Memahami Kembali Hubungan Islam-Barat - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
20/02/2006

Memahami Kembali Hubungan Islam-Barat

Oleh Abdul Mukti Ro'uf

Sebaliknya, pasca-peristiwa 11 September—langsung atau tidak langsung—mencerminkan adanya konflik geopolitik yang terus membara yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bukti adanya perang dingin antar dua peradaban; Barat versus Islam.

Konferensi Internasional bertema, “Who Speaks for Islam, Who Speaks for the west” yang berlangsung di Kualu Lumpur Malaysia beberapa hari lalu (10-11/02/2006) kembali mempertanyakan hubungan Islam-Barat untuk tidak menyebut konflik Islam-Barat berkaitan dengan perkembangan mutakhir. Beberapa wacana kontemporer yang menjadi bahasan materi konferensi adalah soal menguatnya aksi terorisme. Tidak kalah penting, kemenangann HAMAS dalam pemilu di Palestina, sengketa nuklir di Iran, dan pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW di Jyllands Posten Denmark dan tentu saja carut-marut pemerintahan Irak pascainvasi AS ikut mewarnai diskusi tentang diskursus Barat-Islam kontemporer.

Beberapa kasus di atas memunculkan kembali sentimen “anti-Barat” bagi dunia Muslim dan sentimen “anti-Islam” bagi dunia Barat. Seolah-oleh, dua peradaban besar itu hendak dibenturkan pasca-berakhirnya perang dingin kedua. Seakan pula, tesis Huntington tentang the clash of civilization selalu mendapat pembenarannya. Jika memang Islam dipersepsi Barat sebagai “ancaman” seperti diingatkan oleh Esposito dan Barat dijadikan “musuh” oleh dunia Islam, maka apa jadinya masa depan peradaban dunia?

Di dunia pemmikiran Islam kontemporer, setidaknya di Tanah Air ada beragam pandngan terhadap Barat. Di antara pandangan yang memlihara konflik Barat-Islam itu adalah, pertama, hingga kini, Barat, yang “selalu” diasosiasikan dengan Kristen dan Yahudi, masih menyimpan mitos tentang ketakutan (heterofobia) mereka terhadap Islam. Dalam kaitan ini, mereka mengutip setidaknya dua karya penting; (1) Edward Gibbon, The Decline and Fall of The Roman Empire dan (2) Jhon L. Esposito, The Islamic Threat, Myth or Reality; kedua, mengikuti jalan pikiran pertama, masih banyak cendekiawan muslim Indonesia, dalam amatan mereka, yang mengamini dan melestarikan mitos itu dengan memelihara jalan pikiran “belah bambu” terhadap umat Islam; ketiga, wacana pluralisme agama dianggap sebagai ‘teologi baru’ produk Barat yang berpotensi ‘membunuh agama’.

Sebaliknya, pasca-peristiwa 11 September—langsung atau tidak langsung—mencerminkan adanya konflik geopolitik yang terus membara yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bukti adanya perang dingin antar dua peradaban; Barat versus Islam. Trade mark fundamentalisme yang selalu dikampanyekan Barat terutama Amerika dan sekutunya terhadap Islam garis keras semakin menguatkan persepsi dunia bahwa “peradaban Barat” dalam hal ini Amerika terus-menerus mewaspadai gerakan politik Islam di belahan bumi sebagai kekuatan yang harus dicurigai. Melalui resolusi PBB, Amerika terus mendeteksi organisasi-organisasi Islam yang terlibat dalam jaringan gerakan terorisme internasional.

Saling Mengerti

Harus diakui bahwa kini, dunia Islam tengah meniti tangga-tangga sejarah yang kritis. Setelah beberapa tahun terjatuh dalam kemunduran di bawah kolonialisasi asing, kini tengah berupaya untuk menggapai kembali identitasnya, dan turut serta dalam mengambil bagian dalam menciptakan peradaban modern. Modernitas—terlepas dari produk Barat atau bukan—dengan seluruh konstruk filosofis dan dampak yang dikandungnya adalah fakta sejarah yang—disukai atau tidak—akan tetap masuk ke jantung kebudayaan Islam. Tetapi, mengikuti fatwa Hegel, sejarah manusia akan terus berputar silih berganti dari tesis ke anti-tesis ke sintesis hingga akhirnya berubah kembali menjadi tesis baru.

Senafas dengan tesis Hegel, adalah Muhammad Iqbal yang mengatakan bahwa sejarah modern yang identik dengan kebangkitan Barat—pada sisi intelektualnya—hanyalah suatu perkembangan lebih lanjut dari beberapa fase terpenting dalam kebudayaan Islam. Bahkan pengandaian tersebut sekaligus memberikan penegasan kembali, bahwa Arab masih memegang dasar dalam wacana agama, sastra, dan etika sosial yang tinggi. (Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Kashmir-Bazar, Lahore 1965, h.7)

Tanpa harus menuduh Barat sebagai “biang kerok” dari terjatuhnya peradaban Islam—meskipun dalam beberapa segi bisa dibenarkan—upaya kritik diri lebih patut untuk dipertimbangkan.  Sebagai contoh adalah pernyataan yang dibuat oleh Jamaluddin al-Afgani, “saya melihat Islam di Barat tetapi tidak melihat orang Islam di sana. Sebaliknya, saya melihat orang Islam di sini (dunia Islam), tetapi tidak melihat Islam”. Iqbal, dengan semangat yang sama mengatakan, “Barat telah berhasil membangun ‘dunia’, tetapi gagal membangun ‘akhirat’. Sedangkan Timur (baca dunia Islam), berhasil membangun ‘akhirat’ tetapi gagal membangun ‘dunia’. Diagnosa Iqbal—dengan semangat intelektualisme pada zamannya yang khas—hanyalah contoh kecil dari sekian banyak pemikir dan pembaharu yang mencoba untuk meracik problem peradaban umat Islam.

Dari perjumpaan peradaban antar negara-bengsa, Barat-Timur, Islam-Barat, yang telah menjadi ‘takdir sejarah’, pertanyaan penting yang patut diajukan adalah, mungkinkah sebuah peradaban dapat mengisolir diri secara ketat dan steril dari perdaban lain guna menjaga identitasnya secara autentik ? Hemat saya, dalam arus komunikasi yang tidak mengenal sekat geografis, persentuhan antar peradaban—untuk tidak mengatakan ‘benturan peradaban’ ala Huntington—merupakan sunntaullah yang patut diarifi.

Soal yang muncul kemudian dalam konteks ini adalah, bagaimana umat Islam dalam menyikapi pertemuan antar peradaban itu. Etika Qur’an dalam menghadapi “yang lain” (the others) adalah didasarkan kepada sikap aktif (bukan membeo) untuk belajar dari perbedaan yang ada pada pihak lain, serta mengambil manfaat dari perbedaan itu. Artinya, Islam-Barat—jika harus dikatakan sebagai ‘peradaban yang berbeda’, sikap “saling ingin mengetahui dan menganal” adalah panduan etis yang diatur Qur’an. Kata-kata Imam Ali RA, “Kbenaran itu adalah sesuatu yang hilang dari seorang mukin, maka ambillah kebenaran itu dengan segera dari manapun sumbernya”.

Memang, etika Qur’an semacam ini, secara praksis tidak mudah diterapkan. Alih-alih menyeleksi platform ‘kebudayaan asing’, yang terjadi adalah sikap taken for granted terhadap kebudayaan itu. Fakta ini bukanlah isapan jempol. Beberapa negara muslim—disadari atau tidak—baik secara politik maupun ekonomi, telah dihinggapi semacam ‘Amerikanisasi’ yang berbau Barat dan dalam beberapa segi menghantam ‘identitas Islam’. Maklum,—mengikuti tesis Michael Foucault (1926-1984)—setiap pengetahuan, termasuk ideologi Barat, selalu menyimpan kekuasaannya sendiri; tidak ada ilmu yang steril dari kekuasaan. Bahkan, Ziaudin Sardar, tanpa ragu mengatakan bahwa keterjajahan dunia Islam atas Barat yang paling mengerikan adalah ‘imperialisme epistemologis’.

Problem pertemuan Islam-Barat, dengan demikian, seperti disarikan oleh Bassam Tibi (Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan kekacauan Dunia Baru: 2000) adalah problem ashalah wa al-hadatsah, otentisitas dan modernitas. Pada satu sisi kita ingin menjadi modern, tetapi pada saat yang sama, kita ketakutan kehilangan ‘identitas Islam’. Pertanyaannya, dengan demikian, mungkinkah kita menjadi modern tanpa Barat, padahal modernitas adalah produk peradaban Barat?[]

20/02/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (5)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

kata kunci yang utama dalam menjawab banyak persoalan adalah kejujuran. hal ini tidak menutup dalam persoalan hubunan barat dan islam. sebab manusia dengan keterbatasannya sering menganggap dirinya sempurna, sehingga beranggapan pendapatnyalah yang paling benar.

Posted by baidhowi  on  10/20  at  11:05 PM

Kami tidak mengerti kenapa ada pemikiran Hubungan Islam-Barat, akan tetapi tidak ada pemikiran Hubungan Buddha-Barat, Hubungan Hindu-Barat, Hubungan Yahudi-Barat, Hubungan Kristen/Nasrani-Barat, Hubungan Berkepercayaan-Barat, Hubungan Bereyakian-Barat.
Kesimpulananya yang bikin masalah satu-satunya adalah Islam !!! Wajib mengoreksi diri sendiri !!

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  07/23  at  08:32 PM

Pada hakekatnya tidak ada benturan peradaban Islam-Barat,justru para pihak yang mempunyai kepentingan diatasnya lah yang sengaja mencari2 cara untuk membenturkannya dan menjadikannya komoditas politik.

Dalam hal ini, blok “barat” dalam persepsi masyarakat Islam dapat diasumsikan sebagai sekelompok golongan atau negara yang berkehendak menghapuskan sistem hukum Islam itu sendiri dan umat Islam yang tidak seiring dengan “owner interest"mereka. Asumsi ini juga didukung oleh fakta dan informasi yang ada mulai dari Crussade, tragedi Jenin, kedzaliman di penjara Guantanamo dan Abu Gharib, standar ganda kebijaksanaan yang diterapkan USA Cs, pembantaian muslim bosnia, penolakan hasil pemilu Iran 2004 hanya karena dimenangkan oleh muslim idealis, hingga kekejaman tentara AS dan inggris selama pendudukan di Irak dan Afganistan akhir2 ini.

Di sisi lain blok"Islam"dalam persepsi masyarakat barat dapat diasumsikan sebagai kelompok yang fundamentalis, idealis, militansi-solidaritas tinggi yang menolak paham2 yang mereka ciptakan untuk mempertahankan hegemoni mereka seperti kapitalisme,sekulerisme,demokrasi, liberalisme,teroris,anti-penjajahan di segala bidang kehidupan, dengan harapan potensi kualitas dan kuantitas umat Islam tidak bersatu.

Ketakutan lain didukung oleh statistik yang menyatakan bahwa 75% kebutuhan minyak"barat" didapat dari mayoritas negara2 penghasil minyak mentah dan gas bumi adalah negara Islam dan mayoritas Islam yang juga merupakan komunitas agama terbesar.

Barat mengkhawatirkan jika terjadi hubungan yang dinamis dan meningkatnya daya saling dukung antara ikatan emosional pan-Islam didunia dengan seluruh sektor bidang kehidupan yang krusial, yang notabene membahayakan tatanan kekuasaan diktator yang selama ini mereka kuasai.

Adanya benturan pelaku peradaban diantara dua variabel ini (Islam-Barat)merupakan hubungan Aksi-Reaksi/Kondisi-Konsekuensi.

-bagaimana mungkin blok barat meyakinkan blok Islam bahwa konsep yang mereka elu-elukan seperti HAM,demokrasi,perdamaian,keadilan,dll sementara blok barat sendiri tak memberikan teladan baik.

-bagaimana mungkin blok barat dapat duduk bersama,sementara citra buruk atas Islam selalu dibenak mereka.

-bagaimana mungkin pelaku peradaban blok Islam dan bolk Barat dapat berbagi/berdialog bila sudah ada negative thinking di dalam hati2 mereka.
-----

Posted by Hamonangan A  on  02/21  at  09:02 PM

Sepengetahuan saya sebagai orang yang baru belajar, ISLAM adalah Rahmatal lil a’lamin. Jadi menurut saya, ajaran Islam tidak mengenal bahwa orang yang beragama Islam dan yang menikmati keindahan ajaran Islam untuk dunia/akhirat tidak harus orang Barat, orang Timur, orang Selatan ataupun orang Utara. Namun ajaran Islam akan terasa nikmat, apabila dijalankan sesuai fitrahnya dengan selalu belajar dan belajar terus tentang apa yang diajarkan Islam berdasarkan “Penafsiran dari para ahli Tafsir Alquran & Al Hadits” serta sesuai dengan keyakinan individunya.

Wallahu a’lam…

Posted by ghufo  on  02/21  at  02:03 AM

Dalam konteks Barat versus Islam, hal ini sudah berlangsung sejak turunnya Islam di muka bumi ini beberapa abad yang silam seperti misalnya Perang Salib dan lain sebagainya.

Pengertian “Barat” pada umumnya itu identik dengan Kristen dan Yahudi dan kecurigaan antar Barat dan Islam telah berlangsung hingga saat ini. Mengapakah tidak ada perdamaian diantara keduanya itu.

Pertama adalah doktrin agama masing masing pihak yang membenarkan golongannya dibanding golongan lainnya. Padahal agama agama itu diturunkan oleh Tuhan sebagai pemersatu umat di muka bumi ini agar umat tersebut hidup rukun, berakhlak baik dan beriman kepada-Nya. Sesungguhnya agama agama dan ajaran ajaran terdahulu seperti yang dibawa oleh para nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad adalah “Islam” dalam arti kata yang universal yakni “Sejahtera, Damai dan Makmur”.

Siapapun umat yang hidup damai dan sejahtera dimuka bumi inilah sepatutnya yang disebut Muslim yang sebenar benarnya apakah yang bersangkutan orang Eropa, Arab, Cina, Indonesia dan seterusnya apakah di beragama Yahudi, Kristen, Protestan dan Islam. Sebenarnya esensi dari agama agama itulah yang harus dimengerti secara mendalam dan tidak pada level kulitnya saja. Beginilah akibatnya karena agama itu diartikan secara dangkal diikuti oleh kepentingan kepentingan kelompok dan akhirnya agama itu menjadi terkotak kotak seperti sekarang ini.

Kedua, agar dapat terjadi perdamaian dan sirna nya kecurigaan antara Barat dan Islam, kembali lagi kita harus hidup saling menghargai keberagaman kepercayaan dan agama karena Tuhan kita iya “yang itu itu juga” Tuhan Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, hanya cara dan syariatnya yang berbeda.

Ketiga, menghilangkan cara cara ekstrim dan anarkis dalam menyikapi perbedaan pandangan ini, khususnya umat Islam karena demikianlah citranya saat ini identik dengan kekerasan dan anarkisme. Sudah saat nya segala sesuatu itu di lakukan dengan arif dan kepala dingin, dengan tenang dan damai.

Posted by Hadrian Nataprawira  on  02/21  at  02:02 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq