Mengapa Kita Perlu Meniru Barat? - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
31/05/2005

Mengapa Kita Perlu Meniru Barat?

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Solusi yang harus ditempuh oleh umat Islam sudah dicontohkan oleh Jepang, yaitu meniru Barat, menerapkan rasionalisasi atas kehidupan, dan memodernisir teknik; agama sebaiknya ditempatkan dalam “sanctuary” yang namanya ruang privat. Bahwa Barat harus ditiru secara kritis itu sudah merupakan kebenaran dalam dirinya (truisme). Jepang pun meniru Barat dengan kritis pula.

Tantangan umat Islam sekarang ini persis seperti yang dihadapi Jepang pada abad 18 dulu. Ketika itu, intelektual Jepang dihadapkan pada pilihan yang sulit: apakah menerima dan meniru Barat atau tetap berpegang pada warisan Tokugawa yang menutup diri total dari pengaruh asing. Hashim Saleh pernah menulis mengenai hal ini di harian Al Hayat. Jepang menempuh jalur “nekad” yang ternyata benar: tirulah Barat. Sebagian besar intelektual Muslim selama peralihan abad 20 mengusulkan opsi serupa, “tirulah Barat, karena di sana terdapat hal-hal yang menjadi rahasia kemajuan umat manusia.” Kalau kita baca “Arabic Thought in Liberal Age” karya Albert Hourani, akan tampak bahwa semangat rasionalisme dan keinginan meniru Barat begitu menonjol dalam kesadaran intelektual Islam pada abad 19 dan awal abad 20.

Arusnya kemudian berbalik pada tahun 70-an, terutama dimulai dari Timur Tengah, yaitu ketika terjadi pengalaman pahit “Perang Tujuh Hari” (dikenal sebagai “an nakbah") di tahun 1967 di mana negara-negara Arab kalah perang terhadap Israel. Rezim-rezim otoriter di Timteng yang kebanyakan mendukung opsi “tirulah Barat” gagal memenuhi harapan publik, sehingga datanglah kaum Ikhwan dengan jargon besar yang menipu, “Al Islam huwal badil”. Semboyan Ikhwan itu memupus warisan penting yang ditinggalkan oleh orang-orang semacam Rifa’ah Tahtawi, yaitu warisan rasionalisme. Dengan semboyan itu, dikesankan seolah-olah Islam adalah sistem alternatif yang sama sekali bertolak belakang dengan Barat yang --menurut mereka-- “dekaden” secara moral. Islam, dengan demikian, ditampilkan sebagai agama yang memusuhi hasil-hasil penting dari rasionalisme Barat, seperti sistem demokrasi. Mengusulkan Islam sebagai “al badil” adalah kekalahan kedua setelah kekalahan bangsa Arab terhadap Israel.

Memang problem besar yang dihadapi oleh bangsa Arab adalah warisan institusi negara di sana yang begitu raksasa. Kekuatan-kekuatan alternatif dalam masyarakat sulit berkembang, seluruh potensi ke arah pembangkangan diberangus. Hasilnya: negara yang begitu kuat, tetapi sekaligus tak terkontrol. Korban dari “negara kontrol” ini bukan saja kaum oposisi sekuler, tetapi lebih-lebih adalah kaum oposisi Islam. Inilah pengalaman pahit yang dialami oleh kaum Islamis di Mesir, Al Jazair, Siria, Irak, dan lebih parah lagi Saudi Arabia. Paradoks di dunia Arab adalah bahwa keinginan untuk meniru Barat dan rasionalisme justru diselenggarakan melalui “negara kontrol” yang represif. Sudah bisa diduga jika hasil dari semua ini adalah kekecewan besar masyarakat Arab. Kekecewaan itu makin dalam ketika bangsa Arab melihat kenyataan lain, yaitu berdirinya negara Israel. Masalahnya menjadi lebih parah lagi karena berdirinya negara Isreal itu tejadi karena sokongan negeri-negeri Barat terutama AS. Ujung dari semua ini sudah bisa diduga: menolak Barat berikut rasionalisme yang terkandung di dalamnya. Manakala Barat ditolak, sudah tentu alternatif harus diajukan. Ditemukanlah “lampu Aladin” baru, yaitu Islam.

Perkembangan di Arab itu juga mengimbas ke kawasan-kawasan lain. Jargon “Islam adalah solusi” juga kemudian ditiru di mana-mana. Lalu muncullah ilusi bahwa Islam akan dapat menjadi sistem alternatif yang bisa menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Yang patut disayangkan adalah bahwa kata “Islam” dalam jargon itu dimengerti sebagai suatu sistem tertutup yang seolah-olah khas pemberian Tuhan, sudah lengkap dalam dirinya, sudah siap pakai, pasti sesuai untuk segala zaman dan tempat. Islam juga dimengerti dalam tafsiran yang justru berlawanan dengan kehendak zaman itu sendiri, bahkan terkesan anti-rasionalisme dan intelektualisme. Saya dapat mengatakan dari sejak mula, proyek “Islam adalah solusi” kemungkinan besar akan menemui kegagalan pula.

Solusi yang harus ditempuh oleh umat Islam sudah dicontohkan oleh Jepang, yaitu meniru Barat, menerapkan rasionalisasi atas kehidupan, dan memodernisir teknik; agama sebaiknya ditempatkan dalam “sanctuary” yang namanya ruang privat. Bahwa Barat harus ditiru secara kritis itu sudah merupakan kebenaran dalam dirinya (truisme). Jepang pun meniru Barat dengan kritis pula. Apa yang dibutuhkan umat Islam sekarang ini adalah melakukan rasionalisasi atas dua bidang sekaligus. Pertama, rasionalisasi atas pengelolaan kehidupan sosial-politik. Wujudnya adalah sistem demokrasi dengan seluruh kerangka kelembagaan dan kebudayaan yang ada di dalamnya: partai yang kuat, parlemen yang berwibawa, lembaga peradilan yang independen, pers bebas, masyarakat sipil yang “vibrant”, serta kultur sipil yang mapan. Yang kedua, rasionalisasi atas pengelolaan alam. Wujudnya adalah teknologi. Bagi saya, rasionalisasi dalam dua bidang itu sekaligus merupakan hal niscaya kalau umat Islam hendak meraih kemajuan seperti yang diperoleh Barat. Bangsa-bangsa lain di Asia yang sudah mulai “catch up with the wagon” dan mampu meletakkan diri sejajar dengan Barat, kurang lebih menempuah jalur semacam itu.

Sebagian umat Islam ada yang membuat pembedaan antara sistem sosial dan teknik. Dalam lapangan pertama, umat Islam harus menciptakan sistem sosial sendiri yang “asli” Islam, sementara dalam lapangan kedua Barat bolehlah ditiru. Artinya: rasionalisasi dalam sistem sosial tidak dihindari; rasionalisasi hanya dimungkinkan dalam segi teknik. Taqiyyuddin An Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, membedakan antara “madaniyyah” dan “hadlarah”. Madaniyyah adalah peradaban yang meliputi teknik; hadlarah adalah kerangka normatif dan sistem sosial yang mengatur kehidupan masyarakat.. Barat bisa diterima pada level “madaniyyah”, bukan pada level “hadlarah”. Bagi saya, pembedaan semacam ini adalah pembedaan yang kurang perlu. Bagi saya, rasionalisasi justru lebih mendesak dalam bidang pengelolaan kehidupan sosial. Apa gunanya umat Islam menguasai teknik, kemudian teknik itu diterapkan dalam kerangka sistem sosial yang otoriter. Osama bin Laden menguasai teknologi komunikasi Barat yang paling mutakhir, memanfaatkannya, tetapi dia mengajukan visi tentang sistem sosial Islam yang sama sekali tidak rasional, yaitu sistem sosial yang eksklusif, anti-demokrasi.

Saya tidak mempunyai harapan pada dunia Arab. Sistem sosial di sana begitu busuknya, sehingga amat susah membayangkan adanya perubahan dan reformasi dalam waktu dekat. Halangan terbesar kemajuan Islam via jalan rasionalisasi di Timur Tengah adalah kekuasaan dua rezim” sekaligus: rezim politik yang bengis, dan rezim agama yang tak kalah bengisnya. Kedua rezim itu saling bergandengan tangan dan menolak segala kemungkinan perubahan. Saya mengharapkan “light at the end of tunnel” di kawasan Asia Tenggara, dengan tulang punggungnya Malaysia dan Indonesia. Jalan kemajuan Islam sudah terang benderang: modernisasi di bidang sistem sosial dan teknik. Kendala utama proyek ini adalah ide-ide irrasional semacam negara Islam, sistem Islam, dan yang serupa dengan itu.

Kembali pada pokok soal: rasionalisasi dan menempuh kemajuan seperti yang pernah ditempuh oleh Barat. Itulah kunci kemajuan dunia Islam Melayu. Yang amat saya sayangkan adalah bahwa “anti-Baratisme” sekarang ini berkembang luas, entah yang atas nama anti-globalisasi, poskolonialisme, dan sebagainya. Teman-teman saya yang sedang getol menggeluti teor-teori baru dalam “Cultural Studies” begitu terlelap dalam keterpukauan atas segala hal yang bersifat lokal dan hibridal: hal-hal yang memang menjanjikan eksotisme. Nasihat saya: tundalah dulu kehendak untuk menikmati eksotisme, dan pikirkan nasib jutaan umat Islam di kawasan Melayu yang terpuruk dalam kemunduran, dan karena itu begitu mudah menjadi santapan “ideologis” bagi kaum Jama’ah Islamiyah. Bagi saya, modernisasi di dunia Islam sekarang ini belum tuntas. Solusi atas modernisasi yang setengah hati ini sudah tentu bukan kembali kepada agama, tetapi justru dengan cara menyempurnakan tahap-tahap modernisasi yang sudah tertunda (Catatan: harap modernisasi di sini dimengerti bukan dalam pengertian “proyek modernisasi” atau “developmentalisme” tahun 60-an yang digalakkan oleh Amerika untuk menghadapi Komunisme; tetapi modernisasi seperti makna asal kata itu: yaitu proses modernisasi kehidupan sosial dan teknik dengan cara rasionalisasi, pengertian yang lebih dominan di Eropa). []

31/05/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (25)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

asslam. saya kira kita dalami dulu islam secara mendalam sekali..br kita putuskan ikut barat atau berpegang taguh pada al’quran dan al’hadis…

Posted by irwan  on  04/23  at  10:15 AM

Mengapa Kita Perlu Meniru Barat: dalam bebas mentafsirkan kitab-kitab suci oleh karena sesuai dengan hujjah Allah, hujjah nabi Muhammad saw. dan hujjah kitab-suci-Nya, Allah akan menurunkan Penggenapan Hari Takwil Kebenaran Kitab Yang Wajib Ditunggu-tunggu dan Tidak Boleh Dilupakan sesuai Al A’raaf (70 ayat 52,53.

Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.

Posted by Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal  on  11/03  at  10:03 AM

Mendiskusikan usulan kritis mas Ulil tampak teman-teman sangat semarak dan antusias. ada haru biru dan ada warna emotif, baik yang menerima maupun yang menolak. islam, dengan demikian sangat ada di hati teman-teman, yang sama-sama gelisah, dan aku yakin, teman-teman sangat mencintai Islam. masalahnya, kita perlu membedakan usulan mas Ulil itu dari sisi keIndonesiaan. memang, “imaginasi sosial sebagai masyarakat Indonesia” dalam diskusi ini terasa kabur dengan “imaginasi sebagai umat Islam”. hal ini penting untuk tidak salah alamat kita mendiskusikan hal di atas. mas Ulil sendiri adalah seorang warga Indonesia, orang Jawa, memeluk agama Islam, dan gelisah dengan peran agamanya yang “klenger/impoten” menghadapi masalah di tempat ia berkiprah, di sini, di Indonesia, juga dunia.

Usulan mas Ulil adalah: 1) modernisasi (rasionalisasi) pengelolaan sosial politik, dan 2) modernisasi (rasionalisasi) pengelolaan sumberdaya alam. usulan ini bisamuncul karena: pengeloalaan sosial politik dan SDA di sini dilaksakana secara “tidak rasioanal” atau “tidak modern”. begitu kurang lebih. dan pelaku irrasionalitas di Indonesia ini adalah “uamt Islam”. Usulan ini terispirasi oleh beberapa pengalaman historis: 1) Jepang yang meniru Amerika tahun 60-an dan berhasil kini, 2) semangat para pemikir Islam di Arab yang putus harapan atas otoritas politik dan agama yang “bengis”, dan, tentu saja 3) pengalaman mas Ulil (sosial, ekonomi, politik saat ini) di Barat yang makmur, aman dan tertib (islami).

Hemat saya, usulan mas Ulil lebih mengarah ke “praktik budaya yang diharapkan rasional dalam mengeolala sospol dan sda”. Maksudku adalah jika kita melihat perangkat sistem Indonesia, dimana umat Islam menjadi bagian dari warganya, dari tiga sisi: 1) perangkat peraturan, 2) aparat/pelaku/aktor, dan 3) budaya. Pertama, dari peraturan, Negara Indonesia sudah modern dan rasional, memakai sistem demokrasi presidensial, dengan filosofi politik pemisahan kekuasaan (dengan prestasi terakhir berdirinya mahkamah konstitusi! sebagai hakim perselisihan antar lembaga negara yang sudah dipisah-pisah kekuasaannya-kalau kagak dipisah namanya bukan demokrasi lagi, tapi bagi-bagi kekuasaan model fasis ala suharto kemaren). (dalam konteks ini, pengelolaan sosial politik dan sda, kumaksudkan secara politik, hal mana tidak bisa dipahami umat islam tanpa sebuah negara, seperti Indonesia). Kedua, dari sisi aparat atau pelaku, semuanya sudah merupakan konsekuensi dari legalitas hukum kenegaraan. aturannya rasional dan modern. namun, praktik di lapangan, itubisa dilakukan oleh orang islam, orang non islam, aparat, non aparat, budayanya maih tidak rasional. jika menelisik yang tak terkatakan dari mas Ulil, tampaknya ada dugaan : “Umat Islam berperan Besar pada budaya tidak rasional ini”. itu bisa saja benar. tapi usulan untuk umat islam yang berandil dalam irrasionalitas politik ini tidak terlalu tepat jika meniru Jepang, sebab jepang di situ atas nama “Negara”, (artinya sistem politik), dan bukannya atas nama “bangsa/umat/masyarakat”.

Hemat saya, usulan mas Ulil menjadi tepat berbunyi jika diterjemahkan ke dalam rumusan “pendidikan politik rasional warga Islam”: baik umat islam maupun lainnya sebagai warga Indonesia. disamping hal ini lebih jelas wujudnya, juga membantu agar orang tidak susah menerima pointnya. teman-teman di sini banyak ngomong kreteria, parameter, barat yang ngesex, serta tangapan lain yang mengherankan dan menurutku aneh juga hehehe....maaf. agar pengalaman historis umat Islam lainnya yang mas Ulil sebut (arab dll) harus dilihat dari sisi : sebagai bangsa (komunitas/umat) atau sebagai negara (sistem politik). 

Mas Ulil juga jengah dengan orang-orang yang tidak terpanggil dengan proyek modernisasi/rasionalisasi ini dan lebih asyik masyuk dengan “eksotisme” kajian budaya, dan gerakan “anti globalisasi”. wah, mas Ulil jangan gegabah dong hehehe.... anti globalisasi bukan antibarat, tapi anti penghisapan negara kaya kepada negara miskin dengan jargon pasar bebas sebagai malaikat yang ternyata setan penghisap darah dengan raja setannya IMF, WB dan WTO. itu bukan barat. kita juga anggota IMF. ini sangat rasional, seperti yang anda inginkan. bahkan kritis. anda sepertinya bisa ditelikung oleh ideologi neoliberalis yang negaranya anda diami sekarang! makmur karena menghisap darah kita sendiri. dan kita juga menghisap darah kita sendiri di negerinya. ngeri… ini soal politik ekonomi, bukan seperti yang anda pikirkan. sosial politik. soal cultural studies, anda jug harus hati-hati. asal mulanya tidak seperti yang anda lihat dari kawan anda, tapi studi-studi pembebasan ala post kolonial secara multidisipliner, searah dengan gerakan sosial lawan penindasan. soal praktik kawan anda, mungkin sedang belajar, atau anda salah kira mungkin. 

demikian, hormat saya pada anda mas Ulil, saya suka ide-idenya.

tabik, wakhit hasim.
-----

Posted by wakhit hasim  on  01/19  at  03:01 AM

Bagaimanapun juga kita takkan bisa meniru barat karena memang kita diciptakan sudah berbeda dengan mereka dalam segi fisik.hanya orang-orang yang tidak pernah instropeksi diri yang berusaha untuk meniru barat.Ideologi Islam dengan barat memang sudah berbeda sekali dan tidak bisa disatukan.kita sebagai orang awam pun akan terlihat konyol kalau kita berbusana atau bertingkah laku seperti orang barat demikian pula orang barat juga terlihat konyol bila berpakaian seperti kita.tapi yang harus diingat saat ini hampir seluruh teknologi barat sudah masuk dalam kehidupan kita.seandainya diindonesia ada seseorang sefanatisme apapun terhadap islam tapi kita tidak akan melihat dia bepergian kemana2 naik unta sebagaimana dicontohkan orang-orang arab betulkan?dia pasti naik mobil yang notabene penemunya orang Amerika.jadi tidak bijaksana kita menjudge barat itu buruk.jadi biarlah mereka hidup dengan kebudayaan mereka sendiri dan kita hidup dengan budaya islami kita tanpa diliputi saling permusuhan toh segala aktivitas kehidupan kita bakal lebih rumit tanpa bantuan teknologi dari mereka

Posted by ardian  on  06/28  at  01:07 AM

Harus diingat dan disadari bahwa peradaban islam telah memiliki andil yang sangat besar dalam renaisans eropa/barat. Oleh karena itu sudah sewajarnyalah jika kali ini barat yang membangunkan kita dari tidur panjang. Pada abad pertengahan (dark ages)melalui literatur-literatur filsafat helenistik-skolastik yang diantar oleh Ibnu rusyd dan Ibnu sinalah barat menjadi tercerahkan. Dengan kata lain barat berhutang besar pada peradaban islam. Dan sebenarnya mereka telah membayarnya melalui modernitas, ilmu2 sosial dll. akan tetapi masih ada kalangan islam yang tidak mau menerimanya (secara naif). Tetapi saya kurang sependapat jika kita harus meniru barat. mungkin lebih tepatnya menjadikan barat sbg inspirator untuk kemajuan islam.

Posted by IBNU SWANTORO  on  06/27  at  01:06 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq