Mengapa Selalu Ada Politisasi Agama? - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
20/09/2004

Teks dan Identitas: Mengapa Selalu Ada Politisasi Agama?

Oleh As'ad Alf

Dari segi strukturalisme, politik itu tidak memiliki hubungan dengan kesadaran spiritual, karena perilaku seseorang termasuk perilaku politiknya lebih sebagai ungkapan struktural. Bagaimanakah perspektif strukturalisme memahami peranan teks-teks keagamaan dalam membentuk suatu pandangan dunia bagi pemeluknya?

Kampanye pilpres putaran kedua, secara formal, hanya menyediakan jatah 3 hari. Tapi, kampanye terselubung sudah digelar oleh dua pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati-Hasyim Muzadi setelah mereka dipastikan maju ke babak final. Meski masa kampanye sekarang lebih sedikit tenggang waktunya dibanding pilpres putaran pertama, fenomena ‘politisasi agama’ masih menyeruak ke permukaan.

Dari segi strukturalisme, politik itu tidak memiliki hubungan dengan kesadaran spiritual, karena perilaku seseorang termasuk perilaku politiknya lebih sebagai ungkapan struktural. Artinya dia (subjek) hanyalah sebagai pemain papa dari struktur yang mengungkungnya; entitas individu dengan kedirian subjektifnya tidak diakui atau diabaikan (Cahoone,1996). Bagaimanakah perspektif strukturalisme memahami peranan teks-teks keagamaan dalam membentuk suatu pandangan dunia bagi pemeluknya?

Teks dapat dilihat sebagai satu produk dunia kehidupan seseorang atau kelompok sehingga kedirian subjek patut dipertanyakan. Artinya seseorang tetap berada dalam kungkungan struktur karena pilihannya untuk mengadopsi pandangan tertentu yang digali dari teks tertentu sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Lalu, apakah seorang tidak mungkin keluar dari kungkungan struktural? Pertanyaan ini kembali mengingatkan perbedaan mendasar antara eksistensialisme dengan strukturalisme Prancis dalam memahami realitas individu atau masyarakat, di mana perbedaan itu juga menimbulkan persoalan apakah ‘gagasan’ tidak dapat membimbing perilaku?

Pertanyaan itu bisa dijawab dengan adanya rentang yang jauh antara dunia ide dengan realitas. Ada kendala realitas bagi penerjemahan ide secara utuh, sehingga entitas ide selalu mengalami perubahan dan penyesuaian (Habermas1996). Lantas apakah ini juga dapat diartikan berakhirnya ideologi? Jika ideologi dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang ketat dan tertutup, dengan tingkat pereduksian realitas sehingga melahirkan pandangan polaristik-dikotomistik maka jawabannya adalah benar, sebab tidak ada realitas atau dunia semacam ini. Eksistensi ideologi hanya terdapat pada level ‘anggitan’. Dalam konteks dunia ‘anggitan’ inilah teks memainkan peranan signifikan.

Hal ini dimungkinkan karena adanya kesepadanan antara pola berpikir ideologis dengan teks. Tegasnya jika teks –terutama teks-teks keagamaan– dibaca secara tekstual dan tidak melihat realitas di luar teks itu sendiri maka pemahaman yang muncul adalah dogmatis-ideologis. Suatu pemahaman yang melihat teks sebagai realitas itu sendiri. Tanpa ingin terlibat jauh dalam perdebatan antara strukturalisme dan eksistensialisme, dapat disebutkan bahwa teks dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan pandangan dunia seseorang atau kelompok, dan melalui sosialisasi (indoktrinasi), pandangan dunia ini dapat membimbing perilakunya.

Teks Sebagai Pembentuk Identitas

Teks-teks keagamaan yang diwariskan oleh ulama-ulama terdahulu selalu memuat pesan-pesan tentang menegaskan Islam sebagai pandangan hidup menyeluruh yang meliputi aspek moral dan norma bagi kehidupan individual, masyarakat, bahkan penyelenggaraan negara. Model pemahaman keislaman yang dihadirkan dalam teks-teks tersebut sangat kental karakter pembacaan tekstualnya. Sebagai produk sejarah teks-teks itu haruslah dibiarkan sebagaimana adanya. Tetapi untuk menghadirkannya dalam konteks kekinian tentu membutuhkan kontekstualisasi. Jika tidak, maka yang muncul adalah suatu model pemahaman dogmatis-formalistik. Karena teks-teks tersebut ditempatkan sebagai resemblance realitas yang diangankan. Pembacaan seperti ini dimungkinkan dengan memandang bahasa kitab suci (teks-teks keagamaan) sebagai bahasa demotik (Fryee, 1962), sehingga dapat dipahami secara deskriptif-realistik. Tegasnya teks adalah realitas itu sendiri.

Model pembacaan seperti ini akan memposisikan teks-teks keagamaan tersebut sebagai blue print realitas yang diangankan. Setiap pandangan yang berbeda dari bunyi lahir teks dinilai sebagai penyelewengan agama. Sesungguhnya model pembacaan tekstual semacam ini telah berlangsung berabad-abad di dunia Islam. Pernyataan ini tidak mengingkari adanya model pembacaan lain, seperti yang dihadirkan para sufi. Tetapi model pembacaan tekstual dengan penekanan pada eksoterisme agama terbukti lebih mendominasi wacana umat Islam. Hal yang disebut terakhir inilah yang pada gilirannya dapat menjadikan aktivisme politik sebagai pilihan keberagamaan.

Hal ini didasarkan kepada kesadaran bahwa risalah Islam merupakan seperangkat tata-nilai dan perundang-undangan bagi pembentukan suatu tatanan sosial yang utuh, seperti yang telah teraktualisasikan dalam kehidupan Nabi dan generasi pertama umat Islam di Madinah, dan yang telah ‘dibekukan’ melalui teks-teks keagamaan klasik yang kemudian disakralkan, dan diangkat melampaui realitas kesejarahannya. Akhirnya ia menjelma menjadi sebuah dogma yang tidak dapat dicari realitasnya dalam lingkup ruang dan waktu kesejarahan, tetapi harus diambil dari teks-teks keagamaan secara apa adanya. Singkatnya, masa lalu harus hadir di masa kini. Itulah ‘anggitan’ utama teks-teks yang menjadi referensi bagi perilaku politik umat Islam.

Dari kenyataan ini dapat dikatakan bahwa ‘politisasi agama’ tetap mengikuti episteme zaman klasik. Padahal dalam pandangan klasikisme seperti ini terdapat karakter romantisme yang sangat kuat, yang berkonsekuensi pada pola pandang terhadap masa lalu sebagai yang lebih baik. Naifnya nalar klasik tersebut belum mampu melampaui nalar dogmatiknya (Arkoun, 1992). Pola berpikir dogmatik-ideologis inilah yang selalu mengandaikan realitas di luar wacananya sebagai suatu realitas kegelapan yang harus diubah atau bahkan dihapuskan. Sikap mental semacam ini tentu saja melahirkan eksklusifitas yang menyulitkan bagi terjadinya suatu dialog rasional, sehingga sangat tidak menguntungkan bagi wacana demokrasi, dimana setiap wacana berhak untuk dianut, tetapi dalam praksis sosial perlu dilakukan konsensus berdasar common sense dan kesetaraan hak sebagai anggota masyarakat dan warga negara.

Seperti yang terjadi sekarang, sikap dogmatis-ideologis ini terbukti telah mempertajam potensi konflik vertikal dan horisontal. Pernyataan ini didasarkan kepada kenyataan di negeri ini bahwa politik identitas –etnik, ras, agama, dan mungkin kelas– masih mendominasi kesadaran kolektif masyarakat. Dan yang mengerikan bangsa ini belum memiliki mekanisme konflik kecuali dalam bentuk berdarah-darah. Kiranya yang patut disadari adalah suatu kenyataan bahwa setiap zaman pasti memiliki epitemenya sendiri, suatu cara baca tertentu terhadap realitas. Untuk dapat membaca realitas secara baru ini memang membutuhkan keberanian untuk menempatkan teks-teks keagamaan di bawah koridor ilmiah. Tetapi di sini perlu ditekankan pula cara baca para sufi (pembacaan esoteris) yang menempatkan spiritualitas kehidupan keagamaan sebagai dasar utama sebelum seseorang terjun ke dalam aktivisme politik ataupun yang lain, karena pembacaan esoteris ini selalu menekankan pada pencarian esensi dan tidak mau terjebak dalam formalisme dan verbalisme keberagamaan, sehingga ia akan mendorong terbentuknya sikap mental yang lapang, toleran, dan inklusif.[]


As’ad Alf,alumnus PP. Langitan, Magister Pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel dan kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)

20/09/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Mungkin saya ini terlalu naif atau kurang canggih dalam memahami bahasa-bahasa ‘langit’ sehingga bagi saya membaca kata-kata artikel ini tak ubahnya mendengarkan kicauan burung. Kadang terdengar merdu, kadang juga serak, tapi tetap saja saya tak meemahami apa artinya. Mungkin juga masalahnya adalah kosa kata para ‘burung’ yang pemaknaannya menjadi hak prerogativ mereka masing-masing. Mungkin kalau setiap ‘siulan’ dimaknai dengan terang dan jelas, mungkin satu-dua saya akan memahami kalimat mereka. Beberapa ‘siulan’ yang sering mengemuka dalam artikel-artikel yang termuat di medium ini adalah: - agama - ideologi - politik - realitas - kekinian - kesadaran spiritual Khusus dalam artikel ini, ada ‘siulan’ “ungakapan struktural” dan “teks” - yang mungkin bisa meminta bantuan pemaknaan dari prinsip dasar strukturalisme sendiri. Akan tetapi “teks” harus lebih mendapat perhatian karena seolah-olah tereduksi menjadi “apa yang tertulis dalam kitab-kitab masa lampau”. Mengenai ‘kekinian’ dan ‘realitas’. Apakah benar ‘kekinian’ itu adalah suatu ‘realitas’? Apakah ‘realitas’ atau persepsi akan realitas itu tidak terpengaruh oleh ‘ideologi’? Apakah ‘idelogi’ dus ‘idealisme’ mesti tunduk pada ‘realitas’? Apakah ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan lain adalah suatu realitas sehingga kita tak dapat berbuat apapun terhadapnya?
-----

Posted by Agung K.  on  09/24  at  11:09 PM

Sangat sulit “memaksa” orang Bali dan India untuk hidup sekuler, hampir separuh kehidupan mereka diisi dengan ritual agama Hindu. toh mereka bisa hidup modern dan berdemokrasi. Namun anehnya liberalis tidak “mengusik” mereka, sebagaimana yang mereka lakukan secara massive terhadap golongan tertentu.

Bukanlah suatu kesalahan jika memilih cara hidup sesuai dengan ajaran yang diyakini, sebaliknya yang perlu dihindari adalah pelarangan2 terhadap kegiatan ibadah oleh pihak lain terhadap pihak2 yang menjalankannya. Sebagai contoh adalah pelarangan melakukan sholat/menggunakan busana agama oleh penguasa Turki Sekuler terhadap pegawai negeri, tentaranya, murid-mrid, mahasiswa. Tentunya cita2/cara sekularis seperti ini adalah suatu ancaman yang harus ditolak mentah2 oleh kita yang cinta demokratis.

Mengenai Politisasi Agama, beberapa waktu yang lalu pihak JIL berkampanye di TV yang kurang lebih isinya adalah agar jangan membawa-bawa agama dalam politik.Namun sebagaimana yang bisa disaksikan adalah pada masa kampanye PILPRES putaran kedua, SBY-JK berkampanye dengan menggunakan simbol2 agama yaitu sajadah dan diiringi oleh lagu “rohani” BIMBO.  Apakah JIL tidak keberatan dengan kampannye tersebut?

Posted by Ari  on  09/20  at  03:10 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq