Membangun Toleransi - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
12/09/2005

Membangun Toleransi

Oleh Luthfi Assyaukanie

Tugas umat beragama, bukan berusaha mengubah agama orang lain untuk mengikuti agama yang dianutnya. Jika ini yang menjadi landasannya, maka kekacauan pasti akan timbul. Tujuan dakwah atau misi agama sangat mulia, yakni berusaha membagi keselamatan yang diyakini seseorang kepada orang lain.

Abu al-Husein adalah seorang sahabat Nabi asal kota Madinah (Anshar) yang sangat taat beragama. Dia mempunyai dua orang anak laki-laki yang bekerja sebagai pedagang minyak.

Suatu hari, kota Madinah kedatangan rombongan pedagang dari Syam. Mereka adalah saudagar-saudagar yang biasa memasok barang dagangan ke Mekah dan Madinah. Para saudagar itu beragama Kristen. Sambil berdagang, mereka melakukan tugas misionari (dakwah) kepada penduduk di kawasan Jazirah Arabia.

Kedua anak Abu al-Husein kerap membeli minyak dan kebutuhan lainnya dari para pedagang itu. Dan seperti biasanya, para pedagang itu mengkampanyekan agama mereka kepada para pedagang di Madinah, termasuk kepada kedua anak Abu al-Husein. Karena khawatir tidak mendapat pasokan barang-barang dari para saudagar itu, kedua anak tersebut akhirnya memutuskan diri masuk Kristen. Mereka dibaptis oleh para saudagar itu, sebelum mereka kembali ke Syam.

Mendengar kedua anaknya masuk Kristen, Abu al-Husein sangat terpukul. Ia pun mendatangi Nabi dan mengadukan perkara yang menimpanya itu. Lalu, turunlah ayat terkenal “la ikraha fi al-din” (jangan ada paksaan dalam beragama) (Albaqarah, 2:256).

Dalam mengomentari ayat itu, Muhammad Baqir al-Nashiri, ahli tafsir asal Iran, menjelaskan bahwa ada lima pendapat berkaitan dengan ayat tersebut. Pertama, pelarangan itu hanya khusus kepada Ahlul Kitab (Yahudi dan Kristen). Kedua, pelarangan itu ditujukan kepada semua orang non-Islam. Ketiga, orang-orang yang masuk Islam setelah perang tidak merasa dipaksa, tapi mereka masuk secara sukarela. Keempat, ayat tersebut ditujukan hanya kepada kaum Anshar. Dan kelima, pilihan beragama bukanlah sesuatu yang dipaksakan dari Allah, tapi ia merupakan pilihan manusia, karena persoalan agama adalah persoalan keyakinan individual (Mukhtashar Majma’ al-Bayan, hal. 169).

Saya cenderung setuju dengan pendapat kelima. Yakni, bahwa maksud ayat la ikraha fi al-din adalah bahwa tidak boleh ada pemaksaan kepada seseorang untuk menentukan agamanya. Pesan ini bersifat umum (‘am) dan ditujukan bukan hanya untuk kaum tertentu saja.

Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari (w. 528) dalam kitab tafsirnya yang terkenal, al-Kassyaf, menjelaskan ayat di atas lewat metode tafsir-ul-qur’an bi’l-qur’an; menafsirkan suatu ayat dengan ayat lainnya. Menurut mufassir yang terkenal karena keahliannya dalam balaghah dan sastera Arab itu, ayat la ikraha fi al-din merupakan konsekwensi dari firman Allah yang lain, yakni: “kalau Tuhan kamu menghendaki, maka akan berimanlah semua manusia yang ada di muka Bumi. Apakah kalian hendak memaksa manusia agar mereka beriman?” (Yunus, 10:99).

Al-Zamaskhsyari menegaskan bahwa persoalan keimanan adalah persoalan pilihan pribadi manusia, dan tak boleh ada paksaan. Upaya pemaksaan untuk memilih atau beragama bertentangan dengan sunnah Allah yang tercakup dalam surah Yunus di atas.

Tugas umat beragama, bukan berusaha mengubah agama orang lain untuk mengikuti agama yang dianutnya. Jika ini yang menjadi landasannya, maka kekacauan pasti akan timbul. Tujuan dakwah atau misi agama sangat mulia, yakni berusaha membagi keselamatan yang diyakini seseorang kepada orang lain.

Prinsip penghormatan Alquran terhadap keyakinan seseorang tak hanya terbatas kepada kaum beragama saja. Tapi, prinsip itu juga meluas kepada orang-orang yang tidak mau beriman atau orang yang tak mau beragama. “Apakah kalian hendak memaksa manusia agar mereka beriman?” tegas Alquran. Hemat saya, yang ditekankan di sini, bukan seseorang harus beriman atau tidak, tapi bagaimana menjaga keseimbangan sosial dengan saling menghormati dan menghargai.

Pemaksaan terhadap keimanan akan menimbulkan dua dampak yang kedua-duanya buruk. Pertama, terjadi ketegangan antara pihak yang memaksa dengan pihak yang dipaksa. Kedua, akan muncul kemunafikan (hipokrasi). Seseorang yang beragama karena terpaksa pastilah menjadi orang yang tak ikhlas dan secara diam-diam membenci agama yang dianutnya.

Islam adalah agama yang selalu menganjurkan harmonisasi dan kerukunan. Agama ini membenci kekerasan dan sekaligus kemunafikan. Tak ada jaminan yang lebih jelas untuk menghindari dua hal buruk ini kecuali ajakan Alquran kepada kita semua untuk menghormati keyakinan-keyakinan agama lain, anjuran mencari titik temu, dan membagi saling keselamatan. [Luthfi Assyaukanie]

12/09/2005 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (29)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Menurut pandangan saya, islam memang tidak memaksakan untuk diikuti oleh umat manusia didunia ini yang jelas2 tidak mendapat hidayah dari Alloh SWT. Justru saya curiga kepada saudara yang mengaku-ngaku islam tetapi sebenarnya jelas dengan statemen tersebut seolah membuka kedok sendiri yang jelas tidak islam dengan dasar mengartikan firman Alloh secara akalpikiran sendiri tanpa ada rujukan dari hadist. dan saya ingatkan kepada saudara hendaknya mempelajari islam secara menyeluruh (kaffah).Mudah2an dg pendalaman yang mendalam saudara kembali mendapatkan jalan yang diridhoi oleh Alloh SWT.
-----

Posted by Herry Mulyanto  on  09/28  at  11:09 PM

Saya kira teloransi yang dimaksud adalah yang mengedepankan persamaan dalam perbedaan,tapi menurut hemat saya tapi kalau teloransi yang justru menghilangkan keotentikan kita sebagai seorang muslim itu merupakan teloransi yang berlebihan.Islam sendiri secara tegas menjunjug nilai nilai teloransi dan itu adalah bagian dari kandungan maqasid alsyari’ah yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata,agar kita mejadi sosok yang mempunyai jati diri yang jelas dan bukan menjadi muslim yang tidak jelas,maka kita harus bisa serta di tuntut meletakkan arti teloransi pada temat yang semestinya.Sekali lagi teloransi adalah sebuah keniscayaan dalam hidup bermasyarakat,akan tetapi masyarakat kita belum bisa menjalankannya, slogan perbedaan itu indah masih hanya sekedar ungkapan yang manis tapi belum dapat dirasakan kemanisannya secara nyata,maka tugas kita khususnya JIL adalah membuktikan dan menunjukkan bahwa teloransi dan perbedaan itu memang benar benar manis.

Posted by Imam Rozi  on  09/28  at  01:10 PM

Dalam Islam kita berpegangan kepada al qur’an dan sunah. islam adalah agama yang talah diridhoi Allah, dan al quran juga telah menyebutkan bahwa islam tidak memaksakan kehendak. sungguh disayangkan bila seseorang masuk agama karena keturunan, ikut-ikutan dan acuh tak acuh. karena agama adalah sesuatu hak dan kemerdekaan yang paling azazi dari manusia. sungguh kasihan orang yang dipaksa atau ditipu oleh para penipu dalam agama !!!

Posted by rudy reagand  on  09/22  at  01:10 AM

Sombong sekali anda, anda seolah-olah mewakili Tuhan dan anda merasa tau hukum tuhan dan anda coba bicara dengan kata “ Konon katanya penganut Islam Liberal itu matinya susah dikubur & mayatnya menolak dishalatkan..... “ saya pikir ada yang salah dengan kepala anda.

Apa salahnya dengan Penginjilan atau istilah kerennya “Kristenisasi” semua agama punya hak yang sama untuk berdakwah...Islam juga melakukan hal yang sama. setiap hari kita dengar lengkingan suara di pagi buta, setiap puasa..lengkingan yang menyayat telinga belum pengajian-pengajian di rumah -rumah penduduk!..so apa bedanya...yang kita perlu cermati adalah gimana pendakwah-pendakwah itu tidak melanggar batas-batas hukum...dan itu aturan mainnya...biarkan pendakwah-pendakwah itu menjual agamannya..sampai berbusa-busa kalau selama kita tidak tertarik...kenapa harus dipikirin...iman kita tidak cuma sebungkus mie instan.... kalau dengan Mie instan dapat mempengaruhi imannya...ya sudah… kenapa mesti kita repot asal dalam berdakwah tidak menghunus pedang...ya biarkan aja…

Posted by Jenar Mahesa  on  09/21  at  05:10 AM

“Tugas umat beragama, bukan berusaha mengubah agama orang lain untuk mengikuti agama yang dianutnya. Jika ini yang menjadi landasannya, maka kekacauan pasti akan timbul. Tujuan dakwah atau misi agama sangat mulia, yakni berusaha membagi keselamatan yang diyakini seseorang kepada orang lain.”

Dengan kata lain yaitu bahwa kata membagi, memberi atau sharing bukan bersifat memaksa. Perubahan sesuatu dari segala sudut kehidupan wajar terjadi. Kalau ini di pahami niscaya kata toleransi akan timbul dengan sendirinya dan bukan menjadi wacana agar toleransi di berikan value yg khusus.

Posted by yans  on  09/21  at  04:10 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq