Kritik atas MUI - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
04/10/2010

Kritik atas MUI

Oleh Muhammad Irsyad

Berdirinya MUI pada akhir tahun 1975 ditujukan untuk mendialogkan kebijakan keagamaan yang menyangkut Muslim. Namun pada prakteknya, MUI berfungsi untuk menyampaikan kebijakan pemerintah kepada umat Muslim.

Reportase diskusi JIL di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 30 September 2010. Kerjasama antara JIL, Formaci, LPM UIN dan didukung oleh FNS Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi keagamaan Muslim Indonesia yang banyak didanai pemerintah sudah lama dianggap bermasalah. Selain tidak mewakili seluruh elemen Muslim, fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI juga sering berdampak negatif. Sebagai contoh, fatwa MUI yang menyatakan sesat terhadap Ahmadiyah dan aliran-aliran lainnya tak sedikit berujung pada kekerasan fisik dan pelanggaran hak-hak beribadah dan berkeyakinan. Meski fatwa MUI hanya bersifat opini dan tidak mempunyai kekuatan hukum, ia cukup berpengaruh di sebagian besar kalangan Muslim dan pemerintah.

MUI harus diberikan masukan dan kritikan agar pengaruh kuatnya di masyarakat Muslim Indonesia bisa memperkuat nilai-nilai Pancasila, UUD 45 dan Demokrasi di kalangan Muslim, bukan malah melemahkannya. Untuk itu, Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) bekerjasama dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Friedrich Naumann Stiftung (FNS) menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Kritik atas MUI”. Diskusi ini dilaksanakan pada hari Kamis, 30 September 2010 di Auditorium Student Center Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Jakarta Selatan.

Dari ketiga pembicara yang diundang, hanya Ulil Abshar Abdalla dari JIL dan Ali Munhanif dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta yang hadir. Sementara K.H. Ma’ruf Amin, Ketua MUI, mendadak berhalangan. Namun hal itu tak mengurangi antusiasme peserta untuk mengikuti diskusi ini. Kapasitas ruangan dengan 200 kursi tak mampu menampung peserta sehingga banyak peserta yang berdiri atau duduk lesehan. Sebagian besar peserta diskusi adalah mahasiswa lintas universitas dan fakultas yang bergiat di berbagai organisasi kemahasiswaan. Tak sedikit juga peserta yang merupakan dosen dan ulama.

Diskusi ini dimulai pada pukul 9.45 dipandu oleh Iqbal Hasanuddin dari Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF). Ulil Abshar Abdalla diberikan kesempatan pertama untuk menyampaikan paparannya. Setelah mengulas secara sekilas asal-usul MUI, teks keagamaan, dan fatwa, Ulil kemudian mengemukakan kritiknya terhadap MUI. Menurutnya, fatwa-fatwa MUI seringkali bertentangan dengan akal sehat dan berdampak negatif terhadap kehidupan beragama. Ulil mencontohkan fatwa MUI terkait kesesatan Ahmadiyah yang mendorong terjadinya kekerasan meluas terhadap golongan Ahmadiyah. Selain itu, fatwa MUI yang mengharamkan ide-ide pluralisme, liberalisme, dan sekularisme menurutnya menghambat dialog dan mengganggu kerukunan antar umat beragama. Ini menurutnya bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin konstitusi. Ini juga kontras dengan pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menetapkan alm. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme.

Absennya ulama-ulama moderat dan progresif dalam tubuh MUI menjadi kritik Ulil selanjutnya atas MUI. MUI menurutnya tidak mewakili seluruh elemen Muslim Indonesia. Ia memang terdiri atas ulama-ulama dari berbagai ormas, tapi masih tetap didominasi kalangan Sunni. Kalangan Syi’ah, Ahmadiyah, dan minoritas lainnya sama sekali tidak terwakili. Ulil menekankan, keberlanjutan MUI sebagai lembaga yang bertujuan untuk membawa kemaslahatan untuk umat, bangsa dan negara bergantung pada kesediaan MUI untuk merangkul lebih banyak kalangan, terutama yang berpikiran terbuka dan progresif. Dalam memperkuat argumennya, Ulil banyak mengutip kitab-kitab klasik seperti Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd.

Sementara itu, Ali Munhanif selaku pembicara kedua mengawali paparannya dengan sejarah MUI. Berdirinya MUI pada akhir tahun 1975 ditujukan untuk mendialogkan kebijakan keagamaan yang menyangkut Muslim. Namun pada prakteknya, MUI berfungsi untuk menyampaikan kebijakan pemerintah kepada umat Muslim. Kritik Ali tidak jauh berbeda dengan Ulil. Ia menyesalkan produk MUI yang secara langsung maupun tidak langsung mengganggu stabilitas dan struktur kenegaraan. Fatwa-fatwa MUI yang bermasalah menurut Ali terutama adalah fatwa-fatwa ideologis, seperti fatwa tentang Ahmadiyah dan tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Fatwa-fatwa yang ideologis ini menurutnya adalah kecenderungan baru seiring perkembangan masyarakat ke arah yang lebih modern.

Diskusi kemudian dilanjutkan ke sesi pertanyaan. Pada sesi pertama, ada empat peserta yang memberikan pertanyaan, masukan dan kecaman terhadap pembicara. Penanya pertama dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyatakan bahwa diskusi publik semacam ini adalah penjajahan cara baru untuk meracuni pikiran mahasiswa dan menjauhkan dari akidah Islam yang sebenarnya dengan ide-ide pluralisme. Menurutnya, Islam menghormati pluralitas, tapi tidak pluralisme. M. Hanifudin, penanya kedua dari Fakultas Dirosah Islamiyah UIN Jakarta, memberikan dukungan kepada Ulil Abshar Abdalla dan menekankan perlunya lebih banyak orang-orang seperti Ulil dalam tubuh MUI. Penanya ketiga, dari Muhammadiyah, menyampaikan keberatan atas pandangan Ulil terkait Qur’an. Qur’an memang tidak membicarakan semua hal tapi ada hal-hal yang sudah tetap dan tidak bisa lagi diganggu gugat hanya atas nama kebebasan seperti zina, homoseks, akidah dll. Menurutnya, ada banyak persoalan lain yang lebih penting diperhatikan selain pluralisme seperti kesejahteraan, kemiskinan dll. Penanya keempat dari Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, menganggap bahwa Ulil telah menggambarkan Qur’an dengan rancu padahal Qur’an sendiri telah menegaskan bahwa ia dibuat oleh Tuhan dan tidak ada keraguan didalamnya.

Ulil pertama menanggapi tuduhan terkait penjajahan pemikiran. Tuduhan semacam ini menurutnya hanya akan membuat umat Muslim makin bodoh dan membuat diskusi menjadi tidak sehat. Menurutnya, kebenaran bisa diambil dari mana saja. MUI dan Muslim umumnya seringkali keliru memahami pluralisme sebagai gagasan bahwa semua agama sama. Menurutnya, gagasan inti pluralisme justru adalah perbedaan, bukan persamaan. Pluralisme menekankan bagaimana kita menyikapi perbedaan secara arif. Demikian halnya terkait Qur’an, karena ia tidak memuat semua hal, maka qiyas, maqashid syar’i dan ijtihad harus digalakan. Dan perbedaan tafsir Qur’an jangan dijadikan bahan pertentangan. Ulil mengklarifikasi bahwa ia sama sekali tidak mengatakan bahwa Qur’an itu rancu. Menurutnya siapa pun sah-sah saja mengeluarkan fatwa, tapi jika fatwa itu memakai dana pemerintah yang berasal dari publik, maka itu harus sejalan dengan kepentingan publik dan harus terbuka terhadap kontrol publik.

Ali menambahkan bahwa jika ingin konsisten, gerakan HTI yang bermarkas di London itu bisa dianggap sebagai penjajahan. Bagaimana mungkin gagasan-gagasan Arab dipaksakan ke dalam masyarakat Indonesia yang budayanya jauh berbeda. Umat Islam menurutnya tidak akan kunjung dewasa jika menganggap segala sesuatu yang baru sebagai buruk tanpa pertimbangan lebih mendalam. Ia sepakat bahwa agenda kesejahteraan dan keadilan perlu dilaksanakan tapi itu tidak bisa dilepaskan dari agenda-agenda perdamaian dan stabilitas. Dan fatwa-fatwa MUI tak jarang berimplikasi negatif tergadap dua hal ini.

Penanya pertama di sesi kedua mempertanyakan kenapa Ulil tidak pindah agama jika ternyata semua agama sama? Penanya kedua dari HTI mengawali pertanyaannya dengan memohon perlindungan Allah agar tidak terpengaruhi oleh argumen para pembicara. Menurutnya, diskusi ini tidak imbang karena tidak menghadirkan pihak MUI. Ia menganggap bahwa MUI sangat diperlukan untuk mengarahkan umat Muslim yang sebagian besar tidak mengerti agama agar tidak tersesat. MUI menurutnya sangat kompeten di bidang itu sementara Ulil yang kuliah di Amerika tidak. Penanya ketiga, Zainullah Mubarak Ahmad dari Jama’ah Ahmadiyah mengawali pertanyaannya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia meminta agar umat Muslim berhenti menyudutkan kelompoknya karena ia sendiri mengucapkan syahadat yang sama dengan Muslim lainnya. Hanya Allah yang berhak menentukan mana yang benar dan salah. Karena itu ia mengajak ke arah dialog yang lebih ramah dan berpendidikan tanpa kekerasan fisik. Linda, penanya ketiga keempat dari Fakultas Dakwah mempertanyakan tindak lanjut dari diskusi ini berhubung tidak ada pihak MUI yang hadir dan meminta agar pembicara merumuskan masukan yang bisa diberikan kepada MUI agar MUI ke depan bisa berdampak positif.

Ali memberikan anjuran normatif agar otoritas MUI tidak membuat MUI memperkokoh diri melebihi cita-cita keindonesiaan. Dia berpesan agar produk MUI tidak lagi mengganggu kerukunan, perdamaian dan stabilitas sosial. Dia mencontohkan, di Lombok, penganut Ahmadiyah tidak bisa pulang ke kampung halamannya. Pemda setempat bahkan tidak bisa menjamin keselamatan mereka. MUI seakan mengatasi institusi polisi, pengadilan dll. Ini yang menurutnya patut dikhawatirkan dan dihindari. Ali kemudian mengkritik HTI yang menurutnya menikmati kebebasan yang dijamin konstitusi tapi selalu menggerogoti konstitusi.

Untuk menanggapi penanya pertama, Ulil menjawab singkat: Kalau sama kenapa harus pindah agama? Ulil mengaku tidak sependapat dengan Ahmadiyah tapi dia tetap menghormati mereka dan menganggapnya bagian dari umat Islam. Dia langsung menanggapi penanya keempat dengan merumuskan 3 masukan kepada MUI. Menurutnya, ada tiga syarat jika MUI masih ingin dipertahankan dan masih mendapat sokongan dari pajak publik APBN atau APBD: pertama, MUI harus mewakili keragaman dalam tubuh umat Muslim seperti Syi’ah dan Ahmadiyah serta wakil-wakil yang progresif semacam Dawan Rahardjo; kedua, selain Qur’an dan Sunnah, MUI harus bergerak dalam kerangka konstitusi. Fatwa pluralisme menurutnya kurang ramah konstitusi; ketiga, MUI harus menjaga diri jangan mudah tergoda untuk menerbitkan fatwa. Ulil mengutip kitab al-Majmu’ karya Imam Nawawi, perkataan-perkataan Imam Malik, Abu hanifah dll. untuk menunjukkan bahwa ulama zaman dahulu sangat enggan mengeluarkan fatwa. Bukannya mereka tidak tahu, melainkan mereka ingin agar umat Islam bisa mandiri, tidak banyak bertanya dan tidak tergantung pada ulama. Ulil memperhatikan bahwa MUI banyak mengeluarkan fatwa yang tidak punya signifikansi sosial dan hanya menghamburkan uang negara. Ini menyalahi semangat ulama zaman dahulu. Meskipun tidak ada wakil MUI yang berbicara dalam diskusi ini, dia berharap pesannya ini akan sampai lewat para peserta diskusi. Diskusi pun ditutup pukul 13.05.

04/10/2010 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (15)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

islam itu mudah. fungsi syariat adalah memberikan kemudahan dan memudahkan umat dari suatu perkara. tapi dengan hadirnya mui justru islam menjadi terasa semakin sempit. hidup terasa semakin ribet. islam tidak menganjurkan untuk menelisik makanan, halal apa tidak. apa perlu kita tanya di warung misalnya ayam yang dipotong pakai bismilah atau tidak. pernah nabi mendapat kiriman minyak kasturi dari negeri yaman. oleh sahabat dikatakan bahwa minyak semacam itu di yaman biasanya dicampuri minyak babi. dan apa reaksi nabi? beliau enjoy saja tetap memakai minyak tsb. pernah mui menghimbau untuk tidak mengkonsumsi produk susu tertentu karena ditengarai mengandung minyak babi. saya tetap enjoy saja dengan tetap membeli susu tsb. standar baku penetapan syariat bagi saya adalah pertimbangan manfaat dan mudharat. ruh/spirit syariat adalah “yassiru wala tu’assiru (mudahkan dan jangan mempersulit). sebelum mui mengeluarkan fatwa haram untuk rokok saya sudah mengharamkan untuk diri pribadi. sering saya bercanda kepada teman-teman, kenapa rokok tidak diharamkan? karena banyak kyai yang merokok. dalam hal membeli makanan, saya tidak ambil pusing, berlabel halal apa tidak. masalah makanan itu berbahaya apa tidak, saya serahkan sepenuhnya kepada lembaga terkait (bpom). dengan sikap saya ini hidup terasa lapang. wallahu ‘alam.

Posted by nailul  on  10/20  at  05:25 AM

Pemikiran liberal yang jelas adalah taklid buta kepada pemikiran barat,mereka bangga bangsa barat lebih baik dari pada bangsa sendiri tetapi hakikatnya miskin akidah dan akhlaknya…

Posted by martin caceres  on  10/16  at  08:29 AM

menurut saya (maaf kalau subjektif) kalo kita sebagai muslim tidak bisa mencerminkan islam itu agama yang mengajarkan kedamaian bagaimana kita bisa membuat orang non muslim terkesan dan tertarik dengan islam ISLAM TIDAK DISEBARKAN DENGAN PEDANG, DARAH, DAN KEKERASAN tapi dengan KEDAMAIAN wallahu alam

Posted by masih awam  on  10/14  at  06:56 PM

MUI mengeluarkan fatwa yg bersifat mengikat bagi yg mau, kalo cocok ya dipake kalo ga’ yg ga’ usah, susah amat, itupun mereka lakukan karena merasa mempunyai tanggung jawab atas ‘ilmu yg dititipkan kepada mereka, pun pemerintah juga mempunyai tanggung jawab masalah keagamaan thd masyarakatnya, ini memang bukan negara Islam, tapi juga bukan negara “setan”.

Posted by Abu Raihan  on  10/14  at  09:42 AM

MUI masih diperlukan di negeri ini yg mayoritas muslim. Dari pada tidak ada maka di khawatirkan akan muncul MUI-MUI yg lain yg mengaku-ngaku wakil umat. Lagian fatwa MUI hanya khusus umat Islam. kenapa ribut. Terlepas dalam pelaksanaannnya bagaimana rupa itu soal lain. Belum lagi masih banyak umat islam yg tidak beruntung dalam pendidikan, khususnya agama. Disinilah MUI berfungsi menjadi yg terdepan, terlepas salah atau tidak, tapi mudharatnya lebih kecil daripada tidak ada MUI sama skali. Kacau.......

Posted by Matt  on  10/12  at  06:30 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq