Membincang Pemikiran Ali Abdurraziq Dalam Konteks Keindonesiaan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
11/08/2003

Menggagas Sekularisasi Islam Membincang Pemikiran Ali Abdurraziq Dalam Konteks Keindonesiaan

Oleh Sholahuddin

Memang harus diakui bahwa pemikiran tentang pemisahan antara agama dan negara tidak mempunyai preseden sejarah dalam kehidupan Nabi. Swidler, misalnya, mengatakan bahwa praktek sekularisasi hanya ada dalam pemikiran Kristen pada abad pertengahan, yang dari situ kemudian menimbulkan revolusi industri dan era pencerahan di beberapa negara belahan Eropa lainya.

Ali Abdurraziq adalah seorang teoretikus dan ilmuwan muslim yang telah
menteoritisasi dan merekomendasi negara sekuler, pemisahan antara kalam ilahiyah
dalam dunia politik. Akibat teorinya tersebut dia harus menanggung resiko
dipecat dari jabatannya sebagai hakim syariah oleh majelis ulama tertinggi di
Mesir serta dicopot gelar ustadnya (baca: professor) pada Universitas Al-Azhar.
Setidaknya ada dua tipologi—meminjam Donald Eugene Smith—untuk
mengklasifikasikan para pemikir Islam dalam diskursus hubungan antara agama dan
negara. Pertama, para intelektual organik; mereka mengklaim perlunya penyatuan
antara dimensi ilahiyah dalam politik, karena agama (Islam) mempunyai jangkauan
yang luas dan meliputi seluruh spektrum kehidupan. Menurut eksponen organik
ini, Islam Huwa Ad-diin Wa Ad-dawlah (Islam adalah penyatuan antara
agama dan negara). Para intelektual organik ini
terepresentasikan oleh Sayyid Qutb, Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, para
intelektual sekuler, mereka mengklaim keharusan pemisahan antara agama dan
negara. Hal ini untuk menjaga dan melestarikan eternalitas dan kesempurnaan
agama (baca:Islam). Dalam perspektif kedua ini muncul Ali Abdurraziq.

Baru belakangan
ini Bahtiar Effendy melengkapi dua perspektif dikotomik di atas dengan
perspektif ketiga, intelektual diferensiatif, yang mengklaim agama sebagai
basis moral dan etika dalam kehidupan politik. Dalam deretan ketiga ini muncul
Muhammad Abduh, Ibnu Khaldun, dan Filosof muslim paling berpengaruh pada abad
ini, Muhammad Iqbal.

Memang
harus diakui bahwa pemikiran tentang pemisahan antara agama dan negara tidak
mempunyai preseden sejarah dalam kehidupan Nabi. Swidler, misalnya, mengatakan
bahwa praktek sekularisasi hanya ada dalam pemikiran Kristen pada abad
pertengahan, yang dari situ kemudian menimbulkan revolusi industri dan era
pencerahan di beberapa negara belahan Eropa lainya.

Meski
begitu, tesis yang dibangun oleh Ali Abdurraziq tentang sekularisasi lebih
didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: apakah kekhalifahan
memang diperlukan? Apakah memang ada pemerintahan yang Islami? Dan dari manakah
sumber legitimasi kekuasaan? Dari rakyat ataukah dari Tuhan?

Dari beberapa
pertanyaan tersebut kemudian dia membangun argumentasi yang ditulis dalam karya
magnum opusnya “al-Islam wa al-Ushul al-Hukmi: Bahstun Fi al-Khilafati wa al-Hukumati
fi al-Islam
” (Islam dan Sumber-sumber Kekuasaan Politik: Kajian tentang Khilafah
dan Kekuasaan dalam Islam). Dalam bukunya tersebut dia menyimpulkan beberapa
hal: (1) Nabi tidak membangun negara dalam otoritas spiritualnya. (2) Islam
tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena itu umat Islam
bebas memilih bentuk pemerintahan apapun yang dirasa sesuai dan cocok bagi
kondisinya. (3) Tipologi pemerintahan yang dibangun setelah wafatnya Nabi,
tidaklah memiliki dasar-dasar dalam Alquran dan Alhadis. Ia semata-mata “karya
kreatif-imaginatif” bangsa Arab yang kemudian dinaikkan derajatnya menjadi sistem
khilafah yang dilegitimasi dari doktrin-doktrin agama. (4) Sistem ini (baca:
khilafah) telah menjadi tipuan bagi sebagian besar persoalan-persoalan dunia
Islam karena dalam realitasnya telah menjadi pendukung tirani di negara-negara
Islam.

Harus
diakui bahwa setting sosio-politik pada waktu itu turut mengambil bagian
dalam usaha Abdurraziq untuk mengkonstruksi tesis-tesis yang telah ditulisnya.
Bahwa pembubaran Kemal Attaturk atas otoritas kekhalifahan Ottoman pada
1923-1924 didasarkan pada penilaian bahwa lembaga ini—terutama otoritas keulamaanya—telah
mengabdi kepada kepentingan Sultan atau penguasa, dengan penerimaan mereka atas
perjanjian damai yang memalukan rakyat Islamabad tersebut.

Dari
beberapa tesis yang telah dibangunnya, sembari mengacu kepada mufassir laiknya
Al-baidhawi dan Zamakhsyari (seorang mufassir yang berfaham muktazilah dan
pemilik kitab tafsir “al-Kasyaf”), Abdurraziq menafsirkan kata “Ulil Amri”
dengan penafsiran “Sahabat Nabi” atau “Ulama”. Oleh sebab itu, dia menolak
bahwa Nabi adalah seorang raja. Nabi adalah pemimpin spiritual ansich. Dari
titik ini, Abdurraziq melakukan kritik terhadap kecenderungan idealistik dan
formalistik yang telah dipraktekkan oleh intelektual organik di atas. Pemikiran
formalistik seringkali menampilkan kecenderungan bertindak secara idealistik
dengan melakukan idealisasi nilai-nilai Islam untuk kemudian secara intotum
di adopsi oleh negara. Pemikiran ini pernah dilontarkan oleh Alfarabi dengan
“Al-madinah Al-fadhilah”-nya yang terkesan idealistik dan tidak mempunyai
preseden sejarah (ahistoris).

***

Teori sekularisasi
ini, menurut penulis, masih menemukan relevansinya, khususnya dalam konteks keindonesiaan.
Masih minimnya negara-negara muslim demokratis di belahan dunia (termasuk Indonesia), merupakan bukti sejarah betapa
porak porandanya s-stem demokrasi di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim.
Samuel Huntington dalam The Third Wafe mengatakan bahwa selain
konfusianisme Islam diragukan kompatibilitasnya dengan demokrasi. Memang,
sebagaimana aku Huntington, apabila diinterpretasikan secara
benar oleh pemeluknya, maka ajaran-ajaran normatif Islam sangat kompatibel
sekali dengan substansi demokrasi. Namun, realitas empiris dunia Islam
mengatakan inkompatibilitasnya dengan demokrasi.

Laporan
terbaru yang telah dikeluarkan oleh Freedom House, desember 2001, dengan tajuk
“Freedom in the World 2001-2002”, menyebutkan bahwa di antara negara-negara di
dunia, kawasan Islam tidak ada yang masuk dalam kategori demokratis. Paling
banter, di antara negara Islam hanya ada yang masuk dalam kategori “partly
free” (setengah demokratis), seperti: Indonesia, Jordan, Kuwait, Maroko, Turki dan Malaysia. Sedangkan Aljazair, Iran, Mesir, Libanon, Uni Emirat Arab, Oman,
Pakistan, Qatar, Bahrain, Afganistan, Lybia, Iraq, Arab Saudi, Sudan dan Syiria
masuk dalam kategori “not free” (tidak demokratis). Yang lebih dramatis lagi,
negara seperti Korea Utara, yang dinilai tidak demokratis, pada dasarnya
mempunyai kemungkinan tiga kali lebih besar dibandingkan Iran (yang sama tidak demokratisnya), menjadi negara
demokrasi.

Dalam
konferensi internasional yang berlangsung di Jakarta, 18-19 Maret 2002, dengan
tema “The Challenge of Democracy in the Muslim World”, tidak kurang dari 15
ahli dengan reputasi internasional mencoba mendiagnosa kasus-kasus pengalaman
demokrasi di negara-negara muslim. Dari pakar-pakar yang hadir bisa
dikategorikan secara sederhana dalam dua kelompok: optimis dan atau pesimis
terhadap melihat kompatibilitas Islam dan demokrasi. Lisa Anderson, Richard K.
Herman dan Bill Fierman masuk dalam kelompok pertama. Sementara Azyumardi Azra,
R. William Liddle masuk kelompok kedua. Sikap pesimistik tersebut masuk akal,
bila menyimak laporan terakhir dari “Freedom House” di atas. Ada beberapa faktor menurut Azra; pertama,
kelemahan dalam infrastruktur dan prasyarat pertumbuhan demokrasi. Kedua:
masih kuatnya pandangan normatif-teologis tentang kesatuan al-Diin (agama)
dan al-Dawlah (negara). Ketiga, masih dominanya kharisma, yaitu
kultur politik tradisional yang berpusat pada kharisma kyai, yaitu kyai yang
ditaqlidi secara buta oleh sebagian ummat Islam. Keempat, kegagalan
negara-negara muslim yang telah mengadopsi demokrasi untuk mempraktekkan
demokrasi secara genuine dan otentik. Kelima, ketunakuasaan civil
society vis a vis
penguasa.

Karena
itulah, dari 121 negara yang memiliki pemerintahan yang dipilih secara
demokratis, kita hanya menyumbang 11 negara dari 47 (23%) negara muslim yang
disurvei. Ini berbanding terbalik dengan negara non-muslim, dari keseluruhan
145 negara, 110 di antaranya demokratis (76%). Anehnya, negara-negara pecahan
Uni Soviet yang mayoritas non-muslim seperti Ukraina, cepat mengadopsi kultur
demokrasi. Sebaliknya, negara Kazakstan, Uzbekistan, dan Tajikistan yang mayoritas muslim tak kunjung demokratis.

***

Jose
Casanova dalam bukunya Public Religion in The Modern World (Chicago: The
University of Chicago Press, 1994) mendedahkan dengan sangat bagus sekali tiga
implikasi dari sekularisasi, pertama: The decline of religion (kemerosotan
peran agama). Inilah pemahaman yang dianut oleh sebagian besar muslim tentang
definisi sekularisasi, sehingga ada “stigma” yang mengharuskan kita untuk takut
terhadap sekularisasi. Kedua, sekularisasi bermakna “diferensiasi”, yaitu
adanya pemisahan yang jelas antara ranah agama dan ranah politik, ekonomi,
maupun ilmu pengetahuan. Ketiga: sekularisasi mengimplikasikan “privatisasi”,
yaitu pemisahan antara ruang publik dan ruang prifat. Ruang publik adalah ruang
di mana setiap orang tanpa melihat agama, suku, ras maupun golongan dapat
melakukan kontestasi secara bebas dan fair. Kata kunci dalam ruang publik
adalah kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat
dalam kontestasi tersebut. Sedangkan ruang prifat adalah ruang di mana seseorang
bisa hidup dalam dirinya sendiri, tanpa campur tangan dan intervensi dari pihak
lain. Inilah wilayah “independen dan otonom” di mana seseorang bebas untuk
memilih atau tidak memilih atas segala sesuatu. Dalam ruang tersebut
dimungkinkan seseorang mengembangkan potensi diri, tanpa adanya intervensi dari
institusi luar. Dalam konteks sekuler Islam menempati locus-nya di ruang prifat.
(Rumadi, Kompas, 23
April 2002)

Implikasi
penting—yang perlu kita petik dari pemikiran Abdurraziq dalam konteks keindonesiaan---adalah
pandangan Abdurraziq mengenai kekuasaan sebagai sebuah instrumen (baca: wasilah/alat).
Dari perspektif Weberian dia menggunakan “rasionalitas instrumental” dalam
memandang kekuasaan (politik). Artinya, dia menjadikan politik sebagai alat dan
bukanlah tujuan yang segala-galanya. Sehingga kekuasaan (politik) adalah
sesuatu yang profan dan negotiable serta diperlukan partisipasi rakyat
untuk selalu melakukan kontrol terhadapnya.

***

Sedangkan
agama (Islam) dipandang sebagai sesuatu yang perlu, yaitu dalam fungsinya
sebagai etika agama, moralitas agama, dan common good (al-mashalih
al-mursalah). Sayang, sekularisasi dalam paradigma mayoritas umat Islam masih
tetap, konstan, dan tidak bergeser dalam definisi “The Decline of Religion”
(kemerosotan peran agama), tanpa memperhatikan lebih detail lagi fenomena
kompleks yang ada di dalamnya. Oleh karena itu Sadiq Jalal al-Azm dalam
artikelnya, Is Islam Secularizable? mangatakan bahwa secara dogmatik
sekularisasi sulit dipraktekkan dalam dunia muslim, tetapi sangat mungkin dalam
realitas empiris. Wallahu A’lam. []

11/08/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

saya sangat tertarik tentang hubungan agama dan negara, khususnya yang memisahkan hubungan antara keduanya.

untuk memperkaya khazanah dalam bidang ilmu politik

jadi saya mohon artikel-artikel yang khusus mengungkapkan hubungan agama dan negara atau yang memisahkan antara agama dan negara

sekian terima kasih…
-----

Posted by koncet al bama  on  07/01  at  05:08 PM

Saya sebenarnya seorang awam dalam masalah agama maupun tatanegara. Saya hanya seorang Teknisi Telekomunikasi. Namun membaca artikel diatas cukup menggelitik hati saya untuk memberikan tanggapan.

Sewaktu saya kecil saya ingat pernah membaca salah satu artikel dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karangan Bung Karno. Artikel itu berjudul “ Mengapa Turki memisahkan Agama dari Negara ?” Yang saya ingat hanya Kemal Ataturk sebagai pelaku utama dan tidak terbersit sedikitpun kata kata” Sekularisme” sampai beberapa tahun sebelum berhentinya Presiden Soeharto tatkala ada seseorang, saya lupa namanya, yang dilansir dalam koran yang mengatakan bahwa negara kita Indonesia adalah Negara Sekular. Waktu itu timbul polemik di koran yang menimbulkan pro dan kontra atas pernyataan itu.

Rupanya masalah ini menimbulkan keberangan pada bapak Presiden Suharto waktu itu dengan cara mengatakan “negara kita Indonesia bukan negara Sekular dan juga bukan negara agama” Semenjak itulah istilah “sekular” ramai diperbincangkan orang. Dan maknanyapun agak sedikit bergeser. Ada yang mengartikan “ sekuler “ itu sebagai hanya mementingkan “keduniawian” sedangkan arti lain adalah memisahkan antara urusan negara dan urusan agama. Mungkin pada prinsipnya sama saja.

Menurut pengamatan saya dulu dulunya tidak ada pemisahan antara Agama dan Negara. Sering dikatakan bahwa Raja adalah titisan Tuhan atau Wakil Allah. Terjadinya pemikiran pemisahan Agama dan Negara tatkala terjadi perubahan pergeseran kekuasaan dimana kekuasaan pemuka agama yang membesar berbenturan dengan kepentingan kepentingan Negara dalam hal ini kepentingan Raja dan kerajaannya.

Diperbesarlah dengung atau gaung doktrin “Kerajaan Allah dan Kerajaan Setan”, “Kerajaan Langit dan Kerajaan Bumi” yang berujung dengan “ Kekuasaan Negara (Raja) dan Kekuasaan Agama (Gereja)”. Begitu pun kehidupan tatanegara Islam atau Nabi nabi terdahulu tidak mengenal pemisahan semacam itu. Hal ini sesuai dengan kalimat pembukaan artikel yang saya tanggapi.

“Memang harus diakui bahwa pemikiran tentang pemisahan antara agama dan negara tidak mempunyai preseden sejarah dalam kehidupan Nabi. Swidler, misalnya, mengatakan bahwa praktek sekularisasi hanya ada dalam pemikiran Kristen pada abad pertengahan, yang dari situ kemudian menimbulkan revolusi industri dan era pencerahan di beberapa negara belahan Eropa lainya”

Pemikiran kearah Sekularisme yang sekarang ramai dilontarkan oleh beberapa Pemikir Islam adalah sangat dipengaruhi oleh keberhasilan keberhasilan para penganut Sekularisme dimana dengan metode tersebut (terutama pemisahan Negara dan Gereja) membawa masyarakat kearah kemajuan dan kejayaan. Dan hal ini ingin dicoba diterapkan dinegara negara yang notabene mayoritas beragama Islam.

Pada hemat saya ,sekarang ini sistem negara kita walaupun secara tidak terang terangan sudah mengadopsi ke arah sekularisme.Dalam artian banyak kebijakan kebijakan yang bukan berasal dari Agama selalu akan dicoba.Dan selama tidak ada reaksi itu akan berjalan terus.

Memang sulit untuk bisa meyakinkan ummat pola Sekularisme bisa menunjang keberhasilan menuju kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, orang yang anti sekularisme juga tidak kurang banyaknya.

Nabi Muhammad tanpa sekularisme berhasil membawa Ummat manusia kearah kehidupan yang lebih bahkan bisa mematahkan Ideologi dan sekaligus kekuatan phisik bangsa besar Persia dan Romawi.

Demikian pula orang orang Eropa Barat dengan sekularisme berhasil menjajah Bangsa Bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Silakan pilih monggo !! Silakan !!!

Posted by Abu Cholid  on  08/21  at  06:08 AM

Terhadap artikel Mas Sholahuddin, “Menggagas Sekularisme Islam...”, sesungguhnya kita membuka wacana klasik yang akan terus dibincangkan sepanjang sejarah manusia ada. Konsep hubungan negara dan agama, khususnya di Indonesia akan tetap muncul ke permukaan dengan dua alasan; (1) Di dalam agama (Islam) sendiri terdapat perbedaan konseptual seperti di sebut Mas Sholahudin. Dan menariknya, potensi untuk terus berbeda itu tumbuh subur di negeri ini. Bahkan, isu penerapan syariat Islam yang belakangan gaungnya cukup kuat, mengindikasikan betapa kelompok yang percaya penyatuan al-din dan al-daulah (baca; pendirian negara Islam?) sedang bergeliat memperjuangkan ideologinya; (2) Secara empirik, peta perpolitikan kita tengah berada pada era transisional di mana “pertarungan” ideologi sedang menemukan babak barunya pasca runtuhnya era Orde Baru. Terhadap dua fakta konseptual dan empirikal itu, kita harus memilih sikap yang compatible dengan dengan pertimbangan sebagai berikut : (1) Wultur Indonesia yang majemuk, (2) Watak Islam yang moderat (3) Dasar negara yang telah disepakati yang merupakan aspek fundamental; Pancasila dan (4) Fakta bahwa Islam menjadi agama mayoritas. Saya kira, empat hal itu merupakan pijakan fundamental yang tidak boleh ditinggalkan. Jika kita meninggalkan, maka kesatuan kita sebagai bangsa akan terancam. Kita bisa saja mengacu kepada pola pemikiran Abd. Raziq, Sayid Qutb dan sebagainya.

Tetapi, sebagaimana sebuah bangunan konsep, ia harus selalu mendasarkan pada “setting sosial"-nya sendiri. Karena itu, saya ingin mengatakan bahwa pada satu sisi, “impian” mendirikan negara Islam dengan segala romantisme dan espektasinya dan karenanya bersemangat menyatukan agama dan negara menjadi tidak historis, tidak kulturalis, tidak indonesianis dan sektarian. Pada sisi lain, bersemangat menghilangkan agama dari urusan negara dan ingin menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler totok juga mengingkari fakta sosial dan sejarah di mana bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berpenduduk Muslim secara mayoritas.

Karena itu, “Jalan Ketiga”, yang disebut oleh Bahtiar Effendy sebagai “Intelektual Defernsiatif” agaknya menjadi pilihan yang tidak terlalu keliru karena dua alasan: (1) dari sudut pandang politik, pandangan ini memiliki resistensi yang kecil--untuk tidak mengatakan tidak ada. Sebab, agama diperlakukan sebagai “garam” yang mewarnai kerja-kerja kenegeraan. Ia tidak kelihatan, tetapi sangat terasa. Jadi pertanyaannya adalah; sanggupkah para elit politik menjadi “garam”? Di sini dibutuhkan pelaku-pelaku politik yang berkualitas yang berdiri di atas sistem yang berkualitas pula;(2) Dari segi sosiologis-empirik, karakter Islam yang moderat di mana jalan ketiga dimungkinkan, merupakan mainstream di negeri ini. NU dan Muhammadiyah sebagai dua kekuatan keagamaan terbesar saya kira telah sepakat untuk menegakkan Islam Kultural yang ingin mengadopsi agama ke dalam negara sebagai kekuatan etik. Fakta bahwa Islam mayoritas bukan berarti harus memaksakan agama menjadi pemimpin.

Agama harus menjadi kekuatan moral bukan saja secara kognitif tetapi harus dapat terlihat secara psikomotrik di dalam merumuskan agenda-agenda besar yang menyangkut kemaslahatan rakyat. akhirnya, gagasan sekularisme Islam Syek Abdul Razik sesungguhnya telah lama dielaborasi oleh Cak Nur dalam konteks keindonesiaan. Maka bukalah kembali bagaimana Cak Nur merumuskan bagaimana sebaiknya agama dan negara bermain dalam panggung bernama INDONESIA.

Posted by Abdul Mukti-Ro'uf  on  08/14  at  08:08 AM

Terdapat relevansi yang sangat kuat antara pemikiran sekularisasi Ali Abdurraziq dengan situasi Islam Indonesia. Islam dalam konteks keindonesiaan saat ini membutuhkan semacam obat yang mampu merangsang denyut pacu kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Dengan adanya ide sekularisasi dapat dijadikan sebagai obat tersebut.

Posted by Arief Cahyono  on  08/12  at  05:08 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq