Meliberalkan Sabda - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
28/11/2005

Meliberalkan Sabda

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Memperhatikan argumen teologis yang mereka ajukan akan tampak blunder pokoknya. Bahwa pengeboman Bali itu adalah wujud dari sebuah penghampiran yang harafiah, di mana aksara harus disembah dan yurisdiksi kata harus tegak. Setiap kata dalam kitab suci diletakkan sebagai ekspresi kebenaran Tuhan. Para teroris itu memahami Sabda dari bentuk skripturalnya saja tanpa memahami esensi dasarnya. Mereka menelan tafsir-tafsir keagamaan klasik tanpa modifikasi apalagi kritik.

Kelompok teroris percaya bahwa pembunuhan bahkan pembantaian bisa halal dilakukan, terlebih untuk non-muslim yang dipandang telah memusuhi (umat) Islam. Non-muslim yang demikian disebut sebagai kafir harbiy yang--menurut kaum teroris--darahnya selalu mubah bahkan wajib ditumpahkan. Kafir harbiy adalah deretan orang yang membahayakan bagi eksistensi Islam. Sehingga umat Islam diminta untuk segera merancang strategi dan mengambil tindakan untuk membinasakan kaum kafir itu. Itu kira-kira ideologi yang mengendap di benak para teroris bersampul Islam. Pandangan buas seperti ini bukan tanpa dalil, karena mereka pun kerap menyandarkan pandangannya itu pada nukilan ayat dan kutipan hadits serta penjelasan ulama yang otentik.

Mereka menyebut dirinya sebagai mujahid (pejuang Islam). Bukan sebagai teroris. Sebagai mujahid, mereka merindukan sorga sebagai tempat huniannya yang terakhir. Kenikmatan sorga dengan sekumpulan bidadarinya yang jelita rasanya merupakan bagian dari motif eskatologisnya. Mereka berani mempertaruhkan semuanya termasuk jiwanya sendiri untuk memperoleh imbalan akhirat itu. Sorga akhirat bahkan telah mereka tebus bukan hanya dengan jiwanya sendiri melainkan dengan jiwa-jiwa orang lain. Bukan hanya jiwa-jiwa orang yang mereka sebut sebagai kafir tapi juga jiwa orang-orang Islam sendiri, tua-muda, kecil-dewasa, laki-perempuan. Mereka yang tewas di Bali seakan merupakan korban yang diperlukan untuk memperoleh tiket sorga dan untuk mencapai ridha Allah SWT

Buat saya, untuk apa mendeklarasikan iman dan hasrat menggebu menuju sorga sekiranya hanya dengan cara memenuhi bumi dengan darah orang-orang tak bersalah. Tapi, menyesalkah mereka atas tindakannya itu? Ternyata tidak. Tak tampak di raut wajah mereka sehelai penyesalan. Alih-alih hendak menyesali, justeru mereka mengalami surplus percaya diri atas keberhasilannya membom orang-orang kafir itu, seperti terlihat pada para pelaku bom Bali. Bahwa kemudian mereka dijerat dengan hukuman mati, itu mereka pahami sebagai jembatan emas yang akan segera mengantarkan mereka ke sorga. Ini sebabnya Imam Samudera dan Amrozi sengaja tidak mengajukan grasi sebagai upaya hukum terakhir karena sudah tidak sabar menunggu imbalan akhirat yang diharapkan. Mereka ingin segera dieksekusi. Bahkan pelaku bom Bali I itu merasa iri atas meninggalnya DR Azahari sebagai syahid.

Memperhatikan argumen teologis yang mereka ajukan akan tampak blunder pokoknya. Bahwa pengeboman Bali itu adalah wujud dari sebuah penghampiran yang harafiah, di mana aksara harus disembah dan yurisdiksi kata harus tegak. Setiap kata dalam kitab suci diletakkan sebagai ekspresi kebenaran Tuhan. Para teroris itu memahami Sabda dari bentuk skripturalnya saja tanpa memahami esensi dasarnya. Mereka menelan tafsir-tafsir keagamaan klasik tanpa modifikasi apalagi kritik. Tak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menafsirkan kembali sejumlah ayat dan hadits yang pelik jika diterapkan secara verbatim. Mereka mengambil irisan-irisan firman yang kemudian dilepas dari konteksnya lalu diterapkan di belahan tanah lain.

Salah satu produknya sudah bisa ditebak, yaitu kekerasan yang dilandaskan pada firman itu. Kaum teroris selalu memandang “yang lain” dengan murung dan bengis. Maka meledaklah bom di Jakarta, Bali, London, dll. Melihat fakta ini, maka jelaslah bahwa pembacaan secara harafiah tak bisa dipertahankan. Sebagai substitusinya, Sabda mesti dimaknai secara liberal-progresif. Sebab, realitasnya, semakin harafiah seseorang memahami firman, maka semakin mudah ia terjatuh pada kekerasan bernuansa agama. Sebaliknya, semakin liberal dalam memaknai buku suci itu, maka kiranya kian terhindar ia dari teror berbasiskan agama ini. Kian liberal kian tampak wajah berkilau Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dan kian harafiah, maka kian tampak bahwa Islam adalah la’natan lil alamin.

28/11/2005 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Syallom.. Saya cuma ingin mengatakan sedalam apa pun Iman kita dan sepintar apapun Ilmu pengetahuan kita dalam menafsirkan kitab suci jika kita tidak memiliki Kasih kita bagaikan Tong kosong yang indah bunyinya. Karena hukum yang utama didunia ini adalah Kasihilah Tuhan Allahmu dan Kasihilah Sesamamu manusia. Seperti Tuhan Yesus yang rela mati disalib untuk menebus segala dosa manusia dia tidak menganggap manusia yang berdosa adalah musuh tetapi menganggap manusia yang berdosa adalah sahabat yang butuh untuk diselamatkan. Kasih Tuhan melebihi hukum apapun. Semoga kita hidup saling mengasihi dan biarlah hukum yang berlaku dinegara kita yang akan menghukum mereka yang berbuat jahat tapi kita jangan lupa berdoa kepada pemerintah kita supaya diberikan Hikmat dan Kebijaksanaan dalam menjalankan hukum yang adil. Syallom Tuhan Yesus Memberkati kita semua. Amin..
-----

Posted by PATAR J. MALAU  on  02/07  at  08:03 PM

Nampaknya tidak sesederhana itu. Sata rasa ada cukup banyak PR dibalik tulisan ini:

1. Pendekatan model apa yang dikenakan kepada SABDA agar tidak berdampak buruk bagi penafsiran dan pelaksanaannya. buruk yang terdefinisi tentunya, seperti pemboman, dan praktek radikalisme lainnya. Buatlah metode tafsir yang general, tidak perlu dilabeli liberal, fundamental dan lainnya, supaya semua kelompok bisa menggunakannya dan menjadi lebih adem tentunya.

2. Menggugat JIHAD dalam penafsiran yang lebih modern dan menyosialisasikan kepada masyarakat luas, hakikat jihad yang sesungguhnya. Apakah JIHAD selama ini selalu identik dengan bom bunuh diri? Apakah strategi memerangi kafir haribiy ini hanya dapat dilakukan dengan membom pusat-pusat keramaian saja? Mengapa tidak membom George Bush saja, atau pentagon yang menjadi pusat strategi untuk memerangi dunia Islam? Terlalu sulit? Mengapa tidak berjihad di jalan yang lain? Memerangi kemiskinan, memberdayakan masyarakat agar keluar dari kebodohan, meminimalkan tahyul yang berkembang? dan mencerdaskan kehidupan masyarakat.

3. Saya selalu merasa bahwa perjuangan yang didasarkan pada semangat kekerasan tidak akan memenangkan apapun didunia ini, karena kekerasan hanya akan berimbas kekerasan. Menghantam Twin Tower di Newyork nampaknya sebuah kemenangan besar tapi malah membawa derita berkepanjangan bagi dunia Islam di Afganisthan, Irak, dan sekarang kalau gagal membendung eskspansi Amerika mungkin Iran akan turut dihajar bom-bom Amerika. Namun sebaliknya telah banyak perjuangan anti kekerasan yang justru menang melawan berbagai kekerasan yang menerpa dirinya, seperti perjuangan pengikut Yesus melawan Roma, Pengikut Muhammad di Madinah, Pengikut Mahamatma Gandhi di India, Pengikut Martin Luther King Jr. Di Amerika, Pengikut Megawati Di Indonesia, semua perjuangan anti kekerasan ini justru menuai kemenangan yang sangat luar biasa.

Pertekun ibadah, perbanyak dakwah, teladankan hidup Anda, dan menangkan jalan kebaikan melawan segala musuh-musuh Islam. Musuh bukan untuk dipukul dan ditumpahkan darahnya melainkan untuk ditobatkan untuk mendapatkan hidayah. Siapa yang menjadi musuh terbesar, setelah mendapat hidayah, akan menjadi pengikut terbesar, karena tak akan pernah cukup usahanya untuk membayar hutang surga.

STOP VIOLENCE!

Posted by tatag triyahyo adi  on  02/06  at  02:03 AM

Islam rahmatan lil ‘alamin bagi saya adalah idealita yang harus diperjuangkan, kita wujudkan. Karena ia bukan bintang jatuh yang akan datang sendiri. Mungkin seperti itu korelasinya dengan Islam kontekstual yang melebur dengan kondisi lokal. Mana ada rahmatan lil ‘alamin dengan mencederai orang lain.

Celakanya kita sering terjebak dalam Islam verbal, tak membumi, bahkan sering tak nyata. Kita mengagung-agungkan ajaran “kebersihan dari iman” hanya dalam kata-kata. Sementara kita tidak mau turun berkotor-kotor dengan masyarakat membersihkan selokan. Bagaimana kita bisa ikut menciptakan Islam menjadi rahmat alam semesta kalau kita bersikap seakan-akan “Tuhan” dan memopoli kebenaran?

Posted by Yoyok RM.  on  12/18  at  08:13 AM

Saya pribadi mempunyai persepsi yang senada dengan apa yang telah disampaikan oleh Saudara Abd Moqsith Ghazali. Yang ingin saya ingatkan lagi adalah jangan sampai kita terjebak dalam hal penghujatan terhadap golongan yang berbeda pemikiran dengan kita karena hal ini akan membuat kita tidak berbeda dengan golongan-golongan yang cenderung menganggap golongan lain salah bahkan sesat. Sampaikanlah kebaikan dengan berbagai macam cara, yang penting harus dengan cara yang halal, bijak dan santun serta beradab. Semoga JIL tetap istiqomah mengusung pemikiran-pemikiran yang mencerdaskan dan mencerahkan. Terima kasih.

Posted by Teguh Bayu Aji Wibowo  on  12/04  at  07:13 AM

“Sabda Harafiah” yang menjadi pedoman kelompok teroris mesti dikoreksi-diluruskan bahkan perlu diganti dengan “Sabda Pencerahan”. Ustad Moqsith dengan gamblang menyampaikan pentingnya sabda pencerahan atau liberalisasi sabda.

Melalui liberalisasi sabda, maka penganut sabda akan mampu memahami dan menyikapi sabda dengan akurat dan cerdas. Sabda itu memiliki latar belakang dan konteks permasalahan, maka diperlukan ijtihad untuk menerapkan sabda itu dengan tepat sekaligus maslahat. Dan ijtihad sabda itu sendiri akan terus berjalan sesuai perkembangan permasalahan yang ada.

Kasus kekerasan, peperangan dan teror bom yang memakan korban nyawa dan harta, meninggalkan trauma, kebencian dan dendam, serta menghancurkan martabat agama dan bangsa itu, jelas berlawanan dengan “Sabda Pencerahan”. Para teroris tak mengerti, tak menyadari bahwa kekerasan apalagi teror bom itu bukan solusi yang baik. Ingat tujuan sabda adalah memberikan solusi yang terbaik. Problematika apapun berikut kerumitannya harus dilacak akar permasalahannya, kemudian dengan proses cerdas dan bijaksana dirumuskan solusi terbaiknya. Dengan beginilah, permasalahan terhadapi dengan beradab.

Beradabkah para teroris itu ? Cerdas bijaksanakah pembajak sabda itu ? Pahlawan atau pengacaukah teroris itu ? Kalau begitu, pantaskah teroris itu masuk surga…… ?

Posted by Sarwanto  on  12/03  at  08:12 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq