Living Quran, Sebuah Tawaran - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
09/01/2005

Living Quran, Sebuah Tawaran

Oleh Hamam Faizin

Dalam cara tersebut, teks Alquran diperlakukan sebagai objek kajian. Mau tak mau, ia harus tunduk pada pengkajinya (subjek). Sebab, sebesar apa pun kekuatan teks tetap akan ditafsirkan oleh penafsirnya. Di sinilah sebenarnya berbagai wacana kepentingan bisa masuk dan berjalin kelindan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi karakter penafsiran tersebut.

Dalam bukunya, Al-Quran: a Short Introduction (2002), Farid Esack menyatakan bahwa al-Quran fulfills many of functions in lives of muslims. Alquran mampu memenuhi banyak fungsi di dalam kehidupan muslim. Alquran bisa berfungsi sebagai pembela kaum tertindas, pengerem tindakan zalim, penyemangat perubahan, penenteram hati, dan bahkan obat (syifa’) atau penyelamat dari malapetaka. Dari fungsi-fungsi itu, mulai nyatalah bahwa Alquran benar-benar memberikan makna yang konkret dalam kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu, hingga kini, Alquran tetap dijadikan pegangan hidup.

Banyak sekali cara interaksi yang digunakan oleh setiap muslim dalam merengkuh dan menggali makna Alquran sehingga bisa berarti dan bermakna dalam kehidupannya. Sejauh ini, ada dua cara interaksi. Pertama, cara interaksi muslim terhadap Alquran melalui pendekatan atau kajian teks Alquran. Cara yang pertama ini telah lama dilakukan oleh para mufasir klasik maupun kontemporer, yang kemudian menghasilkan beberapa produk kitab tafsir.

Dalam cara tersebut, teks Alquran diperlakukan sebagai objek kajian. Mau tak mau, ia harus tunduk pada pengkajinya (subjek). Sebab, sebesar apa pun kekuatan teks tetap akan ditafsirkan oleh penafsirnya. Di sinilah sebenarnya berbagai wacana kepentingan bisa masuk dan berjalin kelindan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi karakter penafsiran tersebut.

Dengan begitu, tak mengherankan bermunculan tafsir dengan karakter teologis, filosofis, fiqhi, sufi, dan sebagainya. Sebetulnya, berbagai corak itu akan memperkaya khazanah tafsir. Akan tetapi, di balik itu semua tersimpan bahaya laten, yakni “manipulasi” dalam pemaknaan teks. Teks Alquran akan diseret dan dipermainkan sejauh keinginan penafsir. Ini terjadi dalam sejarah Islam, terutama dalam konteks konflik antara kaum Mu’tazilah dan anti-Mu’tazilah. Tampaknya, kecenderungan seperti itu masih saja terjadi hingga kini.

Cara yang pertama tersebut, rupa-rupanya, mendominasi dan menjadi semacam mainstream dalam kajian Alquran. Dan, cara ini biasanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran. Sebaliknya, mereka yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan memahami bahasa agama hanya bisa mengekor pada figur kepercayaannya, misalnya kiai atau ulama.

Akan tetapi, anehnya, orang-orang yang tidak mempunyai otoritas dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran -di samping mengekor pada tokoh kepercayaannya- juga mempunyai cara tersendiri dalam memperlakukan atau berinteraksi dengan Alquran. Hal ini, sekali lagi, dilakukan hanya semata ingin menemukan signifikansi Alquran terhadap kehidupan mereka. Cara yang tersendiri itu memang jauh berbeda dengan cara pertama.

Cara kedua tersebut tidak melalui pendekatan teks atau bahasa Alquran. Sebab, mereka (orang-orang yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan tidak mempunyai kemampuan dalam memahami bahasa Alquran) tidak pernah melakukan pendekatan terhadap bahasa atau teks Alquran. Mereka hanya mencoba secara langsung beinteraksi, memperlakukan, dan menerapkan Alquran dalam kehidupan sehari-hari mereka secara praktis.

Dikisahkan oleh Farid Esack, sebagai ibu rumah tangga, ibunya tatkala memasak makanan sering bergumam membacakan salah satu ayat Alquran dengan tujuan agar makanannya menjadi lezat. Sebagian besar rumah di Afrika dipajangi beberapa tulisan Alquran dengan tujuan agar selamat dari ancaman bahaya. Anak-anak kecil bila ingin terhindar dari gonggongan atau gigitan anjing membaca ayat-ayat tertentu dari Alquran.

Di Jogjakarta, misalnya, setiap kali ada orang yang meninggal, ahli warisnya akan memutarkan kaset tartilan Alquran mulai pagi hari hingga waktu pemakaman. Di pesantren-pesantren yang masih salaf, sebagian besar santrinya meletakkan Alquran di rak paling atas dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab. Sebagian muslim juga memperlakukan ayat-ayat al-Quran tertentu sebagai azimat (Jw: jimat); kekebalan tubuh, penglaris, dan sebagainya. Masih banyak lagi contoh cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran pada masyarakat yang tidak mampu memahami bahasa Alquran. Di sini, teks Alquran ditransformasikan hingga menjadi bernilai dengan sendirinya.

Nah, cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran seperti di atas, di Indonesia khususnya, belum benar-benar mendapat perhatian serius oleh pengkaji Alquran. Padahal, cara seperti itu pada intinya sama dengan menafsirkan Alquran dengan melalui teks, yakni sama-sama mencari makna Alquran sehingga Alquran bisa bermakna dan berarti dalam kehidupan.

Keterluputan perhatian itu, bagi penulis, paling tidak disebabkan oleh, pertama, anggapan bahwa cara berinteraksi terhadap Alquran sebagaimana di atas bukanlah termasuk dalam ruang lingkup kajian Alquran atau tafsir. Atau, kedua, anggapan bahwa cara tersebut memang sesat, bid’ah, khurafat, atau tidak sesuai dengan ajaran-ajaran tafsir pada umumnya.

Perlu dicatat, interaksi terhadap Alquran semacam itu sudah menjadi budaya atau lebih tepatnya sudah mendarah daging bagi mereka, yang pada akhirnya akan memproduk mode of conduct (pola perilaku) tertentu. Pola perilaku ini didasarkan pada asumsi-asumsi mereka terhadap objek yang dihadapi, yakni Alquran. Asumsi-asumsi inilah yang disebut dengan mode of thought (pola berpikir).

Yang jelas, bagi pelakunya, cara interaksi itu lebih bermanfaat (meaningful), dinamis, dan mempengaruhi banget sisi psikologis si pelaku. Bagaimana hal yang seperti itu luput dari perhatian atau bahkan dicap sesat? Bukankah cara interaksi yang seperti itu masuk dalam jenis tafsir anagogik? Juga, bukankah cara seperti itu pantas disebut sebagai Alquran yang hidup dalam fenomena sosial-budaya masyarakat atau Living Quran? Wallahu’alam. [ ]

* Hamam Faizin, peminat Kajian al-Quran Dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

09/01/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (7)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Terimakasih Pak Tomzben yang berkenan mengomentari komentar saya. Sayang tak jelas maksudnya Pak Tomzben ini (seperti juga namanya yang gaya), apakah Pak Tomzben setuju dengan adanya kelas pendeta di dalam Islam? Sepertinya Pak Tomz setuju adanya kelas pendeta itu sebab Pak Tomz memberi apologi dan sindiran seolah saya ingin diikuti umat Islam? Jadi ini satu gagasan bermata dua dilempar Pak Tomz (oh apakah benar ini namamu?).

Gagasan pertama adalah bahwa adanya kelas pendeta itu satu keperluan. Wah kalau ada kelas pendeta di dalam Islam maka salahlah pemahaman saya bahwa tidak ada kelas pendeta di dalam Islam. Gimana nih, tentu Pak Tomzben tidak mau bikin Islam cabang pendeta Durna?

Dan gagasan kedua yang dilontarkan Pak Tomzben kepada saya adalah sindiran smes miring ke arah belakang pertahanan saya yakni menginsinuasikan bahwa saya ingin diikuti umat Islam. Emangnye ane gembala itik? 

Tetapi Pak Tomzben yang aduhai namanya (gak percaya aku ini nama beneran) benar bin betul betul perlu memahami bahwasanya sesungguhnya sangatlah benar dan wajar bilamana tiap insan seyogyanya dan sewajibnya menjalankan hidupnya, imannya dan agamanya sesuai dengan hati nuraninya pribadi dan bukan sesuai dengan perintah seorang ‘pendeta’.

Hati nurani pribadi adalah buatan Allah s.w.t dan selalu bin senantiasa siap sedia membimbing pemiliknya kepadaNya bukan pada yang lain. Jadi meski ‘pendeta’ itu diketahui oleh tetangganya soleh dan alim tetapi nyatanya sejak dulu sampai lebih dulu hanya Tuhan yang tahu isi hati manusia. Boleh jadi amal sidungu yang beragama Penyembah Kadal yang hanya tau membagi nasinya dengan seekor anjing kurapan di mata Tuhan lebih amboi bin asoi daripada do’a si tuan tanah Kedaung yang nyinyir dan penuh hafalan maupun lantunan ayat pengemis jebolan pesantren yang bersoundsystem di kereta Jabotabek yang dekil.

Agama dan iman adalah utamanya soal hati makanya itu Islam sebagai agama orang yang berserah diri kepada Tuhan tidak mengenal kelas pendeta. Sama-sama berserah diri kepada Tuhan kok ada yang kepingin menjadi lebih mulia lebih kuasa lebih segala dihadapan manusia dan juga Tuhan? Sungguh aku menasihati agar Anda jangan menghilangkan tanggung-jawab pribadi Anda apalagi memberhalakan sesuatu unsur agama.

Tentu lucu bin tak perlu umat Islam menjadikan aku panutan dalam beragama wung aku bukan ahli agama. Sholat, wudhu, dan beramal juga bukan sesuatu yang aku tau sendiri melainkan belajar dari orang yang tentu juga penuh kekurangan. Kalau bertanya kepadaku mengenai ilmu tai jadi emas bolehlah sebab ilmu tai jadi emas memanglah bidang pekerjaan dan kajianku.

Salam Bram.
-----

Posted by Bramantyo Prijosusilo  on  01/18  at  04:01 PM

Pak Bram ...  katagori ulama yaitu ahli agama baik secara teori dan aplikasinya. jadi alasan ini yang mendasari kenapa ulama saja yang sebaiknya yang harus jadi rujukan ......

karena misalnya kalo pak bram sholatnya tambal sulam apalagi sholat shunatnya, baca Al qur an nggak lancar bin fasih, hadis2 nggak hafal apa perlu dijadikan rujukan ? apa perlu dijadikan refensi umat islam? nggak khan?

Kalo lah masing masing individu mempunyai pengalaman pribadi misalnya dengan sholat tahajud mendapat kedamaian kemudian dia sampaikan ke temen2nya sedangkan temen2 nya mempunyai pengalaman lain ketika mengerjakan hal yang sama itu masalah lain..

Akan umat islam jadikan rujukan apabila pak bram misalnya, kalo sudah mempunyai teori islam dan aplikasi islam, ya ibadahnya ya perbuatanya, yang sangat berlebih. Umat akan datang sendiri. berduyub duyun . nggak perlu dikampanye kan

Posted by tomzben  on  01/12  at  08:01 PM

Islam tidak mengenal kependetaan jadi kalau ada sebagian ummat yang dianggap ahli tentang Al Qur’an dan Hadist bersama-sama membuat satu kelas tersendiri itu bukan ajaran Islam.

Namun sayang sejak Islam menjadi agama Istana tak lama setelah wafatnya Nabi s.a.w, munculah kelas pendeta di dalam Islam. Kelas pendeta ini yang mengasilkan kitab suci baru bagi ummat Islam yakni Hadist meski di Al Qur’an tidak sekalipun disebut bahwa untuk menjadi Muslim yang baik Al Quran saja tak cukup sebagai kitab. Sampai dewasa ini karya buku kelas pendeta Islam berupa Hadist itu justru sering menjadi sumber hukum melebihi Al Quran.

Selanjutnya hanya kelas pendeta itu yang berhak membuat penafsiran atas ajaran Islam hingga awam disingkirkan dari kehidupan beragama. Praktek ini sangat bertentangan dengan perilaku Nabi s.a.w yang mengakui bahwa manusia itu bermacam-macam dan semuanya harus menafsirkan AlQur’an sendiri dalam hidupnya dari detik-ke-detik.

Setiap sahabat Nabi s.a.w memiliki penafsiran khas terhadap ayat-ayat Al Qur’an dan Nabi s.a.w merestui dan membenarkan semuanya. Misalnya adakah perbedaan lebih besar dalam memandang harta antara Abu Bakar dan Abu Dzar padahal keduanya Muslim tulen, asli, langsung menjadi murid dan sahabat Nabi s.a.w? Kelas pendeta telah merampok ummat dari tanggung jawab pribadi di dalam berislam.

Di Indonesia kedudukan kelas pendeta ini secara tradisional sangat dipuja dan para Kiai di Indonesia sejak dulu menikmati status sosial tinggi. Tangannya diciumi, sisa makan minumnya dianggap berberkah dan diperebutkan dan dulu (entah sekarang) sering pula ditawari perawan untuk dihamili. Akibatnya atribut-atribut kependetaan menjadi sangat penting dan simbol-simbol keislaman seperti uluk salam Arab dan sebagainya menjadi ukuran kesolehan seseorang.

Situasi ini sangat tidak Islami karena menjurus ke penyembahan berhala, di mana berhala itu menjadi tiga rupa yakni Sang Kiai, yang kedua adalah Al Qur’an dan yang ketiga adalah Hadist. Orang melihat trio Kiai-Quran-Hadist sebagai wujud agama Islam dan cenderung memberhalakan agama itu. Rajin sholat sampai kapalan jidatnya tetapi dalam memberikan rahmat kepada lingkungannya tidak becus seperti relawan kelompok tertentu yang terpaksa diusir Angkatan Udara dari bandara Banda Aceh karena ngerecokin kerja penyelamat beneran.

Tidak malukah mereka tidak tau sopan santun bergaul dengan orang-orang asing kafir dan beragama lain yang tulus membantu dana dan tenaga ahli, bukan tenaga sekedar geradag-gerudug seperti wankawan yang mengaku diri Mujahidin yang bikin gerah itu? Tidak, tidak malu malahan protes ketika diusir karena mereka sebagai kelas pendeta merasa lebih tau dan lebih ahli dan lebih berhak di situ. Derita Aceh digunakannya untuk kampanye terselubung agenda organisasinya, yakni menjadikan Syariat Islam versi mereka (rumusan kelas pendeta sejak berabad lampau) sebagai UUD negara Indonesia. Aku malu dengan kelakuan saudara-saudaraku yang tidak tau malu itu! 

Suasana keislaman di Indonesia yang digagahi para pendeta ini melahirkan keislaman yang dangkal dan ribut soal simbol tetapi dalam praktek kemanusiaan nol besar. Padahal Al Qur’an dan Allah s.w.t itu milik semua orang bukan hanya kelas terpelajar atau Kiai.

Pernah ada kisah seorang budak Muslim yang disiksa tuannya karena mengesakan Tuhan. Dipadang gurun terik dia ditelentangkan di tanah dan dadanya dibebani batu besar. Dia terus saja berkata “Ahad! Ahad! Ahad!” dan ketika Nabi s.a.w mengetahui, beliau membenarkan dan memuji budak yang beriman pada yang Ahad itu tadi. Artinya iman itu sederhana bin simpel dan jangan dibuat sulit. Iman itu universal dan dapat diakses setiap orang sedangkan agama justru seringkali bisa menghalangi orang dari keimanan. Seperti kelompok Bom Bali-Marriot-dll yang sangat kental beragama tetapi dangkal iman dan dangkal nalarnya.

Para Kiai di Indonesia kini gemar tampil bagai pemain teater lengkap dengan sorban tak perduli hawa Indonesia panas-basah dan sorban itu akan membuat ketombe. Mungkin karena imbalan fulus bagi penjual agama di Indonesia bisa melebihi bintang-film mereka tidak keberatan beli sampo guna mengurusi ketombe akibat sorban salah cuaca itu.

Dengan gaya tukang obat mereka bicara menggunakan banyak kata dan ungkapan bahasa Arab sebagai pertanda bahwa mereka soleh. Kadang juga ditambah mengaku sebagai keturunan langsung Nabi s.a.w dan memamerkan pengakuan itu di namanya yang khas. Tak perduli dirinya berwajah Melayu Bin Betawi, kalau sudah bersorban dan bergelar semua orang percaya dia keturunan Nabi s.a.w. Artinya dia punya semacam kekebalan hukum di mata masyarakat untuk mengorganisasikan tukang pukul dan penganggur untuk merecoki dunia hiburan malam dan juga hal lain.

Orang yang mengahli-agamakan diri seperti ini sangat berbahaya dan sebenarnya merupakan musuh Islam. Dari posisi sebagai pendeta Islam, mereka membatasi orang beriman secara khusus bagi yang mempelajari agama menurut versi mereka, dan merasa berhak membuat fatwa tentang ini-itu karena merasa paling ahli Islam. Sering kali mereka tidak mampu memahami yang dia fatwakan, seperti Khomeini memfatwa mati Salman Rushdie dulu, akhirnya pemerintah Iran sendiri yang mencabut fatwa yang aneh itu. Apakah para Kiai yang mencak-mencak di seluruh dunia itu sudah baca dan paham tulisan Rushdie itu? Apakah novel fantastis bisa ‘dipahami’?.

Tanpa mempelajari ilmu moderen dan hanya baca Al Quran, Hadist dan kitab Arab kuna lainnya, pendeta-pendeta Islam sesat. Tetapi dalam sesatnya itu dia merasa dapat menjawab persoalan dunia modern. Dia tidak perduli bahwa di Al Quran berkali-kali kita disuruh mengamati alam (sains) dan juga mengamati kebudayaan (bukankah Tuhan mengajar dengan Pena - ingat ayat pertama yang turun di gua Hira?), yang penting lancar ngaji di depan mikropon dan anti Israel anti Amerika. Bukannya aku pro Israel dan Amerika, tapi mana ada Kiai Dramatis yang belajar antropologi ataupun biologi molekular, atau menulis puisi lembut haru seperti punya Mustafa Bisri?

Maka ketika ada yang memberikan penafsiran baru bagi pemahaman keislaman para pendeta Islam sangat reaktif. Kenapa? Karena terancam asap dapurnya yang tergantung pada pengakuan masyarakat atas kependetaan mereka di dalam Islam.

Padahal Islam tidak mengenal pendeta. Maka sebagai penguat sistem kependetaan di dalam Islam sesungguhnya mereka telah berbelok dari Islam, memelintir Islam demi status dan kedudukan mereka sendiri. Oleh karena itu mereka sangat perlu dikritik dan JIL berjasa dan berperan dalam hal itu. Allah membimbing yang dikehendakiNya baik pintar maupun goblok terserah padaNya, bukan pada Kiai atau Ulama.

Masyarakat mencintai Al Quran dan setiap insan dapat memperoleh rahmat dan berkah darinya. Menikmati dan menyetubuhi Al Qur’an itu tidak perlu dengan patuh pada Kiai, melainkan harus patuh kepada hati-nurani pribadi, ciptaan Allah s.w.t yang melekat di tiap insan.

Boleh saja Al Quran dijadikan jimat dan dibawa-bawa bepergian bila itu membuat perasaan pelaku menjadi damai. Boleh saja sholat hanya menggunakan ayat-ayat pendek tiap kali. Boleh saja orang mengucap selamat pagi sebagai ganti basa-basi assalamualaikum, toh ungkapan itu sudah menjadi basabasi. Boleh saja pedagang menuliskan sepenggal ayat dan meletakkannya di tempat khusus sebagi jimat penglaris bila itu membuatnya bahagia.

Itu lebih baik daripada menjual citra keislaman dengan sekedar kostum teater dan lafal-lafal bahasa Arab demi kepentingan politik dan ekonomi pribadi. Kalau amal dan niat kita baik Tuhan akan memberi ganjaran sedangkan kalau niat kita sekedar politik pribadi saja tentu nilai spiritualnya juga rendah meski kita pakai sorban dan minyak wangi dan nama Islam dalam organisasi para-militernya.

Tidak ada kependetaan dalam Islam artinya tidak ada lembaga yang boleh dan berhak mengatakan ini Islam yang benar dan yang lain salah. Aneh! Di Islam tidak ada kelas pendeta tetapi wankawan MUI, Forum Ulama Bandung, FPI, MMI dan kelompok-kelompok dramatis lainnya justru menempatkan diri sebagai pendeta-pendeta baru! Inilah artinya agama Islam dibunuh oleh pengusanya sendiri, atau penguasa dan pendeta-pendeta Islam itu memang sudah sesat dan salah paham!

Marilah kita sebagai orang biasa merebut kembali hak kita untuk berislam tanpa ditunggangi para pemain sandiwara tersebut. Mari kita akhiri penyembahan berhala yang kita lakukan kepada mereka dan kepada Hadist dan kepada simbol-simbol tradisi agama. Mari kita salahkan dan kita kecam mereka yang menegakkan kependetaan di dalam Islam tersebut. 

Para Habib dan Kiai adalah manusia biasa seperti kita dan bukan penghubung Tuhan. Ingatlah kata-kata Chairil Anwar: ....jauhi ahli agama dan lembing katanya! 

Salam,

Bram.

Posted by Bramantyo Prijosusilo  on  01/12  at  12:01 PM

AL-QUR’AN DAN FENOMENA UMAT ISLAM

* Sujito

Praktik-praktik peribadatan dalam Islam memang tidak hanya dalam dimensi teosentrisme saja, tetapi semuanya berdimensi antroposentrisme. Karena itu, sdr. Hamam Faizin (KIUK, ed. 9 Jan 2005), memberi tawaran untuk membawa Al-Qur’an agar mampu hidup dalam fenomena sosial budaya masyarakat. Namun, sepertinya ia lupa bahwa kondisi sebagian besar umat Islam berada dalam “wilayah” miskin. Jika dihadapkan pada kondisi demikian, permasalahannya adalah bagaimana proses interaksi itu muncul dan bagaimana pula umat Islam mampu membawa Al-Qur’an untuk memenuhi banyak fungsi dalam kehidupannya?

Penulis yang seorang anak desa menjadi terusik ketika mengamati fenomena sebagian besar umat Islam yang belum “terangkat” dari kasus-kasus kemanusiaan (kekurangan, kemiskinan dan keterbelakangan) khususnya di pedesaan dan mereka harus dihadapkan pada persoalan tersebut. Padahal kondisi itu jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam mengajarkan untuk meraih kemajuan, namun meski sering diadakan pertemuan (dikemas lewat pengajian) temanya telah menjadi semacam wahana kompensasi psikologis umat dalam menghadapi tekanan ekonomi yang berkepanjangan. Sering terdengar bahwa hidup kekurangan, kelaparan, dan kemiskinan merupakan ujian keimanan dari Allah sehingga seolah-olah telah menjadi sesuatu yang tak perlu diganggu gugat. Agaknya betul juga kata Antropolog bahwa Islam yang berkembang telah menjadi semacam “ideologi” sosial yang melegitimasi struktur sosial dan kondisi kemiskinan.

Memang, sering kita mendengar orang membaca Al-Qur’an, ceramah agama tentang Tuhan, hidup sesudah mati, soal surga dan neraka. Pendek kata (menurut Anharuddin) telah terjadi proses pembudayaan secara wajar dalam beragama, dimana terjadi proses pertemuan antara pranata-pranata sosial, tradisi dan norma-norma yang secara obyektif telah ada dalam masyarakat.

Sebagaimana juga yang diungkapkan Saudara Hamami Faizin bahwa interaksi semacam itu telah menjadi budaya atau sudah mendarah daging. Selintas terlihat bahwa umat Islam hidup dalam kecukupan dan kemewahan dengan indikasi banyaknya umat yang melakukan ibadah haji bahkan tiap tahun cenderung mengalami kenaikan. Namun, karena pandangan yang selintas itu menjadikan kita tidak dapat menyimpulkan bahwa mereka yang mampu naik haji ternyata hanya orang-orang yang berasal dari kelas tertentu.

Diakui atau tidak, fenomena lain yang belum pernah atau mungkin bahkan tidak sama sekali terpikirkan adalah munculnya dikotomi antara dua organisasi besar Islam sebagai dua varian kelompok Muslim, yaitu NU (Nahdhatul Ulama’) dan Muhammadiyah.

Muhammadiyah telah menjadi agamanya orang-orang yang lebih mengutamakan membaca Al-Qur’an dan Hadist, atau agamanya orang yang jum’atan dengan satu adzan dan shalat tarawih sebelas rakaat. Juga agamanya orang yang suka mengklaim dirinya anti-bid’ah, atau sebagai pembaru. Sedangkan NU, adalah agamanya orang yang suka shalat subuh dengan qunut, suka mengirim do’a ke kubur dan memberikan penghormatan pada orang yang sudah meninggal, atau agamanya orang yang suka tahlilan dan membaca shalawat badar. Juga agamanya orang yang selain membaca Al-Qur’an dan Hadist juga suka membaca kitab kuning. Begitulah pemahaman yang berkembang, sebuah persepsi yang amat dangkal dan serampangan.

Ironisnya, hal itu justru berlangsung dalam keadaan hidup yang selalu diliputi kekurangan sehingga masyarakat terkondisikan untuk berpikir bahwa agama dan ekonomi selalu terpisah, sama sekali tak bersinggungan. Artinya, ketika orang bicara soal ajaran, soal Tuhan, dan soal hidup sesudah mati, maka ketika itu ia lupa terhadap keadaan konkret kehidupannya. Dalam agama yang telah menjadi bagian dari mode of thought –meminjam istilahnya Hamam Faizin- masyarakat, jarang terdengar atau mungkin tak pernah mendengar ada penjelasan mengenai faktor-faktor sosial-historis masyarakat miskin.

Realita yang ada banyak bercerita tentang kehebatan golongan memperjuangkan agama yang dirujukkan pada teks-teks Al-Qur’an, sehingga apa yang diperoleh bukan lagi pengetahuan yang sebenarnya, melainkan kebingungan untuk membedakan mana Islam dan mana yang bukan. Sebab seolah-olah golongan itu telah menjadi “Islam” itu sendiri, dan organisasi telah menjadi semacam agama sebagai sesuatu yang disakralkan.

Memang, ini bukanlah kesadaran subjektif yang muncul secara eksplisit dari penulis karena kebodohan penulis yang tidak mampu mentransendensikan pengalaman hidup bermasyarakat kedalam suatu rumusan yang sistematis. Penulis pun kurang paham, tergolong cara interaksi yang mana (meminjam interaksinya Hamam Faizin) penghayatan dangkal penulis dalam merengkuh dan menggali makna Al-Qur’an. Namun, setidaknya penulis dapat menilai bahwa Islam yang dihayati masyarakat hanya sebagai suatu keharusan untuk berwudhu, “ngaji” dan sembahyang dengan baik. Islam tak pernah menjadi suatu pemahaman yang dapat menjelaskan fenomena masyarakat.

Pemahaman mengenai Islam merupakan pemahaman yang penuh dengan pengetahuan tentang keharusan untuk menyembah Tuhan, sehingga saat menyadari betapa hidupnya miskin dan selalu kekurangan, Islam menjadi tidak menarik. Kondisi yang kelihatannya sederhana ini sebetulnya menyimpan permasalahan besar. Bagaimana kita akan mampu membuat interaksi yang lebih bermakna (meaningful), dinamis, dan mampu mempengaruhi perilaku umat jika kondisinya demikian.

Memang tiap bentuk dakwah apapun temanya adalah sah dan benar sebab Al-Quran selalu terbuka bagi siapa saja untuk menyampaikannya. Tetapi jika cara berinteraksi itu kurang bermanfaat bagi masyarakat, maka yang dikehendaki Tuhan seolah menjadi tidak menarik, dan Islam menjadi tidak bermanfaat. Padahal Islam jelas diperuntukkan bagi manusia dan bukan untuk Tuhan.

Disadari atau tidak, untuk menyembah Tuhan maupun bersembahyang secara baik sebenarnya tak ada hambatan. Tapi untuk dapat hidup layak amat sulit apalagi di daerah yang kondisinya tidak “subur”. Persoalan kasat mata yang kita hadapi bukanlah bagaimana beragama dengan baik dan benar, melainkan persoalan sempitnya lahan “sawah”, mahalnya input, rendahnya nilai produksi, dan langkanya modal. Hal ini seharusnya yang menjadi tema dakwah Islam sehingga masyarakat terkondisi untuk berobsesi meraih kesempatan.

Ironis memang, persepsi subjektif tentang diktum-diktum Al-Qur’an dari ulama atau kiai sering dipandang sebagai suatu kebenaran mutlak, sehingga orang-orang terkondisi sedemikian rupa untuk mengikuti pikiran ulama atau kiai bagaikan memeluk Islam itu sendiri. Hal ini mengakibatkan pemahaman terhadap Islam tidak diperoleh melalui suatu proses pencarian intelektual yang berlangsung secara dialogis, tapi informasi keislaman diperoleh secara pasif dan sepihak serta tak pernah memikirkan kembali informasi itu secara kritis. Dengan pemikiran ini, maka menjadi muslim tidak lahir dari proses “refleksi-aksi” dalam konteks keimanan dan pemanusiaan.

Cara berinteraksi yang demikian, perlu untuk diredefinisi kembali sesuai dengan perkembangan kesadaran sosial yang ada sehingga Tuhan yang dihayati tiap muslim akan jauh lebih berimplikasi humanistis dalam kehidupan. Sebab memeluk Islam berarti juga memeluk dan memperjuangkan “ideologi” yang memberikan konsepsi mengenai masyarakat masa depan dengan kerangka strategi perjuangannya secara jelas.

Disamping itu, Islam tidak hanya menjanjikan masa depan berupa insentif eskatologis yang bersifat metafisis (surga), tetapi juga menawarkan sebuah masyarakat masa depan yang empiris-duniawi, yaitu berupa masyarakat egalitarianistis yang bersih dari segala bentuk pengisapan, manipulasi, dan mampu memberi lebih dari sekadar hak-hak sosialnya.

Dengan mensosialisasikan Al-Qur’an sebagai semacam alat pemanusiaan atau pembebasan manusia, berarti Islam tidak hanya menjadi suatu sistem pengetahuan yang berbicara mengenai teori-teori moral dan eskatologis, tetapi juga berbicara menjelaskan serta mengantisipasi masalah-masalah terkini yang muncul.

Karena itu, yang diperlukan saat ini adalah mempopulerkan Islam sebagai suatu alat perjuangan untuk melakukan pembebasan dari segala bentuk tekanan-tekanan baik ekonomi maupun politik. Ini perlu, karena kita sadar bahwa rekayasa sosial yang dibutuhkan dalam tingkat elementer adalah upaya sistematis yang diarahkan pada terciptanya kesadaran baru dikalangan masyarakat. Suatu kesadaran yang mendorong umat Islam untuk mengartikulasikan hak-hak politis dan kultural berdasarkan isu-isu konkret.

Dengan memahami pemikiran tersebut, maka tuntutan pertama bagi kita –khususnya anak-anak muda muslim- adalah pertama, keterbukaan sikap keagamaan untuk bersinggungan dengan paradigma lain. Kedua, keterbukaan pemikiran untuk memperkaya perspektif Islam dengan pemikiran-pemikiran lain. Pada kondisi yang demikian, kita perlu menanggalkan simbol-simbol keislaman tetapi masih tetap memegang teguh konsep dasar nilai-nilai Islam. Ketiga, kita perlu memberanikan diri untuk melepaskan cara pandang Islam yang idealistis dan menggantinya dengan cara pandang yang “historis”.

Aktivitas ini harus memiliki makna long term perjuangan Islam yang berarti kita membutuhkan alat analisis atau penjelas intelektual yang tidak lagi mengacu sepenuhnya pada teks-teks Al-Quran. Kita membutuhkan suatu metode analisis-empiris yang mampu menyingkap realitas kehidupan secara kritis. Di sinilah perlunya kita membuka diri untuk menerima ilmu-ilmu empiris lain yang ada.

Jika kita bersedia untuk bersikap realistis, sesungguhnya kita benar-benar memerlukan pemikiran-pemikiran empiris lain untuk menerjemahkan Islam dan pesan-pesan Al-Qur’an dalam konteks perkembangan masyarakat. Bukankah Islam yang kita miliki sudah terlalu sarat dengan pemikiran eskatologis transendental yang penuh dengan pandangan-pandangan spiritual dan mistis?

Ini sebenarnya yang jadi penyebab keterbelakangan Islam, karena kita telah memperlakukan kehidupan nyata duniawi secara tidak proporsional. Kita tidak membiasakan diri berpikir secara obyektif, padahal pemikiran obyektif sebagai suatu kerangka metodologi berpikir untuk memahami persoalan-persoalan duniawi adalah suatu keniscayaan. Justru dengan pemikiran ini kita akan memperlakukan dunia secara adil, proporsional, dan apa adanya. Dunia tidak diperlakukan secara mistis, atau dianggap sebagai sesuatu yang penuh dengan kekuatan magis.

Islam memang memperkenalkan kepada kita adanya dua kehidupan yang secara konseptual berbeda, yaitu dunia dan akhirat. Tapi pemikiran Islam tentang akhirat sudah cukup final, tak ada lagi sisa yang perlu untuk dikembangkan dan sikap kita terhadap akhirat juga telah selesai, bahwa akhirat yang menjadi keyakinan itu hanyalah hak mutlak Tuhan, dan urusan kebijakan-Nya.

Yang belum final adalah pemikiran Islam tentang dunia, tentang masyarakat, yaitu pemikiran yang khas duniawi untuk berbuat apa saja bagi masyarakat dan berupaya melakukan pemanusiaan atas nama-Nya.

Pemikiran tentang dunia tidaklah harus berpacu pada kata-kata Tuhan. Sebab manusia telah diberi hak otonom untuk memperlakukan dunia, memikirkan dan mengelolanya demi tegaknya sebuah peradaban. Urusan dunia adalah hak mutlak manusia sebagai wakil Tuhan tanpa harus meninggalkan nilai-nilai dasar yang telah digariskan-Nya.

Sebagaimana yang disampaikan dalam Al-Qur’an (QS. 45:13), bahwa manusia dalam dimensinya yang terbatas mempunya kemampuan intelektual untuk berpikir, memahami dan menjelaskan kompleksitas dunia nyata sehingga ia dapat merumuskan pengalaman intelektualnya kedalam teori, konsep, bahkan ideologi yang kemudian secara praktis dapat digunakan untuk mengolah dan memanfaatkan seluruh potensi sumber-sumber duniawi. Dengan dasar ini, maka konkretlah makna Al-Qur’an dalam kehidupan kita.

Jelas bahwa esensi keislaman sebenarnya tidak hanya terletak pada kesalehan pribadi yang diekspresikan dalam bentuk ketaatan menjalankan ritual-ritual Islam. Tetapi terletak pada komitmen seseorang untuk terus-menerus mengubah dan menciptakan lingkungan masyarakat menjadi lebih manusiawi. Ritual dan pengabdian Islam tidak hanya dilakukan melalui shalat dan puasa, melainkan juga gerak fisik dan intelektual untuk usaha-usaha pemanusiaan.

* Sujito : Anak Muda NU, Mahasiswa Program Pasca Sarjana ITS Surabaya.

Posted by Sujito  on  01/12  at  08:01 AM

Banyak cara orang ingin memahami dan mengamalkan al qur an, penulis cukup jeli melihat fenomena “living qur an”. Tapi kita tidak bisa lepas dari para mufassir, yang nota bene nya mereka memang betul-betul kompeten dengan al qur an. Mesti pintar-pintarnya kita saja untuk bisa obyektif membaca tafsir

Posted by ahsan  on  01/11  at  08:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq