Membakar Surga - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
13/02/2006

Membakar Surga

Oleh M. Guntur Romli

Syahdan, sufi masyhur itu menyusuri jalan-jalan kota Bagdad yang hiruk-pikuk. Ia menjinjing seember air dan sebuah obor. Ketika ditanya hendak kemana, ia menjawab enteng: “Aku hendak membakar surga dengan obor dan memadamkan neraka dengan air!”

Syahdan, sufi masyhur itu menyusuri jalan-jalan kota Bagdad yang hiruk-pikuk. Ia menjinjing seember air dan sebuah obor. Ketika ditanya hendak kemana, ia menjawab enteng: “Aku hendak membakar surga dengan obor dan memadamkan neraka dengan air!”

Konon, Rabiah Adawiyah, sang sufi itu, resah akan tingkat ketulusan manusia dalam beribadah. Mereka hanya ingin meraih surga dan mengelak neraka. Pendeknya, beribadah dengan iming-iming tertentu. Bagi Rabiah, itu sama saja dengan mental para budak. Agar dapat menanam ketulusan, Rabiah tergerak membuang iming-iming yang ia anggap telah menggerus nilai ketulusan.

Ambisi Rabiah itu kini kontras belaka dengan hasrat para pelaku bom bunuh diri. Lewat “jihad” versi mereka, mereka mengorbankan manusia-manusia yang tak langsung bersalah, demi mendapat surga. Sebuah kontradiksi luar biasa antara Rabiah yang tak berharap apa-apa dan mereka yang langsung terobsesi akan surga, kita telah terpampang nyata.

Andai Rabiah masih hidup, ia tentu akan lebih paham betapa bahayanya imajinasi akan surga itu. Sebab baginya, tujuan akhir ibadah tak lain agar kelak dapat menatap wajah, mendapat rida dan cinta Sang Terkasih. Prinsip ibadah Rabi’ah adalah cinta, keikhlasan, dan ketulusan hati. Ibadah tanpa imbalan.

Karena itu, dalam sebuah puisi nan romantis, Rabiah bersenandung: Jika aku menyembah-Mu karena berharap surga/jauhkanlah surga itu dariku/jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka /cemplungkanlah aku ke di kedalamannya.

Antusiasme ibadah seperti itu, kini disenandungkan oleh seorang dalang wayang Suket ternama kita, Ki Slamet Gundono. Dalam kidung Mabuk Gusti, manusia digambarkan beribadah sampai teler, sehingga ia tak peduli lagi akan imbalan dan ganjaran. 

Ini berlainan lagi dengan obsesi para teroris yang dimabuk surga. Imajinasi akan surga telah menggilakan dan menghilangkan pesona Tuhan yang memberi surga itu sendiri. Andaikan surga benar-benar tidak ada—seperti syair lagu Chrisye dan Dewa (jika surga dan neraka tak pernah ada/masihkah kau sujud kepada-Nya?)—apakah para pemburu surga itu akan juga meneror Tuhan?

Di sinilah kita perlu mendalami hakikat surga (Arab: jannah). Dalam al-Mu`jam al-Wasîth, kata jannah berpadan makna dengan hadîqah dan bustân. Semuanya punya makna dasar, yaitu kebun. Konon, dalam panorama alam masyarakat Arab yang dipenuhi padang pasir nan tandus dan kering, kebun adalah imajinasi terindah dan sangat diidamkan.

Surga juga digambarkan seperti griya kenikmatan (dârun na`îm) yang kelak akan dijumpaidi akhirat. Di sana ada pepohonan rindang, kuntuman bunga, sungai-sungai, dan lautan madu dan susu yang mengalir tiada henti. Di sana juga tersedia bidadari-bidadari nan cantik-jelita dan senantiasa siap melayan; sebuah gambaran yang sangat material sekaligus membangkitkan gairah.

Tapi sungguh mengherankan, banyak juga orang yang mengutuk kenikmatan duniawi demi meraih kenikmatan surgawi. Mereka tidak berpikir bahwa hidup di dunia adalah juga amanah untuk membangun surga yang di sini dan di dunia kini.

Mereka tampak lebih suka mendekat kepada jinnah (Arab: kegilaan) daripada jannah. Surga juga telah membuat sebagian orang menjadi gila. Membunuh diri sendiri dan orang lain merupakan aktualisasi kegilaan akan surga itu. Kegilaan itu pula yang tampak ampuh mematikan nalar dan nurani mereka. Rasanya, jika ini yang terjadi, saya merasa harus nunut dan mendukung Rabiah untuk membakar surga.

13/02/2006 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (18)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Anandita Budi Suryaba
sah-sah aja kalo pengen surga. itu benar koq.
takut dengan neraka juga wajar koq.
namun saudara ada tingkat yang lebih tinggi.
sesuatu kita lakukan bukan karena ancaman ataupun harapan/iming-iming. namun yakin karena tindakan itulah yang terbaik dan benar.
ups, saya salah?
jadi ibadahnya aulliya bukan karena takut neraka juga bukan karena mengharap surga.
jadi....

“illahi anta ma’sudi, wa ridhoka mathlubi”
semua karena Allah

Posted by aris  on  12/28  at  06:39 PM

hehehe
Salam…
aris punya group yang rada gila di fs, groupnya !0tasawuf.
surga dan neraka simpel saja, memang cintalah kita cari.
saat ACnya surga rusak kita ngopi, bakar jagung di neraka sambil diskusi.
kebersamaan, kemesraan, cinta yang kita butuhkan.

dan aris beruntung sekali bertemu dengan Jamaah Tasawuf Laduna Ilma yang dari sini aris bisa bertemu salah satu sulthonul auliya ibu Rabiah yang memberi ilmu kepada aris.

apakah saudara sudah menemuan indahnya cinta di hidup ini??
Join Us!!
Wassalam…

Posted by aris  on  09/27  at  06:30 PM

Atas nama “jihad” sekaligus menginginkan surga, para teroris “Islam” rela membunuh dirinya dan berani mengorbankan banyak orang. Para teroris kelihatannya sudah tidak sayang dengan dirinya, juga tidak prihatin terhadap para korban teror bomnya itu. Saya menilai, konsep jihad para teroris itu terlalu sempit dan dangkal.

Para teroris telah termakan iming-iming surga (doktrin fundamentalisme) – bukan “nilai sejati” Tuhan dan kemaslahatan manusia. Mereka menganggap apabila bisa menghancurkan “musuh=barat” maka surga adalah imbalannya. Lagi-lagi konsep “musuh” bagi para teroris masih semu.

Menurut saya, dasar jihad dan surga adalah ketulusan dan kebermanfaatan “privat dan publik”. Lantas, bagaimana kalau ternyata, publik justru tidak rela dan mengecam tindakan teror itu ? Pantaskah teroris memperoleh surga ? Apalagi surganya mungkin sudah terbakar dan meledak, ayo gimana ?

Saya dengar, jihad para teroris berangkat dari keprihatinan-mungkin juga dendam- atas kedzaliman “barat” (Amerika-Israel) terhadap kaum muslim di Timur Tengah (Irak-Palestina). Solidaritas itu mendorong para teroris untuk membalas kedzaliman itu, meskipun dengan kekerasan-teror bom.

Melihat kenyataan itu (“kedzaliman dibalas kekerasan”). Saya pesimis akan terwujud perdamaian “Islam-Barat”. Faktapun membuktikan, perang terus berkobar, konflik tak pernah berhenti, banyak korban bergelimpangan, Indonesia pun ikut jadi korban.

Jihad mestinya didasarkan pada kasih sayang dan ketegasan bukan kekerasan. Penting sekali diadakan dialog-kompromi secara konsisten, mencari solusi yang lebih damai dan maslahat. Oh ya, saya membaca Kompas edisi Senin (27/2), dikabarkan Hamas (Palestina) dan Israel akan terus menempuh jalan damai- dengan memenuhi beberapa syarat. Persoalannya, kenapa jalan damai tidak dilakukan secara tegas dan konsisten oleh keduabelah pihak ? Artinya, perdamaian yang digemborkan itu masih semu.

Saya mencurigai ada masalah teologi-ideologi, disamping politik dan ekonomi. Dari sudut Islam, sebagian ulama beserta pengikutnya masih menganggap bahwa Islam-Muslim adalah satu-satunya yang diterima Tuhan. Umat diluar Islam adalah kafir dan neraka tempatnya, surga hanya untuk Muslim. Pemahaman “sepihak” ini akan menggiring umat Islam kejalan sempit (kurang empati, tidak toleran dan dewasa), muslim merasa harus berjihad mempertahankan-mengembangkan “jatidiri semu-simbol maya” itu dan menjauhi-menghancurkan “identitas diluarnya”, yang dianggap musuh dan kafir itu. Faktor ideologi yang menjadi penyakit ini harus segera diobati. Caranya ?

Perlu ada gerakan teologi inklusif-pluralis. Saya ambil dasarnya dari Qur’an.  “Dan barang siapa menganut Din selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima daripadanya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. al-Imran : 85)

Berdasarkan ayat diatas, ada dua pandangan yang berbeda tentang kriteria agama yang benar. Sebagian mufasir menjelaskan bahwa agama yang benar, din al-haqq adalah dan hanyalah Islam. Agama apapun selain Islam ditolak. Sebagian ulama lainnya, yang digolongkan Muthahhari dalam kelompok mufakkirun mustanirun, berpendapat, masih berdasarkan ayat yang sama, bahwa yang dimaksud dengan Islam disini adalah kepasrahan kepada al-Haqq, Kebenaran atau Allah dan bukan agama terakhir yang dibawa Nabi Muhammad Saw [lihat Murtadha al-Muthahhari, Al-‘Adl al-Ilahi, Qum : Jamaah al-Mudarrisin, 1405, h. 316].

Dengan demikian, siapa saja yang berserah diri pada Kebenaran, yang ia temukan dalam perjalanan hidupnya, kemudian ia memberikan komitmen total kepadanya, ia telah menganut din yang benar. Tidak jadi soal apakah kebenaran yang diyakininya itu Islam ataupun agama (kepercayaan) lainnya. Menurut Muthahhari, yang menganut paham ini, sebagai contoh adalah George Jordac, penulis buku Ali Shawt al-Adalah al-Insaniyah, dan penyair Kahlil Gibran. Termasuk juga dalam kelompok ini Abdul Karim Soroush [pemikir Islam dari Iran. Soroush, pada gilirannya menyebut Thabathabai [penulis tafsir Mizan] kedalam kelompok ini juga. Ya, saya sendiri termasuk dalam pemahaman “Kepasrahan kepada al-Haqq”.

Teologi diatas jika terus digerakkan, paling tidak akan meredam kebencian sebagai sesama “Pencari al-Haqq”. Sesungguhnya, perang yang terjadi itu adalah perang saudara, korbannya menjadi bencana kita semua. Untuk itu, perang sebenarnya tidak layak untuk dilakukan, lebih baik cari “jalan tengah” saja. Perang adalah bencana kemanusiaan, yang harus selalu dihindari. Jadi, musuh mendasar semua manusia adalah kedzaliman dan kekerasan. Teman semua manusia adalah keadilan dan kedamaian. Keadilan dan kedzaliman dikendalikan (“dibatasi”) oleh kemanusian dan nilai universal, bukan perbedaan agama, suku, bangsa dan seterusnya.

Semoga semua umat “Pencari al-Haqq” itu mampu menunjukkan perdamaian. Dengan selalu menambah wawasan kemanusian dan keagamaannya secara beragam, terbuka dan kritis, maka saya optimis persoalan akan mudah terselesaikan dengan adil dan beradab.
-----

Posted by Sarwanto  on  02/27  at  07:03 PM

Saya akan bawa cat warna-warni nan indah di tangan kanan dan cat hitam dalam genggaman tangan kiri. Lalu akan saya hampiri surga dan memolesnya dengan cat warna warni agar makin cantik ,indah dan menarik.Dengan neraka akan saya poles dengan warna hitam pekat yang makin menyeramkan. Jika dengan cara ini tidak mampu menghentikan kegilaan sementara orang yang demi “surga” dan untuk menghindari “neraka” ditempuh dengan menghalalkan berbagai cara yang lebih gila, Tentu bukan hanya Rabi’ah dan Mas Guntur yang akan membakar surga dan memadamkan api neraka.

Posted by Bagong  on  02/27  at  06:02 AM

Syurga dan Neraka, suatu hal yang selalu terjadi wahai manusia. Derajat kecintaan ulama sufi yang berkutat dalam tasawuf suatu kecintaan yang meneladani Nabi Muhammad SAW, adakah manusia yang cintanya Kepada Allah melebehi Rosulullah pun sekelas Rabiah, sehebat Al-hallaj atawa sekaya Junaedi albagdadi or sedalam jalaludin rumi.kesemuanya pun mereka mencotoh Nabi Muhammad SAW. Artinya cinta mereka total kalaupun seseorang mencintai sesuatu or some one pasti orang yang jatuh cinta rela dan ikhlas melakukan apapun bagi yang dicintai, include menuruti segala kemauan dan perintahnya… Nah pertanyannya APAKAH KITA SUDAH BENAR-BENAR MENCINTAI ALLAH ?, APAKAH KITA MAU MENURUTI PERINTAHNYA tanpa syarat dan tanpa dalih apapun dan tanpa pernah bertanya untuk APA. perkara imbalan syurga dan neraka suatu hal yang pasti dan tetap berlangsung di sini (DUNIA) or nanti, tetapi bagi kita JUST DO IT AND TAKE IT, jangan pernah berpikir kita bisa melampaui cintanya ALLAH kepada kita seluruh MANUSIA, karena seseungguhnya sebagai hamba dan mahluk yang diciptakan kita harus patuh pada kehendaknya...ADAKAH MANUSIA YANG PALING SOMBONG..ya kalau ada dia sudah jadi kan dirinya NERAKA sendiri, dan sebaliknya bagi Manusia yang ikhlas mencintai Allah dengan meneladani Nabi Muhammad SAW maka di telah membuat syurga bagi dirinya…

Posted by eko sutrisno  on  02/23  at  02:02 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq