Memaknai Tamsil dan Cerita Dalam Kitab Suci - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
13/06/2005

Diskusi Bulanan JIL, TUK, 26 April 2005: Memaknai Tamsil dan Cerita Dalam Kitab Suci

Oleh Redaksi

Sebetulnya kalau mau dirunut lagi lebih ke belakang secara literal, kata qoshsho itu artinya adalah menggunting. Jadi kisah itu sebetulnya semacam konstruksi yang dibangun berdasarkan guntingan-guntingan. Plot cerita yang membentuk suatu bangunan. Jadi pada dasarnya kisah itu adalah memang konstruksi.

Diskusi Bulanan JIL, Teater Utan Kayu, 26 April 2005

Narasumber:
Ulil abshar-Abdalla
Agustinus Setiawidi

Moderator:
Abd Moqsith ghazali

Kutipan:

Salah satu redaksi yang dipakai di dalam Alquran untuk menyebut kisah itu biasanya menggunakan kata Arab yang sebetulnya kemudian dipinjam menjadi bahasa Indonesia, kisah, yaitu qoshosh, atau qishshoh, atau kata kerjanya menjadi naqushshu, qoshoshna, dan seterusnya, yang secara harfiah artinya kisah atau cerita. Sebetulnya kalau mau dirunut lagi lebih ke belakang secara literal, kata qoshsho itu artinya adalah menggunting. Jadi kisah itu sebetulnya semacam konstruksi yang dibangun berdasarkan guntingan-guntingan. Plot cerita yang membentuk suatu bangunan. Jadi pada dasarnya kisah itu adalah memang konstruksi.

Di dalam kata kisah itu sebetulnya diakui bahwa ada dimensi susunan, dan susunan itu artinya adalah ada tindakan menyusun secara sengaja dan di dalam tindakan menyusun itu tersangkut di dalamnya secara sengaja orang membuat suatu cerita, memasukkan suatu unsur, dan sekaligus mengeluarkan unsur yang lain. Jadi artinya ada sesuatu yang diamsukkan dan dibuang. Sebuah kisah tidak suatu cerita yang menyeluruh tentang suatu fakta tetapi suatu fakta yang dibentuk kembali. Itulah yang ditunjuk oleh kata qishshah atau qoshosh, atau qoshsho dalam kata kerjanya yang secara harfiah artinya adalah menggunting. Jadi sebetulnya kisah itu adalah guntingan dan karena guntingan maka ada editing. Ada sesuatu yang dimasukkan dan ada yang dikeluarkan.

Dan ini yang mau saya tunjukkan di sini, bahwa sebetulnya Alquran di dalam menyusun suatu kisah,-atau hampir semua kisah-kisah dalam Alquran- itu konstruksi. Suatu susunan yang dibangun secara sengaja untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan tidak semata-mata dimaksudkan sebagai semacam penceritaan ulang mengenai sesuatu yang berlangsung di masa lampau. Dengan kata lain kisah-kisah dalam Alquran memang dari awal tidak diniatkan sebagai rekaman historis. Itu yang ingin saya katakan. Dan penggunaan kata qoshsho, yang artinya menggunting itu, bagi saya sudah dari awal secara semantik dipakai dengan kesadaran penuh bahwa sebetulnya kisah-kisah yang ditunjukkan dalam Alquran itu bukan semata-mata menceritakan secara historis kejadian masa lampau, tetapi konstruksi yang memang disengaja diapakai untuk mencapai suatu message atau pesan tertentu.

Transkripsi selengkapnya:

13/06/2005 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Mengenai anggapan-anggapan bahwa dalam Al-Quran terdapat unsur-unsur kisah yang bersifat mitos, maka dapat dikatakan :
Pertama, pernyataan di atas telah menyelisihi ijma’ kaum muslimin bahwa kisah dalam Al-Quran adalah hakiki dan benar-benar terjadi. 
Kedua, tidak syak lagi bahwa di antara tujuan kisah adalah ibrah. Terkadang seseorang bercerita dari khayalannya, namun kasha tersebut tentunya tidak sempurna. Bila seseorang menyampaikan sebuah kisah nyata, maka itu merupakan sebuah kesempurnaan. Sedangkan, Al-Quran memuat kesempurnaan, sebagaimana yang difirman oleh Allah, “Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (Yusuf : 3). Kisah yang paling baik adalah kisah yang tidak dusta. 

Ketiga, bisa saja Allah Ta’ala membuat kisah-kisah yang berbau mitos yang lebih dahsyat dari apa yang tertera dalam Al-Quran untuk menarik orang-orang Arab yang mengalami turunnya wahyu. Namun, Allah Maha Tahu siapa saja yang akan mengimani Al-Quran ini dari kalangan selain bangsa Arab. Berapa perbandingan bangsa Arab dengan orang-orang yang masuk Islam selain dari mereka? Bagaimana mungkin Allah menggunakan mitos-mitos seperti yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah, padahal Dia Maha Mampu untuk mewujudkannya dengan kisah yang lebih baik darinya?
Keempat, para ulama banyak yang mengambil istinbath hukum dari kisah-kisah Al-Quran, seperti bolehnya mahar berupa melakukan sebuah pekerjaan.  Menganggap kisah-kisah dalam Al-Quran sebagai sebuah mitos, maka hal ini akan menggugurkan banyak hukum. Sebab, tidak bisa mengambil sebuah hukum dari sesuatu yang tidak nyata adanya.
Kelima, anggapan bahwa Al-Quran menagandung unsur kisah mitos, maka hal ini akan membinggungkan manusia. Sebab, hal ini akan memunculkan keragu-raguan dan akan menghalang-halangi manusia untuk masuk Islam, lantaran ada sesuatu dalam Al-Quran yang tidak sesuai dengan realita.
Keenam, hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Qur’an ketika Al Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fush-shilat : 41-42). Firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang kafir berkata: “Al Qur’an ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad, dan dia dibantu oleh kaum yang lain”; maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.” Katakanlah: “Al Qur’an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Furqan : 44-46). Firman Allah Ta’ala, “Alif Laam Miim. Turunnya Al Qur’an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan: “Dia Muhammad mengada-adakannya”. Sebenarnya Al Qur’an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.” (As-Sajadah : 1-3), dan ayat-ayat yang lain yang menerangkan bahwa Al-Quran adalah sesuatu yang haq.
Ketujuh, tidakadanya realita sejarah yang sesuai dengan kisah dalam Al-Quran mengandung dua kemungkinan; (1) ketidakadaannya bukti yang menunjukkan kebenaran kisah tersebut dalam dunia nyata, atau (2) realita bertentangan dengan apa yang dikisahkan dalam Al-Quran. Untuk yang pertama, maka tidakadanya bukti yang kita temukan bukan berarti kisah dalam Al-Quran tidak hakiki, sebab ketidaktahuan kita terhadap sesuatu bukan berarti sesuatu tersebut tidak ada. Untuk yang kedua, maka realita yang bertentangan dengan kisah dalam Al-Quran tersebut harus dinukil sama kuatnya seperti Al-Quran untuk dapat kita ambil. Dan, ini mustahil ada. Dengan demikian, kita lebih mengutamakana apa yang terkandung dalam Al-Quran.
Keenam, anggapan di atas membuka celah keyakinan bahwa dalam Al-Quran terdapat sesuatu yang dusta yang selanjutkan Al-Quran akan ditinggalkan.

Posted by Rudi Hartono, Lc.  on  01/18  at  11:43 AM

banyak cara yang diberikan al-Qur’an dalam membimbing umat, salah satunya dengan metode tamtsil yakni pemberian teladan lewat cerita-cerita “zaman dahulu”. namun semua itu tidak bisa begitu saja dianggap kontruksi belaka, tamstil seperti penyembelihan Ismail oleh Ibrohim juga tak bisa dikatakan sebagai kontruksi karena jika itu sebuah konstruksi berarti ia bisa di rekonstruksi, padahal cerita (tamstil) dalam Al-Qur’an sudah orisinil dari sananya. jadi apa pantas kita yang bukan siapa-siapa ini melakukan konstruksi meskipun niat kita baik yakni untuk memberikan kemudahan dalam memahami ajaran yang tercantum dalam kitab suci.  adapun tentang adanya perbedaan cerita antara islam dan nasrani, tidak bisa dijadikan ukuran bahwa cerita (tamtsil)yang ada dalam al-qur’an adalah kontruksi belaka.
-----

Posted by fa'i  on  07/04  at  08:07 PM

Teori bahwa kisah pada dasarnya adalah konstruksi memberi sedikit jawaban atas berbagai pertanyaan yang selama ini cukup memusingkan saya, misal salah satunya: kisah penyembelihan Ismail oleh Ibrahim (versi Islam), kenapa dalam versi Nasrani berbeda menjadi penyembelihan atas Isaac (ishaq), walau pun Isaac dan Samuel (Ismail) sama-sama putera Abraham, dan padahal pula kisah tersebut diklaim berasal dari Tuhan Yang Tunggal.

Posted by Sutrisno Herca  on  07/01  at  12:07 AM

Saya setuju dengan pendapat ini, dimana uraian ini saya pahami sebagai sebuah seruan untuk memahami teks sebagai hasil konstruksi, dengan implikasi bahwa kalau rumah dibangun bisa hancur, maka hasil konstruksi bisa di-de-konstruksi atau di-re-konstruksi. Namun seruan seperti ini sangat sulit untuk digunakan oleh sebuah gerakan yang berniat me-liberalisasi agama, karena yang dihadapi di sini bukanlah sebuah teks suci sebagai teks ("text" secara harafiah berarti “anyaman”, kira-kira sama seperti qhoshoh, yaitu sebagai hasil konstruksi) melainkan lapis demi lapis kewenangan (otoritas, auctoritas, yang berarti “jaminan"). yang dihadapi di sini bukan cuma sebuah “kebiasaan buruk dalam menafsirkan” (seperti kata Nietzsche) tapi lebih dari itu, yaitu sebuah pemberian jaminan tentang kebenaran yang ketika dibawa ke taraf ekstrim berujung menjadi semi-fasisme, sebuah negara dalam negara. Untuk menjawab masalah seperti ini yang diperlukan adalah teologi tandingan, bukan ilmu bahasa.

Posted by Akhmad Santoso  on  06/16  at  12:06 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq