Libanon Pasca-Perang - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
19/08/2006

Libanon Pasca-Perang

Oleh M. Guntur Romli

Akhirnya agresi militer Israel terhadap Libanon selama 34 hari berhenti. Pada 12 Agustus lalu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi nomor 1701. Resolusi ini koreksi terhadap proposal yang diajukan Amerika Serikat dan Prancis tapi ditolak pemerintah Libanon.

Artikel ini sebelumnya dimuat di:
Koran Tempo, Sabtu, 19 Agustus 2006

Akhirnya agresi militer Israel terhadap Libanon selama 34 hari berhenti. Pada 12 Agustus lalu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi nomor 1701. Resolusi ini koreksi terhadap proposal yang diajukan Amerika Serikat dan Prancis tapi ditolak pemerintah Libanon. Versi asli proposal tersebut terlalu berpihak pada kepentingan Israel. Dan selama konflik Israel-Hizbullah ini berlangsung, kita disuguhi perang diplomatik di antara dua kubu: kubu Amerika-Israel melawan kubu Prancis, Libanon, dan Rusia.

Dalam pandangan Amerika, Hizbullah-lah yang memulai keonaran ini, dan Amerika mendakwanya sebagai kelompok teroris. Andai saja tak ada Hizbullah, tentu Libanon akan hidup damai berdampingan dengan Israel. Karena itu, perdamaian di Timur Tengah tidak akan pernah tercapai kecuali Hizbullah dilenyapkan dari Libanon. Amerika menganggap Hizbullah sebagai agen Iran dan Suriah, sementara dua negara itu target utama Amerika setelah Afganistan dan Irak. Sedangkan sikap dan pandangan pemerintah Libanon, yang didukung Liga Arab, Organisasi Konferensi Islam, serta dua anggota Dewan Keamanan PBB, yakni Rusia dan Prancis, berbeda dengan kebijakan Amerika.

Setelah resolusi nomor 1701 ditetapkan, pada 14 Agustus lalu, Israel mulai menghentikan serangan militernya dan menarik mundur pasukannya dari wilayah Libanon Selatan. Israel merasa untung. Resolusi ini tidak menyebut Israel sebagai “penjahat perang” meskipun telah membunuh ribuan warga sipil Libanon serta menghancurkan mayoritas fasilitas dan kebutuhan primer warga Libanon. Israel juga tidak dituntut mundur dari pertanian Shabaa yang selama ini didudukinya dan menjadi alasan Hizbullah untuk terus melakukan perlawanan terhadap Libanon. Bagi Hizbullah, penarikan mundur tentara Israel pada tahun 2000 masih belum tuntas karena Israel masih menduduki lahan pertanian subur tersebut.

Sebaliknya, Hizbullah bernasib buntung. Pun Hizbullah dianggap sebagai asal-muasal peperangan ini karena menyerang Israel pada 12 Juli lalu. Tawanan dua serdadu Israel harus dilepaskan tanpa syarat. Dan resolusi 1701 ini memperkuat kembali resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1559, yang menyatakan persenjataan semua milisi di luar militer resmi Libanon, termasuk Hizbullah, harus dilucuti.

Dalam konteks Libanon sendiri, resolusi ini menjadi bom waktu yang bisa meledakkan konflik dalam negeri. Di satu sisi, resolusi ini dengan tegas mendukung kebijakan dan kedaulatan pemerintah Libanon. Namun, di sisi lain, resolusi ini sangat menyudutkan Hizbullah. Padahal, selama ini, kedaulatan pemerintah Libanon selalu tumpul menghadapi kekuatan militer Hizbullah. Adapun harapan agar pemerintah Libanon bersikap tegas atau bahkan diharapkan bisa melucuti senjata Hizbullah merupakan misi yang benar-benar mustahil.

Namun, menurut hemat saya, Libanon sangat beruntung memiliki seorang perdana menteri yang lihai seperti Fuad Siniora. Awal gencatan senjata ini bermula pada 7 Agustus lalu, ketika Siniora mewartakan sebuah strategi jitu. Katanya waktu itu, pemerintah Libanon akan mengirimkan 15 ribu personel militer ke wilayah Libanon Selatan sebagai bumper serangan militer Israel dan milisi Hizbullah.

Ketika konflik ini berlangsung, Siniora tidak secara emosional menyalahkan Hizbullah, meskipun dengan mudah Hizbullah bisa dipojokkan. Aksi penyanderaan dua serdadu Israel tanpa setahu pemerintah Libanon telah berhasil mengail arogansi Israel. Sikap Siniora ini bisa dianggap sebagai wujud kelemahan pemerintah Libanon. Namun, jika diamati secara jeli, ada dampak positif dari pilihannya itu. Siniora lebih memilih bersikap independen dan tidak condong memihak pada tekanan dunia internasional. Campur tangan negara luar selama ini terlalu merasuki kehidupan politik Libanon. Meskipun negerinya hancur lebur akibat serangan Israel dan wewenangnya dibajak Hizbullah, Siniora bersikap sebagai pemimpin yang penuh perhitungan. Ia berhasil meredam konflik dan tidak menciptakan konflik baru di dalam negerinya.

Hingga hari ini, Libanon masih bisa diselamatkan dari potensi perang saudara yang sebenarnya masih terbuka. Padahal, hakikatnya, tujuan skenario penyerangan Israel ini menciptakan perpecahan antarkelompok, etnis, dan agama dalam negeri Libanon yang bisa menjerumuskan mereka ke perang saudara. Sebab, perang saudara di Libanon yang berkepanjangan (1975-1990) berawal dari perpecahan antarkelompok di Libanon manakala menyikapi kehadiran milisi pejuang Palestina, Fatah, yang mengungsi ke Beirut setelah kekalahan kekuatan Palestina dan Arab dalam perang melawan Israel pada 1967.

Kehadiran milisi itu ditentang oleh beberapa kelompok di Libanon, khususnya kelompok Maronit dan Druz. Sikap pemerintah Libanon waktu itu juga tidak independen dan secara gegabah terlibat sangat jauh dalam konflik. Usaha pengusiran secara sewenang-wenang terhadap kelompok pejuang itu memanggil solidaritas kelompok lain di Libanon yang membela mereka. Akhirnya, perang saudara pun pecah selama 15 tahun dan konflik itu diperparah karena masing-masing kelompok yang bertikai memiliki patronase dengan kekuatan negara luar.

Kepentingan politik dalam negeri dan pengaruh kekuatan luar dalam sekejap mengubah konflik yang ada di Libanon, yang tidak jelas identitas dan ideologi kelompoknya. Kelompok Syiah Amal, yang didukung penuh Suriah, pernah bertikai dengan kelompok Hizbullah, kelompok Syiah lain yang dibentuk Iran. Amal menguasai masyarakat Syiah di Kota Beirut, sementara Hizbullah menggarap kantong-kantong Syiah miskin di Libanon Selatan. Perpecahan ini terpicu setelah Suriah dan Iran berbeda pendapat pascaperang Irak-Iran. Kehadiran militer Suriah di Libanon yang baru pulang dari medan perang menjadi alasan terkuat Iran--selain untuk membendung agresi militer Israel--untuk membangun sebuah milisi di Libanon, yang kemudian melahirkan Hizbullah.

Sementara itu, kelompok Kristen Maronit mendapat dukungan dari bekas penjajah Libanon, Prancis. Kedekatan ini terjadi sejak sebelum kemerdekaan Libanon. Pembelaan Prancis terhadap Libanon di Dewan Keamanan PBB merupakan perwujudan agar negara ini tidak kehilangan pengaruh di Libanon. Adapun kelompok Druz berpindah-pindah, kadang memihak Suriah, kadang Israel. Seorang pemeluk Druz bernama Saleh Tharif pernah masuk kabinet Sharon, yang menunjukkan lobi Druz di Israel sangat kuat. Sedangkan kelompok Sunni di Libanon mendapat dukungan dari Arab Saudi, yang dipersonifikasikan oleh mantan Perdana Menteri Libanon, yang terbunuh, Rafiq al-Hariri.

Arab Saudi memiliki andil besar dalam menyelesaikan perang saudara di Libanon melalui Kesepakatan Thaif (Ittifâq Thâ’if) pada 1989. Karena itu, kritik pedas pemerintah Saudi terhadap Hizbullah sejak awal perang ini bisa dimaklumi. Hizbullah dianggap membunuh perdamaian dan memancing perang saudara yang telah diakhiri melalui jasa Arab Saudi tersebut. Setiap sikap negara jiran Libanon tidak pernah bebas dari kepentingan untuk terus menanam pengaruh dalam negeri Libanon.

Karena itu, tugas terberat Siniora, di samping membangun kembali Libanon yang hancur lebur akibat perang, adalah menjaga keutuhan dan persatuan kelompok-kelompok yang ada di Libanon untuk menghindari perang saudara sebagaimana yang terjadi di Irak saat ini. Sikap pemerintah Libanon yang tidak tegas ini terhadap Hizbullah telah memancing kelompok lain untuk menyalahkan langsung Hizbullah. Tudingan itu muncul dari kelompok Maronit dan Druz. Walid Jumbalat, pemimpin kelompok Druz, mengancam akan membangun milisi Druz dan mendorong kelompok lain memiliki milisi sendiri. Maka dialog nasional di Libanon perlu segera digelar. Mampukah Siniora mengemban amanat ini? []

Mohamad Guntur Romli, Analis politik Timur Tengah dari Jaringan Islam Liberal

19/08/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq