Makin banyak Godaan, makin tinggi Puasanya - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
27/10/2003

KH. Drs. Imam Ghazali Said, MA: Makin banyak Godaan, makin tinggi Puasanya

Oleh Redaksi

Idealnya, moment puasa di bulan Ramadan bisa menurunkan tingkat konsumerisme umat Islam. Tapi kenyataannya, pengeluaran keluarga untuk kebutuhan sehari-hari di bulan suci ini yang bersifat konsumtif jauh melebihi bulan lainnya. Inilah salah satu bentuk ironi puasa. Padahal, substansi puasa adalah menahan diri dari nafsu konsumerisme yang meruah.

Demikian sekilas perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan KH. Imam Ghazali Said, MA pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya, dan dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya yang meraih master bidang metodologi pengajaran bahasa Arab dari Khourtoum International University Sudan, dalam wawancara pada hari Kamis, 23 Oktober 2003. Berikut petikannya:

NOVRIANTONI (JIL): Pak Kyai, bulan ini seluruh umat Islam melaksanakan puasa Ramadan. Sebenarnya, apa sih makna puasa menurut Anda?

KH. IMAM GHAZALI SAID (IGS): Pembahasan tentang puasa bisa didekati dari tiga pendekatan. Pertama, dari haqîqah lughâwiyyah (secara etimologis), puasa bermakna mengekang diri (al-imsâk) atau mengekang dalam artian umum. Mengekang apa saja. Orang yang mengekang diri untuk tidak tidur malam hari, bisa disebut puasa dari tidur. Tidak ngomong bisa disebut puasa bicara, dan seterusnya. Kedua, dari haqîqah syar’iyyah (secara defenisi syariat) sebagaimana yang dirumuskan kalangan ahli fikih: yaitu mengekang diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa, sejak dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Ketiga, dari haqîqah ‘urfiyyah, atau secara kebiasaan. Pada titik ini, puasa tidak dikaitkan dengan agama, tapi disebut kebiasaan orang saja.

JIL: Artinya, ada unsur budaya dalam poin ketiga ini?

IGS: Ya, ada unsur budaya. Di sini, puasa yang bertujuan agar tingkat konsumsi kita akan kebutuhan-kebutuhan fisik menurun, bisa jadi dijumpai meningkat. Di bulan puasa, kebutuhan berbelanja terkadang malah meningkat tajam. Di beberapa negara, tren konsumerisme memang menurun (di bulan puasa). Ini artinya, secara kebiasaan dan kenyataan, puasa yang kita jalankan pada bulan Ramadan, masih sebatas tidak makan dan tidak minum di siang hari saja. Ketika malam, kebutuhannya justru meningkat tajam.

JIL: Kelihatannya, ini menjadi ironi puasa itu sendiri!

IGS: Ya, inilah ironi puasa. Mestinya, puasa mengekang tingkat konsumerisme yang meruah itu. Dengan berpuasa, tingkat konsumerisme kita menjadi turun. Itulah puasa yang kena substansinya. Tapi kenyataan yang kita lihat, puasa secara tradisi, yang dilakoni banyak dari kita, hanya terjadi di siang hari. Malam hari justru terjadi aksi balas dendam. Puasa yang kita jalankan sekarang, justru bukan pada level haqîqah syar‘iyyah, tapi haqîqah ‘urfiyyah.

JIL: Apakah puasa dalam pengertian haqiqah ‘urfiyyah juga menunjukkan kalau ibadah ini bukan hanya ritual yang khas Islam?

IGS: O, iya. Makanya, dalam Alqur’an disebutkan kamâ kutiba ‘alalladzîna min qablikum (sebagaimana orang-orang sebelum kamu berpuasa, Red). Di Indonesia soal puasa, rata-rata orang melakukannya, minimal di awal dan ujung.

JIL: Paparan Anda tadi mengandaikan adanya puasa tradisional dengan puasa sebagai kewajiban agama. Bagaimana membedakannya?

IGS: Sebetulnya, kalau kita perhatikan teori besarnya, orang bisa terkaget akan proposisi demikian. Sebetulnya, agama juga budaya. Budaya per defenisi biasanya dimaknai sebagai karsa dan karya manusia. Cipta karsa manusia. Pada intinya, gerak kita untuk salat itu juga merupakan upaya yang manusiawi. Hanya saja, ritual semacam itu didasarkan oleh wahyu. Itu sebetulnya yang membuat susah membedakan antara unsur yang budaya dari agama dan yang bukan budaya. Begitu kira-kira perspektif yang ekstrim. Nah, kaitannya dengan puasa, andaikan tidak ada perintah agama pun, ritual itu akan tetap dilakukan manusia. Misalnya, orang yang ingin penyakitnya berkurang, sebelum dioperasi biasanya berpuasa terlebih dahulu.

JIL: Artinya agama cuma membenarkan?

IGS: Ya, agama membenarkan karena dia bernilai positif dan pada hakikatnya cocok dengan budaya. Jadi, saya ingin mengatakan bahwa agama pada hakikatnya tidak bertentangan dengan budaya.

JIL: Dalam Hadis Qudsi disebut-sebut bahwa ritual puasa adalah “milik Tuhan”, dan Tuhan sendiri yang akan memberi ganjaran. Apa pengertian hadis ini?

IGS: Dalam hadis qudsi itu disebutkan, kullu ‘amalibni âdam lahu illâs shiyâm, fainnahu lî wa’anâ ajzî bihi (setiap amalan manusia adalah [bermanfaat] bagi dirinya, kecuali puasa. Dia [bermanfaat] untuk-Ku dan Aku yang akan memberi ganjarannya). Maksudnya, di situlah letak pentingnya puasa. Betapa dia dinisbatkan pada Allah, sementara ibadah lainnya dinisbatkan pada mahluk. Ini artinya, betapa tinggi nilai puasa itu di mata Allah. Itu bahasa metaforisnya.

JIL: Pak Kyai, dalam berpuasa selain memiliki makna individual untuk dirinya pribadi, ibadah ini juga memiliki makna sosial. Menurut Anda, di mana letak pentingnya dalam konteks sosial ini?

IGS: Iya, dalam puasa juga tersirat nilai solidaritas sosial. Seorang yang berpuasa dan merasa dirinya lapar, mestinya juga berempati dengan orang lain yang juga lapar. Dan lapar itu tidak enak dan tidak nyaman. Maka dari itu, orang yang berpuasa, mestinya mengeluarkan orang lain dari jurang kelaparan. Itu yang pertama. Kedua, puasa itu sulit dideteksi. Ibadah lain mudah diketahui orang. Mungkin ada orang yang berpuasa, tapi tetap bersemangat, tidak akan diketahui orang lain kalau dia sedang berpuasa kecuali bila dia memberi tahu orang itu.

JIL: Artinya, ibadah ini bersifat sangat pribadi?

IGS: Ya. Maka dari itu, puasa mestinya jauh dari unsur riyâ atau keinginaan untuk dilihat dan dipuji orang lain.

JIL: Tapi, belum lagi puasa dimulai, sudah banyak tuntutan agar kita menjaga nuansa Ramadan dengan misalnya tempat hiburan ditutup dan lain-lain. Bagaimana tanggapan Anda?

IGS: Menurut saya, yang menuntut itu perlu dihormati juga. Itu hak mereka. Hanya saja, bagi saya tuntutan itu terlalu formal. Jadi perjuangannya sangat formalistis, tidak melihat esensi puasa. Menurut saya, biarkan saja orang-orang itu bebas. Kita juga bebas berpuasa. Justru puasa akan menjadi berarti kalau godaannya banyak. Semakin banyak godaan puasa, semangkin tinggi nilainya. Kalau dibabat semua itu namanya tidak puasa. Yang melakukan puasa tapi merusak tempat-tempat hiburan misalnya, justu bisa disebut sebagai orang yang tidak berpuasa.

JIL: Untuk menciptakan suasana yang nyaman dalam berpuasa, nuansa Ramadan sering disulap serba Islam. Sehatkah fenomena ini menurut Anda?

IGS: Menurut saya, itu adalah tindakan mereka yang tidak mampu menangkap esensi puasa, tapi formalnya saja. Pada bagian formalnya, orang harus serba terlihat Islami. Makanya membaca Alqur’an dikeras-keraskan. Puasa membuat orang lain, dengan kegiatan mereka masing-masing menjadi terlarang. Padahal, kalau sudah bulan puasa, masjid-masjid akan semarak dengan bacaan Alqur’an, bahkan dengan suara yang keras-keras. Bagi saya, perilaku itu juga tidak baik dan ikut mengganggu orang lain. Negeri kita ini kan bukan dihuni muslim saja.

JIL: Bagaimana Anda melihat adanya sebagian orang berpuasa dengan tingkat pamer yang tinggi misalnya berbuka puasa di gedung-gedung mewah atau hotel berbintang?

IGS: Kalau memang di hotel-hotel berbintang, mestinya perlu perimbangan juga. Perlu dijaga betul, jangan sampai kita terjebak dalam tindakan yang bisa disebut syaqq qulûbil fuqarâ’ atau membuat hati orang-orang miskin terenyuh. Mereka, seringkali tidak menemukan apa yang mesti mereka makan. Sementara, orang lain begitu enak dan nikmat menu makanannya. Pada titik ini, sesungguhnya sudah tidak ada solidaritas sosial lagi. Mestinya, yang ditampakkan bukan itu. Tapi bagaimana orang kaya bisa memberi perhatian serius kepada orang miskin, justru di bulan puasa ini.

JIL: Selain itu, ada ironi lain di bulan puasa yaitu menurunnya produktivitas kerja dan meningkatnya budaya konsumerisme. Bagaiamana tanggapan Anda?

IGS: Mestinya, puasa harus meningkatkan produktivitas, bukan meninggikan tingkat konsumerisme. Tingkat kebutuhan kita jangan bertambah meningkat. Kebiasaan begadang di malam Ramadan misalnya, saya kira harus diturunkan. Selepas jam 10 malam, masjid-masjid hendaknya jangan lagi mengumandangkan bacaan Alqur’an dengan suara yang lantang dan keras. Mereka tidur saja, lalu bangun untuk sahur. Dengan tradisi begitu, diharapkan yang berpuasa tetap dapat menjaga produktivitas kerja.

Masalahnya, tak jarang selama ini mereka begadang. Selain itu, bacaaan Alqur’an yang selama ini dinilai semarak, kalau dialunkan dengan lantang dan keras, menurut saya agak merusak citra Islam. Seakan-akan kita memanggil Tuhan yang begitu jauh. Jadi, kalau kita menghindar dari kegiatan yang tidak produktif di malam hari, kegiatan kita akan tetap produktif di siang hari. Sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan bisa berjalan sebagaimana biasanya dengan begitu.

JIL: Apakah dalam berpuasa ada pertimbangan rasional?

IGS: Iya! Ada pertimbangan-pertimbangan rasional dan lokal yang menguntungkan kita, bukan menguntungkan orang lain. Itu bisa kita lakukan. Kemudian, kita menyadari bahwa tujuan ideal puasa adalah untuk capaian ketakwaan. Nah, ketakwaan itu memiliki dua dimensi: menyangkut hubungan dengan Tuhan, dan dengan semasa manusia. Dengan Tuhan, kita tersambung secara spiritual, dan dengan manusia kita berinteraksi baik secara sosial. Kalau itu tercapai, dalam siklus tahunan ini paling tidak, puasa kita bisa disebut sukses. Kalau tidak, puasa kita bisa disebut gagal.

Jadi memang ada parameternya. Selesai puasa, ketika azan magrib sudah bergema, kita masih memiliki solidaritas sosial yang baik atau tidak? Setelah hari raya nanti, dimensi spiritual kita dengan Tuhan terasa meningkat atau tidak? Dan, dimensai sosial membaik juga atau tidak? Itu bisa diukur. Kalau ukuran-ukuran itu tidak tercapai, berarti tujuan ideal puasa tidak tercapai.

JIL: Pak Kyai, saban kali bulan Ramadan tiba, kita menyaksikan proyek islamisasi berlangsung di berbagai sektor, khususnya media elektronik dan cetak. Menurut Anda, ini fenomena apa?

IGS: Itu budaya berpura-pura namanya. Budaya berpura-pura sangat lengket dengan nilai-nilai kehidupan kita. Itu karena kita sangat bergantung pada keadaaan. Bulan puasa kita mesti berpura-pura memakai kopiah atau jilbab. Iklan juga disesuaikan dengan nuansa yang Islami. Itu semua, kan kepura-puraan belaka. Kita tidak terlatih untuk memiliki orientasi tertentu. Akibatnya, setelah puasa selesai, “teater” itu semua akan selesai dengan sendirinya. Jadi kita tidak terlatih untuk sedikit demi sedikit (secara gradual) merubah diri kita. Perubahannya selalu ingin total. Itu menurut saya tidak mendidik. Itu puasa pura-pura namanya.

JIL: Atau kalangan media takut didemo?

IGS: Mestinya jangan takut didemo, tapi justru memberi pengertian kepada yang akan mendemo bahwa ini bukan ritual berpura-pura. Kalau maunya tempat-tempat maksiat itu ditutup, mestinya jangan pada momen puasa saja. Jadi, perlu dibuatkan alterntif jangka panjang agar mereka berubah. Jangan hanya karena bulan puasa. Itu tak ada gunanya. Nanti setelah puasa akan jalan terus.

JIL: Kalau kondisinya begitu, sulit mengharap fungsi sosial puasa terwujud?

IGS: Mestinya ini dimulai Jaringan Islam Liberal. Karena apa? Karena itu semua kepura-puraan belaka. Kagetan saja. Karena puasa, semua berubah total. Nanti pada bulan Syawal, tingkat kriminalitas akan meningkat lagi. Jadi, dengan begitu, tujuan la’allakum tattaqûn itu sudah gagal.

JIL: Apa Anda ingin mengatakan bahwa puasa tidak berpengaruh signifikan terhadap realitas budaya kita?

IGS: Sekarang nyatanya begitu. Mulai sekarang harusnya mulai dipahami bahwa puasa adalah sebuah tahapan. Jangan langsung total. Yang penting dari itu adalah adanya kemauaan kuat untuk berubah dari yang tidak baik menuju yang baik. []

27/10/2003 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

assalaamu’alaikum wr. wb.

Seorang guru SMP saya dulu mengajarkan, kata “puasa” berasal dari istilah sansekerta, yaitu “paase”. Menurutnya, “paase” artinya “menyiksa diri”. Ini tentu tidak tepat untuk digunakan dalam ajaran Islam, karena Islam sama sekali tidak berorientasi pada kegiatan menyiksa diri.

Sansekerta berasal dari daerah India, di mana sebagian besar penduduknya beragama Hindu. Agama mayoritas ini tentu mempengaruhi budaya setempat. Wajar bila mereka mengenal kegiatan menyiksa diri, karena ada hal yang demikian dalam ajaran Hindu. Ada semacam pawai tertentu yang mereka adakan setahun sekali untuk memuja salah satu dewa mereka (saya sendiri lupa dewa yang mana). Pada pawai itu, mereka mendemonstrasikan kemampuan mereka untuk menghilangkan rasa sakit. Sekujur tubuh mereka ditusuk dengan jarum berbagai ukuran. Mereka percaya, dengan menyiksa diri, mereka akan lebih dekat kepada Tuhannya.

Prinsip yang sama tidak bisa digunakan dalam Islam. Allah adalah Rabb. Kata “Rabb” berasal dari kata “tarbiyah” yang bermakna “bimbingan, pendidikan, pelatihan” dan berbagai kata yang menggambarkan makna kasih sayang. Allah tidak menginginkan penderitaan dalam hidup manusia. Allah juga tidak membutuhkan penderitaan kita. Allah tidak pernah menyuruh manusia melakukan sesuatu yang akan menyiksa dirinya.

Dengan demikian, kata “puasa” tidak lagi dapat digunakan untuk menggantikan kata “shaum”. Tidak ada manusia yang tersiksa karena melaksanakan shaum. Kalau pun ia merasa berat, itu hanya karena hawa nafsunya yang sulit dibendung.

Shaum dilaksanakan sejak subuh hingga maghrib. Di Indonesia, waktu menjalankan shaum relatif sama sepanjang tahunnya, yaitu sekitar 14 jam. Di daerah beriklim tropis, panjangnya siang dan malam relatif tetap sepanjang tahun. Namun di daerah beriklim subtropis, atau bahkan kutub, panjang siang dan malam bisa menjadi sangat ekstrem. Jika Ramadhan jatuh pada musim dingin, maka shaum akan sangat pendek, karena jarak antara subuh dan maghrib sangat dekat. Sebaliknya, jika Ramadhan jatuh pada musim panas, maka shaum akan sangat panjang, karena pada musim tersebut malam sangat pendek.

Meski demikian, tidak ada manusia yang tersiksa karena shaum. Tidak ada orang yang sampai mati karena shaum. Tidak makan selama tiga hari pun manusia masih dapat hidup, apalagi kalau hanya beberapa belas jam. Kewajiban shaum masih jauh dari potensi maksimal tubuh manusia, dan karenanya, tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan menyiksa diri.

Ada banyak keringanan dalam melakukan shaum. Wanita haid dan nifas tidak boleh melaksanakan shaum, karena mereka mengalami kehilangan darah cukup banyak, sehingga dikhawatirkan bisa merusak kesehatan jika mereka memaksakan untuk shaum. Untuk hal-hal yang membahayakan kesehatan, Islam bukan hanya menganjurkan untuk menjauhi puasa, namun bahkan melarangnya. Ini adalah bukti bahwa Allah tidak menghendaki penderitaan bagi manusia.

Orang yang berjihad pun tidak diwajibkan shaum. Demikian pula orang-orang yang sudah renta dan tak mampu lagi melaksanakannya. Orang-orang yang sakit pada bulan Ramadhan pun tidak perlu memaksakan diri untuk bershaum. Allah memberi keringanan pada mereka untuk melunasi ‘hutang’ shaum mereka di lain hari (ketika kondisi mereka telah memungkinkan) atau membayar semacam denda, misalnya bagi orang-orang tua yang diperkirakan tidak akan mampu lagi melaksanakan shaum.

Pada saat melaksanakan shaum, ada empat hal yang harus dilakukan oleh setiap Muslim, baik pada shaum Ramadhan atau pada hari-hari lainnya. Empat hal tersebut yaitu : (1) tidak makan, (2) tidak minum, (3) tidak berhubungan seks, (4) wajib mengendalikan diri.

Perlu dicatat, bahwa larangan untuk tidak makan, minum dan berhubungan seks hanya berlaku sejak subuh hingga maghrib. Setelah waktunya berbuka, maka ketiga hal tersebut menjadi halal kembali, sesuai ketentuan normalnya. Tentu saja tidak segala jenis makan, minum dan hubungan seks menjadi halal. Islam memiliki ajaran yang lengkap tentang segala hal, termasuk ketiga hal tersebut.

Poin keempat mewakili seluruh inti ajaran shaum. Inilah alasan mengapa Allah mewajibkan shaum minimal selama sebulan dalam setahun, yaitu pada bulan Ramadhan. Selain itu, Rasulullah saw. pun sangat menganjurkan umatnya untuk melaksanakan berbagai shaum sunnah. Salah satu shaum sunnah yang diajarkan oleh beliau adalah shaum pada setiap hari Senin dan Kamis. Shaum sunnah terbaik adalah shaumnya Nabi Daud as., yaitu sehari bershaum dan sehari tidak, demikian seterusnya.

Ketika bershaum, kita tidak disuruh untuk menahan lapar dan haus. Kita diperintahkan untuk mengendalikannya. Hal ini untuk memerdekakan diri kita dari kekangan rasa lapar dan haus itu sendiri. Kita sering melihat bangsa Eropa dan Amerika yang tubuhnya bagus-bagus di film-film, padahal itu tidak lebih dari beberapa persen saja dari seluruh penduduknya. Sebagian besar penduduknya tidak bisa mengendalikan berat badannya karena mereka dikendalikan oleh nafsu makannya. Ketika lapar sedikit, cemilan mereka adalah coklat. Mereka terbiasa memakan pizza atau masakan Cina yang bisa dipesan dengan telepon. Tentu tidak ada salahnya menyantap pizza atau masakan Cina, namun bila dilakukan nyaris setiap hari, maka dipastikan mereka akan menumpuk lemak di tubuh mereka sendiri.

Jika kita makan makanan secara berlebihan, maka pencernaan akan bekerja terlalu keras. Energi tubuh terkuras untuk mencerna makanan. Akibatnya, tubuh malah meminta tambahan makanan lagi, dan begitu seterusnya. Inilah sebabnya kita harus belajar mengendalikan nafsu makan, karena kebiasaan makan kita akan sangat tidak efektif jika kita membiarkannya begitu saja. Jika kita menuruti terus nafsu makan kita, maka kita akan kelebihan berat badan dan berbagai penyakit akan mampir ke tubuh kita.

Dengan shaum, Allah pun tidak melarang hubungan seks, apalagi hubungan suami istri yang sah. Allah tidak memandang seks sebagai sesuatu yang kotor, sepanjang hal tersebut dilakukan sesuai aturan. Bahkan Islam menganggap hubungan seks antara suami dan istri sebagai suatu bentuk ibadah. Islam juga memberikan tuntunan yang lengkap tentang hubungan seks. Sementara agama lain memandangnya hina, bahkan melarang orang-orang solehnya untuk berkeluarga, Islam justru menganjurkan setiap umatnya untuk menikah dan memiliki keturunan. Ini adalah sesuatu yang fitrah, dan Allah tidak akan melarang sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia.

Pada saat shaum, Allah memerintahkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsunya, bukan menahannya. Kita akan tersiksa kalau kita menahan-nahan keinginan kita untuk makan, minum dan berhubungan seks, sambil menunggu-nunggu waktu maghrib. Ironisnya, inilah yang dilakukan oleh kebanyakan orang.

Yang sebenarnya diperintahkan Allah adalah mengendalikan semua keinginan tersebut. Kita tidak perlu panik. Tenang-tenang sajalah, karena toh kita bisa makan dan minum lagi nanti setelah maghrib. Kita juga tidak perlu resah, karena kita hanya perlu menghindari makan, minum dan hubungan seks selama beberapa jam saja, tidak sampai selama 24 jam, dan tidak sampai merusak kesehatan kita. Jika keinginan itu muncul, kita hanya perlu menyuruhnya untuk menunggu, itu saja.

Orang-orang yang menyiksa dirinya sendiri dengan menunggu-nunggu waktu berbuka tidak akan merasakan kenikmatan shaum yang sebenarnya. Sebaliknya, orang-orang yang dengan tenangnya mampu memerintahkan hawa nafsunya untuk menunggu barang sejenak, akan mampu menyibukkan dirinya dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, sehingga ia tidak terus-menerus dirongrong oleh hawa nafsu yang berusaha mengendalikan dirinya.

Kenikmatan shaum yang sebenarnya adalah ketika kita benar-benar mampu mengendalikan diri kita dan segala keinginan kita. Keinginan-keinginan tersebut tidak terlarang, namun mesti dikendalikan. Orang-orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri akan selalu berada dalam kesulitan. Sebaliknya, orang-orang yang berkuasa atas dirinya sendiri akan mampu beradaptasi dalam segala kondisi, sesulit apa pun.

Shaum bukan bertujuan untuk menyiksa diri. Tujuan shaum adalah untuk mencetak pribadi-pribadi yang bertaqwa, yaitu pribadi-pribadi yang tangguh dalam melaksanakan segala perintah Allah dan berhati-hati agar tidak melakukan apa-apa yang dilarang-Nya. Dan orang-orang tangguh itu tidak akan muncul dari golongan orang-orang yang tidak bisa mengendalikan diri.

wassalaamu’alaikum wr. wb.
-----

Posted by Pemerhati JIL  on  03/29  at  06:03 AM

Ini pertama kali saya memasuki webpage dari JIL dan terus terang saya salut dengan bahasan yang ada berkaitan dengan puasa. Selama ini menjelang bulan puasa sudah dikondisikan supaya dalam puasa tidak ada atau minimal adanya ‘gangguan’, godaan, atau hal yang dapat menodai kusucian bulang puasa, sehingga tempat hiburan dan sejenisnya ditutup, rumah makan sejenis Mc. Donnald harus memakai tirai supaya kalau ada orang yang makan di dalamnya tidak terlihat dari luar dan mengganggu atau menggoda orang yang berpuasa. Artikel ini antara lain mengajarkan marilah kita bebas menjalankan ibadah puasa, dengan hanya diketahui oleh Allah, dan biarlah orang lain yang tidak berpuasa tidak perlu dibatasi kebebasannya. Dan tentunya dengan saling menghargai hak orang lain maka kehidupan ini lebih menyenangkan.  Sekali lagi selamat dan salut buat JIL, saya percaya Indonesia akan semakin aman dan maju jika semakin banyak yang bersikap seperti Anda.

Posted by Gatot Imam Nugroho  on  11/28  at  06:11 PM

menarik ketika kita mengkaji masalah puasa antara hakikat dan realitas. melihat fenomena yang ada sudah selayaknya kita mengkaji kembali dan mensosialisasikannya kepada ummat, apa sebenarnya makna puasa dan apa yang harus dilakukan orang yang puasa.  ini tanggung jawab mereka yang “tahu” tentang makna puasa. puasa antara hakikat dan realitas khususnya yang terjadi di indonesia jauh panggang dari api. pengekangan yang diperintahkan tuhan tidak terjadi dalam dunia nyata, yang ada adalah sebaliknya, konsumerisme akibat puasa semakin tak terkendali. yang seharusnya tidak terjadi tapi setiap datangnya ramadhan harga-harga barang naik drastis tanpa kendali. kenaikan ini seakan tanpa respon, yang penting ritualitas puasa dapat dipenuhi. ralitas inilah yang menurut saya pangkal dari rusaknya tatanan kehidupan di segala segi. pengandalian diri yang dicita-citakan Tuhan tak berwujud pada diri hambanya. mari kita berrefleksi, sudah berapa tahun kita berpuasa? semestinya setelah kita berpuasa ada nilai yang kita rasakan dan dapat diwujudkan yaitu derajat kemuliaan manusia, taqwa. relitasnya, banyak sudah yang berpuasa dari pejabat tinggi sampai rakyat jelata, tapi kehidupan bangsa ini bukan semakin baik malah semakin terpuruk, korupsi semakin merejalela, penindasan dan penjajahan semakin meningkat, kepedulian sosial hanya lip service. inilah ironi puasa, bukan kebaikan dan kesalehan sosial dan ritual yang kita peroleh, malah sebaliknya. maka untuk memperbaiki realitas ini perlu adanya kerja keras kita untuk merubah tradisi puasa yang konsumtif lagi mubazir menjadi tradisi yang lebih elegan dan bersahaja. ingat nilai puasa itu bukan di bulan ramadhan, tapi setelah ramadhan, artinya berhasil atau gagalnya kita berpuasa dapat dilihat nanti pada bulan syawal dan bulan-bulan yang lainnya, semakin baikkah kita atau sebaliknya?

Posted by gunawan  on  11/10  at  08:11 PM

Assalamu`alaikum.

Tak banyak yang saya ingin ungkapkan di sini. bahwa memang ritual puasa memiliki dua sayap makna yang koheren, makna individual dan sosial. makna pertama cenderung untuk melahirkan makna yang kedua. artinya ada makna dialektis yang terus-menerus diciptakan di sini. tanpa prosesi ritual-individual yang benar maka secara asumtif, keruwetan sosial pun akan segera mewarnai realita kehidupan kita.

Pondasi ke`islaman`yang kokoh pada masing-masing pribadi, agaknya memang akan membantu terwujudnya pola kehidupan sosial yang harmonis. tentu saja, hal ini membutuhkan pola pendidikan-diri sedini mungkin. saya cukup sepakat dengan sdr. Bapak Imam dalam pengusungan suatu pola pendidikan yang diupayakan dalam sebuah gradually process. hal ini tentunya, akan menuntun kita untuk mengerti lebih mendalam tentang hakikat dan hikmah sebuah ritual agama secara konsisten.

Bagi saya, hubungan dialektis ini mengandaikan suatu totalisme ajaran [Islam] yang terbuka. terbukti, ia tak hanya mematangkan sisi egoisitas seorang muslim tetapi juga menekankan betul ajaran solidaritas sesama manusia. kehidupan yang solider berarti juga adalah sebuah prototype kehidupan yang mengkuduskan pola `kesalingan` yang equal. inti dari pola `kesalingan` adalah sebuah moderasi sikap yang meluluhkan egosenstrime pribadi-pribadi. sehingga, ia menjadi satu dalam kebersamaan yang berbeda-beda. [Bhineka Tunggal Ika].

Yang ingin saya tekankan selanjutnya adalah, mentalitas kesadaran manusia Indonesia. [siapa saja; muslim atau non muslim, pribumi atau non pribumi!]. saya melihat kekosongan yang serius pada titik ini. tak ada mentalitas kesadaran yang menggugah hati individualnya secara damai, sebagai hasil dari pembumian pemahaman akan makna demokrasi `kesalingan` yang luhur. sungguh, ini adalah (juga) bagian dari ironi kehidupan kita.  Jika demikian adanya, maka harus ada yang mengingatkan. hal ini, saya meyakininya sebagai dasar filsafat `movement` pada masing-masing agama. [ini jika harus saya nilai dari sisi normatif-teologis!]. maka atas nama harmonisme individual dan sosial tadi, agama mana pun -termasuk juga Islam- akan secara tegas, memposisikan umatnya sebagai agen missionaris yang berakal-budi. dalam agama saya, Islam, hal itu berada pada koridor konsep tindakan preventif yang anggun, menganjurkan kebenaran/kebaikan sembari berupaya mencegah keburukan/kejelekan, secara optimal. pada tahap inilah totalisme ajaran agama [Islam] menemukan urgensinya.

Karena negeri ini adalah negeri `demokrasi,` maka sepatutnya pula harus menjunjung harkat & martabat kedemokrasian hidup. keputusan-keputusan demokratis, dengan sendirinya, harus diakui dan dihormati oleh berbagai pihak yang mengakui dirinya sebagai demokrat. sungguhpun, saya sendiri alergi demokrasi! tak apalah, ini pun termasuk hak-hak berdemokrasi juga bukan?

sekian, salam.

Aby Mikasyah

Posted by Aby Mikasyah  on  11/09  at  09:12 PM

Agama jelas mengajarkan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Makan minum apa saja boleh kecuali yang diharamkan. Berhubungan badan halal selama dengan pasangan yang sah. Dll.

Tapi puasa itu unik.. Hal-hal yang sebenarnya boleh dilakukan, selama berpuasa menjadi tidak boleh dalam periode waktu tertentu.

Banyak hikmah yang yang seharusnya bisa diambil, selain dari pahala yang dijanjikan. Hikmah puasa harus menjadi modal kita untuk menjalani hari-hari setelah tidak berpuasa lagi. Kita jadi tahu rasanya saat orang lain makan minum dengan enak namun kita harus menundanya sampai saat buka. Bahwa ternyata meskipun kita melakukan hal-hal yang halal seperti makan minum sepuasnya, ada banyak saudara-saudara kita yang tidak mampu melakukannya. Emosi yang cepat terbakar pada saat kita lapar, mungkin itu pula yang terjadi pada saudara-saudara kita yang meskipun bukan bulan puasa, tetapi terpaksa tidak bisa makan kenyang. Dan masih banyak lagi hikmah lainnya. Ternyata melakukan hal-hal yang halal pun harus ‘tepa-tepa’, harus memikirkan perasaan orang lain.

Oleh karena itu, akan lebih banyak hikmah puasa yang kita dapat, kalau lingkungan kita tidak ‘dimodifikasi’ menjadi ‘tidak-seperti-biasanya’, misalnya rumah makan ditutup-tutupi, tempat-tempat hiburan malam apapun tidak boleh buka, produktivitas turun dimaklumi, dll.

Selamat berpuasa, semoga modal kita makin banyak untuk menghadapi hari-hari panjang setelah lebaran. Amin.

Posted by Agung Binajaya  on  11/06  at  12:11 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq