Memaknai Kembali Tajdid - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
12/03/2006

Memaknai Kembali Tajdid Tambahan untuk Luthfi Assyaukanie

Oleh M. Najibur Rohman

Secara lughawi (bahasa), “tajdid” dapat diartikan dengan berbagai macam makna dengan satu pemahaman yang sama, yakni pembaruan, reformasi, pencerahan, dan “kelahiran kembali”. Namun yang jadi pertanyaan besar: ke arah mana pembaruan itu dilakukan, baik dari sisi “nazhariyah” (teoretis), “amaliyah” (praksis), maupun “sulukiyah” (moral)? Mau dibawa ke mana Islam ini; corak liberal, moderat atau Fundamentaliskah? Konservatif atau progresif?

Akhir-akhir ini, gerakan tajdid kembali berhembus kencang setelah fenomena “Islam phobia” merebak di mana-mana. Gema tajdid kembali bergaung setelah pengeboman WTC dan Pentagon 11 September 2001, merebaknya isu terorisme, maraknya diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan seperti Ahmadiyah, Lia Eden, dan aliran Madi, menguatnya keinginan melegalkan syariat Islam dalam sistem negara, dan reaksi anarkis dalam menyikapi berbagai problem seperti kasus karikatur Nabi Muhammad saw, serta mencuatnya isu pornografi dan pornoaksi.

Secara lughawi (bahasa), “tajdid” dapat diartikan dengan berbagai macam makna dengan satu pemahaman yang sama, yakni pembaruan, reformasi, pencerahan, dan “kelahiran kembali”. Namun yang jadi pertanyaan besar: ke arah mana pembaruan itu dilakukan, baik dari sisi “nazhariyah” (teoretis), “amaliyah” (praksis), maupun “sulukiyah” (moral)? Mau dibawa ke mana Islam ini; corak liberal, moderat atau Fundamentaliskah? Konservatif atau progresif? Paradoks pemaknaan dan impelentasi terma tajdid pun menjadi perdebatan yang menarik.

Bagi kaum konservatif-fundamentalis, pembaruan Islam hanya dapat dilakukan dengan “mencuci otak” umat muslim dari “sipilis” (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Hanya dengan menanggalkan sipilis-lah umat Islam akan menemukan kembali jalan kebenaran untuk mencapai Tuhan. Karena itu, yang harus dilakukan adalah memurnikan kembali (purifikasi) ajaran-ajaran Islam sesuai dengan teks-teks Alqur’an dan hadis, serta menolak tradisi selain Islam. Fenomena inilah yang sempat dipotret Peter L. Berger sebagai fenomena “sakralisasi keimanan”. 

Benarkah tajdid demikian yang kita kehendaki? Tentu bukan. Muatan filosofis tajdid untuk memuliakan Islam tidak akan pernah tercapai jika cara-cara dan metode yang dipakai hanya akan melahirkan pemahaman Islam yang ekstrim dan radikal. Untuk itu, perlu sebuah pemaknaan baru terhadap tajdid sebagai langkah atau gerak menuju “pencerahan” yang “mencerdaskan” dengan upaya maksimal membangun jembatan “dialog”.

Dalam terma “pencerahan” sendiri tersembunyi makna reorientasi nalar umat Islam dari teosentrisme menuju rasional-antroposentris. Manifesto semacam inilah yang telah dihembuskan para pemikir seperti Hassan Hanafi dalam al-Yasâr al-Islâmî (Islam Kiri), Muhammad Arkoun dalam Naqdul Aqlil Islâmî (Kritik Nalar Islam), Abid al-Jabiri dalam Naqdul `Aqlil `Arabî (Kritik Nalar Arab), Nasr Hamd Abu Zayd dalam Naqdul Khithâbid Dînî (Kritik Wacana Agama), dan para pemikir Islam lainnya.

Bagi mereka, Islam tidak hanya dikehendaki sebagai “agama langit” (al-din al-samawî), tapi juga “agama bumi” (al-din al-‘aradhî) yang diharapkan mampu merespon dan memberikan solusi terhadap problem kemanusiaan. Artinya, dengan “pencerahan” inilah umat Islam tidak lagi terkungkung dalam simbol-simbol ritual dari aturan yang legal spesifik, namun memahami Islam dari kadar nilai moralnya.

Dalam sejarah Barat, era pencerahan merujuk pada abad ke-17 dan ke-18 saat para “pencari kebenaran” menggeluti sistem pengetahuan, etika dan estetika yang dibangun atas dasar rasionalitas. Immanuel Kant (What Is Enlightenment, 1990), sebagai tokoh penting di abad pencerahan (renaissance), mendefinisikan pencerahan sebagai masa di mana manusia keluar dari ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Yang dimaksud ketidakmatangan adalah ketidakmampuan dalam menggunakan akal pikiran sesuai dengan kehendak sendiri. Di abad sebelumnya, ruang pikir dan gerak manusia selalu “disetir” oleh otoritas luar dirinya; antara gereja dan negara.

Untuk itulah, “pencerahan” yang “mencerdaskan” umat Islam merupakan kunci terbebasnya nalar dari belenggu otoritas di luar dirinya; lembaga keagamaan, kekuasaan, dan teks suci yang otoritatif. Bukan sebaliknya, menjejali umat Islam dengan simbol-simbol agama dan melupakan substansi dari agama itu sendiri. Selanjutnya, umat Islam diharapkan dapat menyadari pentingnya pemahaman Islam yang pluralis, humanis, dan progresif.

Dengan “pencerahan” ini, maka umat Islam akan mengesampingkan klaim kebenaran (truth claim) yang selama ini dipegang teguh kelompok ekstrimis, serta nalar eksklusif yang cenderung menyesatkan. Kenapa harus “mencerdaskan”? Karena banyaknya umat Islam yang masih terjebak dalam romantisisme sejarah masa lampau dan kegamangan berpikir ketika berhadapan dengan inovasi baru yang meruntuhkan kebekuan berpikir.

Sementara itu, tajdid tidak bisa berjalan dengan mengesampingkan dialog. Terma dialog di sini dapat dimaknai sebagai konstruksi relasi Islam dan Barat yang dialogis. Mesti dilihat, Barat adalah pemegang kunci peradaban masa kini. Karena itu, Barat harus dijadikan teman dialog yang baik guna mencapai kemajuan Islam, khususnya dari segi sains dan teknologi.

Meski akhir-akhir ini kita menjadi agak risih dengan buruknya relasi Islam dan Barat, khususnya dalam kasus terorisme dan pemuatan karikatur Nabi di sejumlah media Barat, harus tetap ada upaya meminimalisir efek Clash of Civilization seperti yang ditesiskan Samuel P. Huntington. Umat Islam harus berkaca kembali bagaimana Barat telah banyak belajar dari Islam ketika abad pertengahan mengurung mereka dalam mitos dan kebodohan.

Salah seorang penerjemah bahasa Arab ke dalam bahasa latin di abad pertengahan, Adelard de Bath (Abid al-Jabiri: 2003) mengakui keunggulan rasionalisme Islam dan keterbelakangan yang dialami Eropa (Barat) di masa itu:

“Terus terang, aku telah banyak belajar dari dari para guruku bangsa Arab dalam menggunakan akal sebagai petunjuk, sementara kamu orang yang tunduk dan patuh pada hegemoni bid’ah (gereja) bagaikan orang yang tertawan dan budak. Adakah sebutan lain yang layak diucapkan terhadap hegemoni gereja tersebut selain ‘pembelengguan dan pengekangan’?”

Karena itulah, tak ada salahnya–dengan filter yang matang–umat Islam kini berkiblat ke Barat. Dialog harus tetap dibangun, bukan malah bermimpi akan romantisme sejarah kebesaran Islam tanpa berbuat apapun. Sebab, kebesaran Islam di masa lampau juga efek dari interaksi yang dibangun dengan kebudayaan Yunani yang rasional sehingga memunculkan pemikir sekelas Ibn Rusyd (Averrous) yang sangat berpengaruh di dunia Barat pada awal era pencerahan. 

Karena itulah, Murad Hoffman–sebelum memeluk Islam pada tahun 1980 bernama Wilfred Hoffman– pada tahun 1992 dengan yakin mempublikasikan buku berjudul “Der Islam als Alternative” (Islam sebagai Alternatif). Dalam buku tersebut, Hoffman yakin Islam akan menjadi alternatif paling bagi peradaban Barat yang kini dianggap telah keropos.

Namun karena melihat kondisi nyata umat Islam, terutama di negara-negara mayoritas muslim, Hoffman merasa pesimis akan kemajuan Islam. Untuk itulah, dalam pengantar buku Trend Islam 2000, Hoffman kembali menulis: “Jika aku telah berhasil mengemukakan sesuatu tentang Islam, maka sesuatu itu adalah kenyataan yang sangat pedih.” Karena itu, Hoffman menilai wajar saja bila kebangkitan dan pembaruan Islam justru akan terjadi di negara-negara non-Muslim.

Karena itu, bersegeralah melakukan tajdid wahai umat Islam! Keragaman akan membuat kita semakin dewasa dan janganlah terus menerus bersedia dikungkung dalam simbol-simbol dan anarkisme keagamaan! Wallahu a’lam.

* M. Najibur Rohman, pemimpin redaksi majalah Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, Semarang.

12/03/2006 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya sepakat-sepakat saja dengan tajdid bagi umat Islam. karena menurut saya, umat islam saat ini memang semakin terjebak dengan pemaknaan islam yang sempit dan tidak menghargai sesama, baik yang seagama maupun tidak. akan tetapi, sebagai umat Islam saya punya tradisi yang sejak dahulu kala telah saya pegangi dan diturunkan dari nenek moyang. akankah ini harus dimusnahkan hanya karena kita perlu meniru Barat untuk “cerah”? Ingat, Barat bukan segala-galanya. siapa pun tidak akan rela kalau tradisinya kemudian digulung habis oleh tradisi lain, baik saya dan mungkin kita semua. Jadi, meskipun kita meniru Barat jangan sampai kita menjadi budak mereka. terimakasih.
-----

Posted by Handoko  on  03/15  at  12:03 AM

Saudaraku, simak pernyataan Najiburrahman ini : Niscaya “pencerahan” yang “mencerdaskan” akan membebaskan umat Islam merupakan kunci terbebasnya nalar dari belenggu otoritas di luar dirinya; lembaga keagamaan, kekuasaan, dan teks suci yang otoritatif. Cerdaskah atau ceroboh?

Mari kita merenung. Pengalaman empiris Barat, Negara dengan Gereja tidak fair kalau disamakan pengalaman Islam. Pertumbuhan Kristen sangat unik, mereka melalui berbagai Konsili untuk menentukan Injil yang akan mereka paia (dari ribuan versi Injil) dan menemukan rumusan agama Kristen, pernah menyambah Tuhan yang Esa dan akhirnya Konsili Nicea bahwa Tuhan Kristen ada tiga oknum. Pertumbuhan Kristen didukung oleh Kekuasaan Kaisar Romawi yang memerlukannya untuk ekspansi kekuasaan. Pada gilirannya para Paus terseret juga untuk menikmati kekuasan tersebut. Akhirnya muncullah sikap memisahkan urusan gereja dengan negara agar para pemuka gereja bahkan Paus tidak sewenang-wenang dalam tindakan dan perilaku.

Sebaliknya Islam. Periwayatan ayat Qur’an sangat jelas. Banyak para penghafal Qur’an dan menyakini bahwa Muhammad tidak pernah bohong dalam meriwayatkan Qur’an. Banyak para sahabat telah mengahafal Qur’an. Pewarisan teks secara literal sulit sekali diterima oleh Barat, bahkan hampir tidak masuk akal suatu kitab dapat bertahan selama 1400 tahun. Tidak heran, karena Barat dalam memilih 4 Injil saja memerlukan perdebatan yang lama. Pengkaderan Islam juga bagus, dengan sahabat, tabi’in tabiit tabi’in sehingga menjamin penurunan ajaran Islam.

Barat? Banyak konflik dalam perjalanan gereja, misalnya penjualan surat pengampunan dosa untuk pembangunan gereja Santo Basilica Vatican. Bahkan doktrin mereka : TIDAK ADA keselamatan di luar gereja. Sekarang pun mereka dengan missionaris dan zending-nya rajin mengabarkan agama Kristen-Katolik ke seluruh dunia. Jangan naif Bung, misi zending ini didukung dengan dana melimpah dari Barat. Mengapa? Because, no salvation outside church.

Bunf Najibur, renungkan ini. Bacalah bukunya George Bernard Shaw, dan Michael Hart tentang Muhammad (pasti Pimred kayak Anda memiliki kecerdasan sendiri).

Islam itu universal, damai dan plural. Masalah agama paling benar adalah Islam menurut muslimin itu ‘kan sama saja dengan sikap Kristen : Tidak ada keselamatan di luar gereja. Jadi pencerahan bagaimana lagi? Bung, lihat lah fakta banyak mualaf dari Barat menjadi muslim justru setelah peristiwa 9-11.  Apakah mereka bodoh dan tolol sehingga masuk Islam yang harus sholat 5x sehari ? Bung Najib, anda tidak berhak lho mengatakan mereka bodoh, karena ‘kebenaran’ kan di Tangan TUHAN. Tetapi mereka tidak mau mengikuti ‘adat’ Barat, namun memilih ‘pencerahan’ Islam. Karena Islam dapat dinalar-lojik-kesetaraan sesama manusia.

Posted by Budi  on  03/14  at  11:04 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq