buku Meretas Jalan Teologi Agama-agama ini berdialog seputar tema “Teologi Agama-agama” di Radio 68H pada hari Kamis, 16 Mei 2002.

Apa yang dimaksud teologi agama-agama?

Teologi agama-agama tergolong istilah baru dalam bahasa resminya, theologia religionum. Secara sederhana dapat diartikan —misalnya— cara saya merumuskan keimanan di hadapan saudara-saudara lain yang berbeda keimanan dengan saya.

Jadi lebih bersifat interaksi antarpersonal?

Ya. Justru karena saya melihat kebenaran lain pada lain agama, saya ingin membaca dan menghayati ulang kebenaran agama saya, walaupun berbeda dengan agama lain.

Apa yang membedakannya dengan doktrin Kristen sebelumnya?

Sebelumnya doktrin Kristen tumbuh ketika dia harus keluar dari agama Yahudi. Sehingga dalam doktrin awalnya dikatakan bahwa agama Yahudi tidak tahu kalau sebenarnya ada keselamatan dalam Kristus. Lalu doktrin Kristen berkembang dan berinteraksi dengan Filsafat Yunani. Lantas, orang Kristen mengatakan: “Soalnya tidak semata soal jiwa, tapi juga menyangkut tubuh.” Karena itu, Kristus harus mati dalam tubuhnya.

Dalam perkembangan mutakhir, doktrin tersebut dirumuskan dalam rangka pencerahan modern, dimana orang Kristen semakin mengalami kesulitan dalam pencerahan. Muncul kemudian kritik, apakah agama itu masih meyakinkan? Orang Kristen lantas mati-matian membela dan membuktikan masih relevannya keberimanan.

Tetapi sekarang muncul tantangan baru, ketika kekristenan muncul ke seluruh bumi dan para penginjil dikirim ke semua tempat. Memang, ada momen di mana orang menjadi Kristen, tapi juga ada momen, orang-orang tetap tidak Kristen. Seorang pengabar Injil besar bernama Henry Kraemer, pendiri Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta sampai harus membuka topinya ketika dia melakukan misinya di daerah pasundan. Lalu berkata: “Islam is the crown of Sunda.” Ternyata, mahkota orang Sunda itu Islam.

Kalau begitu, tentu harus muncul refleksi baru yang tidak hanya mengatakan agama menjadi kebenaran untukmu yang menjamin dan menyelamatkanmu. Tetapi, formulasi berubah: “Kalau memang kalian bisa hidup lebih baik, sungguh-sungguh benar tanpa menjadi Kristen, maka telah tiba saatnya, di mana kita berdialog dan bertemu tanpa pretensi untuk mengkristenkan.”

Bagaimana dampak paham ini terhadap konsep pengabaran Injil? Kenyataannya, aktivitas kristenisasi riil dilihat umat Islam. Bukankah teologi agama-agama bisa menghalangi pengabaran Injil?

Tepat sekali. Tetapi sedikit ada nuansa yang berbeda di situ. Pada tahun 1967-an, pemerintah mempertemukan M. Natsir dan TB. Simatupang untuk meneken surat agar umat yang telah beragama tidak menjadi objek pengabaran Injil. Hanya yang belum beragama sajalah yang dikabarkan Injil. Tapi, Simatupang mengatakan: “Lho, pengabaran Injil kan semangat terdalam kekristenan. Kalaupun diteken, nantinya di lapangan bisa berjalan lain.”

Tapi sekarang berbeda. Menurut saya, pengabaran Injil yang dilakukan dengan semangat teologi agama-agama, tidak lagi menemui seseorang dengan agenda menjadikannya Kristen; tidak lagi dengan agenda yang menganggap agama di luar Kristen tidak baik dan benar. Agendanya adalah: “Bolehkah saya dengan keyakinan Kristiani bersama Anda-anda —yang meyakini Islam dan mengundang saya ke sini dengan konsep dakwahnya— berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan yang seolah tidak ada harapan dan senantiasa bersama kekerasan ini?” Bisakah dengan basis agama masing-masing kita mengabarkan kekuatan agama dan berbagi harapan di tengah kehidupan yang konkret? Jadi, di situ makna misi akhirnya.

Di kalangan umat Islam, ada kekhawatiran akan misi penginjilan dengan kekuatan finansial yang kuat, serta sampai menjamah ke daerah-daerah terpencil. Bagaimana tanggapan Anda?

Betul, kristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama. Jangan sampai mereka mendangkalkan Injil, seolah-olah Injil adalah sekadar menerima Kristus; Kristus adalah juru selamat, lalu selesai. Akibatnya, yang muncul adalah kesan seolah-olah itulah sebenarnya pesan Kristen. Padahal, lebih luas dari itu adalah bagaimana menciptakan tatanan bersama, untuk menjadikan hidup lebih baik dan benar. Jadi ini juga tugas pertama intern orang Kristen.

Saya pernah mengatakan kepada salah satu tokoh Yayasan Paramadina bahwa dalam Islam terkandung anjuran sifat sabar untuk menghadapi orang-orang yang agresif itu. Dalam Islam juga terkandung kewaskitaan untuk lebih mempercanggih diri dan menghadapi permasalahan substansial, semisal anak-anak kecil yang kurang memahami makna hidup, sehingga terkesan sloganistis saja. Saya kira, kalau kita melakukan ini bersama-sama, maka barangkali dakwah Islam dan pengabaran Injil atau misi, dapat bersama berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan di negeri ini.

Tadi Anda bilang jangan sampai mendangkalkan Injil. Apakah memang ada orang Kristen yang mendangkalkan kitab sucinya?

Memang ada orang yang mendangkalkan Injil, terutama orang Kristen yang menganggap Injil hanyalah sepotong kata. Artinya, kalau sudah menerima Kristus, selesailah semua. Seolah-olah, kekristenan adalah ajian simsalabim, lalu masuk surga dan seterusnya. Ini yang sering dijajakan secara eceran di jalan-jalan. Padahal, Injil atau semangat Kristen selalu berproses dan menyejarah. Seperti agama lain, tidak bisa dikatakan always coca-cola. Menurut saya, ada perubahan dalam konsep teologi agama-agama mengenai sikap Kristen terhadap Islam. Dulu ada sikap ingin mengkristenkan orang Islam. Tapi sekarang ada perubahan, karena orang belajar. Karena ada kebijaksanaan dan kebesaran hati umat Islam. Jadi karena umat Islam bermurah hati menerima kekristenan, dengan begitu kekristenan mesti menganggap sebagai sahabat, sesama. Bahkan sekarang, menurut saya orang Kristen perlu menganggap umat Islam sebagai kakaknya di negeri ini.

Kembali ke persoalan kristenisasi tadi, ada penilaian bahwa aktivitas kristenisasi ini ditunjang oleh dana berlimpah. Menurut Anda bagaimana?

Saya tidak mau terlalu membela kekristenan. Saya ingin memaparkan sejarah misionari secara objektif. Betul, misionari itu dibebani oleh kolonialisme yang dulu didukung oleh Belanda. Namun dalam kenyataannya, kristenisasi tersebut tidaklah berhasil. Beban lain, terutama dari Amerika Serikat, adalah kenyataan mereka punya media dan uang untuk melancarkan misionari.

Menurut saya, orang Kristen memang harus keluar dari pendekatan lama ini. Dan, orang Kristen tetap harus mewujudkan misinya dalam artian kesediaan mewujudkan harapannya bersama harapan mereka yang beragama Islam melalui kriteria ketiga dakwah Islam (hikmah, nasihat baik atau mau’idhoh hasanah, dan berdiskusi secara sehat). Saya kira, mari kita menunggu orang Kristen berubah. Saya kira, kawan-kawan Muslim ikut membantu mereka berubah sebagaimana saya juga mengajak perubahan itu terjadi dari dalam.

Apakah ada batasan-batasan dalam pengabaran Injil itu?

Sebenarnya, konsep dasarnya tidak terkait dengan keberubahan agama. Konsep dasarnya lebih terkait dengan cinta-kasih yang dialami Kristus seraya hendak dirayakan oleh siapa pun, dan dimana pun. Seringkali kita terjebak dengan asumsi: “Kalau begitu, harus pindah agama dan bikin gereja, dong?” Menurut saya, ekses itu harus tegas dihindari. Sekarang, semua agama boleh membagi-bagi sukacita, harapan, perspektif, bahkan hikmah.

Kemudian, bagaimana sebenarnya perubahan dari Katolik ke Protestan, sehingga menimbulkan pertanyaan soal konsistensi akidah. “Kok, akidah terkesan tidak serius, sampai berubah-ubah?” Hal ini menyangkut sejarah Kristen yang ribuan tahun. Menurut saya, Martin Luther sedikit memberikan penekanan pada sikap beriman sebagai yang menentukan dalam masalah akidah. Di Katolik, dulu agak dibebani oleh Paus atau tradisi. Sehingga, Luther melihat perlu ada penekanan yang lain.

Pak Martin, banyak yang salah memahami konsep Trinitas untuk kalangan non-Kristen. Sebenarnya konsep Tuhan dalam Kristen itu seperti apa?

Saya berdoa selalu kepada Allah. Dalam Kristen, ada kata Tuhan. Sebetulnya, dalam kamus dengan gampang dikatakan, bahwa Allah adalah nama Tuhan. Jadi Tuhan itu generiknya. Dalam Kristen memang ada tendensi menyebut Yesus/Kristus sebagai Tuhan. Dan menurut Lemisiladi, dulu orang Indonesia tidak punya kata Tuhan, tapi ada kata “tuan.” Lantas orang Kristen penerjemah Kitab berkata: bagaimana cara menghubungkan Yesus yang (katakanlah) punya kadar keilahian. Akhirnya, muncul ide untuk memakai “h” di tengah menjadi “Tu(h)an.” Tapi yang hendak saya katakan, orang Kristen pun memuja Allah. Dan Tuhan di arahkan kepada Kristus. Kenapa? Karena dalam Kristus, Allah juga menampakkan dirinya. Begitu kira-kira.

Last but not least, saya kira, agama itu seperti bahasa. Masing-masing bahasa berdiri sebagai kesatuan organik. Tetapi, ketika mereka berjumpa, terjadi pengayaan (enrichment) timbal balik. Misalnya, sebagai orang Kristen, saya merasa diperkaya oleh semangat Tauhid Islam. Walaupun saya tetap menjalankan kekristenan saya, tapi Tauhid itu membantu untuk melihat makna keilahian sendiri. Jadi memang ada perjumpaan, meskipun harus perlu diakui adanya keberbedaan. []

26/05/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Terima kasih atas penjelasan anda di dalam rubrik ini, juga terima kasih kepada JIL yang memperkenankan pembaca untuk merespon pendapat narasumber.

Shalom Dr. Sinaga!

Tentunya Anda tahu bahwa Yesus Kristus tidak membawa agama ke dunia. Dia membawa kasih karunia dan kebenaran (Yohanes 1:17). Agama adalah wawasan teologi saja, kalau Anda mengakui Yesus Kristus itu Raja (Lukas 23:42; Matius 25:31-46) tentunya Anda akan masuk ke dalam wawasan Kerajaan, di mana kebenaran Injil dinikmati dan diterapkan berdasarkan cara pandang Raja itu sendiri yang adalah kebenaran itu sendiri (Yohanes 14:6).

Istilah Kristen itu sendiri juga baru muncul kemudian. Amanat agung yang tercatat di dalam Matius 28:19-20 bersifat lintas batas agama dan kesukuan. Raja Yesus tidak membeda-bedakan manusia dari agama, suku, bahasa dan kulit apa manusia itu, karena sejak awal Dia-pun menciptakan manusia dengan tidak membeda-bedakan mereka.

Raja Yesus tidak membeda-bedakan manusia (Kisah 10:34-36) karena Dia adalah Tuhan dari semua orang. Jadi kalau ada orang yang dulunya bukan pengikut Yesus, kemudian mengikut Yesus karena Injil Yesus (Kisah 8:35) telah disampaikan kepadanya, orang tersebut bukan masuk Kristen tetapi menjadi muridnya Yesus!

Karena itulah kerinduan Yesus bagi seluruh umat manusia: menjadi murid-Nya, bukan menjadi warga agamawi. Bahkan Paulus yang telah menjadi murid Yesus-pun meninggalkan agama lamanya, dia sendiri datang dari mazhab yang paling keras! (Kisah 26:5).

Dari awalnya Yesus tidak pernah mempersoalkan dari agama mana seseorang itu, pilihannya adalah: masuk dalam wawasan Kerajaan Sorga atau wawasan agamawi/teologi! Anda adalah seorang Pendeta, ke dalam wawasan yang manakah Anda mengajak jemaat Anda?

Tentunya Dr. Sinaga juga akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Raja itu yaitu Yesus.

Last but not least, nama Sembahan orang Kristen adalah Yesus! Bacalah Kisah 4:12. Nama itulah yang mestinya dipuja oleh orang-orang yang mengaku umat-Nya, bukan nama diri (proper name) lainnya! Dr. Sinaga juga tidak akan mau mendengar kalau saya memanggil Anda Martil (sebetulnya Martin), meskipun di hati saya sebenarnya yang saya maksudkan adalah Anda!

Jangan tersinggung Dr. Sinaga, tidak ada satupun dari murid Yesus yang 12 orang itu bergelar Doktor Teologia ataupun Pendeta. Kebanyakan dari mereka adalah nelayan. Namun dalam pemuridan yang dilakukan Yesus kepada mereka adalah pemuridan untuk menjadi warga Kerajaan (Lukas 12:32). Semua murid terbebas dari wawasan agamawi, teologi, sekte-sekte, doktrin-doktrin duniawi (Yohanes 8:31-32).

Semuanya terfokus pada satu tokoh yaitu Yesus dan pengajaran-Nya. PengajaranNya yang paling menonjol adalah kasih! Di dalam kebenaran dan keselamatan yang disampaikan adalah cerminan kasih itu sendiri (Bacalah Markus 12:30-31). Oleh karena itu dalam setiap murid Yesus sudah melekat kasih itu, dan itu adalah modal dalam memperlakukan sesama manusia: dengan kasih. Selesai urusan, Pak!

Mampukah orang Kristen melepaskan dirinya dari debat-debat teologis? Get started! Padi sudah menguning siap dituai, yang dibutuhkan-Nya adalah pekerja-pekerja yang taat! Once again, let’s get started, sampaikan kasih kepada setiap orang baik Kristen maupun bukan. Tidak ada hukum yang menentang hal itu!

Shalom! Raja Yesus memberkati kita semua!
-----

Posted by R. Sinaga  on  01/19  at  03:01 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq